Undur waktu sedikit, perbanyak
kemungkinan,
Beri sejuta kesempatan dan harapan.
Ambil nafas jika semuanya telah selesai,
Akhiri langkah perjalanan ini tanpa penyesalan.
Penyesalan, kesedihan, kepedihan, semuanya adalah bayaran.
Usaha yang sia-sia, langkah-langkah yang berat tanpa ada yang membantu
menopang,
Semuanya adalah, diriku.
Jatuh bangun tubuh ini kubuat, hati yang kusiksa setiap satu kata-kata
dengan senyuman palsu terucap menambah luka yang semula segores kian membesar.
Darah merah menetes dari sudut hati yang terpandang di cermin, aku
hanya tersenyum.
Telapak tangan yang membeku, menyentuh cermin dingin yang terasa tajam,
Air mata. Hanya itu yang kuingat tentang perjuanganku selama ini.
Duduk tersungkur seperti menyebah diri yang semakin tersiksa rupanya di
cermin, aku menghela nafas.
Indahnya dunia ini, rembulan malam ini, sejuk angin dingin yang menusuk
kulit ini.
Suara serangga malam bernyanyi kian memanjakan telinga, letih lesu
suara ayunan dahan tiupan sang angin.
Aku masih tersungkur. Sebelah tangan memukul dada dengan kuat, nyeri.
Diriku sekarang hanya terlihat seperti seseorang yang tidak berguna dan
pantas, aku berteriak keras dalam relung dinding hati yang makin lama mulai
tersapu angin dingin malam.
Terakhir kata yang kuucap dalam hati yang mulai kehilangan daya ini,
Aku mencintaimu..
Intan berlian, permata merah delima, batu kristal dan rubi.
Semuanya kulemparkan keatas tanah yang berbau harum ini.
Mereka semua bersinar, berjanji akan selalu bersinar tanpa ada akhir
kilauannya.
Sejuk angin musim panas menerpa tubuh yang kian rapuh ini, sejenak
menatap langit.
Hei langit mengapa engkau begitu tega melihatnya?
Yang Berkuasa di sana, mengapa engkau begitu tak adil?
Hentikan, bisikan hati berkata padaku.
Mungkin memang semuanya telah terlambat, mungkin semuanya telah
berakhir, mungkin memang aku seorang yang mengecewakan, mungkin memang aku
seseorang yang hanya bisa menyakiti.
Bunyinya keras, bunyinya nyaring, bunyinya mengalahkan segala suara di
sana. Suara hati telah menjadi ribuan keping di dasar diriku ini.
Air mata pun perlahan menetes deras. Aku tidak berdaya! Benakku
bergelora liar. Sayat-sayat luka yang masih terlihat mulai menimbul. Aku
teringat akan sesuatu, aku sungguh seorang yang menyedihkan.
Aku bodoh!
Awan gelap menutupi lahan luas hijau itu, warnanya menjadi lebih tua.
Pelan rintik air mulai menyentuh jemari-jemariku, wajahku, dan tubuhku.
Aku bersujut di sana, dengan tangisan menyesal dan tulus,
Andai aku di sana, andai aku bersamamu, andai aku tau bahwa hati ini
bersuara padaku.
Andai tirai itu masih sempat terbuka untukku, andai dosa-dosa yang
kuperbuat akanmu bisa terhapus dalam kedipan mata, andai aku lebih menggunakan
perasaan bukan logika pikiran pintar berbohong ini.
Andai masa-masa dimana dirimu masih sempat berkata-kata manis dari
mulut tulus itu, aku membalasnya dengan senyum hangat dan mendalam.
Aku.. aku... aku...
Suara itu seperti badai menerjang, petir dan guntur mulai menampakkan
dirinya.
Aku tetap berdiri di sana, mematung seperti tak bernyawa.
Berbisik pada bunga-bunga yang basah karena badai yang masih
berlangsung itu, aku tertawa.
Merentangkan tangan hingga terasa menyentuh ujung dunia, aku merasa
tertancap ribuat pisao dan busur panah yang di arahkan khusus untukku.
Aku ini mengakui, aku terlambat..
Maafkan kalau aku telah jatuh cinta padamu..
Terinspirasi lagu
karya Maudy Ayunda, Cinta Datang Terlambat
keizia's poem.
0 komentar:
Posting Komentar