Selasa, 11 Juni 2013

re-new

Amoride Design
Arti Kata
By Keizia Zefanya


Pembukaan


Aku menatap segalanya biasa, namun jika engkau di sana, menemaniku di setiap tawa dan tangis. Membuatku lebih berarti, berwarna, bergairah.
Tetapi, itu hanya impian belaka, sebab sekarang dirimu telah melupakanku, menghapus ingatan akanku dari hati dan pikiranmu. Kejadian itu merenggut senyummu, kesadaranmu, ingatanmu akan segalanya. Sekarang, aku hanya berharap, kamu melupakanku selamanya. Dan jika saja, jika saja. Engkau bertemu kembali denganku, ku harap tidak ada lirikkan, tatap wajah, dan berkata pada diriku lagi.

Nayla menghela nafas panjang, ketika itu dia melihat teman-temannya mondar-mandir kesana kemari. Dia melihat sekelilingnya seakan seperti biasa, yang berbeda adalah dengan dirinya sendiri. Ia membuka tas ransel yandari tadi ia bawa, dan mengeluarkan sebuah kamera, yang ia pakai untuk memotret dari bandara tadi.
Dia menghidupkan kameranya dan terlihat di layar mungil itu, tulisan yang ia foto berserta seseorang yang berdiri di sana dengan senyum hangat.

Dengan cepat Sharon melihat sahabatnya itu melihati terus kameranya, karena khawatir ia menghampiri sahabatnya itu.
"Kau sedang melamunkan apa sih?" Sahutnya mengagetkan Nayla. "Bukan apa-apa kok, Sha" katanya pelan. Seketika Sharon melihat seseorang di layar mungil kamera sahabatnya itu, dan menarik kamera itu mendekat ke arahnya "ini siapa La?" Katanya dengan penasaran. "Bukan siapa-siapa kok Sha" dengan kata berat ia ucapkan begitu. "Bukan siapa-siapa kok nangis La?" Kata Sharon ketika melihat mata Nayla yang mulai berair. Dengan sigap Nayla menghapus air matanya dari matanya itu, tetapi tetap terlihat bahwa ia menangis, dan matanya terlihat merah seperti baju yang ia kenakan sekarang.

Sharon pun tak banyak diam, ia segera mempertanyakan lagi pertanyaan yang sama di pikirannya lagi "ini siapa La? Kok keliatan kamu deket banget sama dia, sampai nangis gitu? Mantan La? Temen hilang? Atau apa?" Nayla hanya melihat wajah sahabatnya dengan perlahan menarik kamera tadi dan mematikannya "sudah ku bilang bukan siapa-siapa Sha" ulangnya lagi dengan paksa. Tetapi tetap Sharon memaksanya menjawab.

Dengan terpaksa, Nayla mengatakan hal sebenarnya kepada sahabatnya yang keras kepala ini

"Sha, ini bermula sekitar 8 tahun lalu, saat kelas 2 SMA"


Bab 1
Mengenalmu


Saat itu aku teruduk di bangku kelas dengan menatap PR yang belum sempat kubuat tadi malam, mengerikan sekali jika aku tidak mengerjakannya, guru galak itu akan memarahiku habis-habisan!!? Gumamku dalam hati.
Ketika sedang berpanikria, datang dua sahabatku, Kaldy dan Elsa. Mereka cukup dekat denganku, suka belajar bersama, jalan-jalan atau sekedar berkelompok membicarakan hal-hal tidak berguna. "Nayla!" Seru Elsa dari depan wajahku yang mulai berkeringat dingin. "Nih dah, aku kasih PRku, cepetan kerjain!!" Seru Elsa pelan. Aku hanya mengangguk cepat dan segera mengerjakan PR itu, sementara Kaldy menatap sinis ke arah kiriku, aku memberhentikan penulisanku di buku tulis itu, dan menghadap pada seseoang yang berada di sebelah kiriku.
Skandar? Mengapa menatap seperti itu padanya?
Aku segera menoleh kembali melihat buku tulis menyeramkan itu dan menulis dengan kecepatan cahaya. Sementara Kaldy menatap lekat Skandar yang sedang mengutak-atik kameranya yang seperti kelihatan baru itu.

Skandar, murid yang pendiam, hobinya tertidur saat pelajaran. Duduk di sebelah Nico yang berisik mirip anjing yang menggonggongi orang dan tak berhenti.
Aku tetap mengerjakan PR itu hingga masuk.
Mengikuti pelajaran dengan biasa dan membosankan, aku hampir tertidur, tetapi melihat Skandar yang belum apa-apa sudah tertidur lebih dulu, membuatku aneh.
Mengapa anak seperti dia bisa masuk sekolah sesulit ini? Dan naik kelas normal?
Setelah pelajaran jam 1-4 selesai, Kedua sahabatku akan pergi jajan keluar, sementara aku di kelas, mempersiapkan diri untuk pelajaran selanjutnya. Dan tiba-tiba 'Ckrik' suara seperti cetikkan alat.
Aku menatap ke arah kanan dan kiri, menemukan di samping kiriku, berdiri seseorang yang memegang kamera hitam dan melihat hasilnya di kameranya.
"Nayla, kau lucu juga di foto" sahutnya sedikit terikikik
"Kamu ngapain sih? Foto aku?" Sedikit memastikan dengan wajah aneh aku menatapnya.
Dia hanya datang ke arahku dan memperlihatkan hasil jepretannya kepadaku
"Lihat kan kau, lucu sekali seperti boneka" katanya lagi. Aku memang terlihat aneh di foto itu, membereskan buku dan memasukkan kertas contekkan jawaban di setiap buku yang aku susun. Aneh juga dan aku sedikit tertawa melihatnya.

Dia kemudian duduk depanku, yang kebetulan itu kosong, karena Merry, temanku pindah ke ujung tempat Skandar, dengan alasan tak masuk akal.
Skandar kembali memasukkan kameranya ke dalam tas hitam yang ia bawa itu.
"Boleh aku duduk di sini?" Katanya pelan
Aku yang sedang menunduk mencari kertasku yang hilang menjawab "hah?" Dan kemudian bangun dan melihat Skandar tepat di depan wajahku.
"Hih! Ngagetin!" Geramku kepadanya, tapi sepertinya dia tidak mementingkannya
"Boleh tidak duduk sini? Nay" katanya lagi. Aku hanya menutup mata dan melipat tangan dalam artian tidak. Tetapi ketika aku membuka mata, senyuman. Senyuman itu muncul, dari wajahnya yang aneh dan terlihat polos itu. Senyumannya seakan membuatku jatuh dalam sihirnya, aku menangguk dan membiarkannya berceria di depanku. Sesekali aku menatapkan dan memfokuskan padanganku ke Skandar. Dia seperti tidak peduli dengan guru yang blak-blakan menjelaskan banyak hal. Tidur lagi dia! Teriakku dalam hati, melihat Skandar tertidur, punggungnya yang tegak, terlihat tak berdaya, dan seperti minta di peluk.
Aku menatap punggung itu cukup lama hingga aku tidak menyadari di lempari berbagai macam benda.

"Hoi!!" Sahut Elsa dari samping kananku.
Aku tersadar dan segera bersifat memeperhatikan papan tulis putih bertuliskan rumus bahasa dunia lain yang aku tidak tau.
Aku meraih punggung Skandar dan membangunkan lelaki itu dari mimpinya.
"Ada apa? Membangunkanku?" Tanyanya berbisik dengan sedikit menghadap ke belakang. "Tuh catet" tunjukku ke papan di depan kami itu. Segera Skandar mengeluarkan buku tulis dan menulis tulisan di papan itu, sepertinya dia terburu-buru.
Sekolah usai, aku pulang dengan sepedaku yang memiliki boncengan di belakangnya. Dengan menaruh tasku di atas boncengan itu, dan mempersiapkan untuk mengayuh. Sebelum aku menaiki sepedaku, Skandar datang menghampiriku dangen senyumannya yang begitu menyihir. "Boleh pulang bareng?" Tanyanya pelan. Aku belum menjawab pertanyaan itu, wajah Skandar terlihat cemas. "Ah..eh.. Baikalah. Kau naik apa?" Jelasku cepat. Dia menggelengkan kepala seakan tak tau apa yang harus ia jawab. Menunduk sebentar, dia memberi alasan "aku tidak mau pulang dangan yang lain, walau banyak yang mengajakku. Aku biasa pulang naik kendaran umum, tapi kali ini aku memutuskan untuk pulang denganmu" mendengar penjelasan itu, wajahku langsung menunjukkan ekspresi seperti bertemu mahluk alien saja. Aku mengangguk dan menyuruhnya menaiki boncengan sepedaku. Dia menggelengkan kepala, dan menyuruhku yang duduk di sana, di boncengan itu. "Rumahmu arahnya dimana?" Aku menunjukku ke arah belok kanan. Dia segera mengayuh sepeda itu dengan kebut di awal membuat aku seakan akan terbang bersama sepeda itu. Perjalanan pulang cukup mengejutkan, Skandar memarkirkan sepedaku di garasi, dan sebelum dia pulang dia mengatakan "aku main ke rumahmu dong" serunya. Aku menggeleng cepat, dan segera menyuruhnya pulang karena orang tuanya nanti khawatir?

Dia hanya tersenyum "tidak akan kok, aku sudah biasa pulang larut" katanya pelan. Dan kemudian aku mengajaknya masuk dan bertemu ibuku yang sedang memasak, di kejutkan oleh seorang lelaki muda masuk ke rumahnya. Dia segera berjalan ke arahku dan berbisik "dia temanmu sayang?" Kata ibuku yang sedikit khawatir. Anggukku pelan kepadanya dan menandakan bahwa ia temanku. Skandar langsung bersalam ke pada ibuku dan segera melepas sepatu berserta kaus kakinya. Dia duduk di sofa dengan mengeluarkan kameranya lagi.
Saat itu aku sedang menggigit jariku, entah mengapa, aku seperti tidak bisa mengerjakan soal di depan mataku sekarang. 'Crik' suara itu terdengar lagi. Aku melirik ke arah Skandar yang hampir tertawa melihat hasil foro jepretannya lagi. Sambil menahan tawa ia menunjukkan hasil itu padaku.
Aku menggigit jariku hingga tak sadar pensil ada di rambutku. Aku tertawa hingga ibuku mengatakan "kau tidak apa-apa kan?" Aku tidak kuasa melihatnya.
Skandar yang dengan kuat berpegangngan pada ujung meja dan satu lagi memegang kamera. Dia tertawa dengan lepasnya, berbeda dari sekolah, yang hanya diam dan tersenyum indah di depan mataku.


Bab 2
Dirimu Membuat Segala Sesuatu Bahagia dan Berwarna


Di sekolah, sejak aku duduk di belakang punggung itu, terasa sangat berbeda. Setiap aku ingin bertanya, pasti Skandar selalu membantu ku, aku sedikit malu bila bertanya.
Skandar, lelaki yang pertama kali dekat sekali denganku. Dia juga teman yang baik, selain Elsa dan Kaldy. Bedanya, Skandar selalu ada untukku setiap waktu, dia selalu ada di sampingku ketika masa-masa sulit ujian menerpa. Sulitnya aku mengerti berbagai tumpukkan latihan soal di depan mataku yang seperti tumpukkan misteri itu, tetapi Skandar dan kedua sahabatku membantuku untuk mengerjakannya agar lulus bersama-sama.
Selama aku belajar, tak luput dari 'crik' bunyi itu terdengar lagi. Skandar memotretku berkali-kali hingga tersenyum di layar mungil kameranya itu. "Nay, liat kamu. Serius banget, aku suka deh. Semangat ya belajarnya!" Sahutnya sambil menunjukkan hasil jepretannya kepadaku dan teman-teman. "Skandar, foto akulah sekali-kali. Ganteng masa tidak di foto" sahut Kaldy dari sofa belakangku. "Maaf iya, yang aku foto sebagai kenang-kenangan hanya Nayla" Skandar tersenyum menghadapku. Aku hanya fokus mengerjakan soal-soal, sementara kedua sahabatku bebisik-bisik di balik punggungku.

"Nay, sini aku bantu. Kamu kelihatan resah sekali mengerjakannya" kata Skandar di sampingku.
"Ah tidak apa-apa, Skan. Aku bisa kok sendiri" kataku sambil memasang senyum palsu.
Skandar tidak terima seperti itu. Dia langsung mengambil pensil dan menunjukkan caranya mengerjakan. Aku hanya terlaga bodoh dan terpaksa mengikutinya. Skandar hanya tersenyum, senyuman sihir itu muncul lagi di wajahnya yang putih bersih itu. Aku membalasnya dengan senyum tulus dan kembali mengerjakan.
Sekolah, tempat aku bertemu dan mengenal dia sekarang, Skandar.
Aku duduk di belakangnya, kadang-kadang terhalang oleh pandangan punggungnya yang tinggi itu. Hari itu aku tidak masuk karena sakit. Terbaring lemas di atas tempat tidurku, aku duduk dan membaca pelajaran untuk ujian. Tak lama, bergetar ponselku yang letaknya tak jauh dari situ.

"Halo?" Sahutku memastikan siapa itu, yang terpasang hanya nomer tidak di kenal dengan digit yang khas.
"Nay, kamu kenapa tidak masuk?" Sahut suara di sebrang sana. Aku langsung tau itu siapa. "Skan? Aku sakit. Badanku panas naik turun" di sebrang sana seperti terdengar sepi, mungkin pagi hari ini kelas belum penuh. Aku biasa datang pagi karena ingin menikmati pagi bersama teman-teman. Skandar juga datang pagi, biasanya aku berangkat sekolah bersamanya setelah bertemu di tengah perjalanan. "Aku jenguk boleh?" Tanyanya pelan. "Nanti siang kan? Oh ya, sepi kelas kita ya?" Jawabku memastikan lagi. "Tidak, sekarang aku akan segera kesana, aku sedang berada di kantin"
Aku belum sempat menjawab, panggilan itu langsung di akhiri olehnya. Kenapa di rela seperti ini demi aku? Padahal kami juga belum sedekat yang diperkirakan.

Daripada memikirkan hal seperti ini, aku kembali menatap buku catatan tebal yang siap kubaca kembali.
Waktu tidak berlangsung lama, pintu gerbang rumahku terbuka. Bunyinya terdengar jelas dari kamarku yang berada di lantai dua. Suara tergesa-gesa dari luar kamarku, seperti ada seseorang di luar sana. 'Tok-tok' "bolehkah aku masuk?" Suara dari balik daun pintu kamarku.
Ku bangun dan membukakan pintu, Skandar?!
Dia berkeringat dan nyaris tumbang dari tegakkan kakinya yang mulai rapuh itu. Aku menariknya ke kursi belajarku dan membiarkannya beristirahat, sambil menyodorkan air putih. "Skan, kamu lari ya? Ini minum dulu" dia menggelengkan kepalanya, dan segera meminum cairan yang ada di tangannya sekarang. "Aku naik sepeda Nay" katanya pelan setelah menarik nafas dalam-dalam. Aku hanya terlena mendengar itu, sepeduli itu dia padaku?

Skandar bangun dari kursiku itu dan segera menempelkan tanganya di dahiku yang berkeringat ini. "Nay, istirahat lah. Tidak usah belajar dulu, liburkan sehari saja" suaranya yang khawatir, nada bicaranya yang menggoda, membuatku tersihir kembali. "Tidak, Skan aku baik-baik saja" ketika berkata itu, wajahku mulai memanas, udara yang di sekitar panas, mendadak terasa dingin sekali. Aku menutup buku yang ku pegang tadi, dan memeluk tubuhku erat dengan kedua tanganku. Skandar segera menggapai selimut yang ada dan mendorong tubuhku hingga telentang di ranjang, dan menyelimutinya. Apa ia sadar? Apa yang ia lakukan. Skandar memandang wajahku dengan penuh kekhawatiran dan sekali lagi, senyuman itu terlihat di wajahnya. Ia segera meninggalkanku, sebelum ia membuka pintu kamarku "Skan.." Panggilku pelan. Ia menoleh dan memasang ekspresi 'kenapa?'

Aku membalasnya dengan simbol tangan, dan menyuruhnya dekat denganku. "Skan, tidak sekolah kan?" Tanyaku. Ia menggelengkan kepalanya dengan senyum berada di wajahnya "Aku akan jaga Nay, sampai Nay tidur ya?" Sahutnya dengan pelan. Aku mengangguk dan memasang wajah senyum "terima kasih Skan"
Skandar kemudian terduduk di atas karpet di bawah tempat tidurku. Dia membuka ponselnya dan membaca sesuatu
"Nay, coba bayangkan hal ini"

'Bisakah dirimu menjawab isi kepalaku?
Bisakah dirimu menjawab balasan isi hatiku? Bisakah dirimu mendampingiku?
Bisakah dirimu mengatakan hal itu?

Dengan momen-momen ini, aku mengabadikannya dengan penuh perasaan'
Setelah selesai membaca, Skandar menghadapku yang sudah tertidur pulas. Tidak kusadari wajah itu, dengan kameranya. 'Ckrik' Skandar sekali lagi tertawa melihat foto yang barusan ia ambil. Ia mengambil pensil di mejaku, dan menuliskan sesuatu.
'Cepat sembuh ya Nay! Aku selalu mendukungmu!'
Kata-kata yang kubaca di keesokkan harinya, di foto yang ia ambil ketika aku tertidur. Foto itu terletak di atas meja belajarku dengan rapih tersusun.

Skan, dirimu.. Mengapa?

Lusa berlalu, masuk ke sekolah seakan seperti enggan, tapi mau bagaimana lagi. Sekolah terlihat seperti biasanya, tak ada perubahan apapun. Duduk di belakang bangku sang punggung tegak, aku merasa ada yang aneh. Melihat ke sisi kanan, kiri, belakang, depanku juga. Tak ada Skan?
Elsa menghampiriku dengan wajah bersinar "La, kamu kemana aja dua hari ini. Aku sendiri tanpamu" aku hanya terkikik saat melihat ekspresi wajah Elsa yang cemerlang itu "aku sakit Sa. Oh iya, Skan mana?" Menjawab sekalian bertanya, masalahnya Skan juga tak ada di sini. "Dia juga tidak masuk dua hari yang lalu" sahut Elsa sedikit memalingkan wajahnya dariku menghadap ke bangku Skan yang sekarang hampa tanpa pemilik itu. "Loh? Kenapa?" Tanyaku sedikit mengkerutkan alisku ke atas. "Mungkin dia, tidak ingat dua hari yang lalu hujan lebat sekali?" Jawab Elsa sedikit meninggikan suaranya. Aku menggelengkan kepala yang berarti tidak tau. Dalam hatiku, aku menahan khawatir. Skan.. Kamu kenapa?

Sepulang bel berbunyi, aku bertemu dengan Steven. Ku dengar dia sering melihat Skan di arah ke rumahnya. Info ini kudapat dari Kaldy, yang kebetulan juga satu ekstrakurikuler dengan Skan. "Permisi" sahutku pelan menepuk bahu lelaki itu yang sambil mempersiapkan motornya. "Iya? Ada apa ya?" Jawab Steven datar. "Stev, boleh tanya? Rumah Skandar dimana ya?" Tanyaku lancang saja. Tak ada kata-kata lain sebagai pengganti kata-kata itu. "Rumahnya di area perumahan itu, dekat jalan besar tau?" Jawabnya sambil bersiap menyalakan mesin motornya. "Oh, iya-iya makasih!" Sahutku semangat. Seketika Steven meraih tanganku dan otomatis, aku membalikkan tubuhku dan kepalaku ke arahnya. "Kalau mau sekalian, aku antar bagaimana?" Katanya bertanya padaku "apa tidak keberatan?" Tanyaku lagi. Dia menggelengkan kepala, dan segera menyuruhku naik motornya itu.
Perjalanan memakan waktu sekitar 30 menit dari sekolah. Steven menurunkanku di gang rumah Skan, dia terburu-buru sehingga hanya bisa di antar sampai sini saja. Dengan kertas alamat yang di catatkan Steven, aku menyusuri gang-gang itu. Terhenti di suatu rumah sederhana, tak banyak dari rumah itu yang mencolok, walau bertingkat dua.

"Permisi?" Teriakku kencang. "Iya, tunggu sebentar" kata suara dari dalam rumah itu. Keluarlah seorang wanita paruh baya, tidak terlihat tua, dan sepertinya baik dan ramah. "Ada apa ya?" Tanya wanita itu. "Permisi bu, aku mencari Skandar ada?" Kataku langsung ke inti, apa aku salah alamat?
"Oh!! Kenapa nyari anakku? Temannya dari sekolah?" Tanya dia sedikit terkejut "iya bu, saya temannya. Nama saya Nayla, saya di sini mau jenguk dia" kataku sopan. "Baik-baik, silahkan masuk. Kamar dia ada di lantai dua ya" katanya membukakan pagar rumah itu. Aku segera berterima kasih dan langsung melepas sepatuku, dan berlari ke lantai dua rumah itu. Ku ketuk satu persatu pintu yang ada, hingga terhenti di sebuah pintu dengan stiker kamera mungil di depannya. Ku ketuk dan ku buka perlahan "permisi" sahutku pelan dan berbisik.

"Nay? Kok kamu ke sini" kata suara yang sudah mengkhawatirkan ku. Skan, terbaring lemas di atas tempat tidurnya. Dia memakai selimut dan sedang menikmati mengutak-atik kameranya. "Skan, maafin aku ya" kataku pelan sambil menarik kursi duduk di dekat ranjangnya itu. "Sudahlah, aku ikhlas. Dan lagi pula, aku juga peduli denganmu. Dan jangan pedulikan aku ya, aku baik-baik saja" katanya tertahan nafas hangat yang berhembus di tanganku. Aku meletakkan tangaku di atas dahinya yang berkeringat itu. Peluh, banyak sekali. Dia kedinginan namun berkeringat, kenapa dia rela kehujanan seperti ini, dalam hatiku menyesal. Coba saja aku tidak mengatakan bahwa aku sakit, Skan tidak akan mungkin datang ke rumahku. Dia berkata sedikit saja padaku, salah satunya untuk memulai pembicaraan lagi setelah beberapa menit hening. "Nay, kamu nanti kuliah ikut jurusan apa?" Tanyanya. "Modeling, kenapa?"

Dia terlihat terkejut dan langsung terduduk di atas ranjangnya yang berlapis spay biru abu-abu itu. Aku memasang wajah aneh sambil menggaruk kepala, dan terlihat sedikit senyuman di wajahku. "aku fotografi. Aku akan kuliah satu kampus denganmu" sahutnya sambil mengutak-atik kamera yang ia sembunyikan di bawah selimut tebalnya itu. Sekarang, giliran aku yang memasang wajah terkejut. Skan hanya terkikik di sambil melihat-lihat foto di kameranya itu.
Aku hanya tertawa melihat ekspresi sahabatku yang satu ini. Dia itu baik, peduli pada siapa saja, jarang emosi, lebih sering tertawa daripada menangis. Sahabat apakah dia? Ajaib sekali.
"Ngomong-ngomong, kamu kuliah dimana nanti?" Tanyanya di tengah lamunanku tentang dirinya. Aku terlihat seperti orang aneh, melihat ke sana kemari seperti gelisah "oh..oh..?!??)&@:$ eh.. Di Jogja nanti" terangku padanya. "Wah, daerah pas untuk foto-foto! Tak sabar aku sekampus denganmu disana!"

Aku memasang wajah senyum tak jelas, yang tiba-tiba saja terukir di wajahku. Skan yang sedang mengutak-atik kamera di atas ranjangnya itu, memandangku dengan senyuman hangat dan menghipnotisnya itu. Aku hanya bisa tersenyum untuknya, dia memberiku banyak senyum, walau hanya senyum. Tapi banyak berarti bagiku


Bab 3
Kelulusan


Bekerja keras bersama-sama selama ujian, akhirnya kami lulus dengan baik. Aku lebih memilih berdiri di taman sekolah, yang akan ku tinggalkan ini. Banyak kenangan di sekolah ini, termasuk bersama Skan. Hari-hariku berwarna dan cemerlang. Wajahku terukir senyum sambil meneteskan air mata, entah mengapa aku seperti ini. 'Ckrik' bunyi itu terdengar lagi, aku menoleh kemana-mana tidak ada siapa pun, hmm.. Aneh?

Bunyi dedaunan bertiup, angin menyejukkan, gemercik air kolam taman terdengar. Aku akan sangat merindukan teman dan sekolah ini, dari 6 tahun lalu aku bersekolah di sini, kelas 1 SMP. Sekarang sudah akan mengucapkan selamat tinggal, seakan baru kemarin aku memasukki sekolah ini dengan wajah polos dan jujur.

Skandar menghampiriku dan menepuk bahuku pelan "Nay!!" Serunya mengagetkanku dan lamunan masa lalu. Sambil mencari topik, aku langsung lantang berbicara kepadanya,
"Kamu tadi foto aku ya? Foto aku sambil nangis, memalukan Skan!" Teriakku sedikit kesal padanya. "Ya maaf, soalnya setiap momen bersamamu berharga Nay" aku terkejut sambil menggigit lidah. Kira-kira apa yang ia pikirkan tadi?
Aku melupakannya dan langsung Skan menanyakan hal-hal. "Ada berita bagus loh!" Seru Skan di tengah heningnya suasana tadi. Aku mengedipkan mataku dua kali, dan menggelengkan kepala. Menunjukkan ekspresi tak kenal lelah, Skan dengan semangat mengatakannya di depan wajahku yang bersimpah kebingunggan "aku masuk universitas sama denganmu!! Kita bisa sama-sama!!" Aku terbelak kejut, mengapa Skan ingin sekali sekampus denganku?? Apa denganku??

Aku hanya menggelengkan kepala saja sambil tertawa sedikit. Skan, sahabat ku yang sudah satu tahun ini dekat denganku. Dia akan sekampus denganku? Dan akan satu kost juga?

Keberangkatan ke kampus di Yogyakarta.
Sekitar 4 bulan setelah kelulusan itu. Seperti biasa, berkumpul dengan teman-teman satu angkatan. Banyak yang keluar kota dan negri untuk kuliah. Aku sendiri hanya cukup ke Jogja saja, dan setelah test disana, aku di terima. Elsa dan Kaldy masing-masing pergi terpisah, mereka punya kesibukkan masing-masing. Elsa yang akan ke Amerika, berlaga sombong di depan kami, namun tetap sebelum keberangkatannya, ia menangis tak kuasa di tahannya. Sementara Kaldy, dia akan kuliah di Surabaya, tempat saudaranya katanya ada tinggal sana, jadi bisa kuliah tanpa kost.
Pukul 12 siang, pesawat lepas landas dari Bandara Soekarno Hatta, Banten. Duduk di tengah-tengah, dua orang lelaki. Sebelah kananku Skan, dia asyik memotret awan lewat kaca pesawat, sementara di sebelah kiriku. Seorang lelaki, berambut hitam shagy. Memakai kaca mata hitam agar identitasnya tidak diketahui. Aneh, sahutku dalam hati.

Perjalanan membawa kami 1 jam. Sesampai di Jogja, aku langsung menuju kostanku. Dengan di temani orang yang kebetulan, bersebelahan kamar denganku, Skan. Naik satu taksi ke tujuan yang sama, aku memandangi betapa ku rindukan suasa kota Yogyakarta. Sudah 10 tahun aku tidak menginjakkan kaki di sini, sejak nenekku meninggal 10 tahun silam itu. Ku hadapkan kepalaku membelakangi jendela, dan melihat Skan, asyik memotret. Skan menurunkan kameranya dan dengan kilat membalik badan dan memotretku dengan cepat. Aku tidak sadar di foto olehnya. Melihat Skan menahan tawa di dalam taksi, aku melipatkan kedua tanganku "Skan, foto aku sih boleh! Tapi jangan sambil bengong juga!" Sahutku marah dan memukul pundak Skan dengan sedikit keras.

Skan menaikkan kepalanya dan memandangku dengan senyum itu, senyum aneh dan menghipnotis.
Tempat kost kita, sahutku lagi dalam hati setelah sampai di kost.
Skan di belakangku dan asyik memotret sepertinya. Aku membalikkan badan dan sadar Skan sudah berada dekat denganku wajahku tertempel di kaosnya itu. Dia memelukku erat, sambil menunjukkan senyumannya yang hangat itu "Nay, aku harap aku dapat bersamamu selamanya"
Aku hanya bisa memeluknya kembali. Tanganku yang berkeringat memeluk dirinya yang kokoh itu, memeluk punggungnya yang tegap itu. Skan, teman dan sahabat yang paling aku sayangi ini.

Sebelum masuk kuliah 1 bulan kemudian, aku di ajaknya pergi ke tengah-tengah alun-alun kota Yogyakarta yang dulu suka aku kunjungi bersama keluarga. Skan, kalau tidak memotret apalagi yang ia lakukan?
Mengeluarkan kamera hitam itu, dan memotret momen-momen indah dari berbagai yang kami lakukan bersama.
Tak sadar aku mendengar 'Ckrik' dari kamera hitamnya itu. Dia menunjukkan foto yang ia dapat dari layar mungil itu "Nay, gemerlik kota ini pas denganmu ya" katanya pelan dengan senyumannya itu. Aku menggelengkan kepala dan menjawab "mungkin karena aku, sudah sering ke sini dulu, inilah alasan aku kuliah di sini, sekalian aku bertemu dengan nenekku" sahutku sedikit menjelaskan dan pahit. "Nenek? Kenapa tidak tinggal di rumah nenek saja kalau begitu?" Tanyanya. "Skan, nenekku sudah tiada" jawabku sedikit menahan air mata yang mulai memenuhi kelopak mataku.

Mengusap air mata itu berat, baru pertama kali ini, aku menangis di hadapannya. Skan yang memegang kamera langsung menggantungkannya di leher dan melemparnya ke belakang, agar aku dapat bersandar di dadanya yang kokoh itu. Seakan diriku merinding entah mengapa, aku meluluhkan kesedihan di dalam pelukkannya itu.

Aku tak mau, dia hilang dari genggamanku..
Skan, maukan dirimu..?


Bab 4
Kehidupan Kampus di Mulai


Kuliah hari pertama! Tidak repot bagiku yang sudah terbiasa repot. Pagi-pagi aku bangun, walau aku ambil jam siang, tetapi sudah dari pagi mempersiapkan diri. Ku keluar dari kamar kostku itu, mengetuk pintu sebelah kamarku itu. Suara ketukkan pintu pertama tidak membangunkannya, ketika ketukkan yang kedua kalinya, seseorang membuka pintu. Wajahnya pucat, rambutnya acak-acak, bajunya kaos biru yang sudah sedikit kumal. "Skan!!" Teriakku di depan wajahnya yang masih terkantuk. Skan membuka matanya cukup lebar untuk melihat lebih jelas, siapa yang ada di depannya itu. Sekali lagi mengusap mata, ia memperjelas penglihatannya "oh!! Nay??!"

Aku hanya terkikik pelan sambil memegang tangannya yang masih dingin itu.
Tidak sabar kuliah nanti!
Sarapan pagi di kamarku yang masih berisi kardus-kardus. Skan yang hanya berkilauan melihat mangkuk sereal buatanku di depan wajahnya yang aneh itu. Mengambil mangkuk dan duduk di sebelahnya. Sebelum aku menyantap sarapan pagi itu, aku meminum susu, yang kuingat panas sekali. Kutiup perlahan-lahan 'Ckrik' bunyi itu terdengar jelas di samping telingaku. Menghadap ke arah Skan yang sedang memegang kameranya, dan tak luput tawanya yang membuyarkan otakku hinggak tak konsen.
"Nay, lihat! Kau meniup! Wah lucunya!!"

Tawanya di selingan penunjukkan gambar itu.
Aku juga tak luput tertawa melihatnya, entah mengapa aku terlalu sering tertawa bersamanya, daripada orang lain.
Jam 10 tepat, setelah bersiap-siap. Aku dan Skan menaiki becak ke kampus kami. Perjalanan yang berkesan untuk Skan yang terbinar-binar seperti anak kecil yang baru ke tempat seperti Yogyakarta ini.
Kampus! Penuh? Pasti.
Skan? Penuh? Pasti! Banyak gadis yang melihat aku berjalan bersama Skan, dan tidak sering yang bertanya "ini pacarmu?" Mungkin karena aku dan Skan dekat, pertanyaan itu biasa.

Kami berbeda jurusan namun berhubungan.
Modeling dan Fotografi, jurusan yang berbeda namun berhubungan.
Aku ingat, sebagai model, banyak saingan cantik-cantik. Dan pasti lebih cantik dari aku gadis biasa, yang hanya bercita-cita sebagai model. Audisi model sulit, tak segampang audisi model waktu sekolah. Banyak tantangan yang harus aku lalui pelan-pelan. Berat, tetapi mudah-mudahan Skan tidak sesulit diriku..
Pulang kuliah hari pertama, wajah Skan masih ceria, tetapi hari-hari kemudian. Skan terlihat mulai tertekan dengan sesuatu. Kali ini sudah 3 bulan aku melihatnya seperti ini, saat kuliah, Skan terlihat mati rasa dan hanya senyum tipis yang berada di wajahnya yang biasa berlambang mentari itu. Malamnya, aku mengetuk pintu kost tempat ia terlelap tiap harinya. Pintu tak terkunci? Sahutku dalam hati, kulihat Skan sedang tertidur di lantai kostnya itu, pendingin ruangan berhembus begitu dingin, tangan Skan yang membeku ku pegang dan ku genggam erat-erat agar hangat. Skan membuka matanya sedikit, hanya sepintas, kali ini senyumannya itu tersenyum dan berkata pelan "Nay, tidur saja. Aku akan baik-baik saja"

Tetapi aku tak menghiraukan, aku langsung menyuruhnya bangkit dari lantai beku itu, dan mendorongnya ke atas sofa, langsung segera aku mencari selimut dan menyelimuti badannya yang mulai merinding. Ku belai rambutnya dan kasar itu, dan menaruh telapak tangaku di atas dahinya yang mulai memanas. "Skan?? Sakit??!" Jawabku panik. Kali ini Skan tertidur lelap di sofa itu, tangannya memeluk tangaku yang satunya. Dengan senyum hangat terlihat di wajahnya.

Aku mengambil baskom dan kain. Aku isi air baskom itu dan segera memeras air dan menaruh kain basah itu di atas dahi Skan.
Ku diamkan dan memperhatikan wajahnya yang mulai memerah karena sakit. Aku sedikit melihat wajahnya yang tersenyum hangat, dan mulai merasa tenang.

Bab 5
Bertemu Teman atau Musuh?


Keesokkan harinya aku pergi kuliah sendiri dan melihat ke arah belakangku, seorang lelaki tinggi dan sedikit keringat dari dahinya. Aku menyapanya "pagi" kataku pelan
"Pagi-pagi! Kau Nayla ya?" Katanya sedikit berhenti dan melambat ke sebelahku. Aku mengangguk kecil dan terseyum tipis. "Aku temannya Skandar, ku dengar dia sakit?" Tanyanya lagi. Aku mengangguk dan mulai menghadapkan kepalaku lagi ke depan. Hari-hariku tanpa Skan, terasa kosong. Tak ada yang iseng mengejaiku, memotretku yang membuat emosi naik. Entah apa yang kurasakan sekarang, sebentar. Aku membalikkan kepalaku lagi ke arah orang yang di sampingku itu "temannya Skan?" Tanyaku sekarang "iya, namaku Hans. Skandar suka sekali menceritakan dirimu pada ku. Dia suka tertawa sendiri saat melihat fotomu di kameranya saat kuliah" aku hanya bisa tertahan malu. Skan, tertawa? Tanya benakku ke dalam sekali. Seharian ini, aku mengikuti kuliah dengan biasa, bersama teman baruku ini, Hans. Hans mengenalkan temannya, katanya dia tertarik dengan Skan.
Istirahat antar jam, Hans membawaku ke luar ke halaman kampus. Di sana menunggu gadis cantik, sangat cantik. Rambutnya kecoklatan panjang sedikit ikal terurai, postur tubuhnya juga ideal, wajahnya berias rapih.
"Sha! Ni temannya Skandar!" Serunya Hans.
"Gadis itu langsung menghampiriku dengan senyum hangat dan seperti dewi!?
"Salam kenal aku Sasha, aku jurusan fotografi sekelas dengan Skan. Namamu?"
Dalam hati, baru kali ini ada yang memanggil

Skan dengan 'Skan' bukan Skandar. Ku kira diriku berbeda tapi ternyata sama saja. Aku membuka tangan dan menyalami gadis itu dengan senyum tipis di wajahku yang polos ini. Kami berdua duduk di banggku sementara, Hans membeli jajanan.
"Ku dengar kau menaruh hati pada Skandar"
Tanyaku perjelas. Ku lirik dari ekor mataku, dia tersipu merah. Wajahnya yang tadi putih, sekarang semerah tomat.
"Tidak kok, hanya suka saja. Tidak cinta, ku dengar dia tertarik pada seoramg lain, tapi aku tau bukan diriku" pelan Sasha.
Aku hanya mendongkakan kepala ke atas melihat ke langit.

Waktu masih lama bukan?
Skandar.. Nama itu saja.. Aku sudah tak mau lagi menyebutnya Skan. Entah mengapa..
Aku sesak.. Nama Skan, ku kira spesial, salah perkiraan ternyata..
Kuliah hari ini menyedihkan, pulang ke kost dengan becak langgananku dan Skandar.
Aku membuka kamar kostku, tapi sebelum aku menikmati di kamar, aku mengecek keadaan Skandar sekarang.

Ku ketuk pintu rumahnya, tak ada orang yang berkata-kata. Ku putar engsel pintu itu, dan terbuka perlahan.
Masuk pelan-pelan, langkah demi langkah. Ku buka kamar Skandar yang berada di ujung ruangan itu. "Permisi, Skandar" tanyaku perlahan
"Iya, silahkan masuk"
Kata seorang di dalam.
Ketika masuk, menemukan dirinya sedang mengutak-atik kameranya itu dengan asiknya. "Nay, kamu kenapa? Masalah ya?" Katanya memecah keheningngan. Aku melangkah perlahan dan duduk di tempat tidurnya itu. "Tidak tau, Skandar.. Seakan"
Wajahnya langsung berubah drastis dari biasa ke terkejut "Skandar???!" Katanya keras di depan wajahku. Aku menunduk sambil menggelengkan kepalaku. Dia memegang kedua bahu ku dengan kedua tangannya yang kekar itu "Nay! Kenapa panggil aku itu???! Siapa itu?!" Tanyanya dia tegas. Air mata, hanya air mata terlihat di wajahku. Aku tak bisa menahannya lagi. Sakit rasanya sama dengan siapa saja, Skan dengan pesat menangkap wajahku yang penuh air mata itu. Dengan erat ia memelukku, genggaman dirinya di sekeliling tubuhku. Hangat, berperasaan.
"Skan.. Ku harap kau mendapat seseorang" kataku di sela pelukkannya. Dia langsung melipat tangannya dan menggeleng tak mau.

Aku hanya bisa tertawa dan lupa akan diriku yang menangis, termanfaatlah aku 'Ckrik' bunyi itu terdengar lagi, mata yang terpejam membuatku tak sadar.
Skan terlihat tertawa walau dia sakit, tetapi Skan yang menghiburku apa adanya..
"Skan, tadi aku berkenalan dengan sahabatmu. Hans kalau tak salah"
Sekejap, Skan menyusun kameranya di meja dan menyembunyikan dirinya di bawah selimut.

Aku mengarukkan kepalaku perlahan, mengapa Skan seperti ini?

Padahal kan temannya sendiri?


Bab 6
Awal dari Segala Masalah


"Ayo! Bangun!!" Seru Skan menggedor pintu kamar kostku yang kayu usang itu. Aku mengusap mata dan melihat ke arah jendela luar, terik sinar matahari. Ku bangun dari ranjang yang masih berantakkan itu, aku membuka pintu kostan dengan tampilan baju piyama, dan rambut acak-acakan.
"Ada apa Skan?" Tanyaku sambil menguap-uap.
"Bangun lah, aku sudah sehat ini!! Terus, hari ini kami universitas bagian fotografi akan bekerja sama dengan jurusan modeling!!"
Kata kaliamat itu, langsung membangunkanku, tetapi aku sadar. Walau kejadian kemarin bukan hal sepele, tapi aku tak akan menyerah, meski banyak rintangan yang haru kulalui satu per satu.

Kejadian dimana, Sasha, teman satu jurusan Skan yang kebetulan juga satu kelas. Rumor mengatakan bahwa ia jatuh hati pada sahabatku Skan. Baru kemarin ada seseorang yang menyebut nama Skan selain aku. Kenapa aku begitu di anggap biasa? Tapi mengapa juga, Skan banyak bercerita tentangku?
Selesai berlamun sambil bersiap, aku segera keluar dari kamar kostku. Ku lihat di bawah, Skan memberikan sinyal, agar aku segera turun, dan ku lihat jam. Sudah jam 9?? Satu jam lagi kuliah akan di mulai!!?
Aku lari dengan secepat kilat menemui Skan di bawah, segera Skan menggandengku dan berlari menuju gerbang keluar rumah kost. Segera Skan menyuruh tukang becak langganan kami untuk mengencangkan ayuhannya. Entah mengapa Skan semangat untuk hari ini. Sesampai di sana, jalan memenuhi langkah kami berdua. Gadis-gadis cantik mencibiriku, mereka iri, karena aku mendapatkan dan kebetulan sahabatku, yang menjadi fotograferku untuk tugas kerja sama ini. "Nay!! Kita berpasangan!!" Seru Skan setelah melihat papan pengumuman yang menunjukkan pasangan-pasangan untuk tugas ini.

Wajar saja, Skan memang jarang lepas dariku. Walau kami terpisah, tetapi saling merindukan. Rumor sebagai aku dan Skan sepasang kekasih tak luput hingga kuliah.
"Wah!! Skan!" Seru suara tak jauh dari sana. Skan mebelokkan kepalanya ke arahku "kamu memanggilku, Nay?" Katanya sambil menggarukkan kepala.
Loh? Sepertinya satu-satunya gadis yang memanggil dia dengan sebutan Skan, hanya aku?

Sasha datang dari kejauahan, menghampiri kami berdua yang sedang melakukan aktifitas bengong rutin.
"La! Tumben, kesiangan?" Jawab Hans yang tiba-tiba menepuk pundakku. Skan yang sedang di ajak bicara Sasha langsung memalingkan wajahnya, dan sekarang mengahadapku dan Hans yang asik bicara.
Aku tak sadar Skan melirik tajam ke arah Hans yang asiknya menggosipkan tentang banyak hal.
"Hans, nanti saat tugas kita akan bertemu lagi. Sekarang aku akan menghabiskan waktu dengannya" Skan memecah pembicaraan di antara aku dan Hans. Skan terus menarik tanganku hingga sampai di kelasku. Aku memsangkan wajah khawatir dan sekaligus kesal, tak biasanya Skan memperlihatkan seperti ini, jarang bahkan hampir tak kulihat, Skan.. Cemburu?

Tatapan kesalku masih berbekas hingga tugas di mulai, berkali-kali ku coba untuk tersenyum dan berekspresi banyak, percuma dan sia-sia. Sebab fotografer di hadapanku sekarang juga memasang ekspresi yang sama.

Sejak sesi kuliah di mulai, dan berseling istirahat. Aku sama sekali tidak menghampiri, dan berkata atau sekedar menyapanya. Begitu juga sebaliknya. Akhirnya aku menyerah, dan berekspresi menurut tugas.
Memandang layar lensa mungil kamera Skan, aku menahan air mata. Aku tersenyum di atas kekesalan Skan, dan kepedihan ini juga merusak hatiku. Aku berhenti berpose, dan berlari memeluk Skan yang sedang terjongkok di bawah dan terjatuh.
Aku memeluknya erat, dan tak ingin melepaskannya sesat pun.
"Nay? Kenapa?"
Tanyanya lagi, wajah Skan sekarang lulus dalam sedihnya.
"Seharusnya aku yang bertanya begitu"
Tegasku yang masih dalam pelukkannya. Skan menutup wajahnya dengan salah satu lengannya. Dia menggigit keras baju berlengan panjangnya itu.
"Aku.. Aku.. Entah! Aku cemburu"

Akhirnya kata-kata itu keluar dari mulutnya. Sepertinya aku mengharapkan itu, tetapi aku juga cemburu. "Ah, maaf juga" kataku di tengah-tengah pengakuannya. Skan langsung menurunkan lengannya dan melihat diriku lekat-lekat. Dia seperti bingung, entah mengapa, pandangannya serasa salah.
"Aku juga cemburu padamu dan Sasha" pelanku.

Skan kembali terkejut, ekspresi itu tak terhapus dalam beberpa menit terakhir ini. Dia membalas pelukkanku itu dan tersenyum lembut. Kurindukan setiap butir emas, senyumnya itu. Harga senyum Skan, tak akN pernah terbayar hingga kapanpun.

Skan sepertinya tau, aku cemburu karena apa, dan cerita itu berasal dari mana. Tetapi aku tak begitu memikirkan, aku punya masalah lain yang harus ku selesaikan. Dengan diriku sendiri..


Bab 7
Mempercayai Sesuatu yang Salah


Mungkin kejadian hari ini menyebalkan bagiku, tapi sekaligus aneh. Skan yang tak biasa 'cemburu' itu. Hans, sahabat Skan sejak pertama kali masuk kuliah di sini, cukup dekat denganku. Kami sering pergi ke kantin, belajar bersama di perpustakaan, atau sekedar berpapasan tak sengaja. Hans, satu jurusan dengan Skan namun berbeda jam sesi kuliah, Skan lebih awal dari dirinya, sedangkan aku kebetulan mengambil jam yang sama dengan Hans. Karena aku sering kali kesiangan.

Tugas hari ini tidak selesai dengan maksimal, karena aku dan Skan hampir membuang waktu seluruhnya karena pengakuan kami. Selesai bertugas, aku pulang lebih awal karena alasan sakit. Pulang ke kostan sendirian tanpa sepengetahuan Skan, dengan becak langganan kami berdua. Pak Suryo nama pengayuh langganan kami. Beliau adalah tukang becak yang sering bersinggah di depan kostan kami, sehingga sejak itu, dia menjadi langganan transportasi kami setiap pergi. Hari ini aku pulang sendirian seperti biasa Pak Suryo bertanya tentang Skan "mba Nayla, kok pulang sendiri tumben. Lebih awal juga mba, mas Skan gimana itu?"
"Ya saya alasan kurang enak badan Pak. Skan belum selesai kuliahnya, bapak juga tau dia hari ini agak larut kan?" Kataku memastikan apakah jawaban itu tepat.
"Wes lah mba, ntar bapak jemput mas Skan, jam 6 kan mba?"
"Iya pak"
Jawabku polos.

Setelah sampai, aku seperti biasa memberi hasil kerjanya yang baik. Dia pergi duluan setelah pamit, karena ada yang harus ia jemput di suatu tempat, sebelum ia menjemput Skan di kampus. Aku menaiki tangga ke kamar kostku di atas, berpapasan dengan beberapa penghuni kost lain, dan ibu bapak kost. Kamarku terdiri dari dua ruang kamar tidur, aku tidur berdua dengan Felita. Teman satu kamar kostku di sini, Felita takut tidur sendiri, hingga ia memilih tidur denganku. Sehingga kamar yang satu lagi di tinggal kosong.
Felita adalah kakak kelas kuliahku dan Skan. Ia sudah berada di sini sebelum kami, dia adalah murid jurusan imptek dengan nilai lumayan tinggi. Semester 5 dia menginjak sekarang. Dan pasti Felita tak sendirian, ada 2 orang lagi yang penghuni kost yang dekat denganku. Yang satu bernama Mei dan yang satu lagi Dedy.

Mei adalah anak ibu bapak kost disini, sedangkan Dedy adalah murid jurusan bisnis, yang kebetulan sekampus dengan Mei dan Felita. Mei, semester 3, dan Dedy sama pula.

Hari ini, aku masuk ke dalam kamar kostku. Melihat Felita dan Mei sedang bergosip sambil minum teh di balkon belakang.
"Ah! Nayla! Sini deh"
Kata Felita memberi sinyal kemari. Aku hanya merapikan pakaian dan melepas sepatu serta menaruh tasku di atas meja makan. Aku mengikuti perintah Felita ke balkon belakang.
"Kita kan udah temenan nih hampir 4 bulan, kita mau tanya sesuatu" kata Mei sambil menyeruput teh di tangannya.
Aku memasang ekspresi bertanya, ketika Mei bertanya. "Tau Skan sekarang dimana?" Ucap Mei singkat.
"Dia di kampus mei, emang kenapa? Nyariin?" Kata ku sedikit terkikik. "Bukan, de" sahut Felita di sampingku.
"Terus apa?" Tanyaku penasaran

"Aku baru saja sampai dari kampus beberapa menit sebelum kami sampai. Aku menemukan Skan sedang berjalan dengan seseorang, sepertinya seorang perempuan. Aku menemukan mereka ketika agak jauh dari kampus kalian"
Kata Felita.
Aku memasang wajah yang terlihat tak jelas. Ekspresi dan debaran hatiku tak jelas, aku menundukkan kepala, mengingat apa yang ku lakukan bersama Skan sebelum izin.
Aku melakukan tugas, selesai bersama Skan, dan
"Nay, aku ada urusan. Setelah ini bisa kamu sendirian dulu sampai nanti di kost. Maafkan aku, ini mendadak"
Ah! Kata-kata itu! Aku hampir lupa soal itu.
Aku menundukan kepala. Seakan tak tau apa lagi yamg harus di buat.
Felita memelukku erat dengan ekspresi sabar, serta Mei dengan erat menggenggam tangaku.
"Hei! Ladies!" Sahut seseorang memdobrak pintu di belakang kami.
Dedy, mengagetkan kami bertiga yang lagi berduka. Mei melepas genggamannya dan langsung menghampiri Dedy, dan memukulnya sedikit kasar.
Dedy hanya cengengesan melihat aksi Mei yang sering kali memukulinya.
Felita terlihat menikmati pemandangan ini setiap harinya setelah atau sehabis mereka pulang atau pergi ke kampus.

Tatapan Mei dan Dedy terlihat seperti dulu waktu SMA. Kaldy dan Elsa.. Entah mereka bagaimana, tak tau kabarnya. Hilang entah kemana. Aku meneteskan air mata mengingat sahabat-sahabatku yang dulu.
Dedy dan Mei yang semula bercanda dan saling sebal, terhenti dan menghampiriku.
"Sebenernya ada apaan sih? Sampai kalian marahin aku gini?" Tanya Dedy sambil menaruh tas kuliahnua di lantai kamarku dan Felita.
Mei dan Felita menjelaskan segalanya, dan Dedy mengangguk mengerti. "Pantas saja, ku kira kau ambil jam pagi, ternyata izin. Dan pantas Skandar belum pulang"
Jawab Dedy mengerti di sampingku.

Menginjak malam, aki terdiam di kamarku yang sepi. Felita telah tertidur dengan buku mata pelajaran tebal di atas kasurnya di kamar kami. Aku melihat jam, dan menunjukkan pukul 11. Tak ada tanda-tanda dari Skan, dan kemudian aku beranjak dari kasurku, dan menuju ke ruang tamu kecil di luar kamar. Meninggalkan Felita yang tertidur lelap di kamar.
Aku memakai sandal dan membuka kunci pintu depan, ku buka dan keluar. Melihat ke kanan dan kiri tidak ada tanda-tanda Skan.
Aku duduk di depan kamarku, dan melipat kakiku dan membenamkan wajahku di dalamnya. Menunggu sahabatku ini, adalah kegiatanku setiap malam.

Jam 1 pagi, aku mulai terantuk, ketika pintu gerbang di luar sana berbunyi. Skan! Seruku di dalam hati kegirangan. Ketika hendak menghampirinya, aku melihatnya..
Dia.. Bersama Sasha sedang berkecup pipi, dan mengucapkan selamat tinggal.
Mengapa? Dia cemburu hanya untuk membohongiku? Sedikit demi sedikit aku meneteskan air hangat dari mataku. Aku berlari kembali ke kamar mengunci pintu dan duduk di baliknya. Ku dengar langkah kaki Skan di depan kamarku, dia membuka kamar dan berhenti, pintu kamar tak tertutup, atau belum?
Aku menangis sekencang-kencangnya, hingga membangunkan Felita, Mei dan Dedy bersamaan mereka berdua datang mengetuk kamarku.

Felita menarikku dan menyuruhnya duduk di balkon, sementara Mei di sampingku.
Dedy membawa seseorang yang berwajah khawatir dan tak memikirkan diri sendiri.
Skan..

"De, kenapa? Kok malam jam segini belum tidur? Terus mengapa menangis?" Sahut Felita sambil memelukku. Seketika itu aku menggelengkan kepala dan terus menangis di pelukkannya. Mei dan Dedy menghadap tajam ke arah Skan yang terbengong-bengong.
"Kau!" Sahut Dedy mendorong kasar Skan ke tembok. "Mengapa kamu baru pulang jam segini?!" Tanya Mei keras.
Skan terdiam, Felita melihat semuanya sementara aku tetap menangis, tak peduli Skan akan di apakan oleh kedua sahabatku yang sedang naik darah itu.

Mei menampar keras Skan, bunyi pukulan hebat terdengar hingga telinganku. Aku melepaskan pelukkan Felita dan berlari menuju Skan yang tersungkur sambil memegangi pipi yang yang mulai tersayat itu.
"Sudah cukup! Kalian keterlaluan!" Sahutku memeluk Skan.

"Tapi! Dia.. Aku tau sesuatu tak benar di antara kalian berdua!" Teriak Mei yang marah di depan wajahku. Aku menggelengkan kepalaku dan menahan tangis yang mulai menetes lagi. Aku tak tahan ini, apa aku mulai punya rasa dengan Skan?! Tak mungkin lah..
Skan bangkit dan menggeser ku ke sampingnya. "Maafkan aku teman-teman. Aku memang salah dan egois" sahutnya pelan.

Aku mulai memakan rasa curiga yang pahit itu.
"Aku sepertinya menyukai Sasha, teman satu angkatanku dan satu jurusanku. Dan mungkin kalian sudah kenal, karena aku sering menceritakannya pada Dedy. Dan seseorang paling penting bersamaku.. Maafkan aku Nay.."
Sahutnya..

Akhirnya! Pengakuan! Mengapa.. Mengapa??!
Aku tak terima seperti ini.. Aku terasa bukan siapa-siapa lagi bagi dirinya..
Aku mendorong Skan menjauh dengan wajah terpalingi. Air mataku turun, turun tak kenal henti. Dedy menarik Skan yang tak ingin meninggalkanku, wajah Skan seperti terinjak bagiku..
Dedy menarik terus tanpa paksa, dan Mei membantunya.
Setelah mereka bertiga pergi dari kamarku, aku terjatuh tertidur. Dengan air mata masih mengalir..

Entah, Skan. Harusnya kau jujur tak berbohong kepadaku, kau sepertinya tak biasa berbohong padaku. Kau mungkin berfikir aku akan tersakiti. Memang aku tersakiti, namun akan lebih jika tidak kau memberi tahuku kejujuran yang sebenarnya. Yang harus aku terima, yang harus aku lihat.

Bahwa dirimu.. Bukan untuk diriku
Seorang..


Bab 8
Masih Mengharapkanmu?


Aku buka mataku, melihat kesekelilingku. Aku bangun, dan ternyata ada di atas ranjangku.
Di sampingku tak ada siapapun. Felita sudah berangkat kuliah. Aku melihat jam, pukul 12 siang. Aku hari ini bolos kuliah, dan setelah menyadari itu aku langsung bangun dan merapikan kamar tidurku itu yang lumayan berantakan. Seketika aku membuka pintu kamarku, keluar, tak ada siapapun. Meja makan penuh dengan makanan yang Felita masak, dengan catatan kecil yang sepertinya ia sisipkan di tengah aku membuka makanan yang di tutupi oleh semacam penutup makanan.

"Nayla, makan ya. Tidak usah khawatir soal kuliah, aku sudah izin lewat dosen yang aku kenal di sana dan kebetulan itu dosenmu. Ou ya, yang tadi malam maafkan kami, tak bermaksud untuk sekejam itu pada Skandar. Dan sebelum aku pergi kuliah Dedy menitipkan pesan. Tolong ke kamarnya nanti saat kau bangun, pintu sengaja tak di kunci. Dan pastikan dirimu semakin kuat ya!"

Pesan kakak kelas memang bermakna daripada sesama umur, tapi itulah kelebihan.
Ketika selesai memakan sarapan sekaligus makan siang itu, aku mandi dan bersiap ke kamar sebelah. Sesuai permintaan Dedy.
Langkah berat aku jalani dan berhenti di depan pintu kamar sebelah itu. Aku membukanya perlahan, dan melihat tak ada seorang pun di sana, hanya saja pintu kamar terbuka. Aku mengintip sedikit, sepertinya tak ada seseorang. Ketika aku masuk, tertidur seseorang dengan selimut tebal di atas ranjang kayu. Wajahnya lebam, kepalanya terluka, tangannya banyak goresan luka.

Skan?!

Aku menghampiri Skan, dan berniat menyentuh keningnya yang berkeringat itu, tetapi.. Tanganku terhenti oleh sebuah faktor hati. Aku menahan tanganku untuk menyentuh Skan yang tertidur dengan nafas hangat. Kemarin malam benar-benar aku kesal, sedih, hancur, remuk tak tau mengapa.
Dedy, yang menyuruhku datang ke sini untuk apa? Merawat Skan yang penuh luka dan tidak di ketahui sebabnya?
Aku berlamun dengan banyak pertanyaan di kepalaku, aku berniat merawat sahabat sekaligus orang terpenting di hidupku ini.
Tetapi, keinginan terhambat.
Karena banyak basa-basi aku akhirnya lupa dengan seseorang yang sudah membuka matanya itu.
"Nay.." Jawab suara pelan dan lirih itu. Aku tersadar dan melihat ke ranjang. Skan membuka matanya perlahan, ia menggenggam tanganku, tidak erat tetapi aku tau pasti ada sesuatu yang ia ingin katakan. Aku pelan melepaskan tanganku, tetapi aku tidak bisa karena benar-benar merindukan tangan kasar ahli kamera ini.
"Nay.. Maafkan aku ya.. Tak apa sih kau tidak memaafkan ku. Aku memang bodoh!" Sahutnya sambil memukul keningnya yang terluka itu. Aku tidak diam! Aku bertindak!
"Skan!? Kenapa dirimu luka seperti ini?!" Sahutku keras padanya. Dia hanya memejamkan matanya dalam-dalam dan seperti sengaja melupakan sesuatu yang akan terjadi. Aku memejamkan mata juga, menahan kenyataan.

"Nay.. Aku.. Aku.."
Kata Skan dalam pejaman matanya itu yang mulai melemas.

Aku terus memejamkan mataku, aku melepaskan genggaman tangan Skan, dan mulai menghapus air yang keluar dari mataku tanpa permisi.
Teringat masa SMA dulu, yang kami saling menjenguk. Skan menjengukku hingga ia sakit. Aku ingin membalas kebaikkannya lebih dari yang aku dulu sekedar merawatnya, tetapi apa yang harus aku lakukan?

Tiba-tiba sebuah rengkuhan. Tangan yang lebar, memelukku dan menyandarkan kepalaku di pundaknya. Ia memelukku dengan erat sekali. Seperti aku benar-benar ingin menangis.
"Menangislah di pundakku, setidaknya hanya ini yang dapat aku lakukan" pelan suara berat dan lembut yang kurindukan. Aku tak bisa menolak, aku menangis di pundaknya yang semula kekar sekarang terkisar rapuh. Skan, dirinya begitu baik. Sangat baik, walau aku di sakitinya baru satu kali, namun lukanya begitu dalam dan cukup mengiris diriku hingga tak sanggup berdiri lagi. Tetapi, Ia rela di salahkan. Ia rela mendapat batu besarnya. Demi aku? Apa Skan sebegitu bersalahnya padaku? Terus, aku juga. Kian telah tersakit namun masih bisa peduli, sayang, dan mencintai sahabatku yang satu ini Skandar.

Tak terasa,waktu itu cepat. Kami berdua di soraki oleh Dedy, Mei dan Felita. Mereka berdua seperti berhasil memperbaiki retak antara aku dan Skan, tetapi sepertinya Felita serasa terganggu. Aku memandang Felita dengan tatapan bertanya, kelihatannya Felita benar-benar kesal dengan Skan.
Aku lepaskan pelukkan Skan, perlahan aku menghampiri Felita. Mei menyuruh Dedy menjaga Skan sebentar, sementara Mei kebawah mengambil sesuatu. Sepertinya Mei dan Dedy, ada sesuatu terhadap Felita.

Felita menarik tanganku ke bawah, aku mengikutinya hingga ke taman belakang. Di sana, ia menyuruhku duduk di kursi taman. Terdiam beberapa saat, akhirnya Felita memulai pembicaraan kita yang tak jelas itu.
"De, kamu senang begini?"
Tanyanya menundukkan kepala, aku terkejut dengan pertanyaan dia yang begitu tiba-tiba.
"Senang apanya, Fel?" Tanyaku membalas. Tetapi ia hanya diam, memejamkan matanya dan dengan sigap memegang kedua bahuku dengan kedua tangannya dan menghadapkan tubuhku ke arahnya, sepertinya ia mengerti, apa yang ia katakan.
"Gimana?! Kau puas?! Kenapa mau terus mengejar dia! Ini sudah terlambat bukan?!" Tegas Felita dengan lantang di wajahku. Wajahku memucat, aku menunduk sambil memalingi kepalaku. Aku menggeleng pelan. Dengan kuat aku bangkit, dan mendorong Felita hingga genggaman tengannya terlepas.
"Aku tidak akan menyerah!" Teriakku.
Felita sepertinya puas, dan dengan pelan ia mengelus kepalaku dengan tangannya yang halus itu. "Aku tinggal dulu ya, kamu banyak istirahat. Aku ada urusan di luar, agak larut nanti pulangnya, jadi hati-hati. Aku berangkat dulu. Bersama Dedy dan Mei" kata ia tersenyum ke arahku.

Setelah mereka sekali lagi meninggalkan aku dan Skan sendirian di kamar. Aku tersunyi, sambil menatap kaca jendela yang sedikit berembun karena angin AC. Skan sudah mulai mengutak-atik kameranya, seketika itu 'Ckrik' suara kamera mengambil gambar seperti waktu itu, terakhir 3 bulan lalu aku dan Skan foto bebas di luar tugas.
Aku menghadap Skan, dengan asik tertawa di balik bantalnya di sofa itu. Ku hampiri dia dan memeluk lengannya, dan Skan tetap saja tidak menunjukkan foto itu padaku, aku kesal. Dia menaruh jari telunjuknya di bibirku, mengucapkan sebuah kata dengan komat-kamit 'kejutan' katanya. Aku semakin kesal hingga lupa akan waktu.

Sudah mulai larut! Aku di sini masih bersama Skan yang tertidur di bahuku. Ia menyelimuti dirinya dengan selimut dan memeluk lenganku sebagai bantal.
Aku berfikir dalam kantukku, apakah haruskah aku menyatakan ini perasaan ini pada Skan, sebelum gadis itu? Sahutku salam hati pelan. Aku bangkit dan segera menaruh tubuh Skan yang masih terluka itu di atas sofa kamarnya. Tidak sadar seharian bersamanya, memang menyenangkan, namun. Sekarang ia menyukai orang lain dan orang itu, bukan aku. Memang tidak seperti Skan harus menyukaiku, ini bukan dongeng-dongeng fantasi yang akhirnya jatuh cinta. Aku menyelimuti tubuh Skan dengan selimut yang di pakainya seharian, sementara aku menutup pintu kamarnya dan menuju kamarku untuk menunggu Felita dan teman-teman. Mereka larut sekali? Ini hampir pagi, padahal pergi dari siang tadi. Aku mengambil telefon genggamku dan menelpon Felita,

"Panggilan anda di luar area service"

Hah? Tidak biasa seperti ini, Felita tak biasa mematikan telefonnya. Mungkin saja batrenya habis, tapi ini sudah benar-benar larut. Aku mulai khawatir, di tengah kekhawatiranku, Felita dengan heboh membuka pintu kamar, yang otomatis mengagetkanku.
"Maaf, aku terlambat. Tadi Dedy beli mainan apaan lama banget. Mei juga, di potong argumen-argumen berjam-jam"
Kata Felita sambil mengusap keringatnya, aku memandang curiga ke Felita.
"Sebenarnya kalian kemana sih?" Tanyaku
Dia terkekeh mendengar pertanyaanku, seperti orang yang sedang bercanda.
"Kami cuma keliling daerah sini aja kok, udah lama tidak keliling. Dan tentunya hal yang cukup indah kan, kami pergi kau dapat bersama Skandar seharian" usilnya teman-temanku ini.
Aku hanya tersipu sambil memasang wajah penuh kekesalan. Coba saja tidak seperti ini aku sudah kuliah, Skan kuliah. Tapi kami tak mungkin sudah berbaikkan.
"Fel, Skan kenapa bisa luka-luka sih?"
Tanyaku, karena sudah tidak sabar. Benar-benar ingin tau aku tentang luka yang di derita Skan. Felita memalingkan wajahnya dengan pelan, dia duduk di sebelahku sambil membawa 2 buah cangkir coklat hangat.
"Benar kau ingin tau?" Pelan Felita. Aku mengangguk dengan cepat, menadakan aku ingin segera tau.

"Dia luka-luka, karena ingin mendapat kata maaf darimu. Ia meminta Dedy memukulinya hingga ia hampir mati, tapi aku tau tadinya Dedy menolak, tapi kepaksaan Skandar memang tak bisa dilawan"

Kata Felita berat hati. Aku dengan ekspresi tak jelas dan kesal. Mengapa harus dia minta maaf sampai segitunya?! Bilang saja maaf, oh ya baru ingat aku menolak maafnya.
"Dia ingin sekali di maafkan olehmu, dia tak butuh orang lain selain dirimu. Pengorbanan besar kalian lalui bersama, cinta di antara kalian sudah mulai tumbuh. Aku harapkan saja, ia menyadarimu" semangat Felita kepadaku.
Memang ya, kita hampir semua di lalui bersama-sama, orang tuaku juga menyukai Skan. Orangnya satun, tak kenal kasar sekalipun pada orang lain. Aku pun mengepalkan tangaku dan melepaskan kepalan itu lagi dan dengan semangat tidur agar besok dapat kuliah, dan bertemu Skan lagi dengan wajah tertawa bersinarnya, setiap hari.


Bab 9
Dia Menyatakannya pada Gadis itu


Pagi aku bersiap-siap kuliah. Akhirnya sebentar lagi liburan natal. Sudah 2 minggu lewat dari kita bertengkar babak belur itu. Tak sabar juga sebentar lagi ulang tahunku yang 19. Skan dan aku beda 1 tahun, tapi ya tau sendiri.

Hari ini tanggal 20, ulang tahunku besok. Tak sabar, bisa merayakan bersama teman-teman dan Skan. Ketika aku ingin berangkat, Skan sudah di bawah sambil melambaikan tangannya. Bersiap untuk kuliah di hari sebelum natal. Pak Suryo dengan lantang ya membicarakan kabar-kabar pagi bersama kami, sehingga perjalanan tak terasa membosankan. Pergi ke kampus untuk hari ini, aku mengharapakan yang terindah! Apalagi besok, tapi apa Skan mengingat ulang tahunku?

Di kampus seperti biasa, melambaikan tangan dan ke kelas jurusan. Aku bertemu dengan Hans yang sedang asiknya memotret daun di halaman menuju kelasku. "Pagi" sambil melihat di lensa kamera, dia bisa menyadari aku lewat di sampingnya. "Pagi, bisa tau gitu? Matanya ada berapa?" Tanyaku sedikit menyeletuk, dia tertawa. Tapi terus memfokuskan diri ke lensa kamera. Aku melihat ia, dan mendekat, hingga aku bisa dekat dan melihat bersamanya.
"Kau tertarik bunga?" Katanya sedikit memutar kameranya. Aku mengangguk pelan, bunga memang indah. Seakan indah namun rapuh ketika sudah sedikit layu.
Aku pergi meninggalkan sambil melambai padanya, sekarang saatnya memfokuskan diri ke kuliah di kelas.

Memang kuliah sebagai model memang sedikit cekcok, tapi itulah jalan yang harus aku tempuh demi cita-citaku yang gemilang.
Aku bercita-cita menjadi model, dan Skan fotograferku. Indahnya kalau terbayang seperti itu, tetapi sepertinya tidak akan terjadi. Skan telah menyukai Sasha, teman satu jurusannya yang kebetulan juga menyukainya. Aku bersama Hans seperti biasa-biasa saja, dan sering kali aku bertanya apa mereka dekat.
Mereka berdua memang dekat, berdua adalah salah satu murid terbaik, dan sama-sama memiliki cita-cita yang sama. Aku tak pantas, bersama orang seperti Skan. Ia terlalu sempurna untukku.
Jam kuliah membosankan, aku mengeluarkan sebuah catatan kecil, bukan catatan sih tapi, sebuah kamera digital. Kecil sih, Skan tak tau aku membawa benda ini, jika ia tau ia akan memakainya terus menerus, walaupun kameranya lebih bagus. Tetap memakai miliku, alasan? Banyak.
Jam istirahat, aku keluar dan menuju taman belakang, tempatnya dingin dan sejuk, sering aku ke sini untuk sekedar menidurkan dan menyejukkan kepala.

Melihat suasana anak-anak lain, dengan kerja sama dan keanehannya. Tapi kali ini ada yang berbeda dari taman belakang. Aku berjalan seperti biasa dengan bekalku yang tadi pagi belum sempat aku gigit.
Aku ke taman belakang, berjalan santai.
Melihat bayangan orang, sepertinya ada orang lain yang sering ke sini.
Ku lihat, memakai baju putih, sedang berjongkok. Skan! Seruku, saat akan menemuinya ke girangan, aku berhenti di balik pagar, dia sedang memotret, sepertinya bunga. Karena bunga di sini bagus dan indah-indah. Tetapi perkiraanku salah, bukan bunga yang ia potret. Melainkan seorang gadis, berambut hitam terurai. Ia sedang memegang bunga-bunga. Senyum bahagia Skan terlihat, ia sepertinya sangat menikmatinya, perempuan itu.. Sasha.
Aku menahan rasa kejutku, dan perlahan mundur, meninggalkan mereka.

Entah, aku terdiam. Aku kembali ke ruang kuliah dan makan di sana dengan beberapa murid lain di kelas. Aku memakan dengan mengigit perlahan, memperlama gigitanku.
Teman-temanku memandang aku aneh, mereka memasang wajah kasihan dan sedih, banyak bertanya "kau tidak apa-apa?"
Aku terdiam dan tetap melahap makanan ku dengan perlahan. Aku menahan air mata yang turun tetes demi tetes.
Aku menangis, kenapa? Sedih sekali sakit rasanya.

Pulang kuliah, aku tak ikut Pak Suryo.
Aku jalan kaki, menyusuri kota Jogja sebelum pulang ke rumah.
Aku menyusuri, sendirian. Dengan kamera digital di tangan. Memori Jogja aku kenang, sendirian..
Tangisan air mata aku pendam, ponselku bergetar-getar tak hentinya. Aku melihat di sana, berdiri seseorang, tak sendiri.
Dia bersama seorang perempuan, Sasha.
Pasti Skan, aku melihat tawa kameranya bersinar. Dia sedang tertawa bersama Sasha, aku lihat, bergandengan tangan?

Aku dengan lancang menutupi wajahku dengan buku kuliah, agar tidak di ketahui keberadaanku. Aku berjalan melewati mereka, aku mengintip, mereka berada di sebuah kafe, aku ikut masuk untuk membeli cemilan saja.
Saat aku melirik ke arahnya dan melihat mereka berdua duduk menunjukkan hasil foto mereka. Tawa mereka berdua bersinar sekali, sampai aku belum pernah melihat ekspresi itu di wajah Skan.

Aku meninggalkan mereka tanpa sepengetahuan Skan dan Sasha.
Telefonku terus bergetar, lupa atau malas aku mengangkatnya. Dan pasti bukan Skan yang menelponku.

Sementara itu..

Felita,Dedy, dan Mei sibuk bergantian menelpon Nayla yang hilang sejak pulang kuliah tadi. Felita yang berkali-kali menelpon adenya tersayang itu tak kunjung di angkat.
Sudah sangat larut, dia belum kunjung kembali. Apakah entah hilang, bersedih, menyendiri?
Mereka tidak tau.
"Mei, Dedy! Hubungi Skandar segera!"

Teriak Felita panik, dia sepertinya ingin tau, apakah Nayla bersama Skandar?
Skandar sedang berada di tengah alun-alun kota Yogyakarta, bersama seorang perempuan Sasha. Tiba-tiba, telefon yang di kantong celananya bergetar.
"Permisi, Skandar!"
Skandar menjawab telefon itu dengan nada datar.
"Iya? Ada apa Dy?" Tanya ia biasa.
"Nayla belum kunjung pulang! Apakah dia bersamamu?"
Ekspresi wajah Skandar langsung berubah saat itu juga. Dia langsung lupa tujuan awalnya,pikiran dia langsung penuh dengan Nayla. Dia melupakan gadis yang ada di sebelahnya sekarang. Benar-benar lupa, ia selalu mengutarakan sahabatnya yang satu ini terlebih, hingga ia mempertaruhkan nyawanya demi sahabatnya ini.

Telefon masih di telinganya, tangan yang semula menggenggam gadis itu, terlepas.
"Skan, anda mau kemana?"
"Maaf, aku ada urusan secara tiba-tiba. Maafkan aku Sha, kutinggal dulu"
Sasha? Dia seperti hanya di sukainya, tapi apakah mencintainya?
Skandar dengan kilat naik taksi yang ada, sambil menelpon.
"Dy! Aku tau dia dimana kayaknya"
Dengan kilat ia menuju tempat bersejarah, mungkin kalian tau?
Dengan langsung menutup telefon yang ia tempel di telingannya. Dan segera tanpa menunggu apa-apa lagi.

----------

Aku bertempat di Prambanan sekarang. Tempat ini cukup ramai, karena sedang berlanjut pertunjukkan penari yang tidak kalah menariknya dengan tarian modern sekarang. Aku mengangkat kamera digitalku dan memotret segala golekkan penari yang bersinar di atas panggung di malam sunyi. Aku tidak mementingkan telefon yang bergetar di kantongku saat ini. Setelah pertunjukkan selesai, aku duduk di dekat candi yang di sinari lampu. Aku memandang langit, dan melihat jam tanganku, jam 10 sudah ternyata. Tidak peduli aku pada sahabatku, terutama Skan. Aku sama sekali membuang ingin, hanya ingin membuang.
Tetapi, aku melihat langit dan memohon pada yang di atas
"Aku ingin membuang rasa ini, terutama. Karena cinta sahabat tak ada yang berakhir baik"
Aku menunduk dan menangis, air mata ini hanya sedikit. Tapi hati aku hancur, Skan sudah ada di genggaman Sasha sih. Tapi ya sudahlah, aku juga akan melupakan Skan.

"Kamu nangis gitu, di sini. Aku salah apa Nay? Aku salah terus di matamu? Mungkin saja.. Ah lupakan!"
Skan memelukku dari belakang dan seakan aku sangat sakit, ingin jatuh ke pelukkannya sekarang. Tetapi aku dengan sigap melepas pelukkannya dan mendorongnya pergi menjauh dariku. Ekspresi wajah Skan yang seperti terlarut dalam kejutan dan kesedihan muncul.
Ia kemudian berdiri dan mengejarku yang berjalan menjauh darinya karena kesal. Dia berhasil menggenggam tangaku
"Kamu kenapa sih? Jauhin aku? Kita udah baikan iya kan?"
Aku menunduk dan mempersiapkan kata-kataku, aku memasang wajah sebal dan kesal. Tapi sebenarnya yang kurasakan..

"Kau! Hah!? Kau kira baikan hanya begitu?! Sekarang kau buat aku sakit! Makasih ya! Selama ini mau jadi sahabatku! Mulai hari ini, aku akan melupakanmu! Ingat! MELUPAKANMU!"
Termakan cemburu dan sedih, aku relanya melepas Skan dariku. Sungguh menyesalkan namun nanti kalau aku mengatakan yang sebenarnya. Dia akan menjauhiku, lebih baik aku dan menjauhi dia. Akan lebih baik, akhirnya aku tak jujur pada diriku sendiri.
Skan tidak terima aku mengatakan itu, dia terus menggenggam tangaku erat.
"Aku salah apa emangnya!? Padahal aku.. Sudah mengatakan semuanya padamu!"
Skan benar tak ingin aku menjauh darinya, kenapa begitu mengikatku? Padahal aku bukan siapa-siapa.
Aku menunduk dan melihat kakiku yang mulai berkeringat, aku meneteskan air mataku lagi. Kali ini Skan menarikku dan memelukku erat. Aku mengelak, dan mencoba melepaskan diriku dari pelukkannya yang ingin sekali kurasakan. Tapi Skan malah, menarikku menuju taksi dan mendorongku. Kemudian menyuruhnya jalan ke tempat kost.

Aku benci kamu Skan, apa tak ada kata lain untuk aku ini? Tak ada apapun aku di matamu selain sahabat?
Setelah sampai, Felita, Mei, Dedy memelukku erat. Aku memasang wajah menyedihkan. Felita melihat itu, dan segera ia mendorongku dan berjalan menuju Skan yang terpaku bengong.

"Aku kecewa padamu Skandar. Sangat kecewa, sedih banget aku, sahabatmu! Lihat! Dia itu menaruh hati padamu tau!"

Felita lantangnya mengatakan hal itu, di depan teman-temanku. Skan, wajahnya kaku badannya juga kaku.
Tetapi kemudian ia menundukkan kepala kepada Felita yang marah-marah, ia menunduk? Berarti ada yang salah?!

Skan membangkitkan kepalanya dan menatapku, tak memperdulikan siapa saja yang melihat di sana,
"Nay, bisakah dirimu.. Jujur padaku? Apa dirimu ini, menyukai ku?"

Pertanyaan sia-sia takan ku jawab, tetapi sayangnya. Ku jawab pertanyaan itu dengan jujur. Tetapi tak secara langsung, selalu ada sesuatu yang menutupinya.
"Kalau misalnya iya bagaimana?" Tanyaku sambil menahan air mata yang masih terus mengalir tak henti.

"Tak apa, tapi maafkan aku. Karena bertepuk sebelah tangan, aku sudah menyatakan cinta pada Sasha tadi saat pagi. Jadi.."
Dadaku sesak, aku terjatuh ke tanah hingga membuat teman-teman panik melihat aksiku.
Menggelengkan kepala perlahan aku menahan nafas, menutup mata dan menangis tak henti.
Skan melihat aksiku yang kelebihan, ia menghampiriku dan mungkin berharap sesuatu. Aku tak peduli pada dirinya, dia bukan sahabatku lagi! Bukan!


Bab 10
Hadiah Terakhir


Aku mengelak akan Skan menyentuh tubuhku setitik apapun, rasa di sentuh olehnya saja sudah panas dan menyengat kesakitan. Aku bangun dari sungkuranku dan membalikkan tubuhku ke arah berlawanan dari Skan.
"Nay.." Panggil lirih sang pangeran yang hanya impian belaka.
Aku membalikkan tubuhku lagi ke arahnya dengan wajah senyum terpancar dari wajahku yang masih berbekas dan terus mengalir air mata.
Senyum matahariku untuknya, ia menundukkan kepala dan menghela nafas.
Dia berusaha memelukku tetapi aku mendorongnya hingga ia hampir terjatuh.

"Ini terakhir kali kamu akan melihat aku tersenyum. Aku akan melupakan dirimu sampai ajal"
Tak kusangka aku berbicara demikian kasar, kasihan Skan, aku bentak hingga ia membenciku juga.
Tapi cara untuk melupakan perjalanan selama kami berdua SMA berakhir di sini, aku dan Skan, resmi tak saling kenal mulai hari ini. Tetapi Skan terus menerus mencoba memeluk tubuhku yang menggigil karena dinginnya sedih dalam hatiku.
Tetapi aku berpura-pura kuat akan hal ini. Dan akhirnya aku meninggalkan Skan, dan menarik lengan Felita untuk menemaniku ke kamar.

Di Luar..

"Kau kurang ajar! Skandar kau tau apa yang barusan kau lakukan?!"
Dedy berteriak menghadap Skandar.
Skandar dengan wajah tak terima berusaha naik ke lantai dua rumah itu.
Skandar di hentikan oleh Mei yang hampir menangis.
Wajah Mei mengatakan 'kau dilarang untuk bertemu dengan Nayla'

Pengecewaan menyedihkan menyelimuti Skandar. Sahabat satu-satunya sekaang benar-benar hilang dari tangannya, sementara teman-temannya melarang ia mendekati Nayla lagi.
Dia menunduk dan pergi ke atas untuk ke kamarnya, Dedy menyuruh Mei tidur agar besok baik.
Dedy menyusul Skandar yang akan ke kamarnya, dengan menghampiri temannya yang putus asa itu Dedy berkata,
"Skandar, jangan sedih. Jalankan hidupmu dengan baik, meski dia tak berada di sana melihat tawamu lagi. Sekarang kau sudah ada Sasha harusnya kau tidak sesakit ini. Apa yang sebenarnya kau rasakan, harus kau sampaikan ya! Semangat Skandar ini hanya cobaan"

Skandar melihat ke arah Dedy dan tersenyum masam tak jelas. Hatinya hancur entah mengapa. Kehilangan Nayla merupakan hal. Tersakiti yang pernah ia alami, sekarang.
Ia kemudian naik ke lantai dan berhenti di depan kamar sahabatnya itu, ia menuduk ke arah kedua kakinya. Berkeringat dingin, dan kemudian ia membuka pintu kamarnya dan jalan masuk ke dalam.

Dedy melihat pintu kamarnya terbuka, kemudian ia masuk, tetapi terdorong kembali ke luar karena melihat Skandar membawa satu kotak kamera SLR baru yang masih tersegel.
Kemudian ia memberikannya pada Dedy dengan berkata
"Dy, tolong sampaikan hadiah ini pada Nay. Aku memohon agar besok ia tak sedih ketika mendapat ucapan ulang tahun, mungkin ini hadiah terakhr dan ucapan terakhir yang akan ia ingat dariku sejak 2 tahun terakhir, tolong ya Dy"
Lirih Skandar pelan sambil memberikan kotak itu.

Keesokan harinya, mungkin akan menjadi hadiah terakhir dan ingatan terakhir.
Skan, Im sorry...


Bab 11
Membunuh Dari Dalam


Hari pagi menjelang, buta sepertinya. Hari kalender tanggal 21 Desember, ulang tahun seseorang, sepertinya.
Sinar matahari belum muncul, ku lirik Felita masih tertidur dengan bantalnya. Ku sedikit terkikik melihat ia tidur begitu damai, dan aku sendiri menyadari hari spesial hari ini untukku. Aku masih berbau bangun tidur dengan memakai piyama aku keluar kamarku menuju ke taman, di sana lampu masih menyala, mungkin belum bangun karena memang hari ini hari libur.
Ke taman aku terhenti, melihat seseorang duduk di kursi taman, dengan menggenggam sesuatu di tangannya.
Sepertinya terpenuhi bagian depan tubuhnya oleh benda berbentuk kotak itu. Ia melirik ke arahku dengan wajah sedikit ceria. Ia kemudian bangkit dan memberikan kotak itu,
"La, ini dari Skandar. Tolong di terima, ia memberikannya seluruh untukmu, dia mengucapkan selamat ulang tahun untukmu. Hari ini, maksudku pagi tadi. Ia pergi keluar kota dan sudah izin akan pindah kuliah mulai semester depan. Tolong ya La, maafin dia"

Dedy memberikan kotak kamera SLR itu kepadaku, dan meninggalkanku terpaku dengan wajah terkejut terdiam. Skan? Pergi?
Aku berlari menghampiri Dedy dengan SLR itu di tangan dan membalikkan tubuhnya yang membungkuk karena sedih.
Wajah Dedy terkejut dan segera menegakkan tubuhnya dan melihat ke arahku,
"Ada apa? Apa yang kau ingin katakan?"
Aku pun menaruh kotak itu di atas rerumputan dan kembali berdiri menghadap Dedy.
"Skan, sudah pergi ya?"
Ia terkejut mendengar pertanyaanku yang aneh, mungkin pikirnya aku benar-benar membenci Skan, namun aku tidak sepenuhnya. Ia mengeluarkan telefonnya dan segera mengetik dan menelpon seseorang.
Setelah tersambung, ia memberikannya langsung padaku tanpa berkata apa-apa lagi.
"Ini telefon untuk menjawab pertanyaanmu"

Aku pun mengambil berat telefon itu dari tangan Dedy.
"H..h.a..a..ll..o?"
Suaraku tersedak entah mengapa, aku mendengar di sana sepi tak seperti biasanya.
Mungkin karena masih pagi, tapi jika benar ia pergi tak mungkin seperti ini.
"Iya, apa Nay?"
Suara itu, tidak mungkin perkiraanku benar, Skan berada di sebrang sana.
Aku terdiam sejenak dan segera menjawab panggilan itu
"Kau bodoh! Kenapa kau tinggalkan aku?!"
Aku berteriak marah di telefon itu, Dedy duduk di kursi taman dengan menelentangkan tubuhnya yang mulai melemas.
"Aku, aku, tak punya alasan lagi. Aku pergi karena kau akan melupakan aku, dan aku juga di panggil Sasha untuk bertemu orang tuanya di Makasar"
Oh, Sasha kah? Ternyata benar aku toleransi bukan di buat lebih baik, malah di buat terbuang. Aku terdiam sejenak, tau aku salah tingkah.
"Nay? Oh ya, selamat ulang tahun ya, maaf kali ini.."
Ku tekan tombol merah dan terjatuh ke tanah, Dedy mendengar itu dan ia langsung datang menghampiriku. Dengan wajah prihatin, ia membantuku berdiri dan memelukku erat. Ia mengetahui situasiku, ia juga mungkin mengerti hatiku sakit lagi.

Kemudian pintu ruang bawah terbuka, terlihat Mei keluar. Ia melihat kami di taman, dan dan ia segera menghampiri kami dan mengolok keras. "Dedy suka Nayla!" Berkali-kali.
Memang sedikit menghibur, tetapi aku kembali menatap kedua kakiku, melihat sandal yang ku pakai. Kemudian datang bayangan mendekat, Mei datang berjongkok melihat wajahku.
"Nayla, kamu tau kan maksud aku melihatmu begini?" Kata Mei pelan.
Aku menggelengkan kepalaku pelan, tenaga seakan tak ada lagi yang tersisa untuk berkata-kata, ataupun bergerak.
Aku sudah tau sepertinya hal ini akan terjadi, apa mungkin sampai menikah ya nanti?
Aku tidak tau, hanya yang di atas yang tau segala hal, kemudian aku berjongkok, membenamkan wajahku ke dalam kedua tanganku. Lama-lama mulai basah tanganku kebanjiran air mata yang tak tau hentinya kapan. Ketika itu juga Mei memelukku erat, dengan Dedy yang berdiri di sampingnya dan memalingkan wajah ke arah lain.

Aku menangis tak tertahankan, entah mengapa, untuk apa aku menangis untuk cinta buta tak tebalaskan ini?


Bab 12
Sendirian..


Beberapa tahun kemudian, aku lulus kuliah di Yogyakarta bersama Hans sebagai orang dari jurusan lain yang ku kenal. Aku melihat teman-teman di bagikan hasil kelulusan dengan wajah gemilang, aku sendiri hanya tersenyum buta, tak ada rasa menyenangkan di 5 tahun terakhir kuliah. Aku masuk berdua, lulus sendirian. Aku melihat langit juga setelah keluar dari ruang diorama besar di kampus itu, kulihat langit lekat-lekat seakan sesuatu yang ku lihat itu melekuk.
Hembusan angin kencang menyertakanku ke taman di belakang kampus, tempat yang biasa aku makan siang dulu bersamanya. Sesaat aku tersenyum di tengah bayang-bayang masa lalu itu, tetapi muram karena kejadian itu.
5 tahun lalu, suram menyelimutiku, sebelum semester 1 berakhir, ia meninggalkanku sendirian karena kekasih barunya itu, dan tanggal ulang tahunku sebagai hasil buruk kejadian itu. Aku membungkuk dan mencoba tenang, ketika itu Felita datang menghampiriku.
Kalian taukah? Felita sudah lulus dan memilih mengajar disini hingga mendapat pekerjaan lebih lanjut, ia senang mengajar dan juga ia sangat pintar sehingga ia mudah di terima di kempus mana saja.
"De, ayo kita pergi. Ada tempat yang cocok untuk memulai karirmu sebagai model"
Felita membantuku berdiri dan menggandeng tangaku hingga aku berjalan menuju mobil yang ia bawa, di sana hanya aku dan dia naik mobil. Kalian tau? Mei dan Dedy pindah tempat kost, entah karen apa, jadi hanya aku dan Felita yang tersisa hingga 5 tahun terakhir ini. Ia mengajakku ke sebuah perusaahan majalah, dan majalah itu cukup terkenal. Felita mengajakku untuk bertemu agent yang kebetulan adalah temannya, Felita memiliki banyak teman luar yang sukses, sehingga kebanyakan aktifitas dapat ia bantu dengan bantuan teman-temannya.

Aku di daftarkan sebagai model di sana, audisi harus aku ikuti. Banyak hal dan prosedur yang harus aku lakukan sebagai model. Aku menatap keluar, melihat lensa kamera kosong. Aku berekpresi sekuat tenaga, walau aku lulus audisi namun diriku tak lulus dari audisi itu, mengertikan maksudku?
Dilema selama 5 tahun terakhir membuat diriku suram dan tak berperasaan. Hampir hari-hariku di penuhi kesuraman dan senyum palsu di wajah. Setiap hari-hariku terasa diam dan suram, aku terasa seakan banyak hal yang terbentur-bentur di kepalaku. Seakan aku mendapat serangan batin, tetapi sepertinya tidak.
Bukan sedang terserang, tapi penyakit ini memang sudah lama aku derita. Skan, kabarmu 5 tahun terakhir, memang tak kudengar, hanya terakhir kudengar suara lembut rintihmu, pagi subuh itu. Telefon kumatikan paksa, tak terasa itu sudah lama dan menyakitkan sekali ketika aku mengingatnya.

Lamunanku! Memakan waktu banyak, Felita dan temannya mengajakku makan siang, aku makan seperti orang biasa saja, ketika itu Felita mengajakku berbicara.
"De, ikut aku ke kamar mandi sebentar yuk"
Aku pun hanya mengangguk lemas, apa yang akan Felita katakan padaku?
Aku melihat kaca kamar mandi itu yang bening, dan terpantul bayanganku dan Felita yang sedang memperbaiki riasan wajahnya.
Aku menengok ke arah Felita, dan ia memulai pembicaraan
"Kenapa, De?"
Pertanyaan? Bukannya aku yang harusnya bertanya? Aku memalingkan wajah perlahan dan terdiam tak menjawab satu patah katapun.
"Kamu kenapa? Jawablah"
Aku tetap terdiam, dan mengepalkan tangaku di atas wastafel berkeramik putih itu.
"Kamu kenapa?! Jawablah sekarang pertanyaanku! Masa harus aku paksa kamu?"
Felita memegang kedua bahuku sedikit keras, mau tak mau aku jawab.
"Fel, maafkan aku. Aku tak tau! Skan! Skan kembali terus di ingatanku! Ia tak bisa hilang!"
Kemudian Felita memalingkan sedikit wajahnya dan menatapku lagi dengan mata yang bersinar karena tangis. Aku menatap wajah Felita dengan pelan kemudian menutup mataku, air mata hangat keluar dari mataku, sudah lama aku tak menangis karena Skan lagi, aku kesepian tanpa Skan di sampingku.

Setelah itu, Felita kembali mengajakku keluar. Dan meninggalkan temannya, dan meminta hasil konfirmasi model itu beberapa minggu lagi. Felita menaiki mobilnya dan kami pergi ke kostan, Felita memintaku untuk mengepak tasku dan paspor?
Mengapa kepergian tidak di ketahui secara tiba-tiba setelah kelulusan ini?
Mobilnya ia parkirkan di kostan dan memanggil taksi ke bandara Yogyakarta, Adi Sucipto.
Aku memandang keluar jendela bandara dengan tas koperku. Sudah 5 tahun terakhir kali aku berdiri di sini, berdua dengan seseorang memegang kamera hitam dan memotretku yang sedang berkali-kali menutupi dengan kamera digitalku itu.

Sekarang bersama Felita pergi ke suatu tempat, wajahku tak memandang tujuan pesawat itu, hanya memdengarnya dan tak memperdulikannya sedikitpun. Pesawat sedikit lama, melihat keluar jendela pesawat seakan mati.
Sampai di tujuan, masih saja aku tidak memeperhatikan keberadaanku sekarang.


Bab 13
Kupikir Diriku Benar..


Bandara pengumuman berdenting-denting di telingaku. Melihat sekitar menyadari aku berada di bandara asing, kemudian Felita menarikku dengan tangannya, pelan kami dekati taksi. Kami naik dan dan aku memang terdiam. Sampai di hotel, baru aku sadari saat meninggalkan tasku di dekat Felita yang sedang mengatur penginapan kami, aku pergi ke kolam renang, dan melihat seseorang sedang berjongkok di sana.
Memegang kamera SLR hitam dengan tali yang mengalungkan di lehernya. Hanya dari kejauhan aku melihat itu, dan wajahnya tak terlihat, hanya dari belakang aku melihatnya, terpaku lama berdiri, Felita kemudian menarik tanganku.
"De! Kamar kita ay.."
Felita terhenti, melihat seseorang berdiri di sana. Kemudian ia melepaskan genggaman tangku dan berlari kesana, menghampiri seseorang yang asik bermain kamera itu.
Mereka berbincang sebentar, dan kemudian Felita memasang wajah senang berair mata. Ia masih membelakangiku dan kemudian menarik nafas dan membalikkan tubuhnya ke arahku.

Aku membuka wajah lebar, ia melihatku terkejut, dan matanya sedikit berair. Ia berlari lalu memelukku erat, membisikan kata-kata,
"Nay, masih kah kau ingat aku?"

Oh air mata tak karuan turun dari mataku, Apakah dari sini bisa aku sampaikan yang sebenarnya?
Penyesalan hingga 5 tahun terakhir benar-benar memakanku hidup-hidup. Sekarang, orang yang benar-benar kusesali ada di depanku, memeluku erat seakan tak lama bertemu. Air matanya juga turun seiring nafasnya yang sedikit tersendat, aku pun juga membalas pelukkannya yang erat.
"Nay kamu masih ingat? Atau sudah lupa? Aku melarikan diri mencoba melupakan dirimu! Tetapi, sepertinya aku tak bisa"
Ia berkata dengan mata masih berair mata, aku tak tau harus menjawab apa.

Aku menggeleng sambil tersenyum, lalu aku memeluknya dengan erat lagi. Benar-benar aku merindukan punggung tegak, yang 5 tahun aku rindukan.
Felita di sampingku tertawa terkikik, ada sesuatu yang ia rindukan juga. Skan dan aku menatap Felita yang mulai mengeluarkan kamera SLR yang 5 tahun lalu Skan berikan padaku. Dan memberikan kepadaku benda itu, ia melambaikan tangan dan memberi sinyal kalau sudah ke lantai 5 hotel itu.
"Nay, kamu udah.."
Aku menyendat mulutnya dengan senyuman bersinar, dan mengangguk. Aku tau apa yang ia ingin katakan, aku sudah memaafkanya lama, dan aku akan menyesal jika tidak memaafkannya.

Membungkuk kemudian, aku mengeker dan memusatkan pada sebuah pohon dekat kolam. Skan datang di dekat ku, ikut berbungkuk dan memberikanku arahan. Lama sekali kami tidak berdua seperti ini, tertawa, tersenyum, sedikit ceroboh.
Ketika asik mengutak-atik kameraku, aku menutup mataku, ada pertanyaan yang muncul di kepalaku.

"Skan, dimana Sasha?"

Pertanyaan itu memberhentikan nafas Skan sejenak. Ia memberhentikan aktifitas yang ia lakukan dan berdiri memalingkan wajah dariku sambil memegangi kepalanya. Aku pun menghampiri Skan sambil memasang wajah 'mengapa?'
Ia tersenyum tipis dan menggelengkan kepalanya kepadaku. Aku tau ada sesuatu yang tak beres di sini, Sasha? Mengapa ia tak terlihat?
Aku terus memasang wajah curiga pada Skan yang memalingkan wajah dariku. Sampai akhirnya ia membawaku duduk di kursi santai di dekat kolam renang itu, ia berjongkok dan memasang senyum.
Aku sedikit tertawa dan aneh melihat Skan yang tiba-tiba menyuruhku seperti itu, kemudian ia mengeluarkan SLR ku dan memintanya memotretku di papan larangan kolam.
Aku tak bisa berhenti menahan tawa, pose yang di coba Skan bermacam-macam, dan berusaha tampil seaneh mungkin.
Aku pun memberinya sinyal memasukan kedua tangannya kedalam kantung. Dan tersenyum lebar berseri seperti iklan pepsoden. Ketika itu aku memotretnya dan tertawa tak henti melihat gambarnya.
Skan tersenyum dan giliran aku di suruhnya menggeser duduku, dan ia duduk di sebelahku dengan wajah senyum tipis. Sambil mengambil kamera SLRku ia pun membuatku bersandar pada pundaknya dan 'Ckrik' bunyi kamera itu.
Lihat di layar kecil itu, melihat fotonya yang aneh dan foto kami berdua, melihatnya saja seperti dulu.

Felita datang turun, dan berkata akan menjemputku ke kamar, tetapi Skan mencegah tanganku. Felita dengan senyum sedikit licik membiarkan kami pergi, entah kemana Skan mengajakku.
Ternyata ia mengajakku keliling sekitar monumen Surabaya, banyak tempat-tempat bersejarah yang kami kunjungin hari itu.
Hingga malam menjelang, Skan mengantarku ke hotel. Wajahnya yang tersenyum hangat seakan aku adalah orang terpenting di hidupnya, memang keinginan membayangkan diri sendiri itu buruk, tetapi mau tak mau tak bisa kuhindari fakta gila dalam diri seseorang.
Skan mengulurkan tangannya, membukanya dan adalah sebuah kotak kecil, dan berpesan agar membukannya besok, dan ia memberikan alamat, sepertinya rumahnya agar datang besok. Tak sabar aku bermain ke rumahnya, walau bukan rumah aslinya dulu di Jakarta, dan tentu ia tak melupakan pesan 'kelulusan' ia menyampaikannya dengan foto-foto aneh.

Seharian ini, entah aku berasa bisa janggal. Felita yang asiknya mengganti saluran televisi pun mengalihkan perhatiannya kepadaku yang termenung aneh di depan televisi.

"Kau mengapa? Tidak senang ku ajak ke kampungku?"
Felita mengagetkanku di tengah-tengah termenunganku. "Tidak, Surabaya adalah tempat yang indah. Tetapi, ada sesuatu yang aku janggalkan, mengapa aku bisa bertemu Skan di sini, ini takdir atau hanya kebetulan? Dia tak mungkin di sini, dia kan harusnya bersama Sasha sekarang di Makasar"

Pertanyaan banyak di kepalaku, terlalu banyak malah. Kepalaku serasa mau pecah tau semua pertanyaan yang ingin aku tanyakan itu. Felita mematikan televisi, dan duduk mendekatiku. "Kenapa kau begitu bimbang dan sedih, kamu sudah besar untuk mengetahui sesuatu yang terjadi. Walau orang bisa menutupi itu, pasti kau akan tau. Bertemu Skan percayalah bukan kebetulan, sudah lama sekali aku tak melihat kalian berdua sebahagia tadi di kolam renang, pergi keliling kota, alun-alun, foto bersama"
Aku menggelengkan semua perkataan Felita dan memejamkan mata, ku raih telefonku, liat di sana tertera unknown number.
Ku buka,

From : +6281245451900
To : +6285813243547

Malam, aku ganti nomer. Nih tolong save ya.


SkD

Nomer, ini? Dengan tanda tangan di bawahnya, tak salah lagi!
Felita tersenyum aneh ketika pesan itu masuk di telefonku. Aku segera membalasnya pesan sangat panjang, mungkin akan menghabiskan lumayan banyak untuk sekali kirim.

Kutulis pesan ini

To : Skandar
From : Nayla

Hehe, sudah kusimpan.
Skan, ada yang ingin aku tanyakan padamu,
Sasha? Bagaimana dengannya? Ya jelaskan selama 5 tahun hubungan kalian? Aduh aku pengen tau banget ya?
Oh ya, apa kamu menyembunyikan sesuatu dariku?

Setelah di kirim, entah lama sekali. Sampai larut malam belum di balas, ketika jam menunjuk jam 12, Felita tertidur sudah.
Ketukan pintu kamar hotel membangunkanku dari lamunan tungguku.
Entah siapa yang mengetuk, aku tak berani membuka, ku langkahkan kakiku perlahan, aku membuka pintuku dan...

Skan berdiri di sana dengan jaket coklat, dan sekantung plastik. Aku melihat keadaannya dari atas sampai bawah ujung kaki, yang hanya berlapis sandal jepit itu terlihat jemari kakinya yang kedinginan di pagi subuh ini.
Skan kemudian menarik tanganku dan mengeluarkan tubuhku yang masih terbungkus piyama itu.
Kemudian memintaku menyelipkan kunci kamar dan meninggalkan Felita sendirian.
Dengan hanya sandal hotel dan piyama masih membungkus tubuhku, Skan menarikku ke dalam mobilnya dan mengendarai kendaraan itu dengan cepat, sambil membuka kaca.
Hembusan angin pagi di sertai jalanan yang sepi, membuatnya menjadi indah.
Ku hadapkan wajahku ke arah Skan yang sedang menyetir begitu saja pendangannya melihat lurus ke depan jalan.
Walau masih gelap malam, Skan tetapi sigat menyetir. Aku memulai pembicaraan "mengapa kamu datang menjemputku subuh begini?"
Ia hanya diam, kulihat ia menggigit bibir bagian bawahnya hingga darah terlihat, ia menahan sesuatu?
"Eh.. Mau ngajak kamu aja Nay, ke sebuah tempat" aku menggelengkan kepalaku tak tau lagi apa lagi yang ingin aku katakan padanya.

Saat itu laut berdesir, angin membunyikan rerumput di pasir putih itu. Bau asin segera menyerang hidungku. Kesunyian di sertai bunyi jangkrik yang ramai. Aku dan Skan terdiam sambil duduk di batu dekat bibir pantai.
"Nay.." Suara itu memulai pembicaraan, tapi seperti berat dan enggan berkata yang sebenarnya. Aku menghadapkan wajahku ke wajahnya yang menunduk, aku tau pasti dia akan berkata sesuatu yang menyakitkan. Aku menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya kembali perlahan. Skan juga menarik nafas dalam-dalam, dan mencoba menahan sesuatu karena ia menggigit bibir bawahnya terus-menerus.

Momen hening itu datang menghampiri lagi, aku melihat sekitar dan tak ada siapa pun di sana. Kemudian Skan menggenggam tanganku erat dan menundukkan kepalanya.
Ia menangis? Aku melihat Skan menangis dan menarik tanganku yang di genggamnya, tetapi tak terlepas karena Skan terus menerus menggenggamnya. Aku menundukkan kepalaku juga "Skan, apa yang mau kamu katakan, sampai seperti ini? Apa yang kau sembunyikan lagi dariku?"
Skan terdiam, tak bersuara. Ia kemudian menggelengkan kepalanya "aku tak menyembunyikan apa-apa lagi darimu, kau tau sesuatu tidak? Aku akan mengatakan yang sebenarnya sekarang"
Aku memasang wajah aneh 'kepo' orang bilang jaman sekarang.
"Nay.. Bisa datang besok tidak?"
Aku bertanya, pertanyaan apa itu.
Ia menggelengkan kepalanya, aku mengelak, dan memaksanya jawab.
"Nay aku.. Aku.. Sebenarnya mau menikah Nay.."

Kata-kata apa itu? Jawabannya tak benar kan? Sama sekali tidak benar kan?! Benturan kata-kata itu membuat hati dan kepalaku serasa mau hancur lebur. Aku terdiam dan menundukkan kepalaku, agar Skan tak melihat ekspresi wajahku yang hancur tak jelas. Skan memelukku erat. Aku medoronya hingga jatuh dari tempat ia duduk. Skan bangkit dan melihatku.

Aku terdiam sejenak, menghadapkan diriku pada kejujuran yang akan aku katakan. Aku berdiri dan menghela nafas yang tersendat karena air mata. Berdiri dengan jawaban satu. Menghadapkan kepalaku ke laut pasir putih itu sebagai saksi kejujuranku.

"Aku tak mau kau hilang dari sampingku! Aku kecewa sekarang! Benar kecewa! Aku.. Aku mencintaimu Skan!!!!"

Aku berteriak pengakuan ku, dan kulihat ke arah Skan yang berusaha menahan pelukannya setelah menurunkan tubuhku yang gontai dan lemas di atas pasir putih. Ku tahan air mataku, tetapi tak akan bisa ku tahan. Air mata tangisan sedih sudah berkali-kali tumpah di pundak Skan dan karna Skan. Aku menahan semua perasaanku hingga detik ini, akhirnya memang aku tersakiti, cinta antara sahabat memang tak pernah terjadi di antara kita..

Desiran angin pantai membawaku kembali ke mobilnya. Di dalam mobil terdiam kami berdua, tak ada suara apapun selain suara ac dan mesin kendaran.
Aku di antar sampai pintu kamarku, Aku meminta resepsionis meminjamkan kunci ke dua karena kunciku di dalam kamar dan Felita masih tertidur lelap jam segini.
Aku buka kamar dan masuk perlahan, langkahku terhenti. Skan berbisik pelan, dan ia berjumpa "aku katakan ini hanya sekali, aku ingin kau datang dan ikut denganku ke Makasar besok. Besok akan ku jemput di depan pintu ini dan aku akan mengajak Felia juga, kalau masalah tiket mudah kuurus, jadi, tolong datang akan ada sesuatu yang aku ingin katakan padamu"

Setelah berkata demikian, Skan meninggalkanku, dan membiarkanku sehari tanpanya..
Hari ini rencana akan pergi ke rumah keluarga Felita, tapi terbawa oleh suasana aneh. Kekosonganku akan seseorang itu muncul, tadi pagi, dirinya mengatakan hal itu..
Tak benar kan?

----------

Aku terdorong olehnya hingga jatuh di atas pasir putih itu. Sepertinya ia tak akan datang saat acara itu, aku sudah mengira hal itu akan terjadi. Ekspresinya yang menundukan kepala dan mendorongku seakan tidak terima apa yang akan terjadi. Nayla, sahabatku yang paling kusayangi, harus sakit. Karenaku ia seperti ini, kenapa Tuhan mempertemukan kami lagi kalau akhirnya harus seperti reruntuhan puing-puing ingatan belaka.
Aku bangkit dan melihat wajahnya dan tubuhnya yang meringkuk. Aku naiki lagi batu itu dan memeluknya seerat mungkin, aku tak akan kalah dengannya.
Ia meringkukkan tubuhnya, ia menutup wajahnya dariku. Aku ini tidak peka! Aku mengakui diriku lambat, apa salah aku berkata 'akan menikah'? Sudah 5 tahun aku berpacaran dengan Sasha, tetapi ada kesan hilang dan kesepian setiap kali aku mengingat Nayla. Sahabat yang aku sakiti, sudah berkali-kali aku lukai hati kecilnya itu, mimpi akan dirinya selalu membuatku gila, rindu akan gaya dan tawanya yang bersinar itu.
Sasha memang cantik, tetapi. Kecantikan itu tak secantik hatinya, ia kuat sekali. Dalam argumen sering kali aku kalah dan tak ada keinginan untuk menyerah. Kalau ia salah, ia mengadu pada orang tuanya dan aku disalahkan akan kesalahan yang aku tidak buat.

Namun...

Nayla berbeda, sangat berbeda. Kecantikan bukan ahlinya dia. Ia ahli dalam kebaikan, ia pemaaf, meski aku salah. Ia tak akan ragu mengakui bahwa itu salahnya juga, kami sahabat! Teriaknya selalu ketika aku mengelak. Detik-detik terakhir yang akan aku gunakan padanya hari ini sepertinya tidak akan pernah ada. Sedihnya hatinya sudah terpantul di jendela hatiku, terlihat dirinya tersiksa oleh senyumnya yang manis kian pahit jika diartikan.

Nay kemudian mendorongku jauh, sampai jatuh lagi di atas pasir itu. Aku melihatnya lagi dari bawah yang tubuhnya mulai bangkit berdiri di atas batu itu. Ia bangkit menghadap laut dan berteriak

"Aku tak mau kau hilang dari sampingku! Aku kecewa sekarang! Benar kecewa! Aku.. Aku mencintaimu Skan!!!!"

Teriakkannya membuatku benar-benar kaget. Ia berteriak lantang dan seperti tidak peduli pada sekitar, ia benar jujur. Aku tidak peka, mengapa sekarang aku tersadar baru sekarang! Aku dulu hanya suka pada Sasha, dan tak menyadari cintaku, hanya Nayla seorang!

Sahabatku Nayla, yang kukenal sejak SMP dulu. Ia tak mengenalku, tetapi aku mengenalnya dari temanku. Dulu kelas 3 SMP kami sekelas, hanya sebatas tau nama.
Hingga kelulusan SMP aku melihat dirinya tersenyum cemerlang, aku tau ia tak pintar, tetapi ia lulus dengan nilai baik. Aku melihatnya di atas podium itu terakhir, dan hilang.
SMA, kami bertemu lagi. Dan sekelas saat kelas 2. Wajahnya yang mulai berubah makin cantik, dan kebiasaan anehnya itu memasukan jawaban, makan di luar kelas dengan wajah aneh, dan mengerjakan tugas bersama semuanya!
Aku, aku, tak tau mau berkata apa lagi setelah tau pengakuannya.

Ia jatuh dan terduduk menangis, mau tak mau aku memghampirinya dari depan dan menggendongnya turun ke pasir yang sedikit basah dan lembab itu. Memeluknya lagi, tak mau aku lepaskan pelukan ini tetapi sepertinya harus aku kulepaskan, besok aku kembali ke Makasar, dan ia tak mungkin ikut denganku, Felita akan membenciku mungkin.
Tetapi aku tak peduli itu, aku hanya tak mau di benci oleh sahabatku ini, tetapi sepertinya tidak akan berjalan seperti yang aku ingini.

Nay, sahabatku yang paling aku sayangi selama ini, harus aku lepaskan. Tidak sembarang melepaskan saja, tetapi melepaskan dengan hati sakit, aku egois, egois, egois!!!
Tak rela dan tak ingin, aku meninggalkan dia sendirian di pantai ini dan dengan hati remuk, karna diriku..


Bab 14
Kecelakaan


Hari ini Skan menjemputku di hotel itu, aku datang sendirian di antar Felita dengan mobilnya. Ia tak ikut karena ada acara keluarga. Dengan tas koper dan sepatu fantovel warna putih aku berdiri.

Tiba-tiba taksi terhenti di depanku, keluarlah seseorang dengan jaket coklat dan kamera di kalungkan, Skan. Aku di suruh masuk sementara ia memasukkan koperku ke bagasi di belakang. "Nay, Felita tak ikut ya?" Tanyanya saat mobil itu berjalan. Aku menggelengkan kepalaku "ada acara keluarga dia"
Perjalanan sunyi itu menyelimuti keadaan sekarang. Sampai aku dan Skan bersiap boarding karena waktu sudah singkat, memang terkesan terburu-buru.
Awal ini memang singkat, deruku sedih dalam hati di pesawat. Skan yang terdiam, menundukkan kepalanya, seakan menyedihkan dan bersalah.
Sampai di Makasar, aku bertemu dengan perempuan itu. Perempuan yang aku kesali selama ini, tapi sekarang tak akan bisa ku cegat, sebab. Memang ia yang berhak mendapatkan cinta Skan, bukan diriku.
Dalam diam aku mengikuti merek berdua yang berbincang senang, lupa dengan keberadaanku..

Skandar
"Kesendirian dia membuatku tersesak dalam"

Melihat ke belakang sesekali, senyumannya yang aku ingin lihat tak ada. Saat ini di sampingku berdiri wanita egois yang ingin mendapatkan hatiku, Sasha. Sekian seperti aku membenci Sasha, tetapi tidak. Berkesan hanya biasa. Dalam detukan jantungku yang berdetak pelan, aku membayangkan pepatah siang hari itu yang ku baca dulu.

Ingat hari itu, aku bolos sekolah menjenguk sahabatku, Nayla. Aku duduk di atas karpet putihnya yang lembut itu dan bau kamarnya yang berbau boneka.

Bisakah dirimu menjawab isi kepalaku?
Bisakah dirimu menjawab balasan isi hatiku? Bisakah dirimu mendampingiku?
Bisakah dirimu mengatakan hal itu?
Dengan momen-momen ini, aku mengabadikannya dengan penuh perasaan

Pepatah itu, seperti terlihat jelas di wajah Nayla. Aku membacakannya dengan penuh semangat lewat ponselku hari itu, dan hari itu juga, aku jatuh sakit karena keegoisanku sendiri, tapi aku hiraukan itu.

- Bisakah dirimu menjawab isi kepalaku?
Pepatah pertama, aku gagal menjawab. Lambannya responku padanya, membuatku tersakiti dan ia juga
- Bisakah dirimu menjawab balasan isi hatiku?
Aku tak tau mau jawab apa, setelah mendengar pengakuanmu
- Bisakah dirimu mendampingiku?
Aku sudah mendampingimu, tetap bukan seperti yang kau inginkan, aku gagal lagi..
- Bisakah dirimu mengatakan hal itu?
Aku tak tau! Sudahalah! Aku lemah dalam masalah cinta, aku.. Aku...
- Degan momen-momen ini aku mengabadikannya dengan penuh perasaan
Aku sepertinya sudah lebih mengabadikannya. Aku gagal terus mengertimu, aku gagal meneruskan pepatah ini..

Maafkan sahabatmu.. Egoisnya diriku..

Sasha, wanita yang hari ini akan ku nikahi, sepertinya aku tak berkeinginan seperti itu. Sekarang terduduk dia dalam mobilku, mengarah ke rumahnya.
Kalian tau sekarang aku menjadi fotografer handal, banyak majalah yang mau mengambilku sebagai pegawainya. Tetapi hal itu belum aku beritahu Nayla, aku berat memberitahunya setelah kejadian kemarin pagi di pantai Surabaya itu.
Sesampai di rumah keluarga Sasha, aku terdiam.

-----------

Di rumah keluarga perempuan itu aku sampai. Skan dengan diam menarik lenganku dan menyuruhku masuk. Sasha dengan ramah menyapaku dan mempersilahkanku masuk, sesekali aku menaikan kepalaku melihat keadaan sekitar. Rumahnya yang besar, halamannya yang luas, dan keadaannya yang mewah membuatku tak bersemangat.
Skan pelan tersenyum menghadap wajah Sasha, cintanya itu.
"Sha, ada kebun tidak?" Tanyaku pelan, ia menunjuk ke arah halaman luas di sebelah kananku "itu La, kenapa? Kalau tanya kolam, ada di sebelah kirinya, belok maksudnya"

Aku mengikuti arahan dia dan meninggalkan dia bersama Skan. Aku melihat kolam dan ada jembatan kayu di atas melintasinya. Aku berdiri di atas jembatan itu sambil melihat bayangan masa lalu di pantulan air. Aku melihat seseorang melihat genangan ini bersama seseorang yang memegang payung. Keduanya tersenyum dan kemudian, ikan melewati air itu, hilang sudah kenangan itu.
Aku terduduk di jembatan itu dan menarik nafas dalam, aku akan kabur dari sini!
Walau sebenarnya aku hanya ingin kembali ke Jogja, menjalani kehidupan biasaku. Memang aku sekarang tinggal di Jogja bersama Felita dan keluarga Mei.

Aku bangkit dan segera berbalik. Melihat ke belakang, dan berdiri dia di sana. Dengan wajah sedikit terpaksa ia mendatangi diriku yang letih dan rapuh ini. "Nay.." Katanya pelan. Ia mengangkat tangannya dan menaruhnya di dadanya, kemudian ia bicara pelan. "Nayla, hari ini aku berjanji akan.." Terhenti, janji apa lagi yang kau akan patahkan Skan? Aku menggelengkan kepalaku dan menunduk kecewa. Skan sepertinya tak tinggal diam, ia menarik lenganku "aku sudah izin pada Sasha, aku mau terakhir kali melakukan hal ini padamu"
Kemudian ia menarikku ke mobilnya dan tancap gas.

Ia membuka kaca dan berada di atas pengunungan Makasar. Pemandangan panorama indah yang aku sedihi. Teringat banyak hal saat melihat panorama ini, kemudian ia memutar balik moblinya dan parkir di pasir putih.

Desiran angin siang laut, dan bunyi burung serta beberapa orang yang berjualan dan berjalan-jalan. Aku melihat ke arah laut dengan mata berkaca-kaca.
Skan yang pelan menggenggam tangaku
"Nay.. Maafkan aku.. Aku tau kamu tidak dapat memaafkan aku kali ini, aku sudah siap akan hal ini. Aku akan mengatakan ini sekali Nay.. Hanya sekali.. Dengar ya.."

Aku menunduk dan memalingkan wajahku darinya dan berharap sesuatu harapan palsu darinya.

"Nay, ingat pepatah lama itu tidak? Pepatah ini

Bisakah dirimu menjawab isi kepalaku?
Bisakah dirimu menjawab balasan isi hatiku? Bisakah dirimu mendampingiku?
Bisakah dirimu mengatakan hal itu?
Dengan momen-momen ini, aku mengabadikannya dengan penuh perasaan

Kalau diingat, momennya waktu itu indah ya, detik-detik pertama yang aku lakukan bersamamu..
Mau tau tidak rahasia? Kenapa tiba-tiba aku mau menjadi orang yang spesial di matamu? Ingat dulu SMP, kita satu sekolah loh, kamu pasti tidak sadar, tapi aku selalu memperhatikan gadis pendiam dan suka berakting serta bermodel macam gaya.
Kau tau anak aneh yang suka memotret di belakang taman waktu itu? Itu aku! Aneh sekali bukan.

Nayla.. Pepatah ini.. Aku katakan padamu jawaban satu,

Aku salah kan kalau mencintaimu?

Mungkin aku terlambat.. Memang sangat terlambat aku baru menyadarinya sekarang. Payah kan aku Nay? Teman-teman tak tau hal ini loh.. Hanya aku bekap dengan diriku dan hatiku.
Cinta pertamaku memang bukan kamu, namun..
Kau cinta terakhirku, aku tersangkut arus desiran keunikan khas wajahmu dan ukiran keindahan lekukan perasaan demi perasaan serta pengorbanan hingga nyawa dan sepenuh hati..

Nay, aku tau aku salah menyukai Sasha.
Sebenarnya hanya suka Sasha, bukan Cinta..

Cintaku..
Sebenarnya adalah dirimu, Nay"

Kata-kata apa itu?! Bohong kan?!
Aku mengangkat wajahku dan melihat ke arah matanya yang mulai berair. Ia melihat ke arahku dengan mata tertutup dan mulai menangis, ia terjatuh di tanah.
Aku melihat sekitar, di lihat banyak orang, tetapi aku dan dirinya tak mementingkan.
Aku memeluknya dan memeluknya tak ingin melepasnya selamanya.

Selepas kata itu, kami berdua balik ke rumah Sasha di atas bukit itu. Menjauh dari pantai tadi, siang yang benar-benar membuat kepala kosong. Aku menatap melihat ke depan, Skan juga.
Jalanan cukup ramai hari itu, dan kebetulan Skan buru-buru karena takut di khawatirkan.

Kecepatannya melebihi batas!
Skan banting setir saat di belokkan tajam!
Kami terbentur bahu jalan dan terpantul ke dinding toko dekat belokkan itu..

Mataku mulai memusing, melihat Skan di sampingku dengan keadaan parah dan kepala mengucur darah. Aku berusaha menggapainya, terdengar suara orang banyak yang berada dekat dengan kami, gapaianku terhenti dan aku pun menutup mata karena berat dan nafasku terasa berat tak kuat menahan beban..


Aku buka mataku, melihat ke keadaan sekitar. Lalu lalang ramai orang, aku lihat ke kanan dan ke kiri. Aku sama sekali tidak melihat Skan?!
Aku bangkit dari tempat tidurku di ruang UGD itu, tetapi beberapa perawat mencegahku. Namun aku mengelak, pasti Skan ada di sini! Aku rasa akan kehadirannya!

Begitu aku berjalan pelan, menyusuri ruang UGD yang terdapat banyak orang lalu lalang. Berhentilah di sebuah tempat yang tertutup horden. Tak ada orang yang berlalu-lalang disekitar situ banyak, ruangan tiu sepi. Aku melangkah pelan, membuka tirai horden biru langit itu, dan terbaringlah. Skan dengan perban dan beberapa plester di wajah dan tangannya. Aku pelan melangkah masuk, menutup horden yang ada. Dan menarik kursi, dan duduk di sampingnya.
Melihat ia disana, terbaring lemas, teringat waktu itu, saat ia sakit.
Aku pelan menggapai tangannya yang sedikit lecet itu, dan menggenggamnya pelan.
Aku membungkukkan wajahku sedikit ke arah jemarinya yang sedikit kaku.

"Skan, salahku kah kamu begini? Sampai Tuhan melakukan cobaan sesulit ini untukmu?"

Aku menunduk dan menggepalkan diriku. Ketika sedang berdiam, Sasha dengan tergesa-gesa masuk ke arah horden tertutup itu. Aku pun di singkirkan oleh kedua orang tuannya dan membiarkan Sasha duduk mengkhawatirkan Skan.
ku melihat di mata Sasha, kekhawatiran yang tidak setulus mata Skan padaku. Pandangan Sasha hanya biasa. Aku pun pelan melangkah keluar, dan memberikan mereka sebuah privasi. Aku duduk di kursi tunggu di luar ruang UGD. Terduduk termangu tak bernyawa, hanya sedikit diriku yang terlihat hidup. Sekarang aku terasa benar-benar menyesali hal sebelum itu, mencampakkannya dan memalingkan wajah saat ia berkata penting itu tadi. Tetapi aku sepertinya tidak terlalu menyesal karena ia sudah ada pendamping hidupnya yang baru ini.
Sepertinya pernikahannya di undur hingga Skan baikkan, hah.. Aku akan mencoba telefon jadwal pesawat ke Yogyakarta lagi.

Telefon yang tersambung mengatakan, kalau jadwal ke Yogyakarta untuk pesawat Garuda akan ada besok sore. Aku akan segera pulang dan melupakan Skan.. Selamanya.
Kecelakaan hari ini membawa kenangan sebutir kata pernyataan, menyedihkan kalau diingat memang. Tapi inilah kenyataan.

Sasha yang keluar bersama orang tuannya menghampiriku, Sasha dengan sedikit cemas. "La, bisa minta tolong jaga Skan tidak? Sampai besok sore?" Tanyanya.
Aku hampir saja menggeleng, tetapi melihat kondisi, lebih baik aku mengangguk walau sedikit terpaksa. Belum aku katakan pada Sasha, kalau besok aku akan pulang ke Yogya.

Langkah berat aku masuki, menemui Skan di tempat ia berbaring sekarang. Malam mulai larut, aku hampir tertidur. Tetapi aku mencoba tetap melihatnya, wajahnya yang sekarang lecet, aku tak memperdulikannya lagi. Aku hanya mengunakan waktu ini sebaik-baiknya, sebelum ia meninggalkan, lebih tepatnya aku meninggalkan dia di sini.
Ku peluk tangannya dan mulai menangis, aku menangis karena hatiku akan terpisahkan dengan miliknya. Aku tak sanggup melepas rantai ikatan kami selama ini. Aku mulai berkata-kata, mudah-mudahan yang di atas. Mendengar doaku

"Aku mohon, aku mohon. Hanya satu yang aku inginkan.. Bukalah matanya dan biarlah ia tersenyum untukku lagi.. Tuhan tolonglah"

Sambil melepas pelukan tanganku dari lengannya itu, aku menulis surat kecil. Aku selipkan di dekat gelas air putih di meja kananku. Berharap ia membacanya..
Mungkin tak terbaca, tapi tolong tersampaikan..

------#------

Pagi hari, aku membuka mata. Sinar matahari tersinar jelas di kaca jendela UGD. Sinar menyinari mataku, dan aku sedikit bangkit dari tidurku menuju posisi duduk. Aku melihat ke arah Skan, dan ia masih tertidur lelap. Aku mendekat, tiba-tiba.
Sasha datang tergesa-gesa lagi, sekali lagi menyingkirkan ku dari tempat ku duduk tadi. "La!!?? Gimana keadaannya?!!??" Tanya Sasha seperti cemas saja, padahal aku lebih cemas darinya, asal tau saja. Aku menggelengkan kepala "ia baik-baik saja. Namun belum ada tanda-tanda sadar" sahutku pelan.
Menjelang siang, aku pamit ke rumah Sasha dan membereskan barang. Di rumah besar iru sekarang hanya ada aku dan Mbo Dresti. Mbo Dresti adalah pembantu keluarga Sasha, ia sudah cukup lama dan berumur bekerja bersama mereka. Aku membereskan barang di bantu olehnya dan ia menyodorkan sebuah kotak lumayan besar.
"Mbo? Ini buat saya?"
Si Mbo, menganggguk "ia Non Nayla. Ini kotak, dari Mas Skandar. Dia itu sering banget cerita sama Mbo kalau lagi foto-foto di rumah. Dia suka cerita tenang Non Nayla lho ketimbang Non Sha. Mas Skandar itu, baik, ia sangat baik juga sama Mbo. Dia itu paling tidak suka memotret orang kecuali kalau kerja, ia juga tak pernah memotret Non Sha, dipaksa sekalipun ia tak lakukan"

Aku menggelengkan kepala, ternyata ia masih ingat denganku. Hingga ia seperti itu, aku terharu.

Ketika selesai beres-beres, aku ke rumah sakit, dan terakhir kali, mengatakan selamat tinggal, untuk Skan.
Kabar menyebar, Skan sadar!
Aku bergegas, tetapi ketika tempat itu di penuhi beberapa perawat dan dokter, aku melihat Sasha menangis. Skan memandang Sasha seperti orang tak dikenalnya. Aku menghampiri Skan dan memeluknya, dan tak memperdulikan siapapun melihat, namun..

"Siapa ya kamu?"

Pelan, sakit, tertusuk, hancur. Skan lupa ingatan? Aku menggelengkan kepala dan melihat Sasha memeluk diriku dari belakang. Aku benar-benar kecewa akan Tuhan, tapi aku sekarang bersyukur karena sudah memberikan Skan kesadaran, semoga saja ia benar-benar melupakanku, walau dengan cara ini, walau dengan sakit hati yang menyedihkan.
Aku mendorong Sasha dan berpamitan dengan Skan dan Sasha, serta orang tuanya.

"Kamu mau kemana La??" Aku menggelengkan "aku pulang, aku tak sanggup di sini lagi"
Sasha yang seperti tidak terima menarik tanganku "kamu tidak kasian terhadap Skan?!"
Aku tersenyum masam ke Sasha "dia sudah ada yang lebih baik daripada orang seperti aku, permisi" melepas tanganku Sasha memandang dengan wajah kaget.
Aku membalikkan tubuhku berjalan menjauh, meninggalkan Skan dalam kesendiriannya sekarang, aku berharap ia sembuh dan melupakanku.
Air mata hangat turun ke pipiku. Aku menangis seiring perjalan ke bandara dan naik pesawat juga. Melihat ke luar jendela, melihat langit yang aku pandang bersamanya, hingga detik kemarin, terakhir kali ia mengatakan "Nay, salahkan aku mencintaimu?"


Bab 15
Malam itu, di Festival Yogyakarta


"Skandar, Skandar!" Teriak Sasha. Skandar perlahan membuka matanya yang berat, kelopaknya terasa berat karena siuman di tengah cahaya sinar sang surya di di jendela kamarnya. "Sasha?" Skandar menggarukkan kepalanya dengan tangannya perlahan. Skan sudah pulang rumah sakit kemarin, kata dokter. Ia mengalami amnesia sementara, tapi kelak ingatannya akan kembali perlahan jika di bantu mengingat. Kecelakaan itu tidak terlalu memfatalkan, jarang sekali yang sampai lupa ingatan.

Skan bangun dari tempat tidurnya dan duduk di tepian. Ia melihat Sasha yang tersenyum lebar menatapnya. Skan tersenyum kecil sambil mengusapkan tangannya ke kepala Sasha yang kebetulan basah. "Kepalamu? Bagaimana?" Sasha khawatir. Skan menggelengkan kepalanya dan mengangkat tinggi dagunya melihat ke langit-langit kamarnya "Sha, ku siap mengingat kembali ingatanku, semuanya" menurunkan kepalanya lagi. Sasha seperti sedikit terdiam, dan menundukkan kepalanya lalu mengangkatnya lagi. "Baiklah, tapi perlahan iya. Aku hanya bisa memberi sebagian besar apa saja yang aku ingat" Skan mengangguk. Lalu ia menatap kembali ke meja di samping tempat tidurnya, ada foto sebuah kota gemerlap, dengan becak dan delman menghias lampu foto di malam itu. Skan mengambil fotonya dan melihatnya perlahan, dan menunjukkannya ke Sasha. "Kita ke sini saja" sambil menunjukkan telunjuknya ke foto itu Skan sedikit senyum kecil terbentuk di wajahnya. Sasha melihat ekspresi wajah Skan yang tersenyum "baiklah! Besok kita akan ke Yogyakarta! Dan melihat kembali ingatan mu"

Sosok seseorang yang akan mereka temui di iringan kota Yogyakarta, membuat seseorang dari mereka mulai mencurigai, dan seorang lagi akan mendekati.

Skan kemudian bangkit dari tempat tidurnya dan melihat ke arah jendela kamarnya. Sinar matahari menyinari kamarnya. Ia tersenyum entah apa yang ia lihat di luar sana.
Sasha bangkit sambil melihat foto kota itu di tangannya "Skan aku keluar dulu" kemudian ia menutup pintu kamar Skan. Sasha berwajah cemas melihat foto itu, foto itu ia ambil dan di keluarkan dari bingkainya. Dan melihat keseluruhan, Skan dengan Nayla berdiri di sana sambil melihat ke arah langit. Bertulis di belakang foto itu "Yogyakarta, with my beloved best friend Nay"
Sasha mengigit bibirnya dan memejamkan matanya. "Aku harus bisa membuat Skan senang, aku tak mau Nayla harus di lupakan oleh Skan, selamanya!"

Masih menatap foto itu, ia memasukkannya kembali ke bingkainya dan menaruhnya di lemari kamarnya dan membukam itu hingga Skan lupa akan sang gadis di foto itu. Usaha ini berhasil?
Sementara di sudut pandang lain, di pulau nan jauh, di daerah remang-remang kota bersejarah. Sang gadis termangu di atas meja kamarnya.

"Nayla!" Seru Felita di ruang lain apartemen mereka. "Apa?" Nayla termangu kusut menatap kosong di depannya. "Suram sekali kamu ini?? Kenapa? Oh, mungkin aku tau" Felita menarik kursi dan duduk di sebelah Nayla yang pucat. Nayla menggelengkan kepalanya dan menutup rapat kepalanya di antara tangannya yang terlipat. Ia menangis. Pelan menyelimuti gerangan apartemen mereka. "Sudahlah, pasti suatu saat. Dia akan ingat" Felita mengusap punggung sahabtnya yang menangis sedirian. Ia tak rela sang sahabat tersakiti terus, maka dari itu, ia akan mencari berita yang dapat membuat senyum sang gadis ini terlihat lagi. Felita melihat ke atap dan berfikir lama, cara apa yang akan ia pakai di sini.

"Pesawat Garuda CV347 tujuan Yogyakarta telah boarding. Di mohon para penumpang menuju ke ruang tunggu keberangkatan"
Hari itu dingin di Yogyakarta, sepertinya menurut ramalan cuaca. Hujan deras. Skan terdiam mengutak-atik kamera di depannya, dan memotret setiap detik lalu-lalang bandara Makasar. Sasha duduk di samping Skan dengan tangan terlipat, ia berharap Skan tidak bertemu dengan Nayla. Menghembus nafas pelan Sasha menggengam tangan Skan. Skan menoleh ke arah Sasha dan tersenyum tipis, Sasha juga membalasnya dengan senyuman. Namun, Skan langsung melanjutkan kegiatan memotretnya. Ia membiarkan sekitarnya dan ia seperti tak mau membuang waktu sedikit pun, dan ia hanya menghayati sang pengambil momen.
Pesawat mereka mendarat di daerah Jogja yang lembab, sebentar lagi hujan lebat. Buru-buru Skan dan Sasha menuju ruang di dalam bandara Adi Sucipto. Menunggu taksi sambil melihat langit yang menghitam. "Skan nanti kita ke alun-alun yuk malam?" Sasha membuka pembicaraan. "Boleh juga" Skan membalas Sasha dan suasana hening lagi, seperti itu hingga taksi datang menjemput mereka ke hotel.
Skan duduk di kursi lobby dengan wajah melihat seisi hotel. Ia seperti tak asing dengan tempat ini.
Sasha sibuk mengurus keperluan di hotel, ia sibuk mengurus di meja resepsionis, sementara Skan berjalan ke lantai kedua hotel itu menaiki tangga mewah tertera. Tertuju, ruang meeting. Ia penasaran, sehingga Skan pun memberanikan diri ke sana.

"Baiklah meeting ini di tutup, selamat beristirahat, dan terima kasih atas kerja samanya Nayla"

Nayla juga menjabat tangan sang direktur majalah modeling itu. Ia pun mengusap keringat, dan perlahan keluar dari ruangan penuh dengan bau jas dan sepatu mahal. Ia menuju balkon di dekat ruangan itu dan melihat ko lobby hotel di bawah. Lalu lalang orang ramai. Ia lelah, sangat. Ia butuh makan siang yang banyak. Menundukkan kepala dan membalikkan kembali tubuhnya yang mulai melemas. Ia menatap seseorang dengan wajah menatap penuh ke lensa sebuah kamera SLR hitam. Ia memfokuskan pada Nayla yang tadi dengan santainya duduk termangu di pinggiran balkon. Nayla menatap lelaki itu perlahan dari ujung kepala sampai ujung kakinya. Sepertinya ia pernah melihat lelaki itu, tapi karena ia sudah lemas dan pandangannya mulai menggelap.

Ia memutuskan untuk mencoba berdiri dan memberi senyuman kepada siapa saja agar tidak ada seorang pun yang curiga akan kondisinya sekarang yang melemahkan. Lelaki itu mendekati Nayla selepas ia menurunkan kameranya untuk dapat memperlihatkan wajahnya kepada Nayla. Nayla sudah tidak bertahan berdiri, namun ia tetap berusaha tersenyum.

"Kamu terlihat pucat? Tidak apa-apa? Maaf aku berusaha memotretmu" senyum lelaki itu dengan cemas. Nayla hanya menggelengkan kepalanya "aku tidak apa..."

----

Skan melepaskan kameranya yang tergantung di lehernya dan melemparnya ke belakang, dengan sigap menangkap wanita muda itu ke dalam tangannya. Wanita itu berwajah pucat dan sepertinya murung. Skan menggendongnya dan meletakkan tubuhnya ke sofa terdekat. Menatap wanita itu sesaat, cukup lama ia memandangnya. Belum sempat ia berfikir, Sasha sudah memanggilnya dari lobby. Skan tidak tega meninggalkan wanita ini, tapi ia tidak dapat memikirkan wanita lain selain Sasha sekarang. Ia pun meninggalkannya dengan berat hati.

"Sepertinya aku mengenalnya, tapi siapa? Kepalaku sakit jika mengingatnya, namun hatiku sakit jika meninggalkannya"

-----

"Nayla! Nayla!"
Suara memanggil namanya.
Nayla membuka matanya, sudah di kursi kendaraan yang melaju. Ia menghadapkan kepalanya ke arah kursi kemudi, Felita!
Rupanya Nayla pingsan saat tadi selesai rapat, ia pun mulai mengusapkan kepalanya. Mengedipakan kedua matanya, dan mencoba mengingat apa yang baru terjadi. Felita berhenti di lampu merah dan memberikan minum ke Nayla. Nayla termangu, ia pun mencoba mengingat suatu hal. Felita kembali melajukan kendaraannya, hingga Nayla tertekan ke dalam kursinya dan sabuk pengamannya.
"Sebenarnya kenapa kamu sampai pingsan? Kemudian, siapa yang menolongmu?" Tanya Felita sambil mengemudikan kendaraan dengan laju yang mulai di kurangi.
Nayla hanya termangu terdiam, ia pun mencoba mengatakan seadanya namun. "Mungkin seorang lelaki yang ku temui di depan ruang rapat tadi. Ia mengarahkan kameranya kepadaku, dia aneh bukan?" Felita mendengarkan Nayla berkata dengan berwajah 'mencoba mengingat'.

Felita menjentikkan jarinya yang lain, dan tersenyum ke depan kaca bening mobil mereka. "Ada lelaki yang mulai tertarik denganmu tuh" seru Felita. Nayla hanya terkekeh lemah, ia mengingat kejadian lusa lalu. Dan menahan senyumannya agar tetap terbentuk di wajahnya. Felita melihat perubahan wajah Nayla.
"Nayla, ke alun alun yuk?? Kamu udah mulai baikkan juga!"
Nayla membelokkan wajahnya dengan segera, dan tersenyum dengan ramahnya "boleh tuh!"

------

Skan menggerang dengan kepalanya yang mulai berisi ingatan. Sasha melihat Skan yang kesakitan dan segera mendatanginya dengan wajah khawatir. "Kamu tidak apa-apa?" Skan menaikkan kepalanya dengan tangan masih menyentuh perban di kepalanya. Ia mengangguk dan langsung bangkit, mengambil kameranya dan berdiri menatap Sasha dengan wajah berseri "sudah malam! Ke alun alun aja yuk? Aku teringat sesuatu" Sasha tersenyum dan mengangguk. 'Semoga yang diingatnya bukan Nayla'
"Tapi.. Baik aku pergi sendirian? Tak apa bukan?" Sahut Skan yang mulai melihat Sasha merapikan tasnya. Sasha menatap Skan dengan wajah cemas pastinya. Kondisi Skan memang belum di bilang baik namun, ini daerahnya. Ia tau apa yang harus ia lakukan. Sasha pun menghela nafas panjang, dan akhirnya membolehkan Skan pergi. Dengan semangat, Skan mengambil sepatunya dan segera mengalungkan kameranya. "Aku akan kembali pagi nanti! Jadi jangan menungguku"
Senyum tipis Skan dan melambaikan tangannya kepada Sasha. Sasha mengusap dadanya dengan pasrah, dan berdoa agar Skan tidak bertemu dengan sang gadis pemaya cintanya 'Nayla'

Keluar lift, ia langsung berlari menuju pintu keluar. Ia tersenyum lebar sekali, sampai ia tidak melihat siapa yang ia tabrak.

BRUK!!?

Skan menabrak seseorang. "Maaf aku tidak sengaja" Skan langsung mengukurkan tangannya dan menarik lelaki yang jatuh itu. Lelaki itu menatap Skan sesaat dan tersenyum lebar sekali, dan langsung memeluknya erat "Hoi Skandar bagaimana kabarmu?! Sudah bahagiakah bersama Sasha? Sudah berbaikkan dengan Nayla?"
Siapa lelaki itu, ia menatap Skan dengan serius.
"Anda siapa? Maaf aku kecelakaan hingga lupa ingatan" lelaki itu terkejut dan melihat perban di kepala Skan, dan ia menghilangkan senyumannya tadi yang terlihat di wajahnya. "Namaku Dedy. Dulu kamu teman satu kostku di Jogja sini. Aku memaklumi kondisimu, dan sepertinya kamu melupakan ingatan lainnya selama kita di Jogja dulu?" Skan mengangguk dengan menundukkan kepalanya. Dedy menepuk pundaknya dan membuanya terangkat wajahnya. "Aku berdoa semoga dirimu kembali seperti dulu, dan nanti akan ku kenalkan Mei lagi. Dia teman satu kost kita juga, serta Felita. Tolong jangan membuatku menebak yang terakhir"

Skan terkekeh dan menepuk pundak Dedy "kau disini acara apa? Kalau mau acara 'pengenalan' aku lagi lagi sibuk. Besok temui aku di sini jam 9. Permisi Dy, aku ke alun-alun dulu" Skan berlari ke pintu dan melambaikan tangan ke Dedy yang termangu kaku. Dedy terkekeh, dan mulai mengusapkan kepalanya. "Setidaknya ia tidak melupakan kegemarannya"
Dedy pun melanjutkan pertemuannya dengan seseorang di hotel itu,

-----

Gemerlap lampu mulai menyala di segala sudut, terangnya membuat semua orang terkagum. Yogyakarta, kota bersejarah yang menarik segala orang mancanegara maupun domestik untuk datang mengagumi keindahannya. Alun-alun, salau satu tujuang terfavorit di sini. Jajanannya membuat segala cita rasa bersama siapapun terjaga, dari dulu hingga sekarang. Istana Sultan masih berdiri dan menjadikan museum yang bermakna, serta aneka batik berasal dari daerah ini. Arak-arakkan becak, delman, sepeda mulai mengeluarkan daya tariknya. Segala musik bermain di sini, musik khas pedalaman jawa yang membuat segalanya terjun dalam kisah sejarah tersendiri.

Nayla duduk di kolam yang terletak tidak jauh dari tengah alun-alun. Ia menatap langit melihat segalanya begitu seperti malam 5 tahun lalu. Ia tersenyum sambil menyantap jajan kue manisnya. Menunggu Felita dari keliling alun-alun memang hal membosankan. Ia memilih untuk duduk agar menenangkan pikirannya. Ingatan akan Skan tak akan pernah luput, jatuh cinta yang masih menyelimuti hatinya yang hancur, membuatnya kadang sesak jika mengingat hal itu.
Langkah terdengar mendekat, seperti ada seseorang yang datang menghampirinya.

Perjalanan panjang menggunakan Trans Jogja, Skan akhirnya tiba di alun-alun. Gemerlapnya, suara berisik orang-orang, keceriaan tawa, musik tradisional. Jajanan di kanan kiri, ia sangat merindukkan tempat ini. Seperti ia pernah teringat menginjakkan kaki di sini, tapi bersama siapa?
Ia berjalan perlahan sambil memotret setiap ujung yang menarik ingatan indah. Hingga ia terhenti di suatu sisi, ia melihat gadis yang tadi ia tolong di hotel, ia pun tersenyum. Ia berlari ke arah gadis itu dengan senyum gemilang?

Nayla terkejut ketika seorang lelaki dengan kamera dan jaket coklatnya terengah-engah ada di depannya. Lelaki itu bangkit dan tersenyum "kamu sudah tidak apa-apa, baguslah" Nayla tertahan nafasnya, ia terkejut. Langsung berdiri dan menjabat tangan lelaki itu "ah terima kasih atas bantuanmu tadi" Skan hanya membalas jabatan tangannya dan tersenyum. "Boleh ku duduk di sini?" Tanyan pelan.
"Silahkan saja, ini tempat umum juga" Skan dan Nayla tertawa pelan. Skan duduk dan mengambil kameranya, menaikkan lensanya ke arah Nayla yang sedang tergirang menatap kuenya.
Nayla menyadari sesuatu, seseorang berusaha memotretnya. Ia membalikkan wajah ke kanan, kebelakang, ke atas, ke depan. Tidak ada, dan ketika kekiri, melihat lelaki itu mencondngkan kepalanya ke arah wajah Nayla. Nayla mendorongkan tangan lelaki itu agar menurunkan tangannya. "Aku memang model, tapi jangan di tempat seperti ini juga. Lagi pula nama anda siapa?" Skan tercekat dan menurunkan kameranya serta kepalanya. Nayla merasakan sesuatu, ia tau wajah siapa itu, tau suara siapa itu, denyut nadi yang ia rasakan ketika menjabat tangannya. Itu pasti..

"Maaf aku mengganggu malammu. Sebenarnya namaku..."

DUAR!!!

Kata-kata Skan terpotong. Mereka berdua memalingkan wajah dan sama-sama menatap langit yang mulai menderang karena lontaran kembang api. Senyuman terukir di kedua wajah mereka. Suaranya begitu kencang. Suara kagum orang-orang yang melihat begitu membisingkan telinga. Namun tak menggangu karena momen ini berharga bagi siapa saja. Skan menaikkan kameranya dan memotret. Gadis misterius yang terkagum menjadi fotonya malam ini. Ia memotret gadis itu dengan perlahan, seperti ia tau, dan pernah memotret sang gadis ini sebelumnya.
Kembang api membawa sesuatu, ingatan!
Teringat malam september 5 tahun lalu, terduduk di tempat persis seperti ini, seorang perempuan muda tersenyum ke arahnya dengan air mata yang berangsur turun ketika ingatan itu berjalan. Ia merasakan sesuatu mulai memenuhi kepalanya. Gadis itu, gadis itu?! Siapakah dia?

-----

Nayla termangu di sana, dan tidak terasa ia merasakan getaran di saku celananya.
"Permisi, saya harus pergi. Terima kasih telah menemani saya" Nayla berlari menjauh dari lelaki itu. Ia merasakannya, merasakan kalau dia benar di sana. Nayla mengusap air matanya dan terus berlari sambil menjawah ponselnya yang berdering.

"Iya halo? Felita? Ada apa? Dedy? Dedy yang.. oh diamau bertemu, di mana?Baiklah, kamu di mana sekarang? Okee, aku akan segera ke sana!"

Perasaan dan pemikiran mereka sama, mereka berfikir pernah bersama.
Sang perempuan muda menangis sambil berlari meninggalkan alun-alun,
Sang lelaki termangu menatap kembang api sambil menggenggap kamera,
Sama-sama berfikir
"Kita pernah kan ke tempat ini, bersama?"


Bab 16
Berita itu


Sejenak aku menarik nafas ketika sampai di mobil Felita.
Lantas itu yang bisa ia fikirkan sekarang. Nayla memandang kaca mobilnya keluar, membayangkan lelaki tadi yang sama kagumnya dengan dirinya. Apa dia itu salah satu yang di sebut penguntit menusuk dari belakang? Tapi sepertinya tidak seperti itu.
Felita menancap gas sambil terkekeh "maaf tadi aku lama, aku sehabis.." Felita melihat wajah sahabatnya itu mencermelang sedikit. Ia tersenyum, sahut Felita dalam hati.

"Oh ya, kenapa kita hari ini bertemu dengan Dedy?" Nayla memecah keheninggan. Felita sedikit terkejut, ia pun sedikit terdiam. "Nanti saja, kamu akan tau cepat atau lambat. Dan tadi, kamu bertemu lelaki? Soalnya wajahmu mengatakan itu padaku" mengalihakan ke topik lain. Felita membuatnya agar senyum di wajah sang sahabat tidak hilang dalam sekejap. Nayla pun terdiam ia menunduk dan mencoba mengingat lagi dengan jelas wajag lelaki yang ia lihat tadi. 'Lelaki yang sama menolongku tadi siang'

------

Skan pun membiarkan perempuan muda itu meninggalkannya. Ia merasa pernah dekat dengannya. Tau apa yang ia suka dari perempuan tadi, ia suka memotretnya. Perempuan itu, jarang sekali seorang wanita membuatnya tersanjung hingga ingin memotretnya, Sasha juga tidak pernah mau di fotonya walaupun jika Sasha memaksa tetap ia tidak lakukan.
Skan memperhatikan langkah wanita itu pergi menjauh, ia pun terdiam saja. Setelah menghadap langit penuh cahaya gemerlap kembang api, ia tersadar akan suatu tempat.
"Ah tempat itu mungkin bagus" jentikkan jarinya membangkitkan ide.

------

"Dedy! Mei! Lama tidak jumpa!" Felita berteriak di kafe itu hingga suaranya terdengar beberapa meter di luar kafe. Dedy dan Mei melambaikan tangan mereka. "Nayla? Ini kamu? Cantik sekali" puji Mei sambil berlari memeluk Nayla yang tersenyum. Mereka pun kembali duduk di kursi dengan satu meja bulat kecil di tengahnya.
"Nah sekarang kita sudah datang, tinggal aku bicarakan ini" sambil sedikit berbisik Dedy mengatakannya.

"Skandar sudah datang kembali ke Jogja"

Felita dan Mei terkejut. Nayla terdiam, ia sibuk memikirkan lelaki tadi siang dan barusan menemaninya di alun-alun. Nayla membiarkan lelaki itu memgambil alih pikirannya. Wajahnya tidak terlalu terlihat jelas, sebab remang lampu alun-alun tadi.
"Kamu ketemu di mana?"
Felita bertanya serius, sambil bergantuan melihat wajah Nayla yang masih tersenyum-senyum. "Di hotel tempat majalah 'Teen' meeting kalau tidak salah, aku hanya punya teman di sana dan ia kebetulan memintaku bertemu dengannya. Saat berjalan, seorang menabrakku dan ternyata itu Skandar tapi ia lupa ingatan, karena kecelakaan"

Nayla tersadar, ia pun terkejut seketika mendengar. Felita memandang Nayla sambil mengigit bibirnya "majalah itu kan... Hotel itu kan..." Nayla mengangguk, Dedy dan Mei pun penasaran. "Aku salah satu model majalah mereka dan aku juga ikut rapat di hotel itu"
Misteri Skan ada di sana, akan segera mereka ketahui. Skan memang lupa ingatan, Nayla pun tidak mau mengingatnya lagi, membuatnya sakit dan tersiksa. Dan tanpa mereka sadari, ia sedang berjalan ke sini dngan langkah dan keingintahuan dia tentang ingatan yang hilang.

------

Sibuk berbincang, Hans menempelkan ponselnya di telinganya. Sibuk ke sana kemari tawaran ini dan itu membuatnya sibuk. Ia pun menutup ponsel dengan paksa, dan membiarkannya berbunyi terus sepanjang berada di dalam kantung celananya. Hingga bunyi itu pun berhenti. Hans berdiri di depan sebuah kafe tradisional. Nah tempat ini cocok untuk menghelakan segala bebanmya sedikit. Ia memberhentikan mobilnya dan masuk ke kafe itu.

Ruangan yang bertemakan khas jawa tempo dulu, bau khas dulu serta musik yang tradisional membuatnya terasa tenang. Melihat-lihat, ia memberhentikan kepalanya di meja dekat jendela. "Ada Nayla? Tidak salah lagi. Ia cantik sekali, sukses dia menjadi model berarti" Hans bergegas ke sana, membuat Nayla terkejut.

"Hai, Hai, Kamu cantik Nayla" suara itu membuat Nayla terkejut. Dan teman-temannya juga tidak kalah tekejut. Dedy, Mei, Felita mandang lelaki tinggi berambut sedikit merah itu tersenyum ke arah mereka. "Perkenalkan saya Hans, saya teman satu kampus Nayla, dan teman baik Skandar"
Dedy pun bangkit "senang berkenalan denganmu, mau gabung dengan kami?" Hans memiringkan kepala. Nayla tertawa kecil "silahkan saja, tidak usah seperti itu juga Hans. Kamu juga salah satu teman kami" senyum Nayla. Hans sedikit tertegun dan menarik kursi duduk di antara mereka berempat. "Oh ya, kau tau Skandar ada di sini?" Hans mengelengkan cepat kepalanya. "Tidak tau aku, memang kapan kau bertemu?" Hans terkejut menatap Dedy dengan lekat. "Tadi sore" Dedy singkat berkata, sebab wajah Nayla yang dari tadi bertekuk. "Dan ia lupa ingatan" tambah Dedy. Hans melihat Nayla tertunduk. Ia pun langsung menepuk punggungnya "jangan menyerah, aku tau Skandar seperti apa, sekali pun ia lupa ingatan" Nayla mengangkat wajahnya dan melihat Hans, tersenyum "iya".

"Jangan seperti ini suasananya! Semangat!" Mei berteriak. Semuanya tertawa, dan mereka langaung memanggil pelayan dan memasan makanan dan minuman kecil.

-----

Kanan kiri ia lihat, berjalan pelan dengan perban di kepalanya. Segala sisi ia potret, jalan kaki ia pilih agar bisa mengingat hal-hal ini lagi. Mengingat segala ingatan di kepalanya yang terasa kosong. Sedetik ia berjalan pelan, sepertinya pernah ia rasakan langkah ini bersama seseorang lain. Ia menjatuhkan kamera di gantungan lehernya. Melihat wanita itu dari jauh di sebuah kaca jendela kafe. Ia tidak berniat menghampirinya, karena sepertinya ia menikmati kebersamaan bersama teman-temannya. Dari kejauhan ia berharap, agar bisa lebih mengetahui wanita misterius itu. Wanita yang berhasil mengambil hati lensanya. Skan tersenyum dan berjalan meninggalkan mereka.
Ponsel bergetar di kantung celananya, ia mengambilnya dan menaruhnya di telinga.
"Halo? Sasha?"
Skan langsung bisa melupakan wanita itu dan kembali memfokuskan pada Sasha. "Kamu mau jemput? Tidak usah aku sudah jalan kembali ke sana, iya nanti ku beritahu"
Skan menutup ponselnya dan melihat ke arah jam tangannya, benar sudah lumayan larut. Walau pertemuan dengan wanita itu memakan singkat, tapi.
Tetap ia ingin tau, siapa perempuan itu.


Bab 17
Ingatan Bersejarah


Masih sibuk tertawa sana-sini Nayla dan gerombolannya mulai kehabisan waktu. Sudah subuh. Mereka semua ingin beristirahat, apalagi Nayla besok ada tawaran pekerjaan. "Teman-teman kami balik dulu" sahut Dedy sambil menarik tangan Mei. Felita memandang pemandangan itu tersenyum licik muncul di wajahnya. "Kamu tidak mau memberitahu pada siapapun ya Dy?" Dedy terhenti mendengar suara Felita yang ia tau, itu buruk. Nayla dan Hans memandang bergantian dengan Dedy dan Mei yang tersipu. "Hum? Bagaimana? Beritahu?" Tangan Felita terlipat licik. Mei tau Dedy tidak sanggup mengatakannya, payah tapi. Ini kesempatan ia berbicara.
"Kami sudah bertunangan" hela Mei menahan sipu. Nayla tersenyum lebar dan memeluk kedua sahabatnya. "Kalian tidak beritahu aku. Semoga sampai ajal menjemput kalian tetap bersama" Hans terkekeh "ada-ada saja" Felita tertawa. "Kapan kalian tunangan?" Tanya Nayla. "Mereka tunangan tadi siang. Ia mberitahuku tadi saat menelpon untuk bertemu di sini. Katanya Dedy di ajak ke rumah keluarga Mei, sudah di restui" sudah lama sejak mereka semua tertawa sehebat dan seheboh ini. Mei dan Dedy tidak kalah tawa.

Setelah Dedy dan Mei meninggalkan kafe 24 jam itu, Felita menarik tangan Nayla. "Sebaiknya kita pulang, nanti kita akan ke Borobudur bukan? Untuk foto shoot" Nayla pun bangkit dan melambai ke arah Hans yang juga akan pulang. "Nayla!" Langkah Nayla terhenti "Jangan lupa ya nanti di Borobudur kamu akan bertemu denganku, sebagai fotografer majalah 'Teen' pengganti. Nayla membalikkan tubuhnya "kenapa kau tidak bilang?" Felita melihat kedua orang itu berdebat sambil bercanda. "Ya lihat saja nanti, aku tidak mau bilang karena akan jadi kejutan" setelah itu Hans berlari "aku tunggu ya Nayla modelku" Felita menggelengkan kepalanya. Nayla terkekeh juga, dan mereka segera ke mobil, dan Felita menyalakan mesin kemudian pulang dengan suara terdiam.

------

Skan masuk ke hotel, dan melihat Sasha berdiri di sana. Sasha langsung berlari dan memeluk Skan dengan erat. "Aku tidak akan meninggalkanmu begitu saja Sha" sahutnya pelan. Sasha mengangguk pelan, dan menarik tangan Skan dengan genggaman pelan. Skan tertarik dan terbawa arus kerumunan lampu, memang kondisinya belum memungkinkan, tapi Skan suka Jogja. Tidak tau, yang ia kenal di kota majestik dan menarik ini.
Lift membawa mereka berdua ke lantai kamarnya. Skan masih tersenyum hingga sampai di depan pintu kamar, Sasha mengeluarkan kunci. "Sha besok ke Borobudur yuk? Atau ke Prambanan?" Kata Skan pelan menawarkan. Sasha tersenyum dan mengangguk "berdua kan?" Skan pun mengangguk "iya, berdua"

------

Pagi di gedung kantor majalah Teen

"Kita tidak jadi ke Borobudur, kita ke candi lain. Prambanan cocok!"

Staff itu membuat telinga Nayla hampir pecah. Ia menutup telinganya dengan kedua tangannya. Nayla benci keributan yang berlebih. Memang sih hari ini acara fotonya, tapi ia berharap besok. "Hei, pucat sekali. Kurang tidur?" Hans mengagetkan Nayla dari kantuk dan berat matanya karena staff berisik tadi. Nayla menggelengkan kepala "Tidak, hanya staff berisik itu menggangu ketenanganku" Hans tertawa karena Nayla menunjuk staff itu lekat-lekat. Mereka memutuskan ke Prambanan untuk pengambilan gambar.

Prambanan, wisata itu. Aku berdiri di pagar terluar melihat ke dalam dengan mendengar musik khas jawa itu. Dan kemudian ia datang dengan wajah cemas...

Nayla hanya tersenyum setelah tau akan mengambil gambar di sana. Ia juga tidak mempermasalahkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Ramainya suasana hatinya membuat dirinya sedikit teratasi. Ia tidak seharusnya berharap hal-hal yang tidak mungkin, Skan? Ah lupakan. Ingatan akan Skan mulai bermunculan lagi di kepalanya, ia menggelengkan kepalanya dengan cepat hingga ia cepat menghilangkan pemikiran itu. Aksi itu di lihat Hans yang memiringkan kepalanya kedapa sahabatnya yang bertingkah agak aneh. "Nayla? Tidak apa-apa? Apa kamu tidak mau memotretdi Prambanan? Apa..." Hans menundukkan kepalanya. Nayla melihat Hans yang seperti itu ia langsung menghentikan keanehannya dan menggenggam tangan Hans. "Tidak kok, aku hanya teringat sesuatu. Ayo kita nanti di tinggal rombongan" Nayla sambil menarik tangan Hans. Wajahnya langsung terlihat terkejut dan tentu, tidak kuasa menahan tawa.

------

Terik panas hari itu bisa saja membunuh manusia. Udara yang sedikit sejuk membantu mendinginkan kepala yang hampir menjadi obor mati lampu. Matahari jam itu menunjukkan puncak tertinggi. Skan mengusap keringatnya yang di sebabkan karena perban yang mengenaskan membalut kepalanya, cukup menggangu. Setiap kali ingin melakukan aktifitas, ia ingin sekali melepas perbannya. Sasha melihat Skan yang menggeliat menyedihkan dengan perbannya. Mereka ada di salah satu bangku-bangku istirahat, dan sedang menyantap makan siang berupa roti dan air putih botol yang dingin. Sasha melepaskan lamunannya dan menggenggam tangan Skan. "Kamu ingin sekali ya? Melepas perban itu?" Skan memandang wajah Sasha yang serius, dia ia mengangguk cepat lalu terkekeh licik kecil. Sasha melihat itu tertawa terbahak-bahak, ia pun mengangguk dan melepaskan perban Skan dengan perlahan, lalu terlihatlah wajahnya yang dulu pernah memandang Nayla.
Sasha masih mengigit bibirnya jika berbicara tentang Nayla, sebab ia tau.hal itu akan membuat Skan penasaran dan akan membuatnya mengingat tentang sang sahabat lama yang ia sayangi, Nayla.

Skan bangkit dan merentangkan tangannya sejauh ia bisa. Sasha tertawa kecil melihat Skan seperti itu. Skan langsung menarik kameranya dari genggaman tangan lembut Sasha. Ia pun melambai ke Sasha, Sasha pun mengejar namun. "Sha, tunggu di sana saja. Aku mau memotret candinya sekali lagi" Sasha pun menghela nafas. "Lagi-lagi dia sendirian" Sasha berfikir apa ada seseorang yang ia ingintemui di sana? Tapi mana mungkin, sekarang Skan tidak mengenal siapa-siapa.

Skan berlari dengan riangnya menerobos kerumunan orang di sana, ia pun terhenti ketika melihat gerombolan orang di tempat yangtak jauh dari candi. Apa ada shooting? Atau pemotretan majalah? Skan tertarik, ia pun pergi kesana dengan mengenakan baju kaus putih, celana jins biru sepatu kets, tentu dengan kamera SLR tergantung.

"Ku rasa ini akan menarik!" Namun Skan terhenti. Ia pun membalikkan badannya. Lebih baik ia tidak ikut campur dan segera memotret pandangan candi ini, atau ia akan mulai merasa sakit kepala karena, tempat yang terlalu sedih ia ingat kembali?

-------

"Baik kita istirahat makan siang! Kembali 2 jam lagi!"
Akhirnya Nayla menghempaskan dirinya di dekat kursi taman itu. Hans datang dengan dua kaleng minuman soda, sambil mengalungkan kemeranya, Nayla menaikkan kepalanya melihat Hans yang berdiri dengan senyum dan kaleng pastinya. "Terima kasih" dan Hans duduk di samping Nayla yang langsung meneguk habis kaleng minuman itu "nah sekarang ke candi yuk, kalau ada yang bisa di foto. Ini hal yang pasti menyenangkan" Nayla tertawa dan ia langsung bangkit dan menarik tangan Hans. "Kita harus memotret sebanyak mungkin!" Hans tersenyum sementara tangannyaia biarkan di genggaman oleh tangan Nayla yang sedikit basah karena keringat dan air minuman kaleng yang mencair.
Perasaan mulai muncul dipikiran Hans?

Nayla melepas genggaman itu ia berada di antara kerumunan orang yang tersenyum bahagia. Melihat ke langit dengan lensa memenuhi wajahnya. Senyumanitu lebih terik dari sinar marahari yang bersinar di atas kepala mereka.
Hans melihat Nayla yang tersenyum lebar memotret sana-sini, hingga ia berhenti. Nayla berhenti dan menurunkan kameranya,ia terpaku. Terbatu oleh sesuatu, yang ia ingin lupakan namun, apa itu benar?!
Hans melihat itu, ia langsung menuju lokasi, dan di sana ia mereka bertemu. Tiga pasang mata bertemu di bawah teriknya matahari.

-------

Skan berjongkok di antara kerumunan orang. Rambutnya yang sedikit jabrik itu tertiup angin kencang. Sejuk tapi sesak. Hingga ia berdiri dan membalikkan tubuhnya, berdiri di sana. Wanita muda itu, kaku melihat dirinya. Ia juga terkejut, kenapa merasa sesak ketika melihat wanita itu. Tatapan matanya ia kenal, wajahnya ia hafal, terpakuannya juga, kenapa ia tau hal ini padahal baru mengenalnya.
Skan melihat wanita itu kaku, langsung di datangi lagi oleh seorang pria memakai kamera yang juga di kalungkan seperti dirinya dengan wanita muda itu.
Wanita itu melebarkan matanyadan langsung menunduk, pria di sampingnya langsung memeluknya dan melihat ke arah Skan.

Skan yang tiba-tiba merasa tidak nyaman langsung membalikkan tubuhnya dan melanjutkan perjalanannya. Skan jalan menjauh, ia tidak sanggup melihat ke belakang. Ketika sudah agak jauh dan merek tentu sudah di tutuoi kerumunan orang banyak. Skan melempar kamera yang di kalungkannya ke belakang. Tangan kanannyaia taruh di dadanya yang tiba-tiba terasa nyeri. Ia mengeriyit sakit, mengigit bibirnya hingga berdarah sedikit. Ia sakit.
"Ngilunya! Kenapa ini aku sesak, padahal banyak udara. Aku sesak karena melihat wanita itu bersama pria lain? Kenapa harus ku pedulikan? Tapi kenapa tanganku terasa sakit jika ku angkat dari dadaku ini!! Kenapa???!!!"

--------

Nayla membiarkan dirinya dipeluk Hans. Nayla menahan tangisnya, ia tau harus kuat dan menahan mata apa yang ia lihat tadi. Mimpi buruknya menjadi kenyataan. Hans terus memeluk Nayla, hingga ia mengeratkan pelukkannya. Hans tadi juga terkejut melihat siapa di sana. Siapa yang membuat Nayla terpaku, berdiri membisu. Skan benar telah datang ke sini, hingga Nayla tidak percaya apa yang ia lihat.
Nayla mendorong dada Hans dan membiarkannya menjauh, Hans melepas pelukkannya. "Aku di tipu olehnya" Nayla menundukkan kepalanya. Hans menarik tangan Nayla dengan paksa "kita harus meninggalkan tempat ini, segera!"

Nayla membiarkan dirinya di tuntun, dari pada ia harus merasakan sakit mendalam. Melihat ia dengan mata kepala sendiri yang membutakan.
Aku cinta ya? Bisa sesakit ini.
Mereka pun segera ijin pulang karena Nayla sakit, Hans langsung memanggil taksi dan mengantarkan Nayla ke apartemennya "tidak usah, aku sendiri saja yang naik taksi, terima kasih mau memperdulikan aku" Hans pun menutup pintu mobil. Membiarkan Nayla pergi pulang dengan keadaan seperti itu.
"Apa dia akan baik-baik saja?"

------

Skan berjalan. Melangkah menjauh. Ia sakit, bayangan wanitu muda misterius itu dengan pria lain betul menyiksanya. Ia benar-benar tidak salah tingkah atau apa, ia salah tempat. Ia salah waktu. Skan masih berjalan berat menundukkan kepalanya.ketika Sasha menghampirinya ia berusaha tersenyum, Sasha tidak bisa membedakan senyum palsunya dengan senyum aslinya. Sehingga Sasha menghiraukannya. "Bagus" sahut Skan dakam hati. Ia sedikit lega ketika berhasil menyembunyikan isi harinya dari Sasha. Ia tidak mau melihat Sasha bersedih lagi karena dirinya.

"Sha besok ke Makasar lagi yuk, pulang" Sasha menghentikan langkahnya dan menghadap ke belakang. Sasha memiringkan kepalanya "kenapa? Baru saja kita di sini, belum sebagian ingatanmu kembali bukan?"
"Memang belum, aku punya Dedy jadi bisa ku tanyakan langsung nanti malam" Sasha memiringkan, dan akhirnya mengabaikkannya. Ia tau itu mungkin salah satu sahabat Skan, dan ia tau kalau Dedy tak mungkin ada hubungan dengan Nayla. Dan mungkin Dedy dan Skan bertemu.. Dan.. Ah terlalu banyak yang harus di katakan.
Sekarang tugasnya adalah balik ke hotel dan memastikan perubahan kehendak pikiran Skan.
Perjalanan itu memakan kata 'sunyi' di setiap langkahnya. Skan menatapdatar ke luar kaca di depan matanya. Ia seperti mahluk yang mati dan hilang nyawanya. Dalam erangan pikirannya, ia membayangkan bayang-bayangkan wanita tadi di peluk oleh lelaki lain yang sepertinya tau benar dengan dirinya. Ia penasaran. Skan yang terbelak diam tiba-tiba mengagetkan Sasha yang mengemudi, dengan gerakan gaduh mengeluarkan ponselnya dari kantung celana. Skan dengan cepat menekan nomer dan menempelkan telinganya dengan ponsel.

"Dy, bisa kita ketemu malam ini di hotelku? Ada sesuatu yang ingin kubicarakan. Penting"

--------

Nayla menghempaskan dirinya ke tempat sofa yang menghadap kaca jendela besar yang masih memancarkan sinar sore. Menyengat namun ia malas bangkit untuk menutup horden. Ia melipat tangannya dan membenamkan wajahnya ke dalamnya. Ia tersentak. Hans memeluknya? Ia tau tangisnya akan tumpah namun, Hans menahannya dengan pelukkan, membiarkan dirinya menahan.
Nayla kaget dengan pemandangan yang ia lihat di sana. Seseorang dengan jaket itu, kaus itu, dan cara ia memotret. Gerak-geriknya membuat Nayla mengigit bibir. Apa bayangan Skan membuatnya gila hingga orang lain bisa ia kira sebagai Skan? Sepertinya ini berlebihan.

Ia pun segera mengecap nomer di ponselnya dan menunggu jawaban dari sebrang. "Mungkin Mei sibuk, Felita saja" tetapi ketika ia menelpon Felita. Sama saja, hasil nihil. Ia membanting ponselnya ke lantai yang berlapis karpet tebal itu dengan lemas. Ia memgangi kepalanya dengan keras, mengacak-acak rambutnya dan mengigit bibirnya. Hingga ponselnya bergetar. Ia mengambil ponselnya itu dengan malas, dan melihat apa yang tertera di sana. Matanya terbelak kaget, mulutnya sedikit menganga sehingga ia menutup mulutnya dengan sebelah tangan.

"Tidak mungkin?!"


Bab 18
Mata ke Mata


Sasha memarkirkan mobilnya dengan perlahan. Ia menarik kunci mobilnya, dan menghela nafas panjang. "Skan, kamu malam ada acara dengan temanmu ya?" Skan terdiam lalu tak sadar ia terpaku. Sasha memiringkan kepalanya dan melihat Skan dengan serius. Skan marah? Atau apa? Ia kaku sekali, tidak seperti biasanya kalau marah denganku. Sasha menepuk punggung Skan dan pasti. Ia tersadar. "Ah iya. Aku ada acara dengan Dedy. Maaf ya Sha, mungkin lain kali, lagi pula kita akan bersama terus bukan?" Sasha terlihat cemas dan akhirnya menggelengkan kepalanya lalu tersenyum.
Skan membalas senyuman itu dengan tipisnya seperti biasa. Namun ada yang ia jengkelkan, ia tidak seperti ini sebelumnya. Ia serasa mengenal perempuan itu, tapi. Ia lupa. Lupa lupa dan lupa terbayang wajah perempuan cantik itu. Wajah yang berseri kagum melihat kembang api waktu itu, benar-benar membuatnya berseri dan setenang jiwa. Serasa perempuan itu bagian dari jiwanya yang hilang, apa ini namanya suka? Tapi ia tidak seharunya suka dengan perempuan lain, karena sudah ada Sasha sekarang.
Ia pun bangkit dari kendaraan itu dan menutup pintu membuat Sasha kaget. Senyum masam mengejeknya muncul tiba-tiba terukir di wajahnya yang masih pucat seperti orang kurang darah itu.

"Gadis itu?! Membuatku gila bisa! Awas ya! Lelaki waktu itu harus ku ketahui namanya.. Atau.. Hah?!"
Skan berbicara sendiri dalam hatinya, ia cemburu?

------

Nayla menelan ludah. Ia tergirang melompat tinggi hingga mendarat dengan kaki sedikit terkilir. Ia tersenyum, girang karena akhirnya ada yang mengajak jalan dirinya.


From : +6285712123456
To : Nayla

Nayla, ini aku Hans. Aku dapat nomermu dari Felita kemarin.
Ada waktu kah kamu malam ini? Aku berencana berjalan ke Malioboro.


Nayla memasang kembali wajah gembiranya. Ia tidak harus mati membosan di rumah karena kejadian siang tadi di Prambanan. Ia ingin mengatakan terima kasih kepada Hans karena sudah menolongnya tadi, berfikit sejenak. Nayla berhenti dari kegirangannya. Wajahnya tiba-tiba memanas. Hans sebegitu baiknya, padahal dulu ia hanya membantuku dalam masa sepiku, karena Skan dengan Sasha terus dulu.
Ia pun menunduk dan mengelengkan cepat kepalanya. "Aku harus segera mempersiapkan diri!"

--------

Malamnya di hotel

Dedy dengan gaya serba hitamnya berjalan. Ia berjalan dengan angkuh dengan baju serba hitam santai itu. Skan melihat banyak orang yang melihat Dedy dengan mata terbinar-binar. Dedy melambaikan tangan ke Skan dengan tepukkan di bahunya setelah sampai di depan muka.
"Ada apa kawan memangilku ke sini? Ada yang kau ingin bicarakan sepenting itu?" Skan terkekeh dan kemudian mengangguk.

"Lalu apa yang ingin kau bicarakan? Masalah ingatan?"
"berhubungan"
Kemudian Skan mengajak Dedy duduk di luar, di dekat kolam renang. Ia mengambil salah satu kursi santai di sana. Udaranya sangat dingin malam itu, tetapi serasa menenangkan karena suara jangkrik dan pancaran sinar bulan bintang.
"Aku mau kau beritahu tentang seorang gadis"
"Gadis katamu? Bukannya banyak gadis di luar sana yang aku tidak kenal?"
"Bukan begitu, yang lain tak penting. Ku ingin kau memberitahuku tentang gadis yang dulu dekat dengan kita"
"Felita,Mei,Nayla"
"Diskripsinya bisa kau beritahu?"
"masa sampai diskripsi sih? Haduh. Felita itu lebih tua darimu 3 tahun. Ia sudah bekerja juga sekarang seperti kita. Ia tidak tinggi-tinggi sekali, ia sedikit gemuk dan rambutnya ikal suka di ikat satu. Kalau Mei, dia tunanganku, teman kita sahabat malah. Ia tidak tinggi juga, tapi beda 1 tahun darimu, aku juga lebih tua darimu setahun. Rambutnya sebahu suka di jepit. Sementara Nayla. Berdasarkan penglihatanku ya dan perkataanmu dulu. Dia cantik, ia seorang model, tingginya ideal, ia suka pakai baju panjang dengan gaya sedikit kebesaran. Rambutnya sedikit di cat coklat sekarang, dan terurai panjang. Ia kalau tersenyum, seperti malaikat, kalau bersedih seperti patung genderowo!"

Skan sedikit tertahan, nafasnya tertahan. Ia menahan erat meja dan menarik sebelah tangan menaruhnya di dada kuat-kuat. Dedy melihat sahabatnya seperti ingin pingsan. Ia pun segara mengeluarkan ponsel namun ponselnya ia turunkan. Melihat Skan sekali lagi bukan ingin pingsan namun terlalu shok. "Kau kenapa?" Skan sangat kaget.
Ia tidak mementingkan perkataan Dedy tentang keadaan dirinya. Ia memandang datar dengan nafas tersenggal. Diskripsi gadis terakhir, gadis senyuman mentari itu. Gadis itu?! Tidak mungkin gadis itu yang membuatnya seperti itu.
Mulai lah terbayang bayangan gadis itu, dan membuatnya semboyongan, kepalanya berputar pusing hebat. Dedy mengelus punggung sahabatnya itu dengan perlahan. "Kau bertemu ya?" Skan mengangkat kepalanya dan memandang ke arah Dedy yang berwajah cemas.
"Skandar kalau mau bohong dengan Sasha tak apa. Tapi jangan denganku, kau bertemu dia ya? Kau di buatnya seperti ini?" Skan menggelengkan kepalanya "aku tidak tau, aku benar tidak tau. Kepalaku sakit jika bertemu dengan orang itu, gadis itu. Aku serasa mengenalnya dan membuatku tenang dan tidak dapat berfikir apapun, selain dirinya tidak ada yang membuatku seperti ini" Skan mengangkat tinggi kepalanya dan menghempaskannya dengan kasar ke bawah dengan kedua tangan berpegangngan di kepalanya.
Dedy hanya tersenyum kecil. Hatinya pun menghela nafas panjang.

'Skandar, kau sudah lupa tapi masih bisa seperti lagi hanya dengan senyumannya. Kau benar-benar lelaki yang memegang omonganmu, aku salut Skandar. Ternyata, kau tetap mengikuti kata hatimu meski kau belum menyadarinya, kalau kau ternyata.. Cinta ya dengan Gadis itu'

"Oh ya Skandar, kita ke Malioboro yuk"
Skan menaikkan kepalanya lagi, lalu memasang wajah yang bingung dengan kerutan alisnya. "Ngapain?"
Dedy hanya tersenyum "ada yang ingin aku tunjukkan kepadamu, oh ya sekali lagi, kau pulang kapan?" Skan terkekeh lalu bangkit dan merapihkan bajunya "besok siang" Dedy menjentikkan jari. "Pas!"
Skan lagi-lagi terkekeh karena aksi sahabatnya yang satu ini, cukup mencurigakan.

-------

Nayla mengenakan pakaian biasanya dengan baju tangan panjang yang kebesaran, bergaris biru. Nayla memutarkan tubuhnya hingga ia terasa pusing. Lalu tertawa. Dan ia ingat ia harus pergi naik trans Jogja untuk ke Malioboro. Ia berlari turun dari apartemennya setelah menguncinya. Lalu langkahnya terhenti, Nayla melihat Hans dengan motornya bertengger di sana dengan ponsel di tangannya. "Baru aja mau aku telfon" Nayla terkekeh dan ia langsung mengambil helm yang bergantung di tangan Hans. "Siap Nayla?" Nayla pun mengangguk dengan pelan. Lalu motor itu melaju kencang menerobos kerumunan orang. Jalan menuju Mailioboro memang selalu ramai, apalagi musim liburan.

Nayla dan Hans tidak tau mereka akan di kejutkan dengan keberadaan itu, keberadaan lelaki lain yang akan mengatakan sesuatu kepada lelaki yang satu ini, Hans. Yang akan mengejutkannya.

Dedy dan Skan dalam perjalan ke Malioboro dengan wajah serius.

Sementara itu. Hans akan menyadari bahwa, dirinya harus mundur. Namun, sepertinya ini akan menjadi pertarungan perebutan hati. Cinta segitiga ini akan terungkap di bawah ramai dan gemerlap Jogja sebagai saksi dan tempat kejadian di wakili, Malioboro.

------

Skan keluar dari trans Jogja dengan merentangkan tangannya seluas mungkin. Ia melihat Dedy seperti mati sesak. "Kau tak apa?" Dedy membungkukkan tubuhnya dan mencari tempat sampah lalu memuntahkan mualnya. "Aku tidak apa-apa hanya sedikit mabuk di antara orang banyak itu" mengelus perutnya yang bermasalah Skan tertawa melihat Dedy seaneh itu. Kira-kira apa yang ingin di tunjukkan Dedy pada Skan?
Mereka menerobos kerumunan orang berjalan. Jalanan penuh di Malioboro, banyak kendaran bermacet ria di sana. Suara bising menghiaskan telingan mereka, tapi setelah itu, Skan bersama Dedy sampai di sebuah keraton tak jauh dari sana. Skan memiringkan kepalanya. "Ngapain malam-malam ke sini? Sudah tutup tau!" Skan bicara di acuhkan Dedy dan kemudian ia sampai di sebuah toko batik kecil. "Bantu aku carikan batik putih jingga, bisakan Skan?" Skan menghela nafas dan langsung mencari batik itu. Bertemu dua batik itu, lalu memberikannya kepada Dedy dan tentu, Skan yang bayar.

"Kenapa aku yang bayar juga?"
"Karena kamu memilihkan batik ini terlalu baik, aku tau mengapa. Jadi kau berikan kepada Nayla ya, dia akan ke taman itu, taman keraton"
Mata Skan terbelak, Nayla? Berikan padanya?
"Kau tau dia ada di sana dari mana?!"
"Hmm, aku tau tempat-tempat ia biasa bersinggah menegakkan pikirannya. Melegakan segala masalahnya, dan taman keraton ini salah satunya. Ia dulu sering beristirahat di sini, kata Felita, ia suka sekali di sini. Udaranya pas saat-saat ia benar-benar merasa..."
Dedy menghentikan kata-kata mutiaranya, lalu menunduk. Skan mendekatinya dan menepuk pundak yang sedikit goyah itu. "Dy, dia benar merasa apa?"
"Hmm, sepertinya kau akan tau. Cepat bayar! Kita kesana!"
Skan menggelengkan kepalanya dan menunduk karena malu. Dedy berjalan seperti orang aneh? Sepertinya terlihat seperti robot kurang minyak.

--------

Taman Keraton hari itu sepi. Nayla di tinggalkan sebentar oleh Hans. Hans akan berkeliling mencari makanan dan pernah-pernik, sehingga Nayla di turunkan di tempat favoritnya di Jogja, Taman Keraton yang luas.
Nayla meniup tangannya, hingga hangat. Ia lalu duduk di rerumputan dan memandang ke atas. Berharap seseorang itu datang, ia baru sadar. Sebenarnya ia girang karena di ajak jalan, namun, luka di hatinya masih besar hingga, hal ini tentu tidak membantu memulihkan sedikit pun. Ia terpaku lama melihat ke langit.
Hingga ponselnya bergetar dengan panggilan keras di belakang punggungnya. Menoleh ia lihat Dedy yang menempelkan ponselnya sambil berjalan mendekat. Nayla menahan suaranya, siapa itu di belakang Dedy dengan jaket coklat gelap?!

Dedy mendekat, semakin dekat hingga lelaki di belakangnya terlihat. Dedy pun meninggalkan mereka berdua. Ia meninggalkanya dengan alasan ke kamarmandi pasti, kuno bukan? dan akhirnya berhasil juga. Nayla terpaku lama, lelaki itu pun juga duduk di sampingnya. Terpaku juga lama.
Mata ke mata mereka memandang, akhirnya Nayla melihat jelas lelaki ini, wajahnya yang sedikit lecet masih ada.

"Maaf aku tidak ingat denganmu" lelaki itu berkata pelan. Nayla menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Ah iya tidak apa, anda.." Nayla menahan kata-katanya. Skan pun melihat wajah perempuan itu berubah "besok aku kembali ke Makasar. Aku memberikan mu ini sebagai tanda perpisahan" Nayla memiringkan kepalanya. "Perpisahan?"

Skan menunduk, lalu memalingkan wajahnya ke arah lain dan perlahan air matanya tidak terbendung lagi, ia menangis di depan Nayla, semua yang ia lakukan sekarang serasa hanya untuk gadis ini. Gadis yang beberapa hari ini membalikkan kepalanya menjadi pusing "Aku butuh waktu menerima ini, maafkan aku! Maafkan aku!! Nayla maafkan aku... Aku..aku.." Skan berasa ada rengkuhan hangat yang memeluknya. Ia tidak menyangka kalau gadis ini begitu baik, ia mudah sekali memaafkan seseorang. Padahal untuk seorang Skan pun. Ia merasa seperti berada di dunia yang hanya menyisakan manusia dia dan gadis ini. Sentuhan sehangat ini, ia rindu. Tapi tidak pernah tau kalau ia serindu ini kepada sahabatnya.

"Tidak apa, aku mengerti. Sekarang kau harus bahagia ya! Bersama Sasha juga. Aku tau kamu sakit Skan, aku juga sakit!! Tapi ku mohon, lain kali, suatu saat. Aku ingin kamu menyatakan sekali lagi, sekali lagi isi hatimu" Nayla bangkit dan berdiri melambaikan tangannya kepada Skan yang masih meneteskan kesedihannya. Skan terpaku lama, ia merasakan ia mengingat sesuatu. "Gadis ini? Pemaaf yang ku rindukan" menutup matanya dengan sebelah tangan menangis sekencang-kencangnya di lapangan luas itu. Ia berasa ada yang di sembunyikan gadis itu, ia berkata "sakit" maksud kata itu apa? Ia kira sakit dalam arti menerima kenyataan ia melupakan sahabatnya, tapi sebenarnya lain bukan?

Nayla mendengar tangisnya. Nayla enggan meninggalkannya. Ia sakit, ia runtuh, sekali lagi ia hancur. Skan ada di depan matanya, lelaki yang waktu itu membantunya di hotel, lelaki yang ia temui di alun-alun malam itu, lelaki yang sering memotretnya dengan gila, lelaki yang ia temui di Prambanan tadi siang.
Dan malam ini, lelaki yang meminta pengampunan padanya dengan tangis yang menggerogoti hatinya. Nayla meneteskan air mata, airnya banyak, ia bersedih dalam. Tangisnya tak kalah sakit dari Skan yang histeris di sana. Ia enggan membalikkan tubuhnya. Ia sakit. Jika ia berbalik, apa yang akan di lihatnya nanti.

Berjalan menjauh, melewati Hans yang tadi ada di depannya. Hans tersentak menghalangi langkah Nayla. "Nayla? Kenapa?" Nayla hanya tersenyum pasi ke arah Hans dan langsung meninggalkannya "aku harap kamu ke arah berlawan dariku, di sana kamu akan menemukan jawaban itu"
Hans memiringkan kepala dan melihat langkah Nayla bertambah jauh. Hans langsung berjalan berlari ke arah yang di tunjukkan Nayla tadi, dan di sana. Berdiri dia, sahabat saingan yang hilang.
"Skandar?"

-------

Skan berdiri, mengambil bingkisan batik tadi yang di tinggalkan Nayla. Skan memiringkan kepalanya dan mengigit bibirnya. Sesaat akan berbalik, di sana Lelaki yang waktu itu memeluk Nayla datang ke arahnya dengan sedikit berlari. Dan bersamaan Dedy datang ke sana. "Hans! Tak kusangka kau di sini, datang sendiri?"
Hans menatap lurus ke Skan yang tak kalah tajam menatapnya. Skan dengan terisak menarik nafasnya, bertanya. "Kau siapanya Nayla hah?" Hans terkejut, ia menarik tangan dan menaruhnya di atas dada sahabatnya itu. "Sudah lama aku ingin menyaksikanmu, aku ini lelaki yang akan mengambil hati Nayla" Skan terlihat kesal, ia melambungkan tinju di wajah Hans hingga jatuh, Hans mengusap luka di bibirnya dengan senyum licik. "Ada apa sih?! Kalian sahabat ya! Berantem!? Tidak ada guna tau! Apalagi buat Nayla yang sekarang sakit bukan?!"
Hans menoleh ke arah Dedy dan membuang ludah ke rerumputan, ia kesal. "Kau tau aku suka dengannya kan?!" Dedy mengelengkan kepalanya. "Jelas aku tahu, tapi kau ini berlebihan tau!" Dedy melirik ke arah Skan yang mengigit bibirnya. "Kau sudah ada Sasha kan Skandar!?" Skan terdiam, sekarang pikirannya bukan ada di Sasha, namun di Nayla. Siapakan Nayla itu baginya?! Bukan sekedar sahabat?! Atau dia lebih berarti dari seorang sahabat baginya?!

"Aku tau, tapi apa harus ku bohongi terus isi hatiku?" Dedy melipat tangannya dan tersenyum bangga. Hans datang mendekat "menyerahlah! Dia akan kurebut darimu" ejek Hans remeh. Skan tersenyum licik.

"Coba saja kalau kau bisa membuatnya lupa denganku"

-------

Nayla melipat kedua tanganya. Ia memandang ke depan dengan datar. Ia tidak tau apa lagi yang akan ia lakukan, ia terluka lagi. Mengingat Skan di depan matanya tadi, lelaki yang beberapa hari ini memenuhi hatinya dengan kesedihan. Skan esok akan kembali ke Makasar, Nayla berfikir pelan, pasti ada Sasha. Berjalan di kerumunan orang di Malioboro membuat pikirannya juga melayang. Ingat hari itu sore waktunya. Naik delman ia melewati tempat ini untuk meluangkan kepala, namun ia di saja justru melihat Skan. Skan dengan wanita itu, dengan Sasha. Mereka tertawa ria di dekat jalan ini. Dan mereka derasa seperti pasangan yang serasi.

Nayla meringis lagi, Ingatan di kafe waktu itu. Ia pergi ke kafe itu lagi beberapa hari lalu. Kafe itu, ia melihat Skan dan Sasha dengan jarak dekat. Namun, mereka tidak menyadari keberadaanya. Nayla memeluk erat tubuhnya dan ia berlari, berlari secepat mungkin. Ia menahan air matanya. Ia ingin Skan, Skan mengingatnya. Mengingat Nay.

-------

Dedy menghalangi kedua sahabat ini mengajukan perang. Skan memasukkan tangannya ke kantung celana dan mengigit bibir tersenyum licik. Hans memalingkan wajahnya dengan kesal dan kasar. Dedy memandang dua orang ini dengan tatapan sinis. "Kalian ini kenapa?! Masa hanya gadis saja seperti ini?!"
Skan memalingkan wajah "aku tidak suka padanya! Cinta juga tidak! Aku hanya sahabatnya saja bukan? Kenapa berfikir hal lain!" Hans terdiam dan memalingkan wajahnya. Dedy melipat tangannya dan mengelengkan kepalanya. "Aku tau kau lupa ingatan! Aku tau dia sahabatmu! Tapi setiap hari dulu kau suka bercerita tentang dia bahkan setelah dekat dengan Sasha juga!" Hans membentak keras. Dedy menggelengkan kepalanya terus. Skan terdiam sejenak. Ia menundukkan kepalanya. Sekarang ia diam, ia pun langsung berlari. "Baik ini daripada harus menangisi diri sendiri, aku harus mengejarnya, dan mengucapkan selamat tinggal sebelum aku melukainya makin dalam"
Skan berlari meninggalkan Dedy dan Hans. Hans menarik tangannya dan menaruhnya di keningnya "Dy! Kenapa aku selalu seperti ini?!" Dedy tersenyum tipis lalu menepuk pundak sahabat kecilnya ini "sepertinya kamu hanya di beri tugas untuk membuat Nayla tersenyum sementara Skandar pulih" Hans berjongkok dan membantingkan tangannya "aku tidak bisa menandingi Skandar, sialan!"
Dedy pun hanya diam dan tersenyum pasi. Melihat Hans seperti terpuruk, Dedy mengangkat wajahnya tinggi di langit.
'Skandar-Skandar, Nayla ya? Memang dia dulu aku sukai juga, jujur saja, Nayla memang gadis yang baik, sangat malah menurutku. Tapi aku lebih mencintai Mei, memang Nayla segalanya bagi beberapa lelaki tampan, namun Mei? Gadis galak itu? Sepertinya hanya aku yang bisa mendapatkan Mei dan memahaminya lebih dari lelaki siapapun di dunia ini'


-------

Skan mengejar Nayla yang hilang di antara kerumunan orang banyak. Skan melihat ke kanan dan ke kiri. Mencari sosok bayangan Nayla yang ingin ia cari. Hingga langkahnya terhenti di sebuah toko pernak-pernik. Melihat Nayla tersenyum kepada seorang perempuan muda, sepertinya mereka teman baik. Skan tersenyum, ia serasa lega kalau Nayla bisa tersenyum, walau hanya dari kejauhan ia melihat. Skan memegang bibirnya dengan jarinya. Ia serasa seperti tersenyum penuh arti, ia pun menggelengkan kepalanya dan mengambil kamera yang ada di ponselnya.
"Momen ini akan ku abadikan dengan sempura, Nayla" tiba-tiba teringat sesutu dengan kata yang baru ia ucapkan, ia mengingat kata itu dari sesuatu. Lalu ia pun tidak mementingkan itu, ia hanya ingin Nayla bisa tersenyum tanpanya dan dapat menerimanya sebagai sahabat lagi suatu saat nanti.

Pikirannya melamun, ia pun langsung mengingat Sasha. Segera ia buka ponselnya dan melihat banyak pesan dan telfon tidak terangkat. Skan menelpon Sasha, Sasha terlihat lega setelah menerima telfon dari Skan.

"Kamu di mana?"
"Malioboro"
"Hah di ajak ke sana sama teman kamu?"
"Haha iya Sha. Jangan jemput ya, aku naik Trans Jogja saja"
"Baiklah"

Sasha menutup ponselnya dan menghela nafas panjang. Ia menggelengkan kepalanya dan tersenyum pasi "baik aku siapakan tiket untuk besok ke Makasar" ia mengambil lagi ponselnya dan menekan nomer "saya mau memesan tiket untuk ke Makasar besok siang bisa?"

Detik berjalan, Nayla dan Skandar semakin menjauh. Apakan nanti mereka akan menyadari perasaan masing-masing?


Bab 19
Selamat Tinggal..


Nayla meringkukan kepalanya. Ia menahan sakit semalaman. Walau sudah bertemu sahabatnya dulu waktu kuliah, Sharon. Masih saja ia menggerangi kepalanya. Skan,Skan,Skan. Hanya itu yang menyakiti hatinya sekarang. Tadi malama ia pergi ke toko aksesoris milik Sharon, tokonya indah, banyka pernak-pernik dari moderen hingga tradisional.

Tadi malam

"Sharon!!!"
"Naylaaaa"
Dua sahabat ini beriangnya bertemu. Mereka melompat-lompat kegirangan "kamu tau tidak nanti aku akan menjadi meneger seorang model terkenal lho!!" Nayla tersenyum girang. "Oh ya siapa???" Sharon menggelengkan kepalanya "belum tahu lusa mungkin, atau berminggu-minggu lagi" Sharon menepuk-nepuk kepalanya. Nayla tertawa, dan menggelengkan kepalanya berkali-kali.

Nayla meringkuk di atas tempat tidurnya sekarang. Dan meringis. Ia tadi malam saja tidak menyapa Felita padahal sudah berdiri di depan matanya. Nayla mengingat banyak hal tadi malam. Ia ingat siang ini Skan akan kembali ke tempatnya di Makasar. Ia langsung mengambil ponselnya mengetik nama Skan. Tapi terhenti karena ia tau, Skan bukan Skan yang dulu lagi.
Ponselnya berdering. Sebuah nama terlintas di sana, nama yang ia tak ingin bertemu dan berbicara.

Skan

Apa maksudnya itu? Ia tau kalau masih menyimpan nomerku? Oh ya, beberapa hari lalu dia kan bertemu denganku di Surabaya.
Nayla mengangkat panggilan itu dengan suara serak.

"Hallo?"
"Nayla ini kah? Ini Skandar"
Nayla menelan ludah secara perlahan. Ia pun berkata dengan pelan dan tertahan
"Iya ini aku, ada apa ya Skan?"
"Aku ada di bandara, aku ingin kamu ke sini"
"Kenapa? Aku lagi kurang enak badan"
Nayla terdiam, ia membekam mulutnya perlahan

Skan di sana tidak kalah buruk, ia mengedipkan matanya dan melihat ke kiri dan kenan berulang kali. Keberadaan Sasha benar tidak ingin ia adakan di sana. Ia ingin sekali berkata dan berbincang kepada sahabatnya ini, sahabat yang ia hilangkan lembarannya di buku tebalnya.

"Ah.. Aku.. Mau mengatakan sesuatu"
"Kenapa tidak di telfon saja?"
"Aku tidak mau mengulangkan kesalahanku lagi"
Maksudnya apa? Kesalahan? Ia ingat?
"Kesalahan apa?"
"Waktu itu, aku ingat aku menelpon seseorang dari bandara ini dengan telfon aku mengatakan hal penting lalu di tutup paksa orang itu karena kecewa"
Nayla tersentak, ia membukam lagi mulutnya lebih rapat, pipinya mulai memanas.
"Aku ingin kamu ke sini, aku tidak mau sesuatu itu terjadi padamu. Au sangat bersalah, hingga menangis waktu itu. Penyesalan dalam bagiku"
"Baiklah jika kamu memaksa, aku ke sana sekarang"
"Bertemu di kedai makanan khas Solo ya"
"Baiklah"

Nayla membukam mulutnya dan air mata mulai turun ke pipinya, ia terlalu sedih untuk bahagia sekarang. Ia meringkukkan tubuhnya dan membenamkan ponselnya di dalam tubuhnya. Ia menangis dalam apartemen sunyi, hingga ia sadar dan bangkit. Ia pun mengusap air matanya dengan lengannya dan tersenyum melangkah ke arah kamar tidurnya. "Aku ingin tau kali ini ia ingin berbicara apa"

-------

Skan menutup ponselnya dan menghela nafas panjang. Masih punya banyak waktu ia hingga pemanggilan pengecheckkam barang. Skan memasukkan ponselnya ke kantung jaket coklatnya dan kembali menarik kamera yang ada di punggungnya dan membawanya ke depan dadanya. Skan menarik lensa dan memotret bandara itu dengan seksama. Perlahan kepalanya nyeri, ia mulai mengingat potongan ingatan lagi. Ia memotret bandara dengan senyum tawa. Dan seorang gadis yang cerewet memarahinya karena ia memotretnya terus. Skan masih buram melihat gadis itu siapa, tapi ia berharap gadis itu seseorang penting dalam hatinya.

Panasmya hari itu membuat siapa saja pasti terbakar. Skan melepas jaketnya dan mengikatnya di pinggang. Menarik kopernya dan berjalan menuju kedai khas Solo itu, ia termanyun mengigit bibir. "Aku, harus mengatakan ini kepada Nayla, atau ia akan terluka. Tapi sepertinya ia akan terluka jika aku mengatakan hal ini di depan wajahnya"

Beberapa menit kemudian.

Nayla dengan baju santainya tiba di bandara Adi Sucipto, Jogja. Nayla berjalan menyusuri setapak ramai penuh orang itu menyesakkan udara. Ia berlari secepat mungkin dan akhirnya sampai di depan kedai itu. Orang dengan wajah berkeringat dan pipi lecet itu duduk di salah satu kursi yang di sediakan. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri seperti mencari seseorang. Nayla berlari ke pada sosok itu. Ie berteriak sambil melambaikan tangannya tinggi.
Lelaki itu tersenyum lembut sambil menyatakan sinyal untuk mengajakanya segera bergabung bersamanya.
"Siangnya panas"
"Hahaha, iya"
Skan pun terdiam, menunduk sejenak melihat Nayla gadis di depan wajahnya sekarang dengan kedua kakinya yang gemetaran. Nayla memiringkan wajah, bingung.
"Apa yang mau kamu bicarakan?"
"Sebenarnya..."

Nayla menahan nafas, sepertinya kabat buruk lagi yang akan ia dengar. Ah sudahlah, memang sudah termasuk dalam kegiataan hidupnya sepanjang menit dan detik bukan?

"Aku sebanarnya.."
"Skan, bisakah langsung"
"Langsung? Aku tau tapi, tapi aku takut"
"Takut apa? Aku tersakiti?"
"Iya, jadi lebih baik aku berhenti bicara"
"Skan, jangan seperti ini, kalau mau bicara. Bicara saja! Au tidak apa-apa! Akusudah biasa Skan, jadi bicaralah"
"Aku rencana akan melupakan orang"
"Seseorang maksudmu?"

Skan menelan ludahnya dengan tertahan. Ia tidak kuat jika harus berkata ini, mungkin Nayla akan tersinggung.
"Ini seorang gadis yang berkali-kali mengusik hati dan pikiranku"
"Terus mengapa kamu mau lupakan?"
"Karena aku sudah ada Sasha"
Nayla terasa dirinya perlahan hanyut terbawa sapuan ombak pasir. Ia berasa kalau tangan kakinya mati rasa. Ia berasa kalau potongan itu akan pergi dengan sendirinya dari bingkai hidupnya. Wajahnya terasa memanas, karena sedih dan terluka. Bukan malu atau senyuman.
Skan melihat Nayla mau meneteskan air matanya. Ia pun menundukkan kepalanya dan menahan suaranya yang mulai serak. Ia tidak sanggup juga mengatakan ini pada Nayla. Padahal baru saja ia kenal dengan sahabatnya, ia baru saja mau menyadari kalau... Ah entah.

Suasana sunyi, orang lalu-lalang ke sana kemari. Nayla menundukkan kepalanya. Skan juga. Mereka berdua larut dalam kata hati mereka. Mereka berdua tidak mau menyadari kalau merek saling membutuhkan.
Dalam hening, ponsel Skan bergetar berarti pesawat sudah mau boarding. Skan bangkit dengan berat hati. Ia melangkah ke depan, berdiri di samping tubuh rapuh Nayla. Ia menunduk. Perlahan ia membungkuk, dan...

------

Nayla menyilangkan tangan di depan dadanya dengan menahan senyum di balik sakitnya. Nayla seperti merasa bahwa orang itu adalah dirinya, tapi memang benar bukan?
Dalam tahan air tangisnya, rengkuhan tiba-tiba datang ke arahnya. Hangat tangan seseorang memeluknya erat. Nafasnya berhembus hangat di dekat telinganya. Nayla tau bahwa, Skan memeluknya dengan erat.

Rengkuhan itu terlepas "Nay. Mulai sekarang aku akan mengingat itu. Nay, aku pergi dulu. Nanti kalau ada apa-apa pesan aku atau telfon. Au pasti akan selalu ada untukmu" Skan membalikkan tubuhnya dan melangkah pelan. Mengepalkan tangannya dengan kuat "aku tidak sanggup meninggalkannya"
Nayla terpatung. Ia diam. Ia meneteskan air matanya perlahan. Melipat tangan ke atas meja dan membenamkan wajahnya ke dalamnya.

"Aku rindu kamu memanggilku Skan. Nay. Namaku sekarang kamu ingat. Dan memelukku untuk terakhir kalinya sambil berpesan seperti itu. Skan kamu tau kan betapa sakitnya aku sekarang?"
Nayla akhirnya tumpah. Ia mengeluarkan bebannya.

Sedihnya membuat ia lupa sekitar.

Beberapa meter Hans datang berlari ke arah Nayla yang terduduk mati rasa. "Nayla, kamu kenapa?"
Nayla mengangkat wajahnya yang basah karena air mata. Ia buru-buru menghapusnya, terpancar senyum palsu di sana. "Kamu jangan begitu, kalau mau sedih nangis, ya sudah aku tidak salahkan. Aku tau aku ke sini karena Skandar akan pergi bukan kembali ke Makasar? Tujuanku ke sini sebenarnya untuk mengatakan suatu kata ke orang itu. Entah aku sudah terlambat, lebih baik aku mengajakmu pulang"
Nayla membiarkan dirinya terbawa tangan Hans yang menggenggamnya kuat untuk menariknya dari kursi dan kedai itu. Sekian ia merasa bertambah hampa. Semua seperti buram, air matanya sudah memenuhi semua hatinya hingga tumpah semua, apa ini bermaksud sesuatu? Apa dia masih mencintainya?
Entahlah..

Hans melihat dia, melihat Nayla. Ia melihat wajah gadis itu seperti tercabik-cabik. Ia tau pasti berhubungan dengan Skandar. Ia menarik tangan gadis itu. Sambil menariknya, ia berharap untuk dapat menggantikan luka di hati gadis itu dengan namanya.

------

Gadis yang sebenarnya ingin ia lupakan ada di depan matanya. Skan berjalan makin jauh. Sangat jauh hingga Nayla tertutup oleh orang-orang berlalu lalang. Skan menarik tangannya dan mengambil kameranya, dengan menahan air mata ia putar lensa itu dengan tangan bergetar. Ia hampir tidak sanggup bertahan untuk hanya menarik kamera.
Skan bertahan, ia mencoba mengarahkan gambar itu, mencari sosok itu.
Matanya terbelak, menemukan sosok itu, dan melihat lelaki itu, menarik tangannya melewati balik punggungnya. Skan terpatung lama. Ia tertahan di sana, melihat gadis itu. Matanya menyipit dan menunduk. Menangis. Tangis? Ia menangis? Skan mengusap air matanya dengan cepat. Ia terus menteskan. Skan melepas kameranya dan melemparnya ke belakang.

"Setidaknya ia punya yang sayang padanya. Aku.. Aku seorang pecundang lemah!"

Skan berjalan lemas ke arah masuk bandara. Ia menghadapkan kepala sesaat ke belakang. Melihat sosok itu sudah tiada, ia tersenyum di balik penderitaan. "Sekarang aku sadar, orang itu. Sakitnya lebih dari yang kurasakan sekarang" Skan menghempaskan diri ke dalam pintu bandara. Kesedihan kini menyelimuti hatinya, ia tidak sanggup tersenyum sehangat itu, di depan siapun.

Mereka berdua dalam luka, kesedihan, sakit. Terlalu menyakitkan jika dikatakan dengan kata-kata. Seperti ini kah akhir cinta mereka?

------

Kendaran sunyi menyelimuti perjalanan Nayla dan Hans. Mereka berdua terdiam, Nayla yang masih terisak. Hans yang menahan nafas seperti sesak. Nayla gadis yang ia sukai sekarang ada di depan matanya, wajahnya kusut. Seperti baru melihat kematian. Hans tidak tega dengan wajah gadis itu mengusut, ia tidak mau gadis itu merasa kehilangan. Hans merasakan di depan matanya, ada aura datar memancar dari sebelah tubuhnya. Nayla yang terdiam, memandang kaku ke depan kaca kendaraan yang mulai berembun karena dinginnya pendingin.

"Nayla"
Panggil pelan Hans. Nayla terdiam, tidak berkata sepatah katapun. Hans menghela nafas panjang, ia tidak mau menyerah begini saja.
Perjalan pun berakhir, Hans memberhentikan kendaraanya dan membuka pintunya. Berlari secepat mungkin membukakan pintu Nayla. Nayla terdiam, tidak menanggapi satu katapun tentang apa yang Hans bicarakan.

Hans merasakan Nayla tidak terlalu memikirkan keadaannya sekarang. "Nayla! Apa tidak ada yang lain?" Hans menarik tangannya dan meneriakkan suaranya yang meninggi karena terdiam. Nayla terkejut lalu menundukkan kepalanya. "Tidak tau! Aku tidak tau, Hans!" Nayla menunduukan kepalanya lebih rendah. "Kamu tau masih banyak lelaki di dunia ini yang akan mencintaimu, menyukaimu, atau menggemarmu. Tapi apa harus Skandar?" Nayla menaikkan kepalanya dan menggelengkan kepalanya
"kata-kata itu tidak berguna bagi gadis yang sedang berduka. Memang banyak lelaki di luar sana. Memang banyak perasaan yang akan mereka tumpahkan untukku, namun. Benar hanya Skan lah satu-satunya, lelaki yang aku cintai untuk pertama kali dalama hidupku. Aku tidak punya cinta, walau dulu aku pacaran hanya berbasis suka di depannya. Tapi Skan itu berbeda sangat berbeda"
Hans mengangkat wajahnya ke langit yang mulai mendung itu. Ia tersenyum lebar di sana sambil menahan sakit di hatinya. "Nayla, kamu benar-benar jatuh cinta padanya ya? Tapi walau begitu, setidaknya menolah pernyataanku baik-baik" menurunkan kepalanya seiring berakhirnya bisikan kata-kata itu. Nayla menggelengkan kepalanya lalu tersenyum "aku minta maaf karena menolakmu, aku minta maafkalau aku ternyata tidak peka denganmu selama ini. Tapi walau dirimu aku meminta maaf, walaupun begitu, apa masih mau menjadi sahabatku?"
Hans menggelengkan kepalanya "aku tetap menyukaimu, sampai kapan pun!" Nayla tertawa.

Mungkin karena sesuatu, hanya sesuatu,
kata-kata yang terpendam jauh di hati.
Bisikkan orang tentang itu,
tentang ketidakpastian yang akan terjadi.

Aku tetap akan percaya itu,
percaya akan harapan yang tidak mungkin.
Percaya pada keyakinan hati,
bahwa sebenarnya cinta sejati itu ada.

"Hans! Masuk ke apartemenku yuk, makan siang bareng"
"Boleh juga, kamu masak?"
"Mungkin"


Bab 20
Langkah Kecil Permulaan Baru


Beberapa minggu telah berjalan, aku sendiri menjalankan hariku dengan sempurna. Sejak pengakuan, sejak kedatangan, sejak dia muncul di depan mataku sambil menangis menyesal. Aku sebenarnya tidak ingin melukai hatinya, aku sendiri yang mau. Hanya aku sendiri yang harus dan mau tersakiti.

Aku membuka mataku pagi itu dengan rambu urak-urakkan berantakan. Felita yang memperiapkan sarapan ada di dapur dengan berisiknya. Aku merapikan rambuku dengan tangan dan senyum membuka jendela. Sinar matahari belum muncul, ku lihat jam ternyata sudah seharusnya sang surya menunjukkan cahayanya. Mendung.
Aku memperhatikan rintik yang mulai turun dari awas kelabu dan langit gelap di luar di balik jendela apartemenku. Aku memutuskan untuk bertemu dengan Felita di luar. Beberapa minggu lalu, Hans pergi ke apartemenku dan mengantarku serta tentu makan siang bersama.

Hari itu, aku benar sakit. Sakitnya tidak tertahankan. Mungkin saja, aku benar masih mencintainya. Bukan menyukainya. Skan. Skan lelaki lupa diriku itu menunjukkan wajah tangisnya untuk pertama kali, ia menangis seperti histeris. Apa yang sebenarnya ia ingin katakan hari itu? Maaf? Itu sudah aku maafkan meski ia tidak bicara sekali pun, entah hatiku remuk dan memintaku menjauh dari dirinya yang terbengong bingung karena tiba-tiba aku memeluknya dan langsung mengucapkan selamat tinggal.
Itu sakit, tapi itu yang harus aku lakukan untuk melupakannya.
Pikiranku masih menjalar kemana-mana, langkah yang tak ku perhatikan membuatku menabrak tembok antara dapur dan ruang tamu, tentu mengagetkan Felita.

"Kamu kenapa?! Tidak apa-apa kan kepalanya? Masa bisa sampe nabrak sih, hati-hati" Felita menaikkan wajahnya melihat Nayla yang menteskan air mata, mungkin karena sakit.

Aku membayangkan hari itu, di kostan kami. Suasana mencekam hari itu, hingga esok aku memberanikan diri masuk ke kamar Skan atas pesan Dedy. Dan melihat kondisi dirinya terkulai lemah di atas ranjangnya dan tertidur lelap. Aku tidak tau mengapa aku memikirkan itu, aku tidak terasa sesuatu membasahi pipiku dengan hangatnya mengalir. Bisakah aku masih mengharapkan dirinya ada di sini dengan senyum dan pelukkannya yang kurindukan?

Di tengah amuk sibuk, aku menggarukkan kepalaku karena ingatan itu. Ponselku bergetar, tertera

"Sharon"

----------

"Skan! Liat ke sini" Sasha dengan kerasnya memanggil namaku di balik lensanya yang tidak tebal itu.
Aku berdiri di pinggir tebing itu, memperhatikan matahari pagi yang mulai muncul dari balik laut biru membentang itu. Wajahku tersipu angin bertiup dingin melintas. Dengan kamera di kalungkan di leherku seperti biasa, aku mengingat hari beberapa minggu lalu itu.
Nayla ya? Sahabatku kan? Aku tidak punya hubungan yang jelas dengan dia selebih itu bukan? Terus mengapa aku tidak bisa mengusir pikiranku pergi tentang dirinya setiap harinya?
Rasa yang ku miliki yang untuk Sasha seorang, tapi aku sendiri bingung mengapa hari itu aku menangis, mengapa hari itu aku tidak tega, mengapa hari itu aku merasa tenang dekat dirinya? Mengapa juga, aku tidak merelakanya pada sahabatku, Hans..
Kepalaku sudah lepas dari perbannya, namun sakit itu masih ada setiap aku mengingat Nayla.
Siapa sih gadis itu sebenarnya? Mengusapkan keringat dari sebelah tanganku di kening. Aku menundukkan kepala sambil mengelengkan lambat, aku tak mau kalau sampai Nayla.. Nayla terluka karena diriku. Aku berfikir kalau Nayla bukan sekedar sahabat, bukan sekedar tau dirinya, bukan sekedar tau namanya, bukan sekedar bertemu dengannya dan tiba-tiba berlinang air mata. Itu berarti sesuatu, sesutu yang lebih menakjubkan tapi ingin kulepaskan, kulupakan, kurelakan. Namun, sepertinya diri Nayla terlalu dalam tempatnya untuk ku raih, serpihan dirinya ada padaku. Serpihan itu, serpihan persahabatn dan ingatan masa lalu? Sepertinya lebih dari sekedar itu. Sekedar serpihan ingatan yang mudah aku lupakan, tapi setiap aku mengingatnya, nyeri di dada dan kepalaku menyerang sakit.

Aku, diriku, ingin mengingat dia! Tapi apa pentingnya dirinya pada diriku?
Kuharap aku kau melupakanku? Tapi keinginan ku untuk menemukan jawaban ini terlalu menentang diriku yang di pikiran, tapi aku tidak ingin menyakiti Sasha, namun sepertinya aku..

Sebelum aku tersadar, sebelum aku menemukan jalan ke penuntasan, aku ingin menjalani sesuatu, sesuatu sebelum adanya jalan penuntasan!

Tapi aku tau pasti aku akan melupakan dia..
mencoba mencintai Sasha, aku akan coba melupakan atau, sekedar lupa kalau rasa yang pernah aku ada pada Nayla harus hilang. Atau harus aku lupakan nama Nayla itu, haruskah aku seperti itu? Sepertinya harus, aku tidak terlalu ingin tau rahasia apa! Habis sudah! Rasa ingin tau terhadap Nayla itu aku ingin lupakan, cukup. Tapi, apa sesuatu saat aku akan mengingat dirinya lagi? Bisakah?
Aku ingin Nayla, maksudku Sasha, dapat menerima ini. Aku tidak bisa memikirkan jalan apapun dulu, untuk sekarang cukup ini yang ku lakukan, semoga aku dapat melupakan nama itu.

---------

"Kamu apa sha?!"
Aku berteriak kegirangan mendengar berita itu.
"Iya La! Maneger kamu aku ini! Jadi kamu tidak sudah sendirian lagi! Bisa jaga kamu layaknya seorang lelaki!"
"Apa? Bisa aja kamu ini, oh ya? Mulai kerja kapan?"
"Minggu depan, sekitar tanggal 15 Desember"
"Wah? Jadi kamu nanti rayain ultah aku dong?"
"Iya dong! Pasti! Aku tidak bakalan biarin temenku ini rayain sendiri"
Aku tertawa terbahak-bahak seperti lepas dari alam bakanya. Tidak bisa mengira, sahabatku yang cinta aksesoris dan ilmu modisme ini bisa jadi menergerku. Di saat yang tenang di antara teriknya sinar, aku bangkit dan mengelengkan kepalaku. "Hari ini aku akan ke sana! Harus!"
Aku bangkit dan meninggalkan ponselku di meja tamu, berlari ke kamar mandi dan memepersiapkan diri.

Bisakan aku ingat sekali lagi?
Pepatah yang biasa kamu katakan, 6 tahun lalu?
Pepatah yang kamu bacakan lewat ponsel usangmu itu, dan terus membacakan itu hingga aku terlelap. Meninggalkan foto ku di atas meja menyelipkan setiap kata.
Ku harap, suatu hari nanti kita dapat bertemu, dan aku ingin kamu mengingat pepatah itu dan memberitahuku artinya.


Bab 21
Teringat Masa Lalu


Yogyakarta, satu setengah tahun kemudian.

Coba heningkan, sekarang aku memandang pasi ke depan tanpa pandangan berarti akal budi. Sebelum sempat aku sadarkan diriku, diriku sudah di panggil dari kamar studio itu.

"Nayla! Giliranmu sama fotografer terkenal ini!!"
Sahut Sharon dari kejauhan ambang pintu. Aku menyadarkan diriku, menggelengkan kepalaku mengusik ingatan yang mulai kembali itu, aku harus kembali bekerja!

---------

Makasar, satu setengah tahun kemudian.

Diriku yang sekarang memang berbeda, sudah hampir 1,5 tahun katanya aku lupa ingatan? Padahal aku tak tau apa aku lupa apa tidak. Kurasa tidak, orang yang sekarang aku cintai, Sasha. Ada di sampingku, menemani setiap langkahku mengingat segalanya. Aku ahli memotret, katanya aku fotografer handal Indonesia. Tapi karen sesuatu aku di undurkan dulu, di bekap istilahnya, di tutup. Aku berharap aku menemukan potongan yang masih hilang itu, ada sebuah nama yang aku coba ingat namun tak bisa!?

Selain temanku dulu kuliah, Dedy, Mei, Felita, dan seorang lagi. Aku lupa orang itu, ku coba mengingatnya, terkesan menyakitkan. Aku tak ingin melupakan orang itu, sangat tak ingin. Tetapi sekarang justru terlupakan, aku payah!!

Membantingkan kepalaku berkali-kali ke bantal seiring aku mencoba mengingat nama itu, hanya nama itu. Aku menghela nafas berburu karena lemas, berhari-hari aku mencoba mengingatnya.
Sekali ini aku berhenti, berfikir untuk apa mengingat nama itu? Masih banyak hal yang dapat aku lakukan, bukan berkali-kali mengingatnya, mencoba maksudnya.

Lalu ia teringat kejadian, hari itu. Malam terakhirnya di kota gemerlap, Yogyakarta.
Saat itu aku berjalan menuju sebuah taman keraton, sunyi. Bersama Dedy, aku berjalan ke sana dengan kantung plastik berisi batik bermotif indah bunga kembang sepatu bercorak warna jingga putih di tangan.
Sinar lampu remang, memperlihatkan wajah perempuan itu. Perempuan, yang kuingat sangat membuat diriku uring-uringan. Duduk di atas rerumputan dingin, bertiup angin menusuk. Ketika matanya menghadap ke arah mataku juga, kata-kata tak terbaca mulai terpancar.
Kesedihan, itu yang kulihat dari mata perempuan itu. Kerinduan dan nyeri, rasa itu, begitu membuat diriku tersiksa. Aku menggelengkan kepalaku, berharap ingatan ini pudar, namun.
Mulailah aku mengingat kejadian di esok. Kejadian di bandara yang menghadapkanku pada kenyataan yang membuat hatiku nyeri. Aku menundukkan kepalaku, meringis karna nyeri. Aku tak tahan ini! Kepalaku..
Kemudian "Tapi ku mohon, lain kali, suatu saat. Aku ingin kamu menyatakan sekali lagi, sekali lagi isi hatimu"
Hah?! Apa tadi barusan melintas?
Kalimat singkat, dari gadis itu!
Isi hati, isi hati?
Baik hari ini aku kembali bekerja!

Hari ini, aku dapat tugas memotret di sebuah majalah, tidak terkenal sih, tapi tak apalah, di bawa senang saja. Ketika aku melangkah pelan ke dalam studio, aku bertemu dengan gadis.
Ia tak secantik Sasha, tak seputih Sasha. Ia biasa dan kelakuannya sepertinya baik.
Aku melihat ia memakai Shal biru laut, dan sepatu fantovel abu-abu. Aku memperhatikan dia dari kepala hingga ujung kakinya. Sepertinya pernah melihat dia dimana?
Ku hadapkan wajahku ke arah lain dan menyangga tubuhku pada dinding yang ada "Skan, Skan, Skan. Dirimu ini mengapa?! Kenapa ketika melihat model tadi, aku jadi tak bisa berfikir baik?!"
Aku memalingkan kesulitan hatiku dan mencoba memfokuskan diri ke pekerjaan.
Perempuan di depan lensa kameraku tersenyum indah, ia bagai merpati.
Kenapa aku begitu kenal dengan perempuan di depanku ini, atau hanya mirip belaka?
Sebagai lelaki yang sudah mempunyai tunangan aku tidak boleh menyukai perempuan lain lagi. Tetapi, hatiku berbisik kecil, tolong ingatkan tentang sebuah nama yang sudah lama hilang itu. Aku terus-menerus memfokuskan pada pekerjaan, mencoba melupakan bisikan hatiku yang terus bergema-gema memintaku menyebutkan nama itu.

-------

"Nayla! Kamu kenapa? Hari ini terlihat lesu ketika di depan kamera?"
Sharon bertanya berteteran. Aku tersenyum pasih sambil menggelengkan kepalaku. Aku menundukkan kepala sambil mengigit bibirku, apa maksud bayangan tadi?!

Setelah selesai bekerja, aku berjalan ke pantai kota berbudaya toraja itu. Pantai indah, berhembus angin laut, bau asin kucium di mana-mana, melihat ke arah kanan, ada sebuah batu. Batunya biasa saja, besar dan punya panorama indah kalau di foto dari sudutku. Memegang lekukkan batu itu, aku menaruh tangan ke kepalaku, sakitnya kepalaku. Aku mencoba mengingat sesuatu yang sudah hilang lagi?
Entahlah! Sudah selama ini aku melupakan hal ini! Sangat lama!
Kemudian aku pulang sambil membanting pintu mobil. Mengendarai mobil, melihat fokus ke depan, tetapi. Aku rasa ada yang kurang. Sasha? Atau.. Nama hilang itu?
Berhenti di lampu merah, aku sempat memalingkan wajahku ke sebelah kiriku yang kosong, karena aku hanya sendirian naik mobil. Mengingat seseorang yang duduk di sana, bukan Sasha. Tetapi seorang lain, rambutnya terurai sebahu waktu itu, sedikit di shagy. Bajunya tak semodis Sasha, tetapi indah untuk orang biasa seperti dirinya. Aku mengusap mataku dan mengusap terus-menerus. Aku butuh sesuatu yang memacuku mengingat nama itu, tetapi aku sudah menyerah akan mengingatnya, sudahlah! Namanya masa lalu kan? Aku diam saja. Tapi terus, aku terpikir kata-kata itu
"Tapi ku mohon, lain kali, suatu saat. Aku ingin kamu menyatakan sekali lagi, sekali lagi isi hatimu"
Maksudnya apa?!

Sementara Nayla, di Yogya

Aku melihat ke arah pantai Parangtritis yang berhembus angin di sore hari. Indahnya pemandangan pantai, bagi kesegaran pikiran, ini hal paling pas. Sharon sibuk kesana-kemari membeli makanan kecil. Aku hanya menjongkokkan tubuhku dan merendam kakiku ke dalam desiran ombak yang sunyi dan asin. Saat bangkit, aku menghadap ke belakang, parkiran mobil di atas bukit. Kataku pelan. Aku berjalan mendaki bukit itu, dan terhenti di sebuah tempat parkir biasa, tetapi memiliki pandangan luar biasa, pemandangan ini..

Aku menghadap ke arah Sharon yang membawa kantung plastik "La! Masa ke tempat setinggi ini sih??"
Tapi aku tak hiraukan sedikit perkataanya, dalam renungan pikiranku, aku melihat ke arah batu di bawah, melihat seseorang yang menggendongku, memelukku erat malam itu. Mengatakan kata-kata tertusuk, dan malam itu, aku mengatakan pernyataan itu sendiri. Pepatah kata basi yang dulu pernah kami semangati bersama, kini telah di lupakannya.

Apa dia baik-baik di sana ya?
Pasti sudah lupa denganku..
Aku sudah merasakan ia lupa, tetapi, hatinya masih tetap mau mengejarku, mencoba menggapai serpihan yang dulu aku jatuhkan bersamanya kembali. Sharon duduk di sebelahku sambil memandang langit petang yang mulai memantul di air laut asin "La, kenapa sih kamu pengen ke sini terus? Padahal tidak ada bagusnya juga"
Aku menghadap terus ke langit petang, dan menjawab sambil tersenyum "kamu tau lah kenapa aku senang ke sini? Foto yang pernah aku tunjukkan padamu itu"
Aku kembali menundukkan kepalaku, dan menangis lagi. Tapi aku tau, aku pernah berkata pada diriku sendiri, tangisan air mata ku ini, sia-sia saja.
Karena mana mungkin yang sudah hilang bisa kembali bukan?

-----------

Sesampai di rumah, aku melihat Sasha asik memainkan ponselnya, ku kira ia memperhatikanku. Tapi ketika aku melangkah dekatnya, ia pun tak sadar aku berdiri di depannya. Sakit, tapi memang sudah terbiasa. Aku pun meninggalkannya di teras rumah yang sepi itu. Berjalan ke taman, dekat kolam itu aku duduk dan menelentangkan badanku di atas rerumputan. Melihat ke atas, melihat ke langit, dan menghela nafas pelan.
Aku sebenarnya ingin melupakan ingatan terakhir itu, hanya ingatan terakhir itu. Aku menatap sekali lagi ke kamera yang ku kalungkan, aku melihat hasil pemotretan tadi, dan melihat foto Sasha, dan kebanyakan foto seperti panorama dan dulu tugas kuliahku. Tetapi, perlahan mulai aku sadari, ada folder bertuliskan sebuah nama.

"Nay's Photos"

Nay? Milik Nay? Apa maksudnya ini? Apa ada hubungannya dengan gadis itu?
Aku karena ingin tau, aku buka dan, inilah yang menghadapkan diriku pada kenyataan yang tak pernah aku bayangkan. Kenyataan yang benar-benar membuat hatiku kembali sakit. Kepalaku geram, ingin mengetahui siapa perempuan di foto ini. Gambar-gambar diriku banyak bersamanya, foto dirinya ada banyak di folder ini. Kenapa tak kuhilangkan, tapi malah ku simpan rapih tak tersentuh oleh siapapun. Aku mulai mematikan kameraku dengan perlahan manaruhnya di atas rerumputan hijau. Aku meringkukkan tubuhku dan melihat ke bawah, perlahan aku merasa ingatan itu mulai perlahan kembali, gadis ini, Nay namanya? Atau? Haria aku tanyakan pada Sasha!


Bab 22
Catatan Ingatan


Aku bangkit, dan meninggalkan kameraku sendirian di atas rumput hijau. Berlari ke arah Sasha, dan bertanya "Sha, kamu tau gadis yang dulu dekat denganku?!"
Sasha terkejut, dan menundukkan kepalanya, mencoba menjawab tapi tak bisa. Terbata-bata kesan bibirnya mulai terlihat. "Siapa Sha?! Siapa dia?!"
Sasha terdiam, ia kemudian menangis. Aku pun tak menunjukkan wajah peduli, hanya menunjukkan kesan paksaan yang benar-benar membuatku sakit dan muak selama 1,5 tahun ini!
"Skan, kamu ingin tau? Benar ingin tau?"
Tanya Sasha di tengah amarah dan kekesalanku, aku mendengarnya perlahan.
"Skan, dia itu..."

---------

Nayla!!
Kamu ikut ajang model di Makasar, di Bunaken loh!!
Seru banyak orang yang mengiringi kepergianku ke bandara. Aku melambaikan tangan, dan senyum palsu ku pasang di wajah. Sharon melihat wajahku mulai melekuk, dan mulai rapuh. Aku mulai teringat..

"Nayla! Jangan begini, sejak kamu tunjukkan foto itu di bandara Surabaya. Kau tau kan? Apa yang kau harus lakukan setelah kau menceritakan isi kehancuran hidupmu dulu padaku?!" Kau bangkit Nayla!
Aku berseru dalam diriku yang meneteskan air mata untuk arti yang sebenarnya. Kali ini lagi aku menangis untuknya, setelah sekian lama aku tak meneteskan air mata sepedih ini, masa-masa dulu sudah tiada. Apa Skan juga telah tiada?

Perjalananku bandara Palangkaraya. Menyakitkan, tetes demi tetes aku sedihi lagi. Skan, apa kali ini kita akan bertemu? Sudah hampir 2 tahun lamanya aku tak melihatmu lagi, setelah pertemuan singkat, dan mengangkat namaku dari ingatanmu..

-----------

Masih saja menunggu Sasha di teras, katanya ia ingin menunjukkanku sesuatu. Lama menunggu akhirnya ia membawakanku sebuah kotak tua, sudah sedikit berdebu. "Skan, aku simpan ini. Ini milikmu"
Ku buka dan tertera di sana sebua kertas yang warnanya sudah menguning, dan agak berbau lama.
"Bukalah kertas itu, dan akan tertera jawaban ingatanmu akan diri perempuan itu, ia juga, orang yang kau pentingin lebih dariku, sayangi lebih dariku, aku sengaja menyembunyikannya. Agar kau akan selalu mencintaiku, tapi sepertinya, aku egois. Aku tau, kalau sebenarnya.. Kau itu bukan milikku. Aku menguncimu dalam ke egoisanku selama ini, maaf ya"

Aku membuka kertas itu dan terkejut sambil mendengar pernyataan Sasha padaku. Keras itu sengaja di lipat rapih, ada yang sudah rusak. Sepertinya surat ini panjang, dan untukku?


From Nayla

Skan! Cepat sembuh ya. Aku tau pasti saat kau membuka surat ini aku sudah kembali ke Jogja. Ku harap kau dapat segera bangun, dan kita bisa foto-foto lagi! Walau kamu akan bersama Sasha, walau kau sudah menyatakan pernyataan itu padaku, tapi apa yang sudah terjadi, ya sudah terjadi.

Skan, aku mau kamu jadi milikku, tapi aku tau itu bukan keinginanmu, kau sudah ada Sasha sekarang. Aku hanya sahabatmu, dan aku hanya bisa mendukungmu agar menjadi yang terbaik.
Nayla mau Skan dapet yang baik!

Skan mudah-mudahan bisa smsan lagi ya, bentar lagi Desember! Ulang tahunku ke 24! Datang ya! Maaf aku tidak bisa hadir di pernikahanmu dengan Sasha, aku tau kau pasti tak mementingkanku juga..

Aku mau kamu bahagia, jangan sakiti hati Sasha, seperti yang aku lakukan padamu, dan kau memang benar,

"Aku ini siapa?"

Tertera penulis,
Nayla

A..ap..apa?! Ah! Ya!
Nayla..
Nayla...
Nayla!!!!

Nama yang aku hilangkan dari ingatanku. Ia nama yang ku cari selama ini, ia lah yang membuatku kewalahan, semua karenanya. Yogyakarta, Surabaya?! Semuanya!

Jadi selama ini, Nayla. Nayla selalu memperhatikanku, dan aku jadi tau apa maksud kata-katanya hari itu. Ia ingin aku mengatakan sesuatu jujur dari dasar hatiku yang dulu terpendam oleh kebohongan. Nayla, gadis yang kukira hanya sebatas sahabat, cerita-cerita Dedy yang dulu ia katakan, kata diriku sebelum kecelakaan. Semuanya, terarah langsung ke Nayla. Nayla menulis kata-kata yang pernah ia katakan padaku dulu, ia benar-benar.

Namun, mengapa?

Kenapa Sasha sejahat ini, surat ini sudah lama, 1,5 tahun lalu.
Kewalahan mencari informasi, aku bergegas meninggalkan Sasha, dan aku belum menikah karena kondisi ku yang belum memungkinkan, dan sekarang aku tau apa yang harus aku lakukan.
Mencarinya, mencari potongan yang hilang dalam pikiran dan hatiku selama ini, Nayla.

Aku berkeliling hingga larut malam, entah aku kenapa, mungkin karena aku terlalu tersakiti, aku jadi begini.
Terasa Sasha menyembunyikan kebenaran isi hatiku selama ini, aku berhenti di pantai tak jauh dari tempat aku kecelakaan dulu.
Dan hembusan angin pantai menyelimuti tubuhku, tertidur lah aku di pasir putih itu..


Bab 23
Pasir Putih


Aku berjalan menyusuri kota Makasar yang sudah lama aku tak langkahi. Banyak wartawan di sana, aku dan Sharon berusaha meninggalkan bandara, dengan mobil sewaan perusahaan. Larut sudah aku sampai di sana, malam.
Aku dan Sharon memutuskan langsung ke hotel, dan memfokuskan hari esok di studio.
Aku menghadap ke luar jendela sambil melihat deru kota Makasar yang ramai, dan kami sampai di hotel cukup larut malam. Sharon sibuk dengan persiapan hotel, sementara aku ke kolam renang. Tempat ini, aku ingat, tapi aku tak mau mencoba mengingatnya terus. Seseorang berjongkok di sebrang sana, memegang kamera yang biasa ia kalungkan, dan kemudian. Aku bertemu dengannya lagi, berbalik badan dengan wajah air mata mengalir. Aku menghadap ke arah lain seiring bayangan dirinya mulai menghilang. Kenapa terus kuingat dia, aku tak ingin mengingatnya terlalu prihatin. Karena kepalaku sakit, aku memutuskan ke pantai tak jauh dari hotel itu. Meninggalkan Sharon sendirian, aku berjalan kaki. Perlahan demi perlahan langkah ketika pantai itu terlihat, dari kejauhan terlihat laut. Aku sudah lama tak ingat, desiran air, bau asin laut, hembusan angin malam yang tenang, semuanya kembali teringat. Tempat ini memang seperti menyedihkan. Aku menghadap ke arah kanan kiri, dan aku terhenti. Ke arah batu, langkah aku ambil. Mendekat dan terlihat di sana, bayangan masa lalu yng dulu aku lupakan..

---------

Sasha mengatahui, kekasihnya hilang. Ia segera mencari Skandar hingga larut pula, dan belum bertemu dengannya. Ia pun tersendat, dan mencoba mengingat, Skandar senang sekali pantai yang tak jauh dari perumahan Sasha. Segeralah ia kesana, dan mendapati Skandar tertidur di pasir putih tidak jauh dari mobilnya terparkir. Sasha menghampirinya, pelan ia ambil tindakan. Ia tau sekarang, ke egoisannya harus terbayar dengan sesuatu yang harus ia relakan, demi kebahagiaan orang yang ada di depanya sekarang.

Sasha, mungkin dirimu tergambar karakter penghacur sebuah kisah bahagia. Tetapi peranmu di sini akan mengajarkan siapapun yang akan jatuh cinta, dan bersiap menerima tantangan demi orang yang mereka cintai.
Sasha pernah bilang ke Nayla, kalau dirinya hanya menyukai Skandar, bukan mencintainya. Ia juga baru menyadari, bahwa ia lupa dengan perkataannya beberapa tahun lalu itu. Tau bahwa Skandar juga menyukainya, tapi ia ingat. Skandar hanya menyukainya, bukan mencintainya. Dan juga, tindakan yang ia ambil salah, mengambil Skandar dari orang yang paling di kasihi Skandar.
Nayla, kelihatan seperti gadis yang tak pernah tertandingi. Tantangan ini harusnya ia tidak ambil, namun ke egoisannya mengambilnya dan menjadikannya sebuah tantangan. Padahal jika di lihat, Skandar bukan lelaki yang seperti itu. Menerima segalanya begitu saja. Ia dengan pantang menyerah mencari Nayla.
Sasha tau, sekarang ia akan melepaskan Skandar, sebelum ia melepaskannya. Harus ada sesuatu yang ia lakukan.
Dalam renungnya di pantai pasir putih itu, ia berfikir dan menangis di depan Skandar yang bermimpi.

"Skandar, aku sekarang akan mencoba membahagiakan dirimu, aku akan mencoba meminta kata 'maaf' darimu. Aku juga akan mencoba mempertemukanmu dengan potongan hatimu yang hilang itu, Nayla"

-------

Sisi lain pantai.

Aku melihat di pantai pasir putih itu, bayang-bayang masa itu. Malam dingin desiran air laut yang menyedihkan itu membawa segalanya pergi dariku. Walau kelihatan berasa beda, tapi aku cukup mereda. Semua tangisanku tak terbayar tak apa. Aku hanya ingin Tuhan, mempertemukanku dengan Skan lagi, hanya sekali saja, aku ingin melihat senyuman hangat dan khas dari punggung yang biasa ada di depanku dulu.
Kejahilannya membuat diriku khawatir. Aku melihat ke arahnya sekarang, tidak berani menjawab semuanya dengan perlahan. Jika hal itu memang terjadi..
Aku tidak segan, tersenyum bahagia saat di depannya, senyuman tulus, yang telah lama hilang dari ingatan dan hatiku. Serta artinya, keyakinannya, dan bayaran yang harus aku terima.

Berharap masa lalu bisa terulang..

-------

Dasar mimpi ini membuatku kewalahan mencarimu. Tapi aku tidak akan menyarah, karena aku merasa, bahwa dirimu ada di sini, dekat sekali denganku. Dan tentu,
Nyata.

Aku tertidur dan terbangun di mobilku. Aku melirik Sasha ada di sebelahku menyetir. Wajahnya yang kaku, dan tidak seperti baik menyembunyikan emosi dariku. "Sasha, kamu kenapa? Kita mau kemana?"
Sasha hanya terdiam, dan sampai di rumahnya. Aku melihat Sasha keluar dari mobil dan membukakan pintu untukku. "Skandar, keluarlah, ada yang ingin aku bicarakan" tidak seperti biasanya dia seperti ini. Sepertinya, ada sesuatu yang akan terjadi.
Aku di ajaknya ke taman, angin malam begitu dingin. Bunyi serangga dan terangnya kunang-kunang mengiringi perjalan ke taman yang beberapa sisinya ditumbuhi ilalang tinggi. Kepalaku mulai terisi banyak hal, Nayla. Nama itu terbentur-bentur di kepalaku, kenapa Nayla? Harus aku akui, aku lupa. Lupa tentang kehidupan Nayla, hanya mengikuti lekuk wajah dan tubuhnya saja sudah hampir sakit kepalaku mengingatnya.

"Skandar, kita putus saja"

Di tengah benturan kata-kata di kepalaku, Sasha berkata pelan. Ia berhenti tepat di dekat jembatan kolamnya yang terlihat pantulan bulan terang malam itu. Aku menggelengkan kepalaku, dan mengelak apa yang barusan ia katakan.
"Sasha?! Kita putus?! Maksudnya apa?!"
Aku berkata keras padanya, dan ia menjawab cukup menyakitkan, kejujuran yang ia sembunyikan tentang serpihan ingatanku, akan Nayla..

"Skandar, seperti ini. Aku tau, aku egois. Aku mencoba membuatmu jatuh padaku, namun usahaku banyak gagal, malahan segalanya gagal. Aku sembunyikan kenyataan yang harus aku terima akan dirimu. Dirimu yang pantas di sisi orang itu sekarang, telah aku usahakan tebuang, dan di gantikan olehku. Aku sendiri yang mencoba mengukir kata cinta pada hatimu untukku, aku sendiri yang berusaha agar kau melupakan Nayla, meski kau lupa ingatan akibat kecelakaan. Salahku begitu banyak, aku akhirnya sekarang mau menyadarkan dirimu. Lebih baik kau kejar dirinya, mencobalah mengingat dirinya, mencobalah untuk mencintainya lagi. Mungkin kamu akan terlambat, tapi aku usahakan agar kau tepat waktu, mendapatkan hatinya lagi. Kau sadar kan? Ia sudah tersakiti olehku sekarang, dan dirimu yang melupakanya merupakan kelengkapan penderitaan baginya"
Esok akan ku carikan tiket, dan aku akan mengantarmu kembali ke tangan Nayla, di Yogyakarta nanti.
Jadi Skandar, bisa kau maafkan aku?"

Sasha menunduk dan meneteskan air dari matanya, yang perlahan jatuh di atas rerumputan hijau. Aku berdiri, tidak bergerak satu nafas pun. Diriku menahan kenyataan lagi, segalanya sekarang sudah terlihat di wajahku, semuanya sudah terpapar lagi di hatiku.

Nayla, bagaimanapun aku mencoba. Apa kau akan memaafkan aku? Ketika aku mencoba mencintaimu sekali lagi?


Bab 24
Mengejar, dan Mencoba Mendapat Sepatah Maaf Darimu


Esok yang terik, panas menyengat. Melihat ke arah berat matahari siang. Terik sekali, di studio pun panas sekali. Pekerjaan yang aku selesaikan bersama Sharon pun di kerjakan secepat kilat. Indahnya ketika berpikiran pantai, entah ingin aku ke pantai. Sekali ini, melakukan pekerjaan seharian penuh dari pagi tadi. Izin Sharon akan aku ke pegunungan merupakan hal bagus. Aku juga akan mencoba memotret lagi, dan mudah-mudahan hasilnya memuaskan.
Model muda sepertiku, hal yang biasa melakukan pemotretan bukan?

Pegunungan Makasar, terlihat indah dari ketinggian. Lautan luas, kapal berlayar, panorama sempurna untuk memotret. Berdiri sendirian di dekat batas ujung jurang pegunungan, merenungkan setiap datik yang aku pakai, andai bersamanya.
Lamunan di kagetkan, seseorang menepuk bahuku. Melihat ke belakang, berdiri dia. Memegang sebuah tas coklat kehitaman, dengan sepatu fantovel hitam.
"Nayla, ini kan dirimu yang sekarang?"
Aku menghela, serasa tak percaya. "Sasha?!" Teriakku kencang di depan wajahnya yang pucat. Ia mengangguk, dan memberikan sebuah jawaban kata-kata sedikit terbata.
"Nayla, bisa maafkan aku?" Katanya pelan. Aku menggelengkan kepala dengan jawaban tidak tau apa yang ia barusan katakan. Aku melihat ke arah Sasha yang mulai memucat. "Apapun salahmu, aku sudah maafkan"
Ia pun memelukku "kamu memang orang yang baik Nayla! Oh ya, tujuan ku ke sini"
"Ini berlebihan Sha, ada keperluan?"
Aku melepas pelukkannya dan memasang wajah agak aneh. Ia pun segera mengajakku duduk di dekat bebatuan berlumut itu, dan mulailah ia berkata..

"Nayla, ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu, masalah Skandar"
Sasha berkata sedikit tersendat. Ia memalingkan wajahnya dariku, ia terasa berat mengatakan kejujuran yang harus ia terima.

"Aku dan Skandar, sudah putus kemarin. Aku menunjukkan segala ingatan tentangmu padanya. Karena setiap hari, setelah kecelakaan itu, ia selalu menggerami kepalanya, dan sering sekali bertanya padaku 'ada yang aku lupakan ya?' Sering sekali. Aku sering menggeleng dan menganggap bahwa kamu akan terlupakan olehnya dan di gantikan olehku di hatinya, tetapi perkiraanku meleset jauh. Ia selalu berusaha mengingat setiap serpihanmu, kenanganmu, air matamu, senyum dan ketulusanmu. Sepertinya sejak dari Jogja ia menjadi aneh, ia waktu itu minta pulang awal. mungkin karenamu, aku ingat dulu aku khawatir sekali ia bertemu denganmu. Tapi sepertinya tidak terhindar ya. Diriku hanya penghancur cinta antara kalian, diriku bukan peran baik dalam kisah kalian. Aku minta maaf atas ke egoisanku, La. Aku benar-benar meminta maaf padamu"

Sasha menurunkan kepalanya, mulai berlutus dan berkali-kali berkata maaf kepadaku yang berdiri. Aku menggenggam dirinya, dan memeluknya erat, aku pun melihat dirinya seperti diriku dulu yang merasa kehilangan. Aku tau rasa itu, itu sakit. Dan sekarang aku mencoba memperbaikinya, dan mengubahnya lewat cara yang baik.
"Sha, aku sudah merelakan Skandar untukmu. Aku sudah benar-benar menganggapnya bukan siapa-siapaku lagi"

Sasha terhenti, ia melepaskan pelukkanku dan berdiri. Ia memasang wajah kesal yang marah. "Pakkk!!"
Aku di tampar olehnya kuat, aku terbelenggu melihat ekspresinya yang begitu jujur.
"Nayla! Aku sudah merelakan Skandar juga! Untukmu! Tau!!? Dia sekarang entah kemana mencoba mencarimu! Kalau kau sebegitu kejamnya padanya, aku tidak akan mengembalikan Skandar lagi!"
Marah Sasha dengan matanya yang memerah, aku menghadap Sharon yang berdiri kaku di belakang Sasha. Sharon tak berkutik hanya melihat aku dan Sasha beragumen. Sasha melihat pandanganku tertuju pada balik tubuhnya, kemudian ia mengikuti arah mataku melirik.

"Sasha ya? Sasha si fotografer itu?"

Kata Sharon sedikit menahan kegembiraan. Ia kemudian membantuku berdiri dan menyalami Sasha dengan senyum bahagia. "Sudah kau terlalu berlebih" sahutku pada Sharon yang mulai mengeluarkan sifat anehnya. Sharon menghadapkan wajahnya padaku seakan ada sesuatu yang aneh menempel di sana.
Aku menggelengkan kepala dan meninggalkan Sharon sesaat. Sasha kembali mendekatiku, nanti malam, temui aku di pantai ini ya, aku mohon. Ada hal yang harus aku bicarakan.
Aku menghadap wajahku ke Sharon, dengan pertanyaan "apa boleh aku ke Yogya sendirian?"
Seperti biasa, Sharon mengangguk dan membiarkanku melakukan aksiku sendiri, walau seperti biasa cek cok dulu melewatinya sebagai rintangan.
Ia segera menjauh dengan ponsel di tangannya dan menelfon seseorang. Sasha menurunkan punggungnya dan membungkuk "permisi" katanya. Setelah itu dia pergi, dan tak berkata apapun. Aku memasang wajah sedikit aneh ke arah ia mulai meninggalkan tempat itu. Sharon yang menghampiriku berkata lantang-lantang di depan telingaku, entak aku tak mendengarnya.
Sekarang pikiranku hanya ada Sasha dan sesuatu yang ia sembunyikan. Pikiranku berputar, seperti lama menemukan jawaban.
Lebih baik aku ke hotel dulu, dan mempersiapkan diri untuk malam, sementara Sharon yang bersiap pulang ke Yogya telah memesan tiket 2 buah, katanya untuk besok dan tiket cadangan.
Aneh bukan? Sharon aneh.
Aku lebih baik berfikir positif saja, siapa tau, bisa terjadi hal baik. Keadaan semakin saja terbalik, hal-hal pengacau pikiranku muncul terus.

Perjalan ke hotel, merupakan perjalan yang cukup lama dari pantai itu. Aku kehabisan pikiran sekarang. Kepalaku kosong tak berisi, seketika aku menahan nafas, dan menghelakannya lagi perlahan. Aku menghadmdap matahari sore yang mulai terbenam itu, dan seketika tetesan matahari terakhir menghilang, aku memejamkan mataku dan membayangkan, kalau dia berada di sana.

Sementara itu, di tempat lain.

Aku membuka mataku, hari itu sudah menjelang malam kembali. Aku menaruh tanganku di atas wajahku. Menutup mata dan mencoba mengingat kejadian kemarin. Aku membenamkan semuanya dalan kotak berisi surat, yang berada tidak jauh dari ranjangku sekarang. Kotak berisi kenangan itu..
Aku lebih baik bangun dan mencoba menyegarkan diriku, setelah hampir seharian penuh aku tertidur. Benak terasa lega, dan menyegarkan, ketika aku menginjakkan kaki di luar rumah, dan berdiri Sasha di sana. Aku menghampirinya dan melihat lekat wajahnya yang suram itu, dan pucat. Ia melihat ke atas dan menemukan wajahku di sana. Ia menundukkan kepalanya lagi "Skandar, nanti malam kita ke pantai yang biasa kamu datangi? Aku ingin ke sana, tapi kamu berangkat nanti duluan ya, aku ada urusan. Nanti ketemu di dekat tempat parkir di atas bukit"
Aku menggarukkan kepalu seiring mengangguk, dan melihatnya pergi kembali menaiki mobilnya dan hilang di antara keramaian. Sekarang sepertinya dia menyembunyikan sesuatu?
Lebih baik aku bersiap untuk nanti malam.

--------------------

Mereka berdua tidak tau, apa yang di rencanakan Sasha. Satu persatu mereka persiapkan untuk pertemuan tak terduga nanti malam, di pantai pasir putih itu. Seketika Sasha berjalan menyusuri jalan raya, ia menemukan banyak hal yang harus ia pikirkan. Skandar sekarang bukan siapa-siapanya lagi, sekarang hanya seorang lelaki yang kehilangan arah. Dan ia hanya bisa membantu dengan menuntunnya lagi ke jalan yang benar, ke arah yang benar. Bukan ke egoisan yang ia pakai sekarang, ia sudah lelah akan usahanya, dan sekarang ia akan mencari cinta, benar-benar cinta baru.

Malam menjelang, langit mulai gelap. Malam itu sedikit ada bintang. Sinar bulan sabit juga indah malam itu. Hembusan angin pantai, menerpa setiap detik jalan seseorang lalui. Desiran laut tak terhindari dari pantai pasir suci putih itu. Dingin menusuk, tak terhindar apapun yang yang dapat terjadi di sana.
Bisa perkiraan yang tepat?
Malam itu, apa bisa jadi pertemuan perubahan? Yang merubah kejadian masa lalu menjadi hanya jalan keras menuju kebenaran?

------------------

Aku memakai baju putih bergaris biru, kaus lengan panjang dengan celana pendek coklat, serta sepatu boots hitam sederhana. Di dalam kendaraan itu, Sharon sibuk mempersiapkan tasnya. Aku duduk dengan tas selempangku, dan di antar hingga ke tempat parkir di atas bukit pantai itu.

Sementara Skandar...

Aku melihat jam, dan melihat sudah larut sekali. Aku ingat harus pergi ke pantai itu, di tempat parkir di atas bukit menemui Sasha. Memang biasa, tapi aku sudah lebih awal di sana. Sasha belum terlihat, aku melihat ke arah tebing, dan sepertinya mempunyai panorama bagus, aku lebih baik ke sana dan coba mengambil beberapa gambar. Dan meninggalkan lapangan parkir itu, sambil menunggu Sasha.

--------

Aku sampai, dan mengucapkan selama tinggal pada Sharon yang akan berangkat kembali ke Yogya malam itu. Aku melihat di atas sebuah kendaraan roda empat hitam. Seperti sedan terparkir di sana. Aku melihat kursi yang kami duduki tadi sore, dan aku menunggu Sasha di sana. Sambil berulang kali melihat ponselku, apa ada telfon dari Sasha atau tidak?

Di tengah waktu senggang, aku menunggu. Kemudian terdengar langkah seseorang melangkah di belakangku.

Sasha?

---------------

Skan kembali dari petualangannya di dekat pinggiran pantai. Ia kembali dengan menemukan seseoramg sedang duduk di banggu kayu sedikit lapuk itu. Sinar memantulkan tubuhnya yang biasa dengan kaus putih bergaris biru. Ia melangkah mendekat dan demi langkah ia ambil.

Ia membalikkan tubuhnya dan melihat seseorang di baliknya. Seseorang dengan kamera SLR, dengan kaus panjang hitam, celana jins dan sepatu kets. Nayla melihat dengan wajah terkejut. Ia melihat wajah orang itu dengan wajah dan kagetan sama dengannya. Sinar bulan membuatnya lebih jelas, dan mereka berdua berpandangan.

Skan lama berdiri akhirnya mulai mendekat dengan wajah kaku dan tertahan nafasnya. Nayla yang pada saat itu juga kaku, tak berkutik. Skan mendekat dan akhirnya, berada tepat di depan wajah Nayla yang mendongkak ke atas.

-------

Aku melihat wajahnya sekarang, sinar bulan begitu terik. Aku melihat ia mulai berjalan ke arahku. Aku tak bisa bergerak. Tubuhku kaku, nafas tersendat, semuanya kenapa terasa begitu sulit. Akhirnya, ia sampai tepat di depan wajahku yang mendongkak ke atas, melihat wajahnya yang berpandangan tepat saling melihat mataku.Ia memberikan sepotong kertas berlipat mungil. Warnanya sudah kekuningan, agak tua memang. Aku mengambil kertas itu dan tak lepas dari pandangannya, dan kali ini aku terkejut. Pertanyaan dari mulutnya yang begitu kaku tapi tak terbata.

"Apa kamu, Nay yang aku cari?"

Dia memelukku erat, tak melepaskan sedikitpun dekapannya. Ia terus memelukku, siapa dia? Aku pernah melihat air mata yang menetes sekarang dari matanya, aku tak sanggup berkata apa-apa lagi. Aku meletakkan tanganku perlahan di punggung yang tegak itu, dulu pernah duduk di depanku. Aku memeluknya erat, sampai aku tidak permisi pada air mata yang turus sekarang di pipiku.
Apakah dia, mengingatku?
Aku menangis.
Aku tersedu.
Aku terharu.
Ia berkata di depan telingaku, sambil menangis. Aku mendorong tubuhnya menjauh, aku menatap wajahnya yang basah akan air mata. Tak kusangka ia akan mengingatnya, masih mengingatnya.

"Aku.. Aku.. Selalu memaafkan semua kesalahamu. Aku tidak akan bisa tanpamu, senyumku, sedihku, amarahku. Semua itu hanya terkuak akanmu. Aku tau itu, kau bukan cinta pertamaku juga, aku juga berharap yang sama.
Skan, aku..
Aku tak sanggup berkata apa-apa lagi. Selama ini kamu masih mengingatku? Masih mengingat potonganku? Aku tidak sangka akan itu. Aku kira kau benar tidak mengenaliku sebelumnya. Sejak malam di Jogja itu, hingga esok paginya dan setiap kata-kata tulusmu itu. Skan, aku tetap memilihmu. Aku mencintaimu selama ini, selamanya"

--------

Aku melihat dirinya, duduk di sana dengan bayang hitam terbelakang sinar bulan.
Aku mulai mengambil langkah mendekat.

Aku melihat ia mulai berjalan ke arahku. Aku tak bisa bergerak. Tubuhku kaku, nafas tersendat, semuanya kenapa terasa begitu sulit. Akhirnya, ia sampai tepat di depan wajahku yang mendongkak ke atas, melihat wajahnya yang berpandangan tepat saling melihat mataku.

Aku melihat wajahnya, dan kedua mataku lekat di kedua bola matanya yang berkilau pantulan cahaya. Aku perlahan, mengeluarkan surat, yang kemarin Sasha tunjukkan. Dan memberikkannya pada gadis di depanku, seiring bertanya

"Apa kamu, Nay yang aku cari?"

Ia kaku, tak berkutik. Aku tak banyak mau berkata lagi. Satu hal yang benar-benar aku ingin berkata padanya. Sambil memeluknya langsung, benakku telah berkata, dialah gadis yang selama ini, tersakiti oleh aksiku. Keacuhanku terhadap perasaan dia. sesungguhnya selama ini, akan aku minta permohonan maaf. Aku salah! Aku salah banyak padanya, sekarang hatinya mungkin tak bisa untukku lagi, tapi setidaknya, ia mau memaafkanku lagi, untuk terakhir kalinya..

Aku memeluknya terus, sambil perlahan meneteskan sedihku dan rindu akan dia di sana.
Bertanya pertanyaan, yang memang aku ingin tanyakan padanya.
"Nay, bisa maafkan aku tidak? Aku terlalu berdosa sekarang di matamu, aku tak sanggup lagi berkata selain memohon maaf. Aku salah, aku melupakanmu! Karena aksiku yang kebut waktu itu, untung kau tidak apa-apa. Aku kesal dan menyesal, aku ingat semuanya, hanya satu yang tak kuingat. Sebuah nama, nama seseorang yang aku cintai, mau seberapa aku lupa, sakit, kecelakaan, atau mati. Lalu hari di Jogja itu, kata-kata semuanya masih aku ingat jelas. Pagi di mana aku mengacukkan kata-kata itu padamu. Ingat tidak? Kata ini? 'Tapi ku mohon, lain kali, suatu saat. Aku ingin kamu menyatakan sekali lagi, sekali lagi isi hatimu'
Aku sekarang sudah ingat maksdunya, aku tidak bisa mengelak kenyataan bahwa, hanya dirimu Nayla, hanya Nayla. Walau kau bukan cinta pertamaku, aku berharap kau cinta terakhirku.
Nayla, salahkah aku. Mencintaimu sekali lagi?" Lalu..
Dia menangis di depanku dengan jawaban itu. Aku terjatuh ke tanah. Ia benar Nay yang aku cari. Dia masih menerimaku? Mudah sekali.
Langkah lambat mulai ku ambil,
kudekati dia, lalu memeluknya erat dengan erat.

---------

Sebelum jam berputar, bisakah? Kukatan dengan baik kalau aku merindukan kejujuranmu?


Bab 25
Kenyataan


Skan memeluk Nayla dengan erat digenggamnya. Ia tak sanggup melepasnya untuk beberapa saat, sekarang ia mulai kembali teringat ingatan-ingatan yang dulu pernah terlupa. Sepatah kalimat terucap keluar.

"Nay, aku selama ini lupa akan dirimu ya?"
"Bisa dibilang, ya. Eh tunggu, apa?!"
Nayla melepas pelukkannya dan terbelak kaget di depan wajah Skan yang tersenyum licik.
"Apa maksudmu menanyakan itu Skan?"
"Aku kembali Nay"
"Kamu dari? Kembali? Apa maksudnya Skan?"
"Harus kujelaskan lagi?"
Skan merentangkan tangannya sambil tertawa. Nayla melangkah mundur, sambil menarik tangan membukam mulutnya yang menganga terbuka. Ia tidak percaya apa barusan yang dikatakan Skan.
"Eskpresimu! Aku rindu sekali!"
Skan tertawa sambil menarik kamera di belakang punggungnya dan langsung memasangkan tangannya dan

'Klick'

Nayla melebarkan matanya dan langsung berlari ke arah Skan yang melihat hasil jepretan itu sambil tertawa-tawa Skan membawa lati kameranya. Nayla mengejar Skan yang turun dari bukit itu dengan melompat ke bawah. Gundukkan pasir putih membenamkan kaki Skan yang berlapis sepatu sandal itu.
Nayla berhenti di tepian, melihat ke bawah.
"Nay! Lompat ayo"
"Aku, tidak bisa"
"Bisa! Ayo ada aku di sini, lompatlah ke arahku"
Nayla pun menutup matanya dan melompat.

BUSH..

Bunyi pasir terdengar. Desus-desus ombak berbisik di telinga, aroma asin mengelitik hidung. Nayla membuka matanya perlahan, ia melihat ke arah laut. Nayla tidak sadar sampai Skan menurunkannya.
"Skan?!"
"Aku tidak apa-apa sudah"
"Tapi"
"Aku kembali, kamu tidak bahagia?"
"Tapi kamu putus dengan Sasha kan?"
"Iya, aku sadar kalau selama ini kamu masih memikirkanku. Masih cinta denganku?"
"Maksudmu?"
"Selama ini, dari aku pergi meninggalkanmu, aku tidak pernah seharipun melupakanmu. Aku selalu teringat akan dirimu, bayangmu Nay, tidak luput dari hati dan kepalaku. Hingga aku bertemu tidak sengaja denganmu di Hotel Herlodis, Surabaya itu. Wajahku dan kerinduanku akan dirimu tidak dapat kubendung lagi. Sudah terlalu lama aku menahannya. Dan ketika Sasha membawaku ke Jogja, aku ingat tapi aku sadar itu bukan diriku yang menjawab dan berkata. Aku lupa akan semua orang karena kecelakaan itu. Lalu aku bertemu denganmu di Taman Keraton. Bertemu Hans? Aku kaget apa yang Hans pertahankan, tapi aku belum memastikan diriku, dan itu ku masih belum sadar.
Hingga Sasha menunjukkan catatan kecil tadi, aku mulai sadar, kalau selama ini aku masih mencintaimu, ternyata aku masih ingin melihatmu. Mau tau? Aku mencarimu dari tadi siang di daerah ini. Aku tidak tau mengapa, aku serasa kamu ada di sini, merenung menatap kosong ternyata benar, Sasha memberitahuku untuk ke tempat ini, ternyata untuk menemuimu..
Sasha minta maaf padaku, tapi tak kusangka ia sampai seperti itu"
Nayla gelagapan, menelan air liurnya dengan perlahan, Nayla masih bingung.
"Aku juga, tapi dia tulus menurutku. Aku sudah memaafkan kesalahannya sejak lama. Dan Skan, kapan ingatanmu kembali?"
"Pertanyaan bagus, tadi siang. Aku lupa kalau ada pemotretan di Makasar, walau aku sudah masuk kembali bekerja tapi aku lupa. Ngomong-ngomong, besok kemabli ke Jogja ya?"
"Ah iya, kenapa?"
"Bisa temani aku malam ini ke rumah Sasha? Aku mau membereskan barang-barangku. Nanti ku antar ke hotel deh"
"Apa? Mau kemana? Aku bisa pulang sendirian kok"
"Aku besok akan ikut denganmu ke Jogja, kamu sekarang tinggal dimana?"
"Apa?! Apa masih ada tiket? Aku dipesankan tiket kelas atas..."

Skan menarik ponselnya dan menaruh jarinya di atas bibir Nayla. Lalu ia tersenyum. Skan pun menelfon layanan penerbangan,
"Kamu naik pesawat apa?"
"Garuda"
Skan berbicara di telfon, memesan tiket penerbangan.
"Nah Nay, besok jam penerbangan mu siang kan?"
"Pagi Skan"
"Apa?! Aku salah?!"
Skan mengusap-usap kepalanya dan mengerang
"tenang, aku akan menunggumu"
"Sudua kuduga, ngomong-ngomong kamu tinggal di?"
"Apartemen sama Felita"
"Wah, aku tidur di sofa lagi?"
Nayla tertawa.
"Tidak lah, aku ada kasur lipat, kamu bisa tidur dengan itu"
"Oh, kukira bisa satu kamar denganmu"
"Apa?!"
Skan menarik Nayla menuju parkiran, sambil tertawa-tawa melihat ekspresi Nayla yang menggerutu kesal.
"Kesal ya?"
"Sudahlah, ayo kita pergi"
"Hahaha, iya. Kamu tetap seperti dulu ya? Nay"
Nayla memalingkan wajahnya dan mencuri senyum dibaliknya.

--------

Sharon menaiki mobil dan berjalan ke tempat apartemen Felita.

"Sharon? Nayla mana?" Felita mengucap dengan membuka pintu. Dari belakang, Sharon melihat bayangan lelaki. "Ayo masuk, sambil menjelaskannya, kamu pasti lelah. Kubuatkan kopi ya"
"Ya terima kasih" Sharon mengambil langkah dan duduk di sofa berhadapan dengan lelaki berjaket hitam di depan wajahnya. "Sharon.."
"Hans? Ada apa di sini?"
"Nayla?"
"Dia belum kembali, ada urusan. Besok dia akan kembali"
"Oh, di mana kalian mengambil gambar?"
"Makasar"
Hans menegakkan punggunya yang semula lemas.
"Bertemu dengannya?!"
"Siapa?"
"Skandar!"
"Fotografer yang ada di kameranya? Tidak. Hanya bertemu Sasha"
"Sasha?"
Hans menarik tubuhnya dan berjalan ke arah jendela menatap keluar, menyipitkan matanya.

"Aku harus segera bertemu Nayla, sebelum Skandar"

-----------

Skan membereskan kamarnya, dengan pembantu rumah yang paling ia sayangi.
"Mas, mau kembali ya?"
"Iya mbo, aku mau ke Yogyakarta. Kembali dengan gadis itu mbo"
"Wah, jadi sama non Sasha?"
"Putus mbo"
"Haduh, tapi inilah jalan ya mas?"
"Iya mbo. Bakalan kangen mbo aku" Skan mengusap-ngusap kepalanya dengan tangan penuh debu.

Nayla duduk di luar. Teras dingin, Sasha duduk di sampingnya dengan gelas kopi panas. "Nayla, kamu memang gadis yang berbeda. Aku berseyukur sekali, Skan mencintaimu"
Nayla menoleh dan tersenyum, tidak di sangka juga, Sasha ini.
Mereka berdua menatap langit malam yang berbintang. "Sha, terima kasih ya"
Sasha langsung memoleh ke arah Nayla, wajah kebingungan.
"Untuk apa???"
"Sudah menjaga dan menyayangi Skan, terima kasih"
"Harusnya aku yang berterima kasih karena sudah mengenalkan cinta padaku"
Mereka berdua tertawa.
Skan melihat dari kejauhan pintu teras terbuka, kedua gadis itu tertawa-tawa bersama. "Mas, kotaknya berat, ayo jalan nanti jatuh kalau anda terus menatap gadis-gadis di sana"
"Ah iya-iya mbo"

Mimpi? Sepertinya ini kenyataan.


Esok hari di Bandara Adi Sucipto, Yogyakarta.

"Nay!!! Maaf pesawatnya sedikit delay"
Skan tergesa-gesa dengan tas kopernya serta kamera terpontang-panting di lehernya.
"Hei pelan-pelan! Taksi sudah ada juga"
"Tunggu Nay"
"Apa?"
"Seperti dulu, pertama kali datang ke Yogyakarta"
"Hmm? Ya.. Seperti siang itu"
"Nay, sini"
Skan menarik tangan Nayla, dan sang kamera kembali bekerja.

Perjalanan ke Apartemen Nayla cukup lama, karena dekat alun-alun. Alun-alun, tempat Nayla dengan Skan pertama kali bertemu di bawah remang lampu gemerlap Yogyakarta. Di akhiri dengan kembang api dan langkah jauh. Skan dan Nayla mengambil langkah dan naik lift menuju lantai tidak terlalu atas.
"Nay"
"Ya?"
"Besok kan sabtu, mau ku ajak ke tempat sedikit jauh?"
"Dimana?"
"Lihat saja besok. Eh ini lantaimu?"
Lift terbuka, lalu wajah mereka bertemu.

Hans-Skandar.

Mata Skan bertemu dengan Hans di depannya. Hans terbelak kaget dengan keberadaan Skan. Skan melihat Nayla mulai resah. "Nay, kamu pergi saja, aku da urusan dengan Hans"
Nayla berjalan menarik tasnya dengan tas Skan. Meninggalkan Hans dan Skan saling menatap di lorong kamar apartemen itu.
"Apa yang kamu lalukan?"
"Sama sepertimu, apa yang kamu lakukan?"
"Aku mengecek Nayla, katanya hari ini ia pulang. Lalu ia datang denganmu"
"Aku di sini untuk kembali"
"Kembali? Bagaimana dengan Sasha?!"
"Aku sudah berakhr dengannya kemarin siang"
"Apa?! Lalu?!"
"Lalu bisakah kau menceritakan bagaimana selama ini kau bisa menyukainya"
Hans terbelak, ia tak sangka kalau Skan mengetahuinya!
"Kenapa kau bisa tau?"
"Ingatanku kembali, jadi bisa kau ceritakan? Sekarang tentunya"
"Baik ku ajak ke kedai kopi di bawah bagaimana Skadar?"
"Silahkan"

Mereka berdua turun, hingga menginjak lantai lobby. Hans membawa Skan ke tempat kedai kopi yang pemandangannya menghadap ke gunung Merapi.
Skan memesan segelas kopi tubruk tradisional hangat serta Hans memilih es cappucino. Hans memulai pembicaraan,

"Sekarang, apa yang akan kau bicarakan?"
"Selama aku masih belum tersadar, apa yang kau pikirkan?"
"Maksdumu?"
"Selama aku lupa ingatan, kau sudah mengatakan hal itu kepada Nayla?"
"Maksdumu, menyatakan perasaanku?"
"Iya"
"Sudah, saat kau pergi ke Makasar itu, aku menjemputnya di bandara mengantarnya pulang ke sini dan aku mengatkannya"
"Oh? Aku tidak tau kau menyukainya"
"Aku juga tidak mau kau mengetahuinya, lagi pula aku juga pasti ditolak"
"Dia mengajarkan bahwa tidak ada larangan untuk menyukai seseorang bukan? Dan jawaban pernyataan tidak penting bukan? Yang penting, kalau suka, ya suka saja. Dan lagi pula, dia juga mengajarkan kalau kita menyerah itu juga merupakan sesuTu yang salah,kecuali di mana saatnya berjalan maju meninggalkan jalan yang lama. Dan bukan berarti itu menyerah bukan? Hanya menempuh jalan baru, sampai akhirnya menemukan atau kembali padanya yang lama"
"Ah Nayla, dia gadis yang terlalu baik menurutku, bisa memaafkan seseorang begitu saja?!"
"Ah iya, benar. Oh ya besok kau ada waktu?"
"Sepertinya tidak, ada pekerjaan menumpuk esok"
"Baiklah, kalau misal kau ada perubahan berita, beritahu aku nanti malam, nomerku ada di Nayla"

Skan bangkit dan mengambil gelas kopinya yang sudah sedikit dingin dan meminumnya. Lalu memberikan uang ke pada Hans. "Hans, maaf aku ada urusan. Senang bisa bertemu denganmu lagi". Skan berlari meninggalkan Hans terduduk di sana. Memandang keluar jendela, Hans berwajah datar. "Hah, sepertinya benar. ku harus mencari seseorang baru" Hans bangkit dan membayar kopinya lalu berjalan dengan tangan masuk ke kantung celananya. Mengangkat sebelah tangan melihat jam "sudah harus kembali bekerja? Cepat sekali" Hana bergegas meninggalkan apartemen itu.

------------

"Skandar! Awas itu nanti tumpah!"
"Iya-iya! Sabar sedikit ini panas tau!"
"Aku buat baru matang! Ya panas!"
Felita meneriaki Skan yang dengan susahnya mencoba membawa sup ke meja makan.

Keributan di dapur apartemen Felita dan Nayla. Hari ini Felita menyiapkan acara makan malam. Mengundang Dedy dan Mei sekaligus merayakan kembalinya sang seseorang yang hilang, Skandar. Nayla berdiri terdiam menghadap ke arah jendela, menatap bintang. Ia terdiam memandangi langit yang sama kemarin di rumah Sasha. Tidak di sangka, Skan bisa kembali?
Skan yang merapikan meja makan berhenti. "Dy, bisa tolong gantikan aku sebentar?" Dedy menatap sebentar, ia memperlihatkan wajah tidak, namun Skan menggerakkan kepalanya ke arah Nayla. "Oh?! Yuk, Mei bantu aku" "kenapa aku?" "Karena kamu tunanganku" Dedy menarik paksa Mei yang sedang terkulai lemas di sofa.
"Nay, ada apa?"
Suara itu terdengar melemah di telinga Nayla.
"Aku merasa ada yang tidak benar ini Skan"
"Bisakah kamu menjelaskannya?"
"Entahlah, aku bingung. Apa yang terjadi pada Sasha nantinya?"
"Aku tau, pasti dia akan menemukan lelaki istimewa itu, tapi nanti. Sekarang belum waktunya.
"Hmm, mungkin"
"Dari pada pusing memikirkan hal ini, baik kita makan saja. Sudah banyak yang menunggu"
Nayla menarik tangan Skan, lalu tersenyum mengangguk.

Keesokkan harinya.

Angin berhembus dingin membelah wajah. Udara sejuk terhirup hingga jiwa terasa lebih tenang. Bunyi desiran ombak memwakili tempat itu, serta bunyi tawa cerita orang banyak terdengar. Parang Tritis. Pantai yang berbatu karang dan cukup mempunyai arus ombak ganas. Tetapi di balik semua itu, pantai ini salah satu pantai terbaik.
Nayla menginjakkan kakinya di aspal parkiran. Ia melihat sekelilingnya, tidak percaya Skan akan membawanya ke tempat favoritnya. Nayla berlari ke arah pantai, mencelupak kakinya di pasir basah dan mencoba mempersatukan dirinya dengan alam. Skan sari kejauhan, memegangi kameranya. Memotret seseorang dari sudut pandangnya, dan mulai melihat wajah Nayla yang berekspresi dengan lembut rambutnya dibelai angin, hingga membentuk putongan ingatan yang mudah teringat.

"Nay"
"Ada apa? Kenapa kamu membawaku ke sini"
"Ada yang ingin kutanyakan"

---------

Hans menumpukkan tumpukkan kertas itu di atas meja kerjanya. Lembar-lembaran bercecer kemana-mana. Ia menjatuhkan tubuhnya di atas sofa dan menutup sejenak kedua matanya.

"Kenapa aku ini? Malah malas-malasan! Pekerjaan menumpuk ini!" Kemudian Hans memandang ke arah ponselnya di meja tamu yang terhias kertas-kertas. Sejenak ia menatap itu dan menggelengkan kepalanya. Lalu ia pun merentangkan tangannya, tapi terhenti. Ia ingat, Nayla pernah membincangkannya.

Satu setengah tahun lalu di apartemen Nayla.

"Wah apartemenmu modisnya"
"Hans kamu berlebihan, nah silahkan duduk di kursi ini"
"Tidak, aku akan menemanimu memasak sambil berbincang"
"Baiklah"

"La!"
"Hmm?"
"Kamu masih berharap Skandar kembali tidak?"
"Itu.. Iya aku masih berharap. Setidaknya ia mengingatku sebagai apa itu sudah cukup. Dan juga kalau aku mencintainya, tidak ada salahnya bukan?"
"Iya benar juga"
"Seperti kamu sekarang, jawaban itu tidak penting. Yang penting perasaanya kita kepada dia yang kita sayangi"
"Ah ya benar juga. Aku akan terus menemanimu sampai waktu Skandar datang menjemputmu"
"Hahaha ada-ada saja, kamu kan sahabatku. Ini silahkan awas panas"
"Terima kasih"

Hans tersenyum sedikit di atahan matanya ke langit-langit atap. "baiklah kuselesaikan pekerjaan sebelum aku terhempas nama Nayla itu"
Hans bangkit lalu merapikan kertas-kertas itu.


Bab 26
Pernyataan Terakhir


Dengan langkah baru ini akan ku ambil, sebagai suatu yang tak terbacakan oleh kata-kata biasa. Dan tidak dapat di temukan artinya dikamus tau buku mana pun.

Berdiri di sana, tidak sendiri lagi.
Menangis di sana, tidak kesepian lagi.
Tertawa di sana, tidak merasa aneh lagi.

Semua telah berubah, walau dia tidak persis seperti dulu lagi. Tetap dia Skandar.
Lama hilang dari kitaran kami. Lama tidak mengingatku. Mungkin terkira dia benar menghilangkanku, kenyataan tidak.
Sekarang aku di pantai, berjalan tidak sendiri lagi, setiap jejak yang ku buat tidak menapak hanya sepasang kaki.
Desiran ombak pagi begitu melayangkan pikiran. Pantai tempat yang indah, sekolah dulu juga, berkesan tidak menyendiri.

Aku menundukkan kepalaku, menatap apa yang dia ucapkan waktu itu. Menngingat ingatan itu, tepat tanggal ini, dirinya berucap kata kalimat itu padaku.

Parang Tritis, Yogyakarta. 2 tahun lalu

"Ada yang ingin aku tanyakan"
"Apa itu Skan?"
"Sekiranya ini seperti bodoh. Tapi kamu jawab ya"
"Hmm, apa seterusnya?"
"Mau kah kamu menerima ini?"
Skan menarik tangan Nayla dan memasukkan sebauh cincin di jemari manisnya. Nayla memutar wajahnya dan terbelak kaget,membukam mulutnya.
"Maksdunya? Apa ini Skan?!?!"
Skan berlutut di depan orang banyak. Dan mulai ramai juga orang yang melihat mereka berdua.
"Nayla, mau kamu jadi pendamping hidupku selamanya?"
"Aku..aku.. Mau..mau sekali!"
Skan bangkit lalu memeluk Nayla dengan senyum terbentang di wajahnya. Orang banyak menepukkan tangannya. Suaranya membuat kegaduhan,membuat kemeriahan di pantai sepi.

Hari itu, pasir dan ombak mewakili pernyataan kami. Sebagai tanda saksi, bahwa aku telah menjawab dan menerima Skan sebagai seseorang yang kutunggu selama itu.

Kejauhan, melihat Felita asik dengan Sharon bermain air. Tidak salah juga, bertemu Dedy dan Mei yang hampir lama sekali tidak melihat mereka. Berdua sudah menikah ternyata, tak kusangka bertemu di sini. Membawa buah hati mereka, berlibur di sini. Kami sempat berbincang, namun mereka sibuk bergosip dengan Felita dan Sharon di kejauhan dekat tengah laut. Mereka semua terlalu sibuk melakukan liburan di pantai Parangtritis itu. Aku terkikik ketika memngingat pertanyaan Sharon dulu "apa terkesannya pantai ini?" Buktinya sekarang ia terlalu senang dengan pantai kampung halamanmya sendiri.

Aku duduk di atas pasir, dan menikmati angin pagi yang begitu dingin menusuk.
2 tahun sejak pertemuan kami waktu itu.
Menggenggam kamera SLR, dengan berseri. Ia berjalan ke arahku dengan kaus usang berwarna putihnya itu dan celana pendek yang dulu ia suka pakai tidur di kostan. Senyumnya, membuat aku berkaca-kaca. Kembali mengingatkan akan masa lalu.

Awal bertemu dekat di kelas.
Merawat sakitku dengan mengorbakan nyawa.
Mengikuti langkahku bagai sahabat yang tak kenal perpisahan.
Menyayangiku.
Mengerti diriku perlahan, walau lamban.
Mengecewakanku.
Melihat aku menangis untuknya.
Lama tidak berjumpa, meninggalkanku waktu itu.
Memelukku, mencium keningku.
Kecelakaan yang membuat dia melupakanku.
Aku sukses, ia sukses.
Dia lupakan aku? Aku lupakan dia?
Dia tidak melupakanku. Hanya lupa namaku.
Aku tidak bisa melupakannya, kasih sayang darinya terlalu besar.
Hingga akhir malam itu, bertemu sekian kalinya.
Terima kasih Sasha, atas kerelaanmu, hari itu.
Dia memelukku, memberikan surat yang telah terbaca darinya.
"Apa kamu, Nay yang aku cari?" Kata-kata itu.

Dimulai lagi dari awal, segalanya.
Mau aku lupakan jatuh cinta pada dirinya?
Sepertinya jatuh cinta padanya akan menjadi terakhir untukku.

Skandar.
Mulai hari ini, dirimu akan selalu aku cintai, dan ku ukir di atas pasir putih, dan ukirannya tak akan pernah terhapus oleh desiran ombak sekuat apapun.

-------

Ku tatapkan matanya lekat. Kameraku aku pengang, memotret setiap kegiatan yang ia lakukan di sana. Meski aku tidak bisa menjadi Skandar yang dulu, tapi setidaknya..
Aku bisa menjadi cintanya lagi.
Desiran ombak, embun pagi di dedaunan rimbun. Semuanya, aku abadikan bersamamu, hingga selamanya.

-tamat-

Aku berharap di balik lensa kamera di depanku kelak nanti, itu dirimu..


Penutup


Undangan itu membawa kesan berat hati, tapi untuk apa bersedih? Aku sudah dapat mencari yang baru jadi untuk apa berpusingria tentang hal ini?

Yogyakarta, 20 Desember

"Kerjaannya ampun numpuk, tidak sanggup kalau seperti ini terus" keluh Hans di atas mejanya sambio merentangkan tangannya sejauh mungkin dan melepaskan genggaman sang kursi dari tubuhnya. Hans memang akhir-akhir ini dipenuhi tawaran, apalagi dia mengambil tawaran sahabat gilanya, Skandar.
Awalnya dia hanya membasa-basikan, jalan ogah-ogahan ke ruang tengan dengan harapan sinar matahari, saat itulah ia melirik meja kecil dengan amplop terlipat rapi di atasnya. Menatap sebentar, lalu mengambil amplop itu, ia ingat amplop ini dineri Skan kemarin, saat memohon untuk mengambil alih pekerjaannya untuk sementara. Hans terdiam cukup lama memandangi amplop itu, memandangi nama gadis itu. Ia tidak percaya kalau ia benar-benar merelakan gadis yang selama ini ia sayang dan sukai. Masam senyumnya ia terdiam, namun tiba-tiba teringat kata-katanya waktu itu "Seperti kamu sekarang, jawaban itu tidak penting. Yang penting perasaanya kita kepada dia yang kita sayang" Hans tersenyum tidak jelas sambil membayangkan kata-kata itu.

"Lagi-lagi gara-gara Nayla, baik aku fokus lalu bersiap untuk acara mereka besok. Setidaknya aku melihat senyuman tulusnya yang hilang selama beberapa tahun silam, baiklah Hans! Harus jalan maju harus jalan maju!"



Finish 09.03.13
Fix 31.05.13
Memories series..

   

    

Amoride Design / Author & Editor

Jangan pernah menganggap remeh sebuah perasaan, karena perasaan dapat mengubah seseorang menjadi yang lain

0 komentar:

Posting Komentar

Coprights @ 2016, Blogger Template Designed By Templateism | Templatelib