Sabtu, 28 Mei 2016

Gue katanya neting mulu, tapi kalau emng kenyataan jelek gimana?

Amoride Design




Kecil.

Tidak ada yang lebih berharga daripada menyalurkan keasikan dan kesukaan masing – masing, menekuni hobi, menjalankan perjalanan jauh, berpetualang, mempelajari hal = hal baru tanpa keraguan.
Sayangnya, setiap orang itu berbeda – beda, dan tidak ada yang sama dalam penyampaiannya. Tetapi ketika kita menemukan orang yang menekuni cara yang sama dengan kita, menggunakan cara yang sama dan menghabiskan waktu yang lama dan banyak untuk melakukannya. Apa daya. Mungkin kita akan tergiur untuk ikut bersamanya atau bahkan menolaknya mentah – mentah.
Kesanggupan untuk terus mencoba – coba hal baru dan merasakan situasi yang berbeda, keluar dari zona nyaman dan mengikuti arus tantangan. Hidup zaman sekarang, penuh teknologi dan pengetahuan akan globalisasi yang berlebih. 

Akankah hal – hal ini mengubah diri kita?

Bersandar pada dinding lapuk berlapis cat pucat, melihat hujan dan angin berseteru membuat konser di balik jendela. Membuat orang – orang berpayung sempoyongan menghadapi derpaannya. Musik jazz sendu berbalut di radio sore itu, berirama lembut membuat suasana semakin melekat di kulit, ditambah dinginnya ruangan seperti di kutub. Tidak ada yang mengira bahwa Vivi di sini menyanggupkan diri, memberanikan diri untuk tetap berada di dalamnya, dengan jangka waktu yang lama. Hujan masih deras, teh hangat sudah berhenti mengepulkan uapnya. Perempuan manis masih terduduk di atas tempat tidurnya, bersandar dinding dengan tatapan kosong menghadap cakrawala.

Ketukan pintu mengagetkan sedikit gadis itu sehingga goyah sesaat. Tidak lama ia kembali lagi meringkuk dan membenamkan wajahnya ke lipatan kakinya.
 
Mengelus manja adiknya, lelaki tinggi berambut cepak itu berusaha sebaik mungkin untuk ada di sisinya. Mungkin hal yang ia lakukan kurang baik dan salah, kurang tepat dan tidak pas. Terlalu egois. Sehingga hatinya mengeluh gagal, karena sekarang adik satu – satunya itu seperti kehilangan setengah nyawanya.
“sudahlah Vi, kakakmu ini khawatir banget. Kamu tega liat kakak terus begini?” tapi ia diam saja. Angin di luar semakin kencang, menggetarkan kaca – kaca dan menerbangkan kertas – kertas serta sampah – sampah. Sesaat lelaki itu mengintip horden dan meliat keluar. Cepat – cepat ia berlari keluar kamar, menuju ruang tamu. Menyelinap di balik horden, dan melihat. “Do kamu ngapain lihat – lihat keluar, kan tidak ada apa – apa” tapi kali ini Edo, lelaki jangkung itu memasang wajah terkejut dan menggelengkan kepalanya cepat. Kedua orang tuanya mengerutkan alis dan memiringkan kepala. Edo bersuara sedikit, membuat suara televisi ayah pun tidak berdengung sedikit pun di antara mereka. Semuanya mendadak hening dan sepi walau hujan terus mengguyur dan angin tetap berhembus.

“Pa, anak itu ada di sana. Dia berdiri di bawah hujan dan duduk di atas motornya.”


Air hujan tetap berjatuhan merembas baju hitamnya, sekalipun basah kuyup dan hampir tak sanggup lagi berdiri menunggu, ia tetap berada di sana. Menanti.
Sekalipun ia ditolak dan diabaikan, ia akan tetap berdiri tegap, tidak mengenal menyerah. Andai pun gadis itu melangkah keluar dengan payung merah muda nya beserta daster putih bunga – bunga dan marah. Ia tidak akan peduli, untuk sekarang cukup melihat wajahnya saja lebih dari yang dia inginkan. Tidak tanggung – tanggung, angin terus menembus tubuhnya yang mulai gemetar, kedua kakinya mulai kaku dan bergetar. Kedua tangannya tidak merasakan apa – apa selain dingin dan cekaman suasana hatinya.

Pikirannya entah kemana perginya, ia seperti kehilangan akal sehatnya. Seperti orang gila. Menggerakan sedikit kepalanya, menghilangkan pegal yang dirasa. Kali ini ia mulai merasa lelah dan pusing. Kepalanya mulai berat dan matanya mulai kabur. Mendongkakkan kepala ke atas sesaat lalu menurunkan kembali, semua yang ia rasakan serasa hilang. Mulai dari cara ia berdiri dan tujuannya kemari, berdiri di depan pagar perempuan yang ia cintai.

Ia tau, ia salah.

Kenapa ia melakukan hal itu padanya? Mengapa hal sekecil itu melukainya begitu dalam? Sedangkan yang seperti lebih besar dan lebih menyakitkan, ia tidak merasakan sedikitpun rasa lelah. Risih pasti, tapi lelah? Sepertinya ia tau, bahwa wanita yang ia cintai tidak sanggup lagi bersanding dengannya. Tidak sanggup memenuhi semua keegoisan yang terus datang, dan akhirnya menemukan titik rapuh. Dimana ia tidak lagi tersenyum, dimana ia tidak lagi membela, dimana ia tidak lagi mencari dan memarahinya karena cemburu. Dimana ia berlarut pergi namun tidak diperdulikan, dimana ia kesal dan membentaknya tetapi  hanya  diam dan menyunggingkan senyum palsu itu dan mengucap maaf semudah menyulutkan amarah kepadanya.

Katanya akan terus bersama susah dan senang. Tapi ketika kesulitan begitu banyak dan hanya menanggungnya sendirian, dilarang bercerita dan meminta tolong teman, dimana semua yang keluar hanya kebohongan.

Ya, kebohongan.


Vivi secepat kilat membuka pintu kamarnya, dengan celana pendek kaus coklat bergambar donat favoritnya, ia mengambil payung merah mudanya, menghela nafas panjang. Edo menggenggam tangannya kuat, memasang wajah lesu dan kesal. Vivi tau, kakak kesayangannya ini tidak ingin ia bertemu dengan orang di luar sana. Ia juga tau bahwa rasa sakitnya membawa adik semata wayangnya tenggelam dalam kesedihannya untuk waktu yang lama.
 
Tapi kali ini, Vivi menyunggingkan senyumnya yang kelam. Menggelengkan kepalanya perlahan “Do, aku mau ketemu dia kok, ada yang harus aku omongin ke dia.” Edo melepaskan genggamannya, membiarkan adiknya mengenakan sendal jepit merah, membuka pintu dan melangkah keluar. Pintu terbuka, hujan masih terlihat jelas menutupi pandangan, angin perlahan menembus ke dalam rumah, kemudian terhenti karena pintu itu sudah tertutup.

Kini saatnya, Vivi mengakhiri semua yang ia rasakan, kali ini ia serius mengatakannya. Kadang rasa sakit itu harus dibayar oleh rasa sakit, ketka kebaikan tidak lagi terbayar dan menutupi luka yang ada.


Lelaki itu mendengar langkah di genangan, melihat ke depan, menemukan perempuan itu berdiri, membuka pagar dan menutupi kepalanya dengan payung merah muda. Kedua matanya kosong, kantung matanya tebal dan hitam, rambutnya terurai lembut di pundaknya. Lelaki itu tidak berkutik, tidak menggerekan sedikit pun sendi – sendinya. Dan kesunyian itu berlangsung cukup lama, hingga akhirnya Vivi mulai angkat bicara.

“Apa yang kamu lakukan di sini?”.
Dingin lekukan bibirnya, lelaki itu menjawab pelan “aku ingin bertemu.” Vivi menutup matanya menghempaskan wajahnya ke atah kanan, dan terdiam. Lelaki itu tau, perempuan di hadapannya menahan emosinya, ia tau sepertinya ia melakukan kesalahan.

“aku hanya melakukan hal kecil.” Tambahnya. “kenapa kau begitu mempermasalahkannya sampai seperti ini?”.
Vivi menghapus air mata yang baru saja ingin jatuh di pipinya, tertawa kecil. Katanya hal kecil. Baginya hal itu begitu penting dan bukan sekedar hal kecil sepele dan mudah di lupakan seperti yang mudah di lakukan laki – laki ini padanya.

“kecil katamu?” “di mulai dari hal kecil, menjadi besar setelah dibiarkan, bagaimana aku tidak mempermasalahkan?”.
“Memang sepenting apakah hal itu bagimu? Bukannya hal ini begitu sepele dan tidak begitu perlu dibahas lagi?”
 
“berandaikan sekarang kamu baru mengatakan hal itu sekarang, kebohongan kecil demi menutupi ketakutanmu, bagaimana yang setelahnya? Apakah ada lagi?”
Laki – laki itu kesal, suaranya mengeras sedikit, kali ini ia kembali lagi membentak pelan.
“Ya itu urusanku, asalkan kau bahagia kan?”

Kali ini Vivi mengepalkan kedua jari tangannya, menggeram keras. Berteriak dan menampar laki – laki itu di sana. Detik itu juga, saat itu juga.
 
Air matanya turun, alisnya mengerut dan tubuhnya bergetar. Ia baru saja melakukan hal yang jarang ia lakukan terhadap laki – laki yang ia cintai di hadapannya. Ia tau ia salah, tapi ia memilih menanggung beban itu sendirian, menyerahkan diri melakukan kesalahan – kesalahan demi kata – katanya tersampaikan.

“aku bahagia? Bagaimana sisanya yang kamu lakukan? Bagaimana setiap amarah yang kau keluarkan? Bagaimana setiap beban yang kau buat dengan mudah kau lupakan dan tertawa di atasnya? Bagaimana dengan larangan bercerita? Bagaimana dengan larangan untuk menangis? Apakah semua itu hal kecil bagimu? Melupakan, cuek, dan dengan mudah melupakan masalah lalu tertawa?”

Lelaki itu menelan ludah, ia terdiam. Sulutan emosinya berhenti ketika Vivi menamparnya. Ia tau bahwa perempuan itu tidak tega menyakitinya, keterlaluan itulah yang membuatnya terdorong untuk menepis pipi tipisnya.

“Andai semudah itu, aku juga ingin....” hati Vivi berbisik.

Vivi berhenti menangis, ia marah. Ia tau ia memiliki banyak kesalahan, ia tau sekarang ia menuntut terlalu banyak. Mungkin sikap seenaknya membuatnya lupa bahwa Vivi juga memiliki sisi, sikap, dan pandangan yang berbeda.
Ia menepuk pipi laki – laki itu, berusaha tersenyum. Lelaki itu masih menunduk, menghadapkan wajahnya ke jalan bergenang di bawah alas kakinya yang tebal.

Tanpa basa – basi, Vivi kembali masuk ke gerbang, meninggalkan lelaki itu kembali basah kuyup. Vivi tetap membisu, ia tidak ingin membahasnya, ia hanya ingin belajar tersenyum lagi. Tapi kali ini tanpa orang itu, merusak otaknya. Membuat hatinya kehilangan rasa mencintai, membuat dirinya lupa bagaimana caranya tersenyum dan terlepas dari itu. Vivi juga ingin memulai jalan baru, dan bebas dari adanya sakit hati yang berarti.

Sayang itu tidak perlu susah kan? Cukup percaya, jujur, tulus sudah lebih dari cukup. Sayangnya hal itu hanya di dapat dari mimpi.

Amoride Design / Author & Editor

Jangan pernah menganggap remeh sebuah perasaan, karena perasaan dapat mengubah seseorang menjadi yang lain

0 komentar:

Posting Komentar

Coprights @ 2016, Blogger Template Designed By Templateism | Templatelib