Ini Full novelnya!
by me Kei's (:
novel buat yg seneng ngadem di pantai apalagi pasir putih
cuma pendek si, tapi mohon di dalami baca'na gk asal baca cepet aja
LAST CONFESSION
by Keizia Zefanya
Nayla menghela nafas panjang, ketika itu dia melihat
teman-temannya mondar-mandir kesana kemari. Dia melihat sekelilingnya seakan
seperti biasa, yang berbeda adalah dengan dirinya sendiri. Ia membuka tas
ransel yang dari tadi ia bawa, dan mengeluarkan sebuah kamera, yang ia pakai
untuk memotret dari bandara tadi.
Dia menghidupkan kameranya dan terlihat di layar mungil itu, tulisan yang ia foto berserta seseorang yang berdiri di sana dengan senyum hangat.
Dengan cepat Sharon melihat sahabatnya itu melihati terus kameranya, karena khawatir ia menghampiri sahabatnya itu.
"Kau sedang melamunkan apa sih?" Sahutnya mengagetkan Nayla. "Bukan apa-apa kok, Sha" katanya pelan. Seketika Sharon melihat seseorang di layar mungil kamera sahabatnya itu, dan menarik kamera itu mendekat ke arahnya "ini siapa La?" Katanya dengan penasaran. "Bukan siapa-siapa kok Sha" dengan kata berat ia ucapkan begitu. "Bukan siapa-siapa kok nangis La?" Kata Sharon ketika melihat mata Nayla yang mulai berair. Dengan sigap Nayla menghapus air matanya dari matanya itu, tetapi tetap terlihat bahwa ia menangis, dan matanya terlihat merah seperti baju yang ia kenakan sekarang.
Sharon pun tak banyak diam, ia segera mempertanyakan lagi pertanyaan yang sama di pikirannya lagi "ini siapa La? Kok keliatan kamu deket banget sama dia, sampai nangis gitu? Mantan La? Temen hilang? Atau apa?" Nayla hanya melihat wajah sahabatnya dengan perlahan menarik kamera tadi dan mematikannya "sudah ku bilang bukan siapa-siapa Sha" ulangnya lagi dengan paksa. Tetapi tetap Sharon memaksanya menjawab.
Dengan terpaksa, Nayla mengatakan hal sebenarnya kepada sahabatnya yang keras kepala ini
"Sha, ini bermula sekitar 8 tahun lalu, saat kelas 2 SMA"
A. Knowing You..
Saat itu aku teruduk di bangku kelas dengan menatap PR yang belum sempat kubuat tadi malam, mengerikan sekali jika aku tidak mengerjakannya, guru galak itu akan memarahiku habis-habisan!!? Gumamku dalam hati.
Ketika sedang berpanikria, datang dua sahabatku, Kaldy dan Elsa. Mereka cukup dekat denganku, suka belajar bersama, jalan-jalan atau sekedar berkelompok membicarakan hal-hal tidak berguna. "Nayla!" Seru Elsa dari depan wajahku yang mulai berkeringat dingin. "Nih dah, aku kasih PRku, cepetan kerjain!!" Seru Elsa pelan. Aku hanya mengangguk cepat dan segera mengerjakan PR itu, sementara Kaldy menatap sinis ke arah kiriku, aku memberhentikan penulisanku di buku tulis itu, dan menghadap pada seseoang yang berada di sebelah kiriku.
Skandar? Mengapa menatap menatap seperti itu padanya?
Aku segera menoleh kembali melihat buku tulis menyeramkan itu dan menulis dengan kecepatan cahaya. Sementara Kaldy menatap lekat Skandar yang sedang mengutak-atik kameranya yang seperti kelihatan baru itu.
Skandar, murid yang pendiam, hobinya tertidur saat pelajaran. Duduk di sebelah Nico yang berisik mirip anjing yang menggonggongi orang dan tak berhenti.
Aku tetap mengerjakan PR itu hingga masuk.
Mengikuti pelajaran dengan biasa dan membosankan, aku hampir tertidur, tetapi melihat Skandar yang belum apa-apa sudah tertidur lebih dulu, membuatku aneh.
Mengapa anak seperti dia bisa masuk sekolah sesulit ini? Dan naik kelas normal?
Setelah pelajaran jam 1-4 selesai, Kedua sahabatku akan pergi jajan keluar, sementara aku di kelas, mempersiapkan diri untuk pelajaran selanjutnya. Dan tiba-tiba 'Ckrik' suara seperti cetikkan alat.
Aku menatap ke arah kanan dan kiri, menemukan di samping kiriku, berdiri seseorang yang memegang kamera hitam dan melihat hasilnya di kameranya.
"Nayla, kau lucu juga di foto" sahutnya sedikit terikikik
"Kamu ngapain sih? Foto aku?" Sedikit memastikan dengan wajah aneh aku menatapnya.
Dia hanya datang ke arahku dan memperlihatkan hasil jepretannya kepadaku
"Lihat kan kau, lucu sekali seperti boneka" katanya lagi. Aku memang terlihat aneh di foto itu, membereskan buku dan memasukkan kertas contekkan jawaban di setiap buku yang aku susun. Aneh juga dan aku sedikit tertawa melihatnya.
Dia kemudian duduk depanku, yang kebetulan itu kosong, karena Merry, temanku pindah ke ujung tempat Skandar, dengan alasan tak masuk akal.
Skandar kembali memasukkan kameranya ke dalam tas hitam yang ia bawa itu.
"Boleh aku duduk di sini?" Katanya pelan
Aku yang sedang menunduk mencari kertasku yang hilang menjawab "hah?" Dan kemudian bangun dan melihat Skandar tepat di depan wajahku.
"Hih! Ngagetin!" Geramku kepadanya, tapi sepertinya dia tidak mementingkannya
"Boleh tidak duduk sini? Nay" katanya lagi. Aku hanya menutup mata dan melipat tangan dalam artian tidak. Tetapi ketika aku membuka mata, senyuman. Senyuman itu muncul, dari wajahnya yang aneh dan terlihat polos itu. Senyumannya seakan membuatku jatuh dalam sihirnya, aku menangguk dan membiarkannya berceria di depanku. Sesekali aku menatapkan dan memfokuskan padanganku ke Skandar. Dia seperti tidak peduli dengan guru yang blak-blakan menjelaskan banyak hal. Tidur lagi dia! Teriakku dalam hati, melihat Skandar tertidur, punggungnya yang tegak, terlihat tak berdaya, dan seperti minta di peluk.
Aku menatap punggung itu cukup lama hingga aku tidak menyadari di lempari berbagai macam benda.
"Hoi!!" Sahut Elsa dari samping kananku.
Aku tersadar dan segera bersifat memeperhatikan papan tulis putih bertuliskan rumus bahasa dunia lain yang aku tidak tau.
Aku meraih punggung Skandar dan membangunkan lelaki itu dari mimpinya.
"Ada apa? Membangunkanku?" Tanyanya berbisik dengan sedikit menghadap ke belakang. "Tuh catet" tunjukku ke papan di depan kami itu. Segera Skandar mengeluarkan buku tulis dan menulis tulisan di papan itu, sepertinya dia terburu-buru.
Sekolah usai, aku pulang dengan sepedaku yang memiliki boncengan di belakangnya. Dengan menaruh tasku di atas boncengan itu, dan mempersiapkan untuk mengayuh. Sebelum aku menaiki sepedaku, Skandar datang menghampiriku dangen senyumannya yang begitu menyihir. "Boleh pulang bareng?" Tanyanya pelan. Aku belum menjawab pertanyaan itu, wajah Skandar terlihaat cemas. "Ah..eh.. Baikalah. Kau naik apa?" Jelasku cepat. Dia menggelengkan kepala seakan tak tau apa yang harus ia jawab. Menunduk sebentar, dia memberi alasan "aku tidak mau pulang dangan yang lain, walau banyak yang mengajakku. Aku biasa pulang naik kendaran umum, tapi kali ini aku memutuskan untuk pulang denganmu" mendengar penjelasan itu, wajahku langsung menunjukkan ekspresi seperti bertemu mahluk alien saja. Aku mengangguk dan menyuruhnya menaiki boncengan sepedaku. Dia menggelengkan kepala, dan menyuruhku yang duduk di sana, di boncengan itu. "Rumahmu arahnya dimana?" Aku menunjukku ke arah belok kanan. Dia segera mengayuh sepeda itu dengan kebut di awal membuat aku seakan akan terbang bersama sepeda itu. Perjalanan pulang cukup mengejutkan, Skandar memarkirkan sepedaku di garasi, dan sebelum dia pulang dia mengatakan "aku main ke rumahmu dong" serunya. Aku menggeleng cepat, dan segera menyuruhnya pulang karena orang tuanya nanti khawatir?
Dia hanya tersenyum "tidak akan kok, aku sudah biasa pulang larut" katanya pelan. Dan kemudian aku mengajaknya masuk dan bertemu ibuku yang sedang memasak, di kejutkan oleh seorang lelaki muda masuk ke rumahnya. Dia segera berjalan ke arahku dan berbisik "dia temanmu sayang?" Kata ibuku yang sedikit khawatir. Anggukku pelan kepadanya dan menandakan bahwa ia temanku. Skandar langsung bersalam ke pada ibuku dan segera melepas sepatu berserta kaus kakinya. Dia duduk di sofa dengan mengeluarkan kameranya lagi.
Saat itu aku sedang menggigit jariku, entah mengapa, aku seperti tidak bisa mengerjakan soal di depan mataku sekarang. 'Crik' suara itu terdengar lagi. Aku melirik ke arah Skandar yang hampir tertawa melihat hasil foro jepretannya lagi. Sambil menahan tawa ia menunjukkan hasil itu padaku.
Aku menggigit jariku hingga tak sadar pensil ada di rambutku. Aku tertawa hingga ibuku mengatakan "kau tidak apa-apa kan?" Aku tidak kuasa melihatnya.
Skandar yang dengan kuat berpegangngan pada ujung meja dan satu lagi memegang kamera. Dia tertawa dengan lepasnya, berbeda dari sekolah, yang hanya diam dan tersenyum indah di depan mataku.
B. You make the smiles, laugh, happinest
around me
Di sekolah, sejak aku duduk di belakang punggung itu, terasa sangat berbeda. Setiap aku ingin bertanya, pasti Skandar selalu membantu ku, aku sedikit malu bila bertanya.
Skandar, lelaki yang pertama kali dekat sekali denganku. Dia juga teman yang baik, selain Elsa dan Kaldy. Bedanya, Skandar selalu ada untukku setiap waktu, dia selalu ada di sampingku ketika masa-masa sulit ujian menerpa. Sulitnya aku mengerti berbagai tumpukkan latihan soal di depan mataku yang seperti tumpukkan misteri itu, tetapi Skandar dan kedua sahabatku membantuku untuk mengerjakannya agar lulus bersama-sama.
Selama aku belajar, tak luput dari 'crik' bunyi itu terdengar lagi. Skandar memotretku berkali-kali hingga tersenyum di layar mungil kameranya itu. "Nay, liat kamu. Serius banget, aku suka deh. Semangat ya belajarnya!" Sahutnya sambil menunjukkan hasil jepretannya kepadaku dan teman-teman. "Skandar, foto akulah sekali-kali. Ganteng masa tidak di foto" sahut Kaldy dari sofa belakangku. "Maaf iya, yang aku foto sebagai kenang-kenangan hanya Nayla" Skandar tersenyum menghadapku. Aku hanya fokus mengerjakan soal-soal, sementara kedua sahabatku bebisik-bisik di balik punggungku.
"Nay, sini aku bantu. Kami kelihatan resah sekali mengerjakannya" kata Skandar di sampingku.
"Ah tidak apa-apa, Skan. Aku bisa kok sendiri" kataku sambil memasang senyum palsu.
Skandar tidak terima seperti itu. Dia langsung mengambil pensil dan menunjukkan caranya mengerjakan. Aku hanya terlaga bodoh dan terpaksa mengikutinya. Skandar hanya tersenyum, senyuman sihir itu muncul lagi di wajahnya yang putih bersih itu. Aku membalasnya dengan senyum tulus dan kembali mengerjakan.
Sekolah, tempat aku bertemu dan mengenal dia sekarang, Skandar.
Aku duduk di belakangnya, kadang-kadang terhalang oleh pandangan punggungnya yang tinggi itu. Hari itu aku tidak masuk karena sakit. Terbaring lemas di atas tempat tidurku, aku duduk dan membaca pelajaran untuk ujian. Tak lama, bergetar ponselku yang letaknya tak jauh dari situ.
"Halo?" Sahutku memastikan siapa itu, yang terpasang hanya nomer tidak di kenal dengan digit yang khas.
"Nay, kamu kenapa tidak masuk?" Sahut suara di sebrang sana. Aku langsung tau itu siapa. "Skan? Aku sakit. Badanku panas naik turun" di sebrang sana seperti terdengar sepi, mungkin pagi hari ini kelas belum penuh. Aku biasa datang pagi karena ingin menikmati pagi bersama teman-teman. Skandar juga datang pagi, biasanya aku berangkat sekolah bersamanya setelah bertemu di tengah perjalanan. "Aku jenguk boleh?" Tanyanya pelan. "Nanti siang kan? Oh ya, sepi kelas kita ya?" Jawabku memastikan lagi. "Tidak, sekarang aku akan segera kesana, aku sedang berada di kantin"
Aku belum sempat menjawab, panggilan itu langsung di akhiri olehnya. Kenapa di rela seperti ini demi aku? Padahal kami juga belum sedekat yang diperkirakan.
Daripada memikirkan hal seperti ini, aku kembali menatap buku catatan tebal yang siap kubaca kembali.
Waktu tidak berlangsung lama, pintu gerbang rumahku terbuka. Bunyinya terdengar jelas dari kamarku yang berada di lantai dua. Suara tergesa-gesa dari luar kamarku, seperti ada seseorang di luar sana. 'Tok-tok' "bolehkah aku masuk?" Suarang dari balik daun pintu kamarku itu.
Ku bangun dan membukakan pintu, Skandar?!
Dia berkeringat dan nyaris tumbang dari tegakkan kakinya yang mulai rapuh itu. Aku menariknya ke kursi belajarku dan membiarkannya beristirahat, sambil menyodorkan air putih. "Skan, kamu lari ya? Ini minum dulu" dia menggelengkan kepalanya, dan segera meminum cairan yang ada di tangannya sekarang. "Aku naik sepeday Nay" katanya pelan setelah menarik nafas dalam-dalam. Aku hanya terlena mendengar itu, sepeduli itu dia padaku?
Skandar bangun dari kursiku itu dan segera menempelkan tanganya di dahiku yang berkeringat ini. "Nay, istirahat lah. Tidak usah belajar dulu, liburkan sehari saja" suaranya yang khawatir, nada bicaranya yang menggoda, membuatku tersihir kembali. "Tidak, Skan aku baik-baik saja" ketika berkata itu, wajahku mulai memanas, udara yang di sekitar panas, mendadak terasa dingin sekali. Aku menutup buku yang ku pegang tadi, dan memeluk tubuhku erat dengan kedua tanganku. Skandar segera menggapai selimut yang ada dan mendorong tubuhku hinggi telentang di kasur, dan menyelimutinya. Apa ia sadar? Apa yang ia lakukan. Skandar memandang wajahku dengan penuh kekhawatiran dan sekali lagi, senyuman itu terlihat di wajahnya. Ia segera meninggalkanku, sebelum ia membuka pintu kamarku "Skan.." Panggilku pelan. Ia menoleh dan memasang ekspresi 'kenapa?'
Aku membalasnya dengan simbol tangan, dan menyuruhnya dekat denganku. "Skan, tidak sekolah kan?" Tanyaku. Ia menggelengkan kepalanya dengan senyum berada di wajahnya "Aku akan jaga Nay, sampai Nay tidur ya?" Sahutnya dengan pelan. Aku mengangguk dan memasang wajah senyum "terima kasih Skan"
Skandar kemudian terduduk di atas karpet di bawah tempat tidurku. Dia membuka ponselnya dan membaca sesuatu
"Nay, coba bayangkan hal ini"
'Bisakah dirimu menjawab isi kepalaku?
Bisakah dirimu menjawab balasan isi hatiku? Bisakah dirimu mendampingiku?
Bisakah dirimu mengatakan hal itu?
Dengan momen-momen ini, aku mengabadikannya dengan penuh perasaan'
Setelah selesai membaca, Skandar menghadapku yang sudah tertidur pulas. Tidak kusadari wajah itu, dengan kameranya. 'Ckrik' Skandar sekali lagi tertawa melihat foto yang barusan ia ambil. Ia mengambil pensil di mejaku, dan menuliskan sesuatu.
'Cepat sembuh ya Nay! Aku selalu mendukungmu!'
Kata-kata yang kubaca di keesokkan harinya, di foto yang ia ambil ketika aku tertidur. Foto itu terletak di atas meja belajarku dengan rapih tersusun.
Skan, dirimu.. Mengapa?
Lusa berlalu, masuk ke sekolah seakan seperti enggan, tapi mau bagaimana lagi. Sekolah terlihat seperti biasanya, tak ada perubahan apapun. Duduk di belakang bangku sang punggung tegak, aku merasa ada yang aneh. Melihat ke sisi kanan, kiri, belakang, depanku juga. Tak ada Skan?
Elsa menghampiriku dengan wajah bersinar "La, kamu kemana aja dua hari ini. Aku sendiri tanpamu" aku hanya terkikik saat melihat ekspresi wajah Elsa yang cemerlang itu "aku sakit Sa. Oh iya, Skan mana?" Menjawab sekalian bertanya, masalahnya Skan juga tak ada di sini. "Dia juga tidak masuk dua hari yang lalu" sahut Elsa sedikit memalingkan wajahnya dariku menghadap ke bangku Skan yang sekarang hampa tanpa pemilik itu. "Loh? Kenapa?" Tanyaku sedikit mengkerutkan alisku ke atas. "Mungkin dia, tidak ingat dua hari yang lalu hujan lebat sekali?" Jawab Elsa sedikit meninggikan suaranya. Aku menggelengkan kepala yang berarti tidak tau. Dalam hatiku, aku menahan khawatir. Skan.. Kamu kenapa?
Sepulang bel berbunyi, aku bertemu dengan Steven. Ku dengar dia sering melihat Skan di arah ke rumahnya. Info ini kudapat dari Kaldy, yang kebetulan juga satu ekstrakurikuler dengan Skan. "Permisi" sahutku pelan menepuk bahu lelaki itu yang sambil mempersiapkan motornya. "Iya? Ada apa ya?" Jawab Steven datar. "Stev, boleh tanya? Rumah Skandar dimana ya?" Tanyaku lancang saja. Tak ada kata-kata lain sebagai pengganti kata-kata itu. "Rumahnya di area perumahan itu, dekat jalan besar tau?" Jawabnya sambil bersiap menyalakan mesin motornya. "Oh, iya-iya makasih!" Sahutku semangat. Seketika Steven meraih tanganku dan otomatis, aku membalikkan tubuhku dan kepalaku ke arahnya. "Kalau mau sekalian, aku antar bagaimana?" Katanya bertanya padaku "apa tidak keberatan?" Tanyaku lagi. Dia menggelengkan kepala, dan segera menyuruhku naik motornya itu.
Perjalanan memakan waktu sekitar 30 menit dari sekolah. Steven menurunkanku di gang rumah Skan, dia terburu-buru sehingga hanya bisa di antar sampai sini saja. Dengan kertas alamat yang di catatkan Steven, aku menyusuri gang-gang itu. Terhenti di suatu rumah sederhana, tak banyak dari rumah itu yang mencolok, walau bertingkat dua.
"Permisi?" Teriakku kencang. "Iya, tunggu sebentar" kata suara dari dalam rumah itu. Keluarlah seorang wanita paruh baya, tidak terlihat tua, dan sepertinya baik dan ramah. "Ada apa ya?" Tanya wanita itu. "Permisi bu, aku mencari Skandar ada?" Kataku langsung ke inti, apa aku salah alamat?
"Oh!! Kenapa nyari anakku? Temannya dari sekolah?" Tanya dia sedikit terkejut "iya bu, saya temannya. Nama saya Nayla, saya di sini mau jenguk dia" kataku sopan. "Baik-baik, silahkan masuk. Kamar dia ada di lantai tiga ya" katanya membukakan pagar rumah itu. Aku segera berterima kasih dan langsung melepas sepatuku, dan berlari ke lantai dua rumah itu. Ku ketuk satu persatu pintu yang ada, hingga terhenti di sebuah pintu dengan stiker kamera mungil di depannya. Ku ketuk dan ku buka perlahan "permisi" sahutku pelan dan berbisik.
"Nay? Kok kamu ke sini" kata suara yang sudah mengkhawatirkan ku. Skan, terbaring lemas di atas tempat tidurnya. Dia memakai selimut dan sedang menikmati mengutak-atik kameranya. "Skan, maafin aku ya" kataku pelan sambil menarik kursi duduk di dekat ranjangnya itu. "Sudahlah, aku ikhlas. Dan lagi pula, aku juga peduli denganmu. Dan jangan pedulikan aku ya, aku baik-baik saja" katanya tertahan nafas hangat yang berhembus di tanganku. Aku meletakkan tangaku di atas dahinya yang berkeringat itu. Peluh, banyak sekali. Dia kedinginan namun berkeringat, kenapa dia rela kehujanan seperti ini, dalam hatiku menyesal. Coba saja aku tidak mengatakan bahwa aku sakit, Skan tidak akan mungkin datang ke rumahku. Dia berkata sedikit saja padaku, salah satunya untuk memulai pembicaraan lagi setelah beberapa menit hening. "Nay, kamu nanti kuliah ikut jurusan apa?" Tanyanya. "Modeling, kenapa?"
Dia terlihat terkejut dan langsung terduduk di atas ranjangnya yang berlapis spay biru abu-abu itu. Aku memasang wajah aneh sambil menggaruk kepala, dan terlihat sedikit senyuman di wajahku. "aku fotografi. Aku akan kuliah satu kampus denganmu" sahutnya sambil mengutak-atik kamera yang ia sembunyikan di bawah selimut tebalnya itu. Sekarang, giliran aku yang memasang wajah terkejut. Skan hanya terkikik di sambil melihat-lihat foto di kameranya itu.
Aku hanya tertawa melihat ekspresi sahabatku yang satu ini. Dia itu baik, peduli pada siapa saja, jarang emosi, lebih sering tertawa daripada menangis. Sahabat apakah dia? Ajaib sekali.
"Ngomong-ngomong, kamu kuliah dimana nanti?" Tanyanya di tengah lamunanku tentang dirinya. Aku terlihat seperti orang aneh, melihat ke sana kemari seperti gelisah "oh..oh..?!??)&@:$ eh.. Di Jogja nanti" terangku padanya. "Wah, daerah pas untuk foto-foto! Tak sabar aku sekampus denganmu disana!"
Aku memasang wajah senyum tak jelas, yang tiba-tiba saja terukir di wajahku. Skan yang sedang mengutak-atik kamera di atas ranjangnya itu, memandangku dengan senyuman hangat dan menghipnotisnya itu. Aku hanya bisa tersenyum untuknya, dia memberiku banyak senyum, walau hanya senyum. Tapi banyak berarti bagiku
C. At Last, Graduation
Bekerja keras bersama-sama selama ujian, akhirnya kami lulus dengan baik. Aku lebih memilih berdiri di taman sekolah, yang akan ku tinggalkan ini. Banyak kenangan di sekolah ini, termasuk bersama Skan. Hari-hariku berwarna dan cemerlang. Wajahku terukir senyum sambil meneteskan air mata, entah mengapa aku seperti ini. 'Ckrik' bunyi itu terdengar lagi, aku menoleh kemana-mana tidak ada siapa pun, hmm.. Aneh?
Bunyi dedaunan bertiup, angin menyejukkan, gemercik air kolam taman terdengar. Aku akan sangat merindukan teman dan sekolah ini, dari 6 tahun lalu aku bersekolah di sini, kelas 1 SMP. Sekarang sudah akan mengucapkan selamat tinggal, seakan baru kemarin aku memasukki sekolah ini dengan wajah polos dan jujur.
Skandar menghampiriku dan menepuk bahuku pelan "Nay!!" Serunya mengagetkanku dan lamunan masa lalu. Sambil mencari topik, aku langsung lantang berbicara kepadanya,
"Kamu tadi foto aku ya? Foto aku sambil nangis, memalukan Skan!" Teriakku sedikit kesal padanya. "Ya maaf, soalnya setiap momen bersamamu berharga Nay" aku terkejut sambil menggigit lidah. Kira-kira apa yang ia pikirkan tadi?
Aku melupakannya dan langsung Skan menanyakan hal-hal. "Ada berita bagus loh!" Seru Skan di tengah heningnya suasana tadi. Aku mengedipkan mataku dua kali, dan menggelengkan kepala. Menunjukkan ekspresi tak kenal lelah, Skan dengan semangat mengatakannya di depan wajahku yang bersimpah kebingunggan "aku masuk universitas sama denganmu!! Kita bisa sama-sama!!" Aku terbelak kejut, mengapa Skan ingin sekali sekampus denganku?? Apa denganku??
Aku hanya menggelengkan kepala saja sambil tertawa sedikit. Skan, sahabat ku yang sudah satu tahun ini dekat denganku. Dia akan sekampus denganku? Dan akan satu kost juga?
Keberangkatan ke kampus di Yogyakarta.
Sekitar 4 bulan setelah kelulusan itu. Seperti biasa, berkumpul dengan teman-teman satu angkatan. Banyak yang keluar kota dan negri untuk kuliah. Aku sendiri hanya cukup ke Jogja saja, dan setelah test disana, aku di terima. Elsa dan Kaldy masing-masing perfi terpisah, punya kesibukkan masing-masing. Elsa yang akan ke Amerika, berlaga sombong di depan kami, namun tetap sebelum keberangkatannya, ia menangis tak kuasa di tahannya. Sementara Kaldy, dia akan kuliah di Surabaya, tempat saudaranya katanya ada tinggal sana, jadi bisa kuliah tanpa kost.
Pukul 12 siang, pesawat lepas landas dari Bandara Soekarno Hatta, Banten. Duduk di tengah-tengah, dua orang lelaki. Sebelah kananku Skan, dia asyik memotret awan lewat kaca pesawat, sementara di sebelah kiriku. Seorang lelaki, berambut hitam shagy. Memakai kaca mata hitam ahar identitasnya tidak diketahui. Aneh, sahutku dalam hati.
Perjalanan membawa kami 1 jam. Sesampai di Jogja, aku langsung menuju kostanku. Dengan di temani orang yang kebetulan, bersebelahan kamar denganku, Skan. Naik satu taksi ke tujuan yang sama, aku memandangi betapa ku rindukan suasa kota Yogyakarta. Sudah 10 tahun aku tidak menginjakkan kaki di sini, sejak nenekku meninggal 10 tahun silam itu. Ku hadapkan kepalaku membelakangi jendela, dan melihat Skan, asyik memotret. Skan menurunkan kameranya dan dengan kilat membalik badan dan memotretku dengan cepat. Aku tidak sadar di foto olehnya. Melihat Skan menahan tawa di dalam taksi, aku melipatkan kedua tanganku "Skan, foto aku sih boleh! Tapi jangan sambil bengong juga!" Sahutku marah dan memukul pundak Skan dengan sedikit keras.
Skan menaikkan kepalanya dan memandangku dengan senyum itu, senyum aneh dan menghipnotis.
Tempat kost kita, sahutku lagi dalam hati setelah sampai di kost.
Skan di belakangku dan asyik memotret sepertinya. Aku membalikkan badan dan sadar Skan sudah berada dekat denganku wajahku tertempel di kaosnya itu. Dia memelukku erat, sambil menunjukkan senyumannya yang hangat itu "Nay, aku harap aku dapat bersamamu selamanya"
Aku hanya bisa memeluknya kembali. Tanganku yang berkeringat memeluk dirinya yang kokoh itu, memeluk punggungnya yang tegap itu. Skan, teman dan sahabat yang paling aku sayangi ini.
Sebelum masuk kuliah 1 bulan kemudian, aku di ajaknya pergi ke tengah-tengah alun-alun kota Yogyakarta yang dulu suka aku kunjungi bersama keluarga. Skan, kalau tidak memotret apalagi yang ia lakukan?
Mengeluarkan kamera hitam itu, dan memotret momen-momen indah dari berbagai yang kami lakukan bersama.
Tak sadar aku mendengar 'Ckrik' dari kamera hitamnya itu. Dia menunjukkan foto yang ia dapat dari layar mungil itu "Nay, gemerlik kota ini pas denganmu ya" katanya pelan dengan senyumannya itu. Aku menggelengkan kepala dan menjawab "mungkin karena aku, sudah sering ke sini dulu, inilah alasan aku kuliah di sini, sekalian aku bertemu dengan nenekku" sahutki sedikit menjelaskan dan pahit. "Nenek? Kenapa tidak tinggal di rumah nenek saja kalau begitu?" Tanyanya. "Skan, nenekku sudah tiada" jawabku sedikit menahan air mata yang mulai memenuhi kelopak mataku.
Mengusap air mata itu berat, baru pertama kali ini, aku menangis di hadapannya. Skan yang memegang kamera langsung menggantungkannya di leher dan melemparnya ke belakang, agar aku dapat bersandar di dadanya yang kokoh itu. Seakan diriku merinding entah mengapa, aku meluluhkan kesedihan di dalam pelukkannya itu.
Aku tak mau, dia hilang dari genggamanku..
Skan, maukan dirimu..?
D. College!!
Kuliah hari pertama! Tidak repot bagiku yang sudah terbiasa repot. Pagi-pagi aku bangun, walau aku ambil jam siang, tetapi sudah dari pagi mempersiapkan diri. Ku keluar dari kamar kostku itu, mengetuk pintu sebelah kamarku itu. Suara ketukkan pintu pertama tidak membangunkannya, ketika ketukkan yang kedua kalinya, seseorang membuka pintu. Wajahnya pucat, rambutnya acak-acak, bajunya kaos biru yang sudah sedikit kumal. "Skan!!" Teriakku di depan wajahnya yang masih terkantuk. Skan membuka matanya cukup lebar untuk melihat lebih jelas, siapa yang ada di depannya itu. Sekali lagi mengusap mata, ia memperjelas penglihatannya "oh!! Nay??!"
Aku hanya terkikik pelan sambil memegang tangannya yang masih dingin itu.
Tidak sabar kuliah nanti!
Sarapan pagi di kamarku yang masih berisi kardus-kardus. Skan yang hanya berkilauan melihat mangkuk sereal buatanku di depan wajahnya yang aneh itu. Mengambil mangkuk dan duduk di sebelahnya. Sebelum aku menyantap sarapan pagi itu, aku meminum susu, yang kuingat panas sekali. Kutiup perlahan-lahan 'Ckrik' bunyi itu terdengar jelas di samping telingaku. Menghadap ke arah Skan yang sedang memegang kameranya, dan tak luput tawanya yang membuyarkan otakku hinggak tak konsen.
"Nay, lihat! Kau meniup! Wah lucunya!!"
Tawanya di selingan penunjukkan gambar itu.
Aku juga tak luput tertawa melihatnya, entah mengapa aku terlalu sering tertawa bersamanya, daripada orang lain.
Jam 10 tepat, setelah bersiap-siap. Aku dan Skan menaiki becak ke kampus kami. Perjalanan yang berkesan untuk Skan yang terbinar-binar seperti anak kecil yang baru ke tempat seperti Yogyakarta ini.
Kampus! Penuh? Pasti.
Skan? Penuh? Pasti! Banyak gadis yang melihat aku berjalan bersama Skan, dan tidak sering yang bertanya "ini pacarmu?" Mungkin karena aku dan Skan dekat, pertanyaan itu biasa.
Kami berbeda jurusan namum berhubungan.
Modeling dan Fotografi, jurusan yang berbeda namun berhubungan.
Aku ingat, sebagai model, banyak saingan cantik-cantik. Dan pasti lebih cantik dari aku gadis biasa, yang hanya bercita-cita sebagai model. Audi model sulit, tak segampang audisi model waktu sekolah. Banyak tantangan yang harus aku lalui pelan-pelan. Berat, tetapi mudah-mudahan Skan tidak sesulit diriku..
Pulang kuliah hari pertama, wajah Skan masih ceria, tetapi hari-hari kemudian. Skan terlihat mulai tertekan dengan sesuatu. Kali ini sudah 3 bulan aku melihatnya seperti ini, saat kuliah, Skan terlihat mati rasa dan hanya senyum tipis yang berada di wajahnya yang biasa berlambang mentari itu. Malamnya, aku mengetuk pintu kost tempat ia terlelap tiap harinya. Pintu tak terkunci? Sahutki dalam hari, kulihat Skan sedang tertidur di lantai kostnya itu, pendingin ruangan berhembus begitu dingin, tangan Skan yang membeku ku pegang dan ku genggam erat-erat agar hangat. Skan membuka matanya sedikit, hanya sepintas, kali ini senyumannya itu tersenyum dan berkata pelan "Nay, tidur saja. Aku akan baik-baik saja"
Tetapi aku tak menghiraukan, aku langsung menyuruhnya bangkit dari lantai beku itu, dan mendorongnya ke atas sofa, langsung segera aku mencari selimut dan menyelimuti badannya yang mulai merinding. Ku belai rambutnya dan kasar itu, dan menaruh telapak tangaku di atas dahinya yang mulai memanas. "Skan?? Sakit??!" Jawabku panik. Kali ini Skan tertidur lelap di sofa itu, tangannya memeluk tangaku yang satunya. Dengan senyum hangat terlihat di wajahnya.
Aku mengambil baskom dan kain. Aku isi air baskom itu dan segera memeras air dan menaruh kain basah itu di atas dahi Skan.
Ku diamkan dan memperhatikan wajahnya yang mulai memerah karena sakit. Aku sedikit melihat wajahnya yang tersenyum hangat, dan mulai merasa keanehan.
E. Meeting a friend or an enemy?
Keesokkan harinya aku pergi kuliah sendiri dan melihat ke arah belakangku, seorang lelaki tinggi dan sedikit keringat dari dahinya. Aku menyapanya "pagi" kataku pelan
"Pagi-pagi! Kau Nayla ya?" Katanya sedikit berhenti dan melambat ke sebelahku. Aku mengangguk kecil dan terseyum tipis. "Aku temannya Skandar, ku dengar dia sakit?" Tanyanya lagi. Aku mengangguk dan mulai menghadapkan kepalaku lagi ke depan. Hari-hariku tanpa Skan, terasa kosong. Tak ada yang iseng mengejaiku, memotretku yang membuat emosi naik. Entah apa yang kurasakan sekarang, sebentar. Aku membalikkan kepalaku lagi ke arah orang yang di sampingku itu "temannya Skan?" Tanyaku sekarang "iya, namaku Hans. Skandar suka sekali menceritakan dirimu pada ku. Dia suka tertawa sendiri saat melihat fotomu di kameranya saat kuliah" aku hanya bisa tertahan malu. Skan, tertawa? Tanya benakku ke dalam sekali. Seharian ini, aku mengikuti kuliah dengan biasa, bersama teman baruku ini, Hans. Hans mengenalkan temannya, katanya dia tertarik dengan Skan.
Istirahat antar jam, Hans membawaku ke luar ke halaman kampus. Di sana menunggu gadis cantik, sangat cantik. Rambutnya kecoklatan panjang sedikit ikal terurai, postur tubuhnya juga ideal, wajahnya berias rapih.
"Sha! Ni temannya Skandar!" Serunya Hans.
"Gadis itu langsung menghampiriku dengan senyum hangat dan seperti dewi!?
"Salam kenal aku Sasha, aku jurusan fotografi sekelas dengan Skan. Namamu?"
Dalam hati, baru kali ini ada yang memanggil
Skan dengan 'Skan' bukan Skandar. Ku kira diriku berbeda tapi ternyata sama saja. Aku membuka tangan dan menyalami gadis itu dengan senyum tipis di wajahku yang polos ini. Kami berdua duduk di banggku sementara, Hans membeli jajanan.
"Ku dengar kau menaruh hati pada Skandar"
Tanyaku perjelas. Ku lirik dari ekor mataku, dia tersipu merah. Wajahnya yang tadi putih, sekarang semerah tomat.
"Tidak kok, hanya suka saja. Tidak cinta, ku dengar dia tertarik pada seoramg lain, tapi aku tau bukan diriku" pelan Sasha.
Aku hanya mendongkakan kepala ke atas melihat ke langit.
Waktu masih lama bukan?
Skandar.. Nama itu saja.. Aku sudah tak mau lagi menyebutnya Skan. Entah mengapa..
Aku sesak.. Nama Skan, ku kira spesial, salah perkiraan ternyata..
Kuliah hari ini menyedihkan, pulang ke kost dengan becak langgananku dan Skandar.
Aku membuka kamar kostku, tapi sebelum aku menikmati di kamar, aku mengecek keadaan Skandar sekarang.
Ku ketuk pintu rumahnya, tak ada orang yang berkata-kata. Ku putar engsel pintu itu, dan terbuka perlahan.
Masuk pelan-pelan, langkah demi langkah. Ku buka kamar Skandar yang berada di ujung ruangan itu. "Permisi, Skandar" tanyaku perlahan
"Iya, silahkan masuk"
Kata seorang di dalam.
Ketika masuk, menemukan dirinya sedang mengutak-atik kameranya itu dengan asiknya. "Nay, kamu kenapa? Masalah ya?" Katanya memecah keheningngan. Aku melangkah perlahan dan duduk di tempat tidurnya itu. "Tidak tau, Skandar.. Seakan"
Wajahnya langsung berubah drastis dari biasa ke terkejut "Skandar???!" Katanya keras di depan wajahku. Aku menunduk sambil menggelengkan kepalaku. Dia memegang kedua bahu ku dengan kedua tangannya yang kekar itu "Nay! Kenapa panggil aku itu???! Siapa itu?!" Tanyanya dia tegas. Air mata, hanya air mata terlihat di wajahku. Aku tak bisa menahannya lagi. Sakit rasanya sama dengan siapa saja, Skan dengan pesat menangkap wajahku yang penuh air mata itu. Dengan erat ia memelukku, genggaman dirinya di sekeliling tubuhku. Hangat, berperasaan.
"Skan.. Ku harap kau mendapat seseorang" kataku di sela pelukkannya. Dia langsung melipat tangannya dan menggeleng tak mau.
Aku hanya bisa tertawa dan lupa akan diriku yang menangis, termanfaatlah aku 'Ckrik' bunyi itu terdengar lagi, mata yang terpejam membuatku tak sadar.
Skan terlihat tertawa walau dia sakit, tetapi Skan yang menghiburku apa adanya..
"Skan, tadi aku berkenalan dengan sahabatmu. Hans kalau tak salah"
Sekejap, Skan menyusun kameranya di meja dan menyembunyikan dirinya di bawah selimut.
Aku mengarukkan kepalaku perlahan, mengapa Skan seperti ini?
Padahal kan temannya sendiri?
Dia menghidupkan kameranya dan terlihat di layar mungil itu, tulisan yang ia foto berserta seseorang yang berdiri di sana dengan senyum hangat.
Dengan cepat Sharon melihat sahabatnya itu melihati terus kameranya, karena khawatir ia menghampiri sahabatnya itu.
"Kau sedang melamunkan apa sih?" Sahutnya mengagetkan Nayla. "Bukan apa-apa kok, Sha" katanya pelan. Seketika Sharon melihat seseorang di layar mungil kamera sahabatnya itu, dan menarik kamera itu mendekat ke arahnya "ini siapa La?" Katanya dengan penasaran. "Bukan siapa-siapa kok Sha" dengan kata berat ia ucapkan begitu. "Bukan siapa-siapa kok nangis La?" Kata Sharon ketika melihat mata Nayla yang mulai berair. Dengan sigap Nayla menghapus air matanya dari matanya itu, tetapi tetap terlihat bahwa ia menangis, dan matanya terlihat merah seperti baju yang ia kenakan sekarang.
Sharon pun tak banyak diam, ia segera mempertanyakan lagi pertanyaan yang sama di pikirannya lagi "ini siapa La? Kok keliatan kamu deket banget sama dia, sampai nangis gitu? Mantan La? Temen hilang? Atau apa?" Nayla hanya melihat wajah sahabatnya dengan perlahan menarik kamera tadi dan mematikannya "sudah ku bilang bukan siapa-siapa Sha" ulangnya lagi dengan paksa. Tetapi tetap Sharon memaksanya menjawab.
Dengan terpaksa, Nayla mengatakan hal sebenarnya kepada sahabatnya yang keras kepala ini
"Sha, ini bermula sekitar 8 tahun lalu, saat kelas 2 SMA"
A. Knowing You..
Saat itu aku teruduk di bangku kelas dengan menatap PR yang belum sempat kubuat tadi malam, mengerikan sekali jika aku tidak mengerjakannya, guru galak itu akan memarahiku habis-habisan!!? Gumamku dalam hati.
Ketika sedang berpanikria, datang dua sahabatku, Kaldy dan Elsa. Mereka cukup dekat denganku, suka belajar bersama, jalan-jalan atau sekedar berkelompok membicarakan hal-hal tidak berguna. "Nayla!" Seru Elsa dari depan wajahku yang mulai berkeringat dingin. "Nih dah, aku kasih PRku, cepetan kerjain!!" Seru Elsa pelan. Aku hanya mengangguk cepat dan segera mengerjakan PR itu, sementara Kaldy menatap sinis ke arah kiriku, aku memberhentikan penulisanku di buku tulis itu, dan menghadap pada seseoang yang berada di sebelah kiriku.
Skandar? Mengapa menatap menatap seperti itu padanya?
Aku segera menoleh kembali melihat buku tulis menyeramkan itu dan menulis dengan kecepatan cahaya. Sementara Kaldy menatap lekat Skandar yang sedang mengutak-atik kameranya yang seperti kelihatan baru itu.
Skandar, murid yang pendiam, hobinya tertidur saat pelajaran. Duduk di sebelah Nico yang berisik mirip anjing yang menggonggongi orang dan tak berhenti.
Aku tetap mengerjakan PR itu hingga masuk.
Mengikuti pelajaran dengan biasa dan membosankan, aku hampir tertidur, tetapi melihat Skandar yang belum apa-apa sudah tertidur lebih dulu, membuatku aneh.
Mengapa anak seperti dia bisa masuk sekolah sesulit ini? Dan naik kelas normal?
Setelah pelajaran jam 1-4 selesai, Kedua sahabatku akan pergi jajan keluar, sementara aku di kelas, mempersiapkan diri untuk pelajaran selanjutnya. Dan tiba-tiba 'Ckrik' suara seperti cetikkan alat.
Aku menatap ke arah kanan dan kiri, menemukan di samping kiriku, berdiri seseorang yang memegang kamera hitam dan melihat hasilnya di kameranya.
"Nayla, kau lucu juga di foto" sahutnya sedikit terikikik
"Kamu ngapain sih? Foto aku?" Sedikit memastikan dengan wajah aneh aku menatapnya.
Dia hanya datang ke arahku dan memperlihatkan hasil jepretannya kepadaku
"Lihat kan kau, lucu sekali seperti boneka" katanya lagi. Aku memang terlihat aneh di foto itu, membereskan buku dan memasukkan kertas contekkan jawaban di setiap buku yang aku susun. Aneh juga dan aku sedikit tertawa melihatnya.
Dia kemudian duduk depanku, yang kebetulan itu kosong, karena Merry, temanku pindah ke ujung tempat Skandar, dengan alasan tak masuk akal.
Skandar kembali memasukkan kameranya ke dalam tas hitam yang ia bawa itu.
"Boleh aku duduk di sini?" Katanya pelan
Aku yang sedang menunduk mencari kertasku yang hilang menjawab "hah?" Dan kemudian bangun dan melihat Skandar tepat di depan wajahku.
"Hih! Ngagetin!" Geramku kepadanya, tapi sepertinya dia tidak mementingkannya
"Boleh tidak duduk sini? Nay" katanya lagi. Aku hanya menutup mata dan melipat tangan dalam artian tidak. Tetapi ketika aku membuka mata, senyuman. Senyuman itu muncul, dari wajahnya yang aneh dan terlihat polos itu. Senyumannya seakan membuatku jatuh dalam sihirnya, aku menangguk dan membiarkannya berceria di depanku. Sesekali aku menatapkan dan memfokuskan padanganku ke Skandar. Dia seperti tidak peduli dengan guru yang blak-blakan menjelaskan banyak hal. Tidur lagi dia! Teriakku dalam hati, melihat Skandar tertidur, punggungnya yang tegak, terlihat tak berdaya, dan seperti minta di peluk.
Aku menatap punggung itu cukup lama hingga aku tidak menyadari di lempari berbagai macam benda.
"Hoi!!" Sahut Elsa dari samping kananku.
Aku tersadar dan segera bersifat memeperhatikan papan tulis putih bertuliskan rumus bahasa dunia lain yang aku tidak tau.
Aku meraih punggung Skandar dan membangunkan lelaki itu dari mimpinya.
"Ada apa? Membangunkanku?" Tanyanya berbisik dengan sedikit menghadap ke belakang. "Tuh catet" tunjukku ke papan di depan kami itu. Segera Skandar mengeluarkan buku tulis dan menulis tulisan di papan itu, sepertinya dia terburu-buru.
Sekolah usai, aku pulang dengan sepedaku yang memiliki boncengan di belakangnya. Dengan menaruh tasku di atas boncengan itu, dan mempersiapkan untuk mengayuh. Sebelum aku menaiki sepedaku, Skandar datang menghampiriku dangen senyumannya yang begitu menyihir. "Boleh pulang bareng?" Tanyanya pelan. Aku belum menjawab pertanyaan itu, wajah Skandar terlihaat cemas. "Ah..eh.. Baikalah. Kau naik apa?" Jelasku cepat. Dia menggelengkan kepala seakan tak tau apa yang harus ia jawab. Menunduk sebentar, dia memberi alasan "aku tidak mau pulang dangan yang lain, walau banyak yang mengajakku. Aku biasa pulang naik kendaran umum, tapi kali ini aku memutuskan untuk pulang denganmu" mendengar penjelasan itu, wajahku langsung menunjukkan ekspresi seperti bertemu mahluk alien saja. Aku mengangguk dan menyuruhnya menaiki boncengan sepedaku. Dia menggelengkan kepala, dan menyuruhku yang duduk di sana, di boncengan itu. "Rumahmu arahnya dimana?" Aku menunjukku ke arah belok kanan. Dia segera mengayuh sepeda itu dengan kebut di awal membuat aku seakan akan terbang bersama sepeda itu. Perjalanan pulang cukup mengejutkan, Skandar memarkirkan sepedaku di garasi, dan sebelum dia pulang dia mengatakan "aku main ke rumahmu dong" serunya. Aku menggeleng cepat, dan segera menyuruhnya pulang karena orang tuanya nanti khawatir?
Dia hanya tersenyum "tidak akan kok, aku sudah biasa pulang larut" katanya pelan. Dan kemudian aku mengajaknya masuk dan bertemu ibuku yang sedang memasak, di kejutkan oleh seorang lelaki muda masuk ke rumahnya. Dia segera berjalan ke arahku dan berbisik "dia temanmu sayang?" Kata ibuku yang sedikit khawatir. Anggukku pelan kepadanya dan menandakan bahwa ia temanku. Skandar langsung bersalam ke pada ibuku dan segera melepas sepatu berserta kaus kakinya. Dia duduk di sofa dengan mengeluarkan kameranya lagi.
Saat itu aku sedang menggigit jariku, entah mengapa, aku seperti tidak bisa mengerjakan soal di depan mataku sekarang. 'Crik' suara itu terdengar lagi. Aku melirik ke arah Skandar yang hampir tertawa melihat hasil foro jepretannya lagi. Sambil menahan tawa ia menunjukkan hasil itu padaku.
Aku menggigit jariku hingga tak sadar pensil ada di rambutku. Aku tertawa hingga ibuku mengatakan "kau tidak apa-apa kan?" Aku tidak kuasa melihatnya.
Skandar yang dengan kuat berpegangngan pada ujung meja dan satu lagi memegang kamera. Dia tertawa dengan lepasnya, berbeda dari sekolah, yang hanya diam dan tersenyum indah di depan mataku.
B. You make the smiles, laugh, happinest
around me
Di sekolah, sejak aku duduk di belakang punggung itu, terasa sangat berbeda. Setiap aku ingin bertanya, pasti Skandar selalu membantu ku, aku sedikit malu bila bertanya.
Skandar, lelaki yang pertama kali dekat sekali denganku. Dia juga teman yang baik, selain Elsa dan Kaldy. Bedanya, Skandar selalu ada untukku setiap waktu, dia selalu ada di sampingku ketika masa-masa sulit ujian menerpa. Sulitnya aku mengerti berbagai tumpukkan latihan soal di depan mataku yang seperti tumpukkan misteri itu, tetapi Skandar dan kedua sahabatku membantuku untuk mengerjakannya agar lulus bersama-sama.
Selama aku belajar, tak luput dari 'crik' bunyi itu terdengar lagi. Skandar memotretku berkali-kali hingga tersenyum di layar mungil kameranya itu. "Nay, liat kamu. Serius banget, aku suka deh. Semangat ya belajarnya!" Sahutnya sambil menunjukkan hasil jepretannya kepadaku dan teman-teman. "Skandar, foto akulah sekali-kali. Ganteng masa tidak di foto" sahut Kaldy dari sofa belakangku. "Maaf iya, yang aku foto sebagai kenang-kenangan hanya Nayla" Skandar tersenyum menghadapku. Aku hanya fokus mengerjakan soal-soal, sementara kedua sahabatku bebisik-bisik di balik punggungku.
"Nay, sini aku bantu. Kami kelihatan resah sekali mengerjakannya" kata Skandar di sampingku.
"Ah tidak apa-apa, Skan. Aku bisa kok sendiri" kataku sambil memasang senyum palsu.
Skandar tidak terima seperti itu. Dia langsung mengambil pensil dan menunjukkan caranya mengerjakan. Aku hanya terlaga bodoh dan terpaksa mengikutinya. Skandar hanya tersenyum, senyuman sihir itu muncul lagi di wajahnya yang putih bersih itu. Aku membalasnya dengan senyum tulus dan kembali mengerjakan.
Sekolah, tempat aku bertemu dan mengenal dia sekarang, Skandar.
Aku duduk di belakangnya, kadang-kadang terhalang oleh pandangan punggungnya yang tinggi itu. Hari itu aku tidak masuk karena sakit. Terbaring lemas di atas tempat tidurku, aku duduk dan membaca pelajaran untuk ujian. Tak lama, bergetar ponselku yang letaknya tak jauh dari situ.
"Halo?" Sahutku memastikan siapa itu, yang terpasang hanya nomer tidak di kenal dengan digit yang khas.
"Nay, kamu kenapa tidak masuk?" Sahut suara di sebrang sana. Aku langsung tau itu siapa. "Skan? Aku sakit. Badanku panas naik turun" di sebrang sana seperti terdengar sepi, mungkin pagi hari ini kelas belum penuh. Aku biasa datang pagi karena ingin menikmati pagi bersama teman-teman. Skandar juga datang pagi, biasanya aku berangkat sekolah bersamanya setelah bertemu di tengah perjalanan. "Aku jenguk boleh?" Tanyanya pelan. "Nanti siang kan? Oh ya, sepi kelas kita ya?" Jawabku memastikan lagi. "Tidak, sekarang aku akan segera kesana, aku sedang berada di kantin"
Aku belum sempat menjawab, panggilan itu langsung di akhiri olehnya. Kenapa di rela seperti ini demi aku? Padahal kami juga belum sedekat yang diperkirakan.
Daripada memikirkan hal seperti ini, aku kembali menatap buku catatan tebal yang siap kubaca kembali.
Waktu tidak berlangsung lama, pintu gerbang rumahku terbuka. Bunyinya terdengar jelas dari kamarku yang berada di lantai dua. Suara tergesa-gesa dari luar kamarku, seperti ada seseorang di luar sana. 'Tok-tok' "bolehkah aku masuk?" Suarang dari balik daun pintu kamarku itu.
Ku bangun dan membukakan pintu, Skandar?!
Dia berkeringat dan nyaris tumbang dari tegakkan kakinya yang mulai rapuh itu. Aku menariknya ke kursi belajarku dan membiarkannya beristirahat, sambil menyodorkan air putih. "Skan, kamu lari ya? Ini minum dulu" dia menggelengkan kepalanya, dan segera meminum cairan yang ada di tangannya sekarang. "Aku naik sepeday Nay" katanya pelan setelah menarik nafas dalam-dalam. Aku hanya terlena mendengar itu, sepeduli itu dia padaku?
Skandar bangun dari kursiku itu dan segera menempelkan tanganya di dahiku yang berkeringat ini. "Nay, istirahat lah. Tidak usah belajar dulu, liburkan sehari saja" suaranya yang khawatir, nada bicaranya yang menggoda, membuatku tersihir kembali. "Tidak, Skan aku baik-baik saja" ketika berkata itu, wajahku mulai memanas, udara yang di sekitar panas, mendadak terasa dingin sekali. Aku menutup buku yang ku pegang tadi, dan memeluk tubuhku erat dengan kedua tanganku. Skandar segera menggapai selimut yang ada dan mendorong tubuhku hinggi telentang di kasur, dan menyelimutinya. Apa ia sadar? Apa yang ia lakukan. Skandar memandang wajahku dengan penuh kekhawatiran dan sekali lagi, senyuman itu terlihat di wajahnya. Ia segera meninggalkanku, sebelum ia membuka pintu kamarku "Skan.." Panggilku pelan. Ia menoleh dan memasang ekspresi 'kenapa?'
Aku membalasnya dengan simbol tangan, dan menyuruhnya dekat denganku. "Skan, tidak sekolah kan?" Tanyaku. Ia menggelengkan kepalanya dengan senyum berada di wajahnya "Aku akan jaga Nay, sampai Nay tidur ya?" Sahutnya dengan pelan. Aku mengangguk dan memasang wajah senyum "terima kasih Skan"
Skandar kemudian terduduk di atas karpet di bawah tempat tidurku. Dia membuka ponselnya dan membaca sesuatu
"Nay, coba bayangkan hal ini"
'Bisakah dirimu menjawab isi kepalaku?
Bisakah dirimu menjawab balasan isi hatiku? Bisakah dirimu mendampingiku?
Bisakah dirimu mengatakan hal itu?
Dengan momen-momen ini, aku mengabadikannya dengan penuh perasaan'
Setelah selesai membaca, Skandar menghadapku yang sudah tertidur pulas. Tidak kusadari wajah itu, dengan kameranya. 'Ckrik' Skandar sekali lagi tertawa melihat foto yang barusan ia ambil. Ia mengambil pensil di mejaku, dan menuliskan sesuatu.
'Cepat sembuh ya Nay! Aku selalu mendukungmu!'
Kata-kata yang kubaca di keesokkan harinya, di foto yang ia ambil ketika aku tertidur. Foto itu terletak di atas meja belajarku dengan rapih tersusun.
Skan, dirimu.. Mengapa?
Lusa berlalu, masuk ke sekolah seakan seperti enggan, tapi mau bagaimana lagi. Sekolah terlihat seperti biasanya, tak ada perubahan apapun. Duduk di belakang bangku sang punggung tegak, aku merasa ada yang aneh. Melihat ke sisi kanan, kiri, belakang, depanku juga. Tak ada Skan?
Elsa menghampiriku dengan wajah bersinar "La, kamu kemana aja dua hari ini. Aku sendiri tanpamu" aku hanya terkikik saat melihat ekspresi wajah Elsa yang cemerlang itu "aku sakit Sa. Oh iya, Skan mana?" Menjawab sekalian bertanya, masalahnya Skan juga tak ada di sini. "Dia juga tidak masuk dua hari yang lalu" sahut Elsa sedikit memalingkan wajahnya dariku menghadap ke bangku Skan yang sekarang hampa tanpa pemilik itu. "Loh? Kenapa?" Tanyaku sedikit mengkerutkan alisku ke atas. "Mungkin dia, tidak ingat dua hari yang lalu hujan lebat sekali?" Jawab Elsa sedikit meninggikan suaranya. Aku menggelengkan kepala yang berarti tidak tau. Dalam hatiku, aku menahan khawatir. Skan.. Kamu kenapa?
Sepulang bel berbunyi, aku bertemu dengan Steven. Ku dengar dia sering melihat Skan di arah ke rumahnya. Info ini kudapat dari Kaldy, yang kebetulan juga satu ekstrakurikuler dengan Skan. "Permisi" sahutku pelan menepuk bahu lelaki itu yang sambil mempersiapkan motornya. "Iya? Ada apa ya?" Jawab Steven datar. "Stev, boleh tanya? Rumah Skandar dimana ya?" Tanyaku lancang saja. Tak ada kata-kata lain sebagai pengganti kata-kata itu. "Rumahnya di area perumahan itu, dekat jalan besar tau?" Jawabnya sambil bersiap menyalakan mesin motornya. "Oh, iya-iya makasih!" Sahutku semangat. Seketika Steven meraih tanganku dan otomatis, aku membalikkan tubuhku dan kepalaku ke arahnya. "Kalau mau sekalian, aku antar bagaimana?" Katanya bertanya padaku "apa tidak keberatan?" Tanyaku lagi. Dia menggelengkan kepala, dan segera menyuruhku naik motornya itu.
Perjalanan memakan waktu sekitar 30 menit dari sekolah. Steven menurunkanku di gang rumah Skan, dia terburu-buru sehingga hanya bisa di antar sampai sini saja. Dengan kertas alamat yang di catatkan Steven, aku menyusuri gang-gang itu. Terhenti di suatu rumah sederhana, tak banyak dari rumah itu yang mencolok, walau bertingkat dua.
"Permisi?" Teriakku kencang. "Iya, tunggu sebentar" kata suara dari dalam rumah itu. Keluarlah seorang wanita paruh baya, tidak terlihat tua, dan sepertinya baik dan ramah. "Ada apa ya?" Tanya wanita itu. "Permisi bu, aku mencari Skandar ada?" Kataku langsung ke inti, apa aku salah alamat?
"Oh!! Kenapa nyari anakku? Temannya dari sekolah?" Tanya dia sedikit terkejut "iya bu, saya temannya. Nama saya Nayla, saya di sini mau jenguk dia" kataku sopan. "Baik-baik, silahkan masuk. Kamar dia ada di lantai tiga ya" katanya membukakan pagar rumah itu. Aku segera berterima kasih dan langsung melepas sepatuku, dan berlari ke lantai dua rumah itu. Ku ketuk satu persatu pintu yang ada, hingga terhenti di sebuah pintu dengan stiker kamera mungil di depannya. Ku ketuk dan ku buka perlahan "permisi" sahutku pelan dan berbisik.
"Nay? Kok kamu ke sini" kata suara yang sudah mengkhawatirkan ku. Skan, terbaring lemas di atas tempat tidurnya. Dia memakai selimut dan sedang menikmati mengutak-atik kameranya. "Skan, maafin aku ya" kataku pelan sambil menarik kursi duduk di dekat ranjangnya itu. "Sudahlah, aku ikhlas. Dan lagi pula, aku juga peduli denganmu. Dan jangan pedulikan aku ya, aku baik-baik saja" katanya tertahan nafas hangat yang berhembus di tanganku. Aku meletakkan tangaku di atas dahinya yang berkeringat itu. Peluh, banyak sekali. Dia kedinginan namun berkeringat, kenapa dia rela kehujanan seperti ini, dalam hatiku menyesal. Coba saja aku tidak mengatakan bahwa aku sakit, Skan tidak akan mungkin datang ke rumahku. Dia berkata sedikit saja padaku, salah satunya untuk memulai pembicaraan lagi setelah beberapa menit hening. "Nay, kamu nanti kuliah ikut jurusan apa?" Tanyanya. "Modeling, kenapa?"
Dia terlihat terkejut dan langsung terduduk di atas ranjangnya yang berlapis spay biru abu-abu itu. Aku memasang wajah aneh sambil menggaruk kepala, dan terlihat sedikit senyuman di wajahku. "aku fotografi. Aku akan kuliah satu kampus denganmu" sahutnya sambil mengutak-atik kamera yang ia sembunyikan di bawah selimut tebalnya itu. Sekarang, giliran aku yang memasang wajah terkejut. Skan hanya terkikik di sambil melihat-lihat foto di kameranya itu.
Aku hanya tertawa melihat ekspresi sahabatku yang satu ini. Dia itu baik, peduli pada siapa saja, jarang emosi, lebih sering tertawa daripada menangis. Sahabat apakah dia? Ajaib sekali.
"Ngomong-ngomong, kamu kuliah dimana nanti?" Tanyanya di tengah lamunanku tentang dirinya. Aku terlihat seperti orang aneh, melihat ke sana kemari seperti gelisah "oh..oh..?!??)&@:$ eh.. Di Jogja nanti" terangku padanya. "Wah, daerah pas untuk foto-foto! Tak sabar aku sekampus denganmu disana!"
Aku memasang wajah senyum tak jelas, yang tiba-tiba saja terukir di wajahku. Skan yang sedang mengutak-atik kamera di atas ranjangnya itu, memandangku dengan senyuman hangat dan menghipnotisnya itu. Aku hanya bisa tersenyum untuknya, dia memberiku banyak senyum, walau hanya senyum. Tapi banyak berarti bagiku
C. At Last, Graduation
Bekerja keras bersama-sama selama ujian, akhirnya kami lulus dengan baik. Aku lebih memilih berdiri di taman sekolah, yang akan ku tinggalkan ini. Banyak kenangan di sekolah ini, termasuk bersama Skan. Hari-hariku berwarna dan cemerlang. Wajahku terukir senyum sambil meneteskan air mata, entah mengapa aku seperti ini. 'Ckrik' bunyi itu terdengar lagi, aku menoleh kemana-mana tidak ada siapa pun, hmm.. Aneh?
Bunyi dedaunan bertiup, angin menyejukkan, gemercik air kolam taman terdengar. Aku akan sangat merindukan teman dan sekolah ini, dari 6 tahun lalu aku bersekolah di sini, kelas 1 SMP. Sekarang sudah akan mengucapkan selamat tinggal, seakan baru kemarin aku memasukki sekolah ini dengan wajah polos dan jujur.
Skandar menghampiriku dan menepuk bahuku pelan "Nay!!" Serunya mengagetkanku dan lamunan masa lalu. Sambil mencari topik, aku langsung lantang berbicara kepadanya,
"Kamu tadi foto aku ya? Foto aku sambil nangis, memalukan Skan!" Teriakku sedikit kesal padanya. "Ya maaf, soalnya setiap momen bersamamu berharga Nay" aku terkejut sambil menggigit lidah. Kira-kira apa yang ia pikirkan tadi?
Aku melupakannya dan langsung Skan menanyakan hal-hal. "Ada berita bagus loh!" Seru Skan di tengah heningnya suasana tadi. Aku mengedipkan mataku dua kali, dan menggelengkan kepala. Menunjukkan ekspresi tak kenal lelah, Skan dengan semangat mengatakannya di depan wajahku yang bersimpah kebingunggan "aku masuk universitas sama denganmu!! Kita bisa sama-sama!!" Aku terbelak kejut, mengapa Skan ingin sekali sekampus denganku?? Apa denganku??
Aku hanya menggelengkan kepala saja sambil tertawa sedikit. Skan, sahabat ku yang sudah satu tahun ini dekat denganku. Dia akan sekampus denganku? Dan akan satu kost juga?
Keberangkatan ke kampus di Yogyakarta.
Sekitar 4 bulan setelah kelulusan itu. Seperti biasa, berkumpul dengan teman-teman satu angkatan. Banyak yang keluar kota dan negri untuk kuliah. Aku sendiri hanya cukup ke Jogja saja, dan setelah test disana, aku di terima. Elsa dan Kaldy masing-masing perfi terpisah, punya kesibukkan masing-masing. Elsa yang akan ke Amerika, berlaga sombong di depan kami, namun tetap sebelum keberangkatannya, ia menangis tak kuasa di tahannya. Sementara Kaldy, dia akan kuliah di Surabaya, tempat saudaranya katanya ada tinggal sana, jadi bisa kuliah tanpa kost.
Pukul 12 siang, pesawat lepas landas dari Bandara Soekarno Hatta, Banten. Duduk di tengah-tengah, dua orang lelaki. Sebelah kananku Skan, dia asyik memotret awan lewat kaca pesawat, sementara di sebelah kiriku. Seorang lelaki, berambut hitam shagy. Memakai kaca mata hitam ahar identitasnya tidak diketahui. Aneh, sahutku dalam hati.
Perjalanan membawa kami 1 jam. Sesampai di Jogja, aku langsung menuju kostanku. Dengan di temani orang yang kebetulan, bersebelahan kamar denganku, Skan. Naik satu taksi ke tujuan yang sama, aku memandangi betapa ku rindukan suasa kota Yogyakarta. Sudah 10 tahun aku tidak menginjakkan kaki di sini, sejak nenekku meninggal 10 tahun silam itu. Ku hadapkan kepalaku membelakangi jendela, dan melihat Skan, asyik memotret. Skan menurunkan kameranya dan dengan kilat membalik badan dan memotretku dengan cepat. Aku tidak sadar di foto olehnya. Melihat Skan menahan tawa di dalam taksi, aku melipatkan kedua tanganku "Skan, foto aku sih boleh! Tapi jangan sambil bengong juga!" Sahutku marah dan memukul pundak Skan dengan sedikit keras.
Skan menaikkan kepalanya dan memandangku dengan senyum itu, senyum aneh dan menghipnotis.
Tempat kost kita, sahutku lagi dalam hati setelah sampai di kost.
Skan di belakangku dan asyik memotret sepertinya. Aku membalikkan badan dan sadar Skan sudah berada dekat denganku wajahku tertempel di kaosnya itu. Dia memelukku erat, sambil menunjukkan senyumannya yang hangat itu "Nay, aku harap aku dapat bersamamu selamanya"
Aku hanya bisa memeluknya kembali. Tanganku yang berkeringat memeluk dirinya yang kokoh itu, memeluk punggungnya yang tegap itu. Skan, teman dan sahabat yang paling aku sayangi ini.
Sebelum masuk kuliah 1 bulan kemudian, aku di ajaknya pergi ke tengah-tengah alun-alun kota Yogyakarta yang dulu suka aku kunjungi bersama keluarga. Skan, kalau tidak memotret apalagi yang ia lakukan?
Mengeluarkan kamera hitam itu, dan memotret momen-momen indah dari berbagai yang kami lakukan bersama.
Tak sadar aku mendengar 'Ckrik' dari kamera hitamnya itu. Dia menunjukkan foto yang ia dapat dari layar mungil itu "Nay, gemerlik kota ini pas denganmu ya" katanya pelan dengan senyumannya itu. Aku menggelengkan kepala dan menjawab "mungkin karena aku, sudah sering ke sini dulu, inilah alasan aku kuliah di sini, sekalian aku bertemu dengan nenekku" sahutki sedikit menjelaskan dan pahit. "Nenek? Kenapa tidak tinggal di rumah nenek saja kalau begitu?" Tanyanya. "Skan, nenekku sudah tiada" jawabku sedikit menahan air mata yang mulai memenuhi kelopak mataku.
Mengusap air mata itu berat, baru pertama kali ini, aku menangis di hadapannya. Skan yang memegang kamera langsung menggantungkannya di leher dan melemparnya ke belakang, agar aku dapat bersandar di dadanya yang kokoh itu. Seakan diriku merinding entah mengapa, aku meluluhkan kesedihan di dalam pelukkannya itu.
Aku tak mau, dia hilang dari genggamanku..
Skan, maukan dirimu..?
D. College!!
Kuliah hari pertama! Tidak repot bagiku yang sudah terbiasa repot. Pagi-pagi aku bangun, walau aku ambil jam siang, tetapi sudah dari pagi mempersiapkan diri. Ku keluar dari kamar kostku itu, mengetuk pintu sebelah kamarku itu. Suara ketukkan pintu pertama tidak membangunkannya, ketika ketukkan yang kedua kalinya, seseorang membuka pintu. Wajahnya pucat, rambutnya acak-acak, bajunya kaos biru yang sudah sedikit kumal. "Skan!!" Teriakku di depan wajahnya yang masih terkantuk. Skan membuka matanya cukup lebar untuk melihat lebih jelas, siapa yang ada di depannya itu. Sekali lagi mengusap mata, ia memperjelas penglihatannya "oh!! Nay??!"
Aku hanya terkikik pelan sambil memegang tangannya yang masih dingin itu.
Tidak sabar kuliah nanti!
Sarapan pagi di kamarku yang masih berisi kardus-kardus. Skan yang hanya berkilauan melihat mangkuk sereal buatanku di depan wajahnya yang aneh itu. Mengambil mangkuk dan duduk di sebelahnya. Sebelum aku menyantap sarapan pagi itu, aku meminum susu, yang kuingat panas sekali. Kutiup perlahan-lahan 'Ckrik' bunyi itu terdengar jelas di samping telingaku. Menghadap ke arah Skan yang sedang memegang kameranya, dan tak luput tawanya yang membuyarkan otakku hinggak tak konsen.
"Nay, lihat! Kau meniup! Wah lucunya!!"
Tawanya di selingan penunjukkan gambar itu.
Aku juga tak luput tertawa melihatnya, entah mengapa aku terlalu sering tertawa bersamanya, daripada orang lain.
Jam 10 tepat, setelah bersiap-siap. Aku dan Skan menaiki becak ke kampus kami. Perjalanan yang berkesan untuk Skan yang terbinar-binar seperti anak kecil yang baru ke tempat seperti Yogyakarta ini.
Kampus! Penuh? Pasti.
Skan? Penuh? Pasti! Banyak gadis yang melihat aku berjalan bersama Skan, dan tidak sering yang bertanya "ini pacarmu?" Mungkin karena aku dan Skan dekat, pertanyaan itu biasa.
Kami berbeda jurusan namum berhubungan.
Modeling dan Fotografi, jurusan yang berbeda namun berhubungan.
Aku ingat, sebagai model, banyak saingan cantik-cantik. Dan pasti lebih cantik dari aku gadis biasa, yang hanya bercita-cita sebagai model. Audi model sulit, tak segampang audisi model waktu sekolah. Banyak tantangan yang harus aku lalui pelan-pelan. Berat, tetapi mudah-mudahan Skan tidak sesulit diriku..
Pulang kuliah hari pertama, wajah Skan masih ceria, tetapi hari-hari kemudian. Skan terlihat mulai tertekan dengan sesuatu. Kali ini sudah 3 bulan aku melihatnya seperti ini, saat kuliah, Skan terlihat mati rasa dan hanya senyum tipis yang berada di wajahnya yang biasa berlambang mentari itu. Malamnya, aku mengetuk pintu kost tempat ia terlelap tiap harinya. Pintu tak terkunci? Sahutki dalam hari, kulihat Skan sedang tertidur di lantai kostnya itu, pendingin ruangan berhembus begitu dingin, tangan Skan yang membeku ku pegang dan ku genggam erat-erat agar hangat. Skan membuka matanya sedikit, hanya sepintas, kali ini senyumannya itu tersenyum dan berkata pelan "Nay, tidur saja. Aku akan baik-baik saja"
Tetapi aku tak menghiraukan, aku langsung menyuruhnya bangkit dari lantai beku itu, dan mendorongnya ke atas sofa, langsung segera aku mencari selimut dan menyelimuti badannya yang mulai merinding. Ku belai rambutnya dan kasar itu, dan menaruh telapak tangaku di atas dahinya yang mulai memanas. "Skan?? Sakit??!" Jawabku panik. Kali ini Skan tertidur lelap di sofa itu, tangannya memeluk tangaku yang satunya. Dengan senyum hangat terlihat di wajahnya.
Aku mengambil baskom dan kain. Aku isi air baskom itu dan segera memeras air dan menaruh kain basah itu di atas dahi Skan.
Ku diamkan dan memperhatikan wajahnya yang mulai memerah karena sakit. Aku sedikit melihat wajahnya yang tersenyum hangat, dan mulai merasa keanehan.
E. Meeting a friend or an enemy?
Keesokkan harinya aku pergi kuliah sendiri dan melihat ke arah belakangku, seorang lelaki tinggi dan sedikit keringat dari dahinya. Aku menyapanya "pagi" kataku pelan
"Pagi-pagi! Kau Nayla ya?" Katanya sedikit berhenti dan melambat ke sebelahku. Aku mengangguk kecil dan terseyum tipis. "Aku temannya Skandar, ku dengar dia sakit?" Tanyanya lagi. Aku mengangguk dan mulai menghadapkan kepalaku lagi ke depan. Hari-hariku tanpa Skan, terasa kosong. Tak ada yang iseng mengejaiku, memotretku yang membuat emosi naik. Entah apa yang kurasakan sekarang, sebentar. Aku membalikkan kepalaku lagi ke arah orang yang di sampingku itu "temannya Skan?" Tanyaku sekarang "iya, namaku Hans. Skandar suka sekali menceritakan dirimu pada ku. Dia suka tertawa sendiri saat melihat fotomu di kameranya saat kuliah" aku hanya bisa tertahan malu. Skan, tertawa? Tanya benakku ke dalam sekali. Seharian ini, aku mengikuti kuliah dengan biasa, bersama teman baruku ini, Hans. Hans mengenalkan temannya, katanya dia tertarik dengan Skan.
Istirahat antar jam, Hans membawaku ke luar ke halaman kampus. Di sana menunggu gadis cantik, sangat cantik. Rambutnya kecoklatan panjang sedikit ikal terurai, postur tubuhnya juga ideal, wajahnya berias rapih.
"Sha! Ni temannya Skandar!" Serunya Hans.
"Gadis itu langsung menghampiriku dengan senyum hangat dan seperti dewi!?
"Salam kenal aku Sasha, aku jurusan fotografi sekelas dengan Skan. Namamu?"
Dalam hati, baru kali ini ada yang memanggil
Skan dengan 'Skan' bukan Skandar. Ku kira diriku berbeda tapi ternyata sama saja. Aku membuka tangan dan menyalami gadis itu dengan senyum tipis di wajahku yang polos ini. Kami berdua duduk di banggku sementara, Hans membeli jajanan.
"Ku dengar kau menaruh hati pada Skandar"
Tanyaku perjelas. Ku lirik dari ekor mataku, dia tersipu merah. Wajahnya yang tadi putih, sekarang semerah tomat.
"Tidak kok, hanya suka saja. Tidak cinta, ku dengar dia tertarik pada seoramg lain, tapi aku tau bukan diriku" pelan Sasha.
Aku hanya mendongkakan kepala ke atas melihat ke langit.
Waktu masih lama bukan?
Skandar.. Nama itu saja.. Aku sudah tak mau lagi menyebutnya Skan. Entah mengapa..
Aku sesak.. Nama Skan, ku kira spesial, salah perkiraan ternyata..
Kuliah hari ini menyedihkan, pulang ke kost dengan becak langgananku dan Skandar.
Aku membuka kamar kostku, tapi sebelum aku menikmati di kamar, aku mengecek keadaan Skandar sekarang.
Ku ketuk pintu rumahnya, tak ada orang yang berkata-kata. Ku putar engsel pintu itu, dan terbuka perlahan.
Masuk pelan-pelan, langkah demi langkah. Ku buka kamar Skandar yang berada di ujung ruangan itu. "Permisi, Skandar" tanyaku perlahan
"Iya, silahkan masuk"
Kata seorang di dalam.
Ketika masuk, menemukan dirinya sedang mengutak-atik kameranya itu dengan asiknya. "Nay, kamu kenapa? Masalah ya?" Katanya memecah keheningngan. Aku melangkah perlahan dan duduk di tempat tidurnya itu. "Tidak tau, Skandar.. Seakan"
Wajahnya langsung berubah drastis dari biasa ke terkejut "Skandar???!" Katanya keras di depan wajahku. Aku menunduk sambil menggelengkan kepalaku. Dia memegang kedua bahu ku dengan kedua tangannya yang kekar itu "Nay! Kenapa panggil aku itu???! Siapa itu?!" Tanyanya dia tegas. Air mata, hanya air mata terlihat di wajahku. Aku tak bisa menahannya lagi. Sakit rasanya sama dengan siapa saja, Skan dengan pesat menangkap wajahku yang penuh air mata itu. Dengan erat ia memelukku, genggaman dirinya di sekeliling tubuhku. Hangat, berperasaan.
"Skan.. Ku harap kau mendapat seseorang" kataku di sela pelukkannya. Dia langsung melipat tangannya dan menggeleng tak mau.
Aku hanya bisa tertawa dan lupa akan diriku yang menangis, termanfaatlah aku 'Ckrik' bunyi itu terdengar lagi, mata yang terpejam membuatku tak sadar.
Skan terlihat tertawa walau dia sakit, tetapi Skan yang menghiburku apa adanya..
"Skan, tadi aku berkenalan dengan sahabatmu. Hans kalau tak salah"
Sekejap, Skan menyusun kameranya di meja dan menyembunyikan dirinya di bawah selimut.
Aku mengarukkan kepalaku perlahan, mengapa Skan seperti ini?
Padahal kan temannya sendiri?
F. Begining of Trouble
"Ayo! Bangun!!" Seru Skan menggedor pintu kamar kostku yang kayu usang itu. Aku mengusap mata dan meliahat ke arah jendela luar, terik sinar matahari. Ku bangun dari ranjang yang masih berantakan itu, aku membuka pintu kostan dengan tampilan baju piyama, dan rambut acak-acakan.
"Ada apa Skan?" Tanyaku sambil menguap-uap.
"Bangun lah, aku sudah sehat ini!! Terus, hari ini kami universitas bagian fotografi akan bekerja sama dengan jurusan modeling!!"
Kata kaliamat itu, langsung membangunkanku, tetapi aku sadar. Walau kejadian kemarin bukan hal sepele, tapi aku tak akan menyerah, meski banyak rintangan yang haru kulalui satu per satu.
Kejadian dimana, Shasa, teman satu jurusan Skan yang kebetulan juga satu kelas. Rumor mengatakan bahwa ia jatuh hati pada sahabatku Skan. Baru kemarin ada seseorang yang menyebut nama Skan selain aku. Kenapa aku begitu di anggap biasa? Tapi mengapa juga, Skan banyak bercerita tentangku?
Selesai berlamun sambil bersiap, aku segera keluar dari kamar kostku. Ku lihat di bawah, Skan memberikan sinyal, agar aku segera turun, dan ku lihat jam. Sudah jam 9?? Satu jam lagi kuliah akan di mulai!!?
Aku lari dengan secepat kilat menemui Skan di bawah, segera Skan menggandengku dan berlari menuju gerbang keluar rumah kost. Segera Skan menyuruh tukang becak langganan kami untuk mengencangkan ayuhannya. Entah mengapa Skan semangat untuk hari ini. Sesampai di sana, jalan memenuhi langkah kami berdua. Gadis-gadis cantik mencibiriku, mereka iri, karena aku mendapatkan dan kebetulan sahabatku, yang menjadi fotograferku untuk tugas kerja sama ini. "Nay!! Kita berpasangan!!" Seru Skan setelah melihat papan pengumuman yang menunjukkan pasangan-pasangan untuk tugas ini.
Wajar saja, Skan memang jarang lepas dariku. Walau kami terpisah, tetapi saling merindukan. Rumor sebagai aku dan Skan sepasang kekasih tak luput hingga kuliah.
"Wah!! Skan!" Seru suara tak jauh dari sana. Skan mebelokkan kepalanya ke arahku "kamu memanggilku, Nay?" Katanya sambil menggarukkan kepala.
Loh? Sepertinya satu-satunya gadis yang memanggil dia dengan sebutan Skan, hanya aku?
Sasha datang dari kejauahan, menghampiri kami berdua yang sedang melakukan aktifitas bengong rutin.
"La! Tumben, kesiangan?" Jawab Hans yang tiba-tiba menepuk pundakku. Skan yang sedang di ajak bicara Sasha langsung memalingkan wajahnya, dan sekarang mengahadapku dan Hans yang asik bicara.
Aku tak sadar Skan melirik tajam ke arah Hans yang asiknya menggosipkan tentang banyak hal.
"Hans, nanti saat tugas kita akan bertemu lagi. Sekarang aku akan menghabiskan waktu dengannya" Skan memecah pembicaraan di antara aku dan Hans. Skan terus menarik tanganku hingga sampai di kelasku. Aku memsangkan wajah khawatir dan sekaligus kesal, tak biasanya Skan memperlihatkan seperti ini, jarang bahkan hampir tak kulihat, Skan.. Cemburu?
Tatapan kesalku masih berbekas hingga tugas di mulai, berkali-kali ku coba untuk tersenyum dan berekspresi banyak, percuma dan sia-sia. Sebab fotografer di hadapanku sekarang juga memasang ekspresi yang sama.
Sejak sesi kuliah di mulai, dan berseling istirahat. Aku sama sekali tidak menghampiri, dan berkata atau sekedar menyapanya. Begitu juga sebaliknya. Akhirnya aku menyerah, dan berekspresi menurut tugas.
Memandang layar lensa mungil kamera Skan, aku menahan air mata. Aku tersenyum di atas kekesalan Skan, dan kepedihan ini juga merusak hatiku. Aku berhenti berpose, dan berlari memeluk Skan yang sedang terjongkok di bawah dan terjatuh.
Aku memeluknya erat, dan tak ingin melepaskannya sesat pun.
"Nay? Kenapa?"
Tanyanya lagi, wajah Skan sekarang lulus dalam sedihnya.
"Seharusnya aku yang bertanya begitu"
Tegasku yang masih dalam pelukkannya. Skan menutup wajahnya dengan salah satu lengannya. Dia menggigit keras baju berlengan panjangnya itu.
"Aku.. Aku.. Entah! Aku cemburu"
Akhirnya kata-kata itu keluar dari mulutnya. Sepertinya aku mengharapkan itu, tetapi aku juga cemburu. "Ah, maaf juga" kataku di tengah-tengah pengakuannya. Skan langsung menurunkan lengannya dan melihat diriku lekat-lekat. Dia seperti bingung, entah mengapa, pandangannya serasa salah.
"Aku juga cemburu padamu dan Sasha" pelanku.
Skan kembali terkejut, ekspresi itu tak terhapus dalam beberpa menit terakhir ini. Dia membalas pelukkanku itu dan tersenyum lembut. Kurindukan setiap butir emas, senyumnya itu. Harga senyum Skan, tak akN pernah terbayar hingga kapanpun.
Skan sepertinya tau, aku cemburu karena apa, dan cerita itu berasal dari mana. Tetapi aku tak begitu memikirkan, aku punya masalah lain yang harus ku selesaikan. Dengan diriku sendiri..
G. Believe Something Wrong
Mungkin kejadian hari ini menyebalkan bagiku, tapi sekaligus aneh. Skan yang tak biasa 'cemburu' itu. Hans, sahabat Skan sejak pertama kali masuk kuliah di sini, cukup dekat denganku. Kami sering pergi ke kantin, belajar bersama di perpustakaan, atau sekedar berpapasan tak sengaja. Hans, satu jurusan dengan Skan namun berbeda jam sesi kuliah, Skan lebih awal dari dirinya, sedangkan aku kebetulan mengambil jam yang sama dengan Hans. Karena aku sering kali kesiangan.
Tugas hari ini tidak selesai dengan maksimal, karena aku dan Skan hampir membuang waktu seluruhnya karena pengakuan kami. Selesai bertugas, aku pulang lebih awal karena alasan sakit. Pulang ke kostan sendirian tanpa sepengetahuan Skan, dengan becak langganan kami berdua. Pak Suryo nama pengayuh langganan kami. Beliau adalah tukang becak yang sering bersinggah di depan kostan kami, sehingga sejak itu, dia menjadi langganan transportasi kami setiap pergi. Hari ini aku pulang sendirian seperti biasa Pak Suryo bertanya tentang Skan "mba Nayla, kok pulang sendiri tumben. Lebih awal juga mba, mas Skan gimana itu?"
"Ya saya alasan kurang enak badan Pak. Skan belum selesai kuliahnya, bapak juga tau dia hari ini agak larut kan?" Kataku memastikan apakah jawaban itu tepat.
"Wes lah mba, ntar bapak jemput mas Skan, jam 6 kan mba?"
"Iya pak"
Jawabku polos.
Setelah sampai, aku seperti biasa memberi hasil kerjanya yang baik. Dia pergi duluan setelah pamit, karena ada yang harus ia jemput di suatu tempat, sebelum ia menjemput Skan di kampus. Aku menaiki tangga ke kamar kostku di atas, berpapasan dengan beberapa penghuni kost lain, dan ibu bapak kost. Kamarku terdiri dari dua ruang kamar tidur, aku tidur berdua dengan Felita. Teman satu kamar kostku di sini, Felita takut tidur sendiri, hingga ia memilih tidur denganku. Sehingga kamar yang satu lagi di tinggal kosong.
Felita adalah kakak kelas kuliahku dan Skan. Ia sudah berada di sini sebelum kami, dia adalah murid jurusan imptek dengan nilai lumayan tinggi. Semester 5 dia menginjak sekarang. Dan pasti Felita tak sendirian, ada 2 orang lagi yang penghuni kost yang dekat denganku. Yang satu bernama Mei dan yang satu lagi Dedy.
Mei adalah anak ibu bapak kost disini, sedangkan Dedy adalah murid jurusan bisnis, yang kebetulan sekampus dengan Mei dan Felita. Mei, semester 3, dan Dedy sama pula.
Hari ini, aku masuk ke dalam kamar kostku. Melihat Felita dan Mei sedang bergosip sambil minum teh di balkon belakang.
"Ah! Nayla! Sini deh"
Kata Felita memberi sinyal kemari. Aku hanya merapikan pakaian dan melepas sepatu serta menaruh tasku di atas meja makan. Aku mengikuti perintah Felita ke balkon belakang.
"Kita kan udah temenan nih hampir 4 bulan, kita mau tanya sesuatu" kata Mei sambil menyeruput teh di tangannya.
Aku memasang ekspresi bertanya, ketika Mei bertanya. "Tau Skan sekarang dimana?" Ucap Mei singkat.
"Dia di kampus mei, emang kenapa? Nyariin?" Kata ku sedikit terkikik. "Bukan, de" sahut Felita di sampingku.
"Terus apa?" Tanyaku penasaran
"Aku baru saja sampai dari kampus beberapa menit sebelum kami sampai. Aku menemukan Skan sedang berjalan dengan seseorang, sepertinya seorang perempuan. Aku menemukan mereka ketika agak jauh dari kampus kalian"
Kata Felita.
Aku memasang wajah yang terlihat tak jelas. Ekspresi dan debaran hatiku tak jelas, aku menundukkan kepala, mengingat apa yang ku lakukan bersama Skan sebelum izin.
Aku melakukan tugas, selesai bersama Skan, dan
"Nay, aku ada urusan. Setelah ini bisa kamu sendirian dulu sampai nanti di kost. Maafkan aku, ini mendadak"
Ah! Kata-kata itu! Aku hampir lupa soal itu.
Aku menundukan kepala. Seakan tak tau apa lagi yamg harus di buat.
Felita memelukku erat dengan ekspresi sabar, serta Mei dengan erat menggenggam tangaku.
"Hei! Ladies!" Sahut seseorang memdobrak pintu di belakang kami.
Dedy, mengagetkan kami bertiga yang lagi berduka. Mei melepas genggamannya dan langsung menghampiri Dedy, dan memukulnya sedikit kasar.
Dedy hanya cengengesan melihat aksi Mei yang sering kali memukulinya.
Felita terlihat menikmati pemandangan ini setiap harinya setelah atau sehabis mereka pulang atau pergi ke kampus.
Tatapan Mei dan Dedy terlihat seperti dulu waktu SMA. Kaldy dan Elsa.. Entah mereka bagaimana, tak tau kabarnya. Hilang entah kemana. Aku meneteskan air mata mengingat sahabat-sahabatku yang dulu.
Dedy dan Mei yang semula bercanda dan saling sebal, terhenti dan menghampiriku.
"Sebenernya ada apaan sih? Sampai kalian marahin aku gini?" Tanya Dedy sambil menaruh tas kuliahnua di lantai kamarku dan Felita.
Mei dan Felita menjelaskan segalanya, dan Dedy mengangguk mengerti. "Pantas saja, ku kira kau ambil jam pagi, ternyata izin. Dan pantas Skandar belum pulang"
Jawab Dedy mengerti di sampingku.
Menginjak malam, aki terdiam di kamarku yang sepi. Felita telah tertidur dengan buku mata pelajaran tebal di atas kasurnya di kamar kami. Aku melihat jam, dan menunjukkan pukul 11. Tak ada tanda-tanda dari Skan, dan kemudian aku beranjak dari kasurku, dan menuju ke ruang tamu kecil di luar kamar. Meninggalkan Felita yang tertidur lelap di kamar.
Aku memakai sandal dan membuka kunci pintu depan, ku buka dan keluar. Melihat ke kanan dan kiri tidak ada tanda-tanda Skan.
Aku duduk di depan kamarku, dan melipat kakiku dan membenamkan wajahku di dalamnya. Menunggu sahabatku ini, adalah kegiatanku setiap malam.
Jam 1 pagi, aku mulai terantuk, ketika pintu gerbang di luar sana berbunyi. Skan! Seruku di dalam hati kegirangan. Ketika hendak menghampirinya, aku melihatnya..
Dia.. Bersama Sasha sedang berkecup pipi, dan mengucapkan selamat tinggal.
Mengapa? Dia cemburu hanya untuk membohongiku? Sedikit demi sedikit aku meneteskan air hangat dari mataku. Aku berlari kembali ke kamar mengunci pintu dan duduk di baliknya. Ku dengar langkah kaki Skan di depan kamarku, dia membuka kamar dan berhenti, pintu kamar tak tertutup, atau belum?
Aku menangis sekencang-kencangnya, hingga membangunkan Felita, Mei dan Dedy bersamaan mereka berdua datang mengetuk kamarku.
Felita menarikku dan menyuruhnya duduk di balkon, sementara Mei di sampingku.
Dedy membawa seseorang yang berwajah khawatir dan tak memikirkan diri sendiri.
Skan..
"De, kenapa? Kok malam jam segini belum tidur? Terus mengapa menangis?" Sahut Felita sambil memelukku. Seketika itu aku menggelengkan kepala dan terus menangis di pelukkannya. Mei dan Dedy menghadap tajam ke arah Skan yang terbengong-bengong.
"Kau!" Sahut Dedy mendorong kasar Skan ke tembok. "Mengapa kamu baru pulang jam segini?!" Tanya Mei keras.
Skan terdiam, Felita melihat semuanya sementara aku tetap menangis, tak peduli Skan akan di apakan oleh kedua sahabatku yang sedang naik darah itu.
Mei menampar keras Skan, bunyi pukulan hebat terdengar hingga telinganku. Aku melepaskan pelukkan Felita dan berlari menuju Skan yang tersungkur sambil memegangi pipi yang yang mulai tersayat itu.
"Sudah cukup! Kalian keterlaluan!" Sahutku memeluk Skan.
"Tapi! Dia.. Aku tau sesuatu tak benar di antara kalian berdua!" Teriak Mei yang marah di depan wajahku. Aku menggelengkan kepalaku dan menahan tangis yang mulai menetes lagi. Aku tak tahan ini, apa aku mulai punya rasa dengan Skan?! Tak mungkin lah..
Skan bangkit dan menggeser ku ke sampingnya. "Maafkan aku teman-teman. Aku memang salah dan egois" sahutnya pelan.
Aku mulai memakan rasa curiga yang pahit itu.
"Aku sepertinya menyukai Sasha, teman satu angkatanku dan satu jurusanku. Dan mungkin kalian sudah kenal, karena aku sering menceritakannya pada Dedy. Dan seseorang paling penting bersamaku.. Maafkan aku Nay.."
Sahutnya..
Akhirnya! Pengakuan! Mengapa.. Mengapa??!
Aku tak terima seperti ini.. Aku terasa bukan siapa-siapa lagi bagi dirinya..
Aku mendorong Skan menjauh dengan wajah terpalingi. Air mataku turun, turun tak kenal henti. Dedy menarik Skan yang tak ingin meninggalkanku, wajah Skan seperti terinjak bagiku..
Dedy menarik terus tanpa paksa, dan Mei membantunya.
Setelah mereka bertiga pergi dari kamarku, aku terjatuh tertidur. Dengan air mata masih mengalir..
Entah, Skan. Harusnya kau jujur tak berbohong kepadaku, kau sepertinya tak biasa berbohong padaku. Kau mungkin berfikir aku akan tersakiti. Memang aku tersakiti, namun akan lebih jika tidak kau memberi tahuku kejujuran yang sebenarnya. Yang harus aku terima, yang harus aku lihat.
Bahwa dirimu.. Bukan untuk diriku
Seorang..
H. Still Hoping for You?
Aku buka mataku, melihat kesekelilingku. Aku bangun, dan ternyata ada di atas ranjangku.
Di sampingku tak ada siapapun. Felita sudah berangkat kuliah. Aku melihat jam, pukul 12 siang. Aku hari ini bolos kuliah, dan setelah menyadari itu aku langsung bangun dan merapikan kamar tidurku itu yang lumayan berantakan. Seketika aku membuka pintu kamarku, keluar, tak ada siapapun. Meja makan penuh dengan makanan yang Felita masak, dengan catatan kecil yang sepertinya ia sisipkan di tengah aku membuka makanan yang di tutupi oleh semacam penutup makanan.
"Nayla, makan ya. Tidak usah khawatir soal kuliah, aku sudah izin lewat dosen yang aku kenal di sana dan kebetulan itu dosenmu. Ou ya, yang tadi malam maafkan kami, tak bermaksud untuk sekejam itu pada Skandar. Dan sebelum aku pergi kuliah Dedy menitipkan pesan. Tolong ke kamarnya nanti saat kau bangun, pintu sengaja tak di kunci. Dan pastikan dirimu semakin kuat ya!"
Pesan kakak kelas memang bermakna daripada sesama umur, tapi itulah kelebihan.
Ketika selesai memakan sarapan sekaligus makan siang itu, aku mandi dan bersiap ke kamar sebelah. Sesuai permintaan Dedy.
Langkah berat aku jalani dan berhenti di depan pintu kamar sebelah itu. Aku membukanya perlahan, dan melihat tak ada seorang pun di sana, hanya saja pintu kamar terbuka. Aku mengintip sedikit, sepertinya tak ada seseorang. Ketika aku masuk, tertidur seseorang dengan selimut tebal di atas ranjang kayu. Wajahnya lebam, kepalanya terluka, tangannya banyak goresan luka.
Skan?!
Aku menghampiri Skan, dan berniat menyentuh keningnya yang berkeringat itu, tetapi.. Tanganku terhenti oleh sebuah faktor hati. Aku menahan tanganku untuk menyentuh Skan yang tertidur dengan nafas hangat. Kemarin malam benar-benar aku kesal, sedih, hancur, remuk tak tau mengapa.
Dedy, yang menyuruhku datang ke sini untuk apa? Merawat Skan yang penuh luka dan tidak di ketahui sebabnya?
Aku berlamun dengan banyak pertanyaan di kepalaku, aku berniat merawat sahabat sekaligus orang terpenting di hidupku ini.
Tetapi, keinginan terhambat.
Karena banyak basa-basi aku akhirnya lupa dengan seseorang yang sudah membuka matanya itu.
"Nay.." Jawab suara pelan dan lirih itu. Aku tersadar dan melihat ke ranjang. Skan membuka matanya perlahan, ia menggenggam tanganku, tidak erat tetapi aku tau pasti ada sesuatu yang ia ingin katakan. Aku pelan melepaskan tanganku, tetapi aku tidak bisa karena benar-benar merindukan tangan kasar ahli kamera ini.
"Nay.. Maafkan aku ya.. Tak apa sih kau tidak memaafkan ku. Aku memang bodoh!" Sahutnya sambil memukul keningnya yang terluka itu. Aku tidak diam! Aku bertindak!
"Skan!? Kenapa dirimu luka seperti ini?!" Sahutku keras padanya. Dia hanya memejamkan matanya dalam-dalam dan seperti sengaja melupakan sesuatu yang akan terjadi. Aku memejamkan mata juga, menahan kenyataan.
"Nay.. Aku.. Aku.."
Kata Skan dalam pejaman matanya itu yang mulai melemas.
Aku terus memejamkan mataku, aku melepaskan genggaman tangan Slan, dan mulai menghapus air yang keluar dari mataku tanpa permisi.
Teringat masa SMA dulu, yang kami saling menjenguk. Skan menjengukku hingga ia sakit. Aku ingin membalas kebaikkannya lebih dari yang aku dulu sekedar merawatnya, tetapi apa yang harus aku lakukan?
Tiba-tiba sebuah rengkuhan. Tangan yang lebar, memelukku dan menyandarkan kepalaku di pundaknya. Ia memelukku dengan erat sekali. Seperti aku benar-benar ingin menangis.
"Menangislah di pundakku, setidaknya hanya ini yang dapat aku lakukan" pelan suara berat dan lembut yang kurindukan. Aku tak bisa menolak, aku menangis di pundaknya yang semua kekar sekarang terkisar rapuh. Skan, dirinya begitu baik. Sangat baik, walau aku di sakitinya baru satu kali, namun lukanya begitu dalam dan cukup mengiris diriku hingga tak sanggup berdiri lagi. Tetapi, Ia rela di salahkan. Ia rela mendapat batu besarnya. Demi aku? Apa Skan sebegitu bersalahnya padaku? Terus, aku juga. Kian telah tersakit namun masih bisa peduli, sayang, dan mencintai sahabatku yang satu ini Skandar.
Tak terasa,waktu itu cepat. Kami berdua di soraki oleh Dedy, Mei dan Felita. Mereka berdua seperti berhasil memperbaiki retak antara aku dan Skan, tetapi sepertinya Felita serasa terganggu. Aku memandang Felita dengan tatapan bertanya, kelihatannya Felita benar-benar kesal dengan Skan.
Aku lepaskan pelukkan Skan, perlahan aku menghampiri Felita. Mei menyuruh Dedy menjaga Skan sebentar, sementara Mei kebawah mengambil sesuatu. Sepertinya Mei dan Dedy, ada sesuatu terhadap Felita.
Felita menarik tanganku ke bawah, aku mengikutinya hingga ke taman belakang. Di sana, ia menyuruhku duduk di kursi taman. Terdiam beberapa saat, akhirnya Felita memulai pembicaraan kita yang tak jelas itu.
"De, kamu senang begini?"
Tanyanya menundukkan kepala, aku terkejut dengan pertanyaan dia yang begitu tiba-tiba.
"Senang apanya, Fel?" Tanyaku membalas. Tetapi ia hanya diam, memejamkan matanya dan dengan sigap memegang kedua bahuku dengan kedua tangannya dan menghadapkan tubuhku ke arahnya, sepertinya ia mengerti, apa yang ia katakan.
"Gimana?! Kau puas?! Kenapa mau terus mengejar dia! Ini sudah terlambat bukan?!" Tegas Felita dengan lantang di wajahku. Wajahku memucat, aku menunduk sambil memalingi kepalaku. Aku menggeleng pelan. Dengan kuat aku bangkit, dan mendorong Felita hingga genggaman tengannya terlepas.
"Aku tidak akan menyerah!" Teriakku.
Felita sepertinya puas, dan dengan pelan ia mengelus kepalaku dengan tangannya yang halus itu. "Aku tinggal dulu ya, kamu banyak istirahat. Aku ada urusan di luar, agak larut nanti pulangnya, jadi hati-hati. Aku berangkat dulu. Bersama Dedy dan Mei" kata ia tersenyum ke arahku.
Setelah mereka sekali lagi meninggalkan aku dan Skan sendirian di kamar. Aku tersunyi, sambil menatap kaca jendela yang sedikit berembun karena angin AC. Skan sudah mulai mengutak-atik kameranya, seketika itu 'Ckrik' suara kamera mengambil gambar seperti waktu itu, terakhir 3 bulan lalu aku dan Skan foto bebas di luar tugas.
Aku menghadap Skan, dengan asik tertawa di balik bantalnya di sofa itu. Ku hampiri dia dan memeluk lengannya, dan Skan tetap saja tidak menunjukkan foto itu padaku, aku kesal. Dia menaruh jari telunjuknya di bibirku, mengucapkan sebuah kata dengan komat-kamit 'kejutan' katanya. Aku semakin kesal hingga lupa akan waktu.
Sudah mulai larut! Aku di sini masih bersama Skan yang tertidur di bahuku. Ia menyelimuti dirinya dengan selimut dan memeluk lenganku sebagai bantal.
Aku berfikir dalam kantukku, apakah haruskah aku menyatakan ini perasaan ini pada Skan, sebelum gadis itu? Sahutku salam hati pelan. Aku bangkit dan segera menaruh tubuh Skan yang masih terluka itu di atas sofa kamarnya. Tidak sadar seharian bersamanya, memang menyenangkan, namun. Sekarang ia menyukai orang lain dan orang itu, bukan aku. Memang tidak seperti Skan harus menyukaiku, ini bukan dongeng-dongeng fantasi yang akhirnya jatuh cinta. Aku menyelimuti tubuh Skan dengan selimut yang di pakainya seharian, sementara aku menutup pintu kamarnya dan menuju kamarku untuk menunggu Felita dan teman-teman. Mereka larut sekali? Ini hampir pagi, padahal pergi dari siang tadi. Aku mengambil telefon genggamku dan menelpon Felita,
"Panggilan anda di luar area service"
Hah? Tidak biasa seperti ini, Felita tak biasa mematikan telefonnya. Mungkin saja batrenya habis, tapi ini sudah benar-benar larut. Aku mulai khawatir, di tengah kekhawatiranku, Felita dengan heboh membuka pintu kamar, yang otomatis mengagetkanku.
"Maaf, aku terlambat. Tadi Dedy beli mainan apaan lama banget. Mei juga, di potong argumen-argumen berjam-jam"
Kata Felita sambil mengusap keringatnya, aku memandang curiga ke Felita.
"Sebenarnya kalian kemana sih?" Tanyaku
Dia terkekeh mendengar pertanyaanku, seperti orang yang sedang bercanda.
"Kami cuma keliling daerah sini aja kok, udah lama tidak keliling. Dan tentunya hal yang cukup indah kan, kami pergi kau dapat bersama Skandar seharian" usilnya teman-temanku ini.
Aku hanya tersipu sambil memasang wajah penuh kekesalan. Coba saja tidak seperti ini aku sudah kuliah, Skan kuliah. Tapi kami tak mungkin sudah berbaikkan.
"Fel, Skan kenapa bisa luka-luka sih?"
Tanyaku, karena sudah tidak sabar. Benar-benar ingin tau aku tentang luka yang di derita Skan. Felita memalingkan wajahnya dengan pelan, dia duduk di sebelahku sambil membawa 2 buah cangkir coklat hangat.
"Benar kau ingin tau?" Pelan Felita. Aku mengangguk dengan cepat, menadakan aku ingin segera tau.
"Dia luka-luka, karena ingin mendapat kata maaf darimu. Ia meminta Dedy memukulinya hingga ia hampir mati, tapi aku tau tadinya Dedy menolak, tapi kepaksaan Skandar memang tak bisa dilawan"
Kata Felita berat hati. Aku dengan ekspresi tak jelas dan kesal. Mengapa harus dia minta maaf sampai segitunya?! Bilang saja maaf, oh ya baru ingat aku menolak maafnya.
"Dia ingin sekali di maafkan olehmu, dia tak butuh orang lain selain dirimu. Pengorbanan besar kalian lalui bersama, cinta di antara kalian sudah mulai tumbuh. Aku harapkan saja, ia menyadarimu" semangat Felita kepadaku.
Memang ya, kita hampir semua di lalui bersama-sama, orang tuaku juga menyukai Skan. Orangnya satun, tak kenal kasar sekalipun pada orang lain. Aku pun mengepalkan tangaku dan melepaskan kepalan itu lagi dan dengan semangat tidur agar besok dapat kuliah, dan bertemu Skan lagi dengan wajah tertawa bersinarnya, setiap hari.
I. He confess To Her..
Pagi aku bersiap-siap kuliah. Akhirnya sebentar lagi liburan natal. Sudah 2 minggu lewat dari kita bertengkar babak belur itu. Tak sabar juga sebentar lagi ulang tahunku yang 19. Skan dan aku beda 1 tahun, tapi ya tau sendiri.
Hari ini tanggal 20, ulang tahunku besok. Tak sabar, bisa merayakan bersama teman-teman dan Skan. Ketika aku ingin berangkat, Skan sudah di bawah sambil melambaikan tangannya. Bersiap untuk kuliah di hari sebelum natal. Pak Suryo dengan lantang ya membicarakan kabar-kabar pagi bersama kami, sehingga perjalanan tak terasa membosankan. Pergi ke kampus untuk hari ini, aku mengharapakan yang terindah! Apalagi besok, tapi apa Skan mengingat ulang tahunku?
Di kampus seperti biasa, melambaikan tangan dan ke kelas jurusan. Aku bertemu dengan Hans yang sedang asiknya memotret daun di halaman menuju kelasku. "Pagi" sambil melihat di lensa kamera, dia bisa menyadari aku lewat di sampingnya. "Pagi, bisa tau gitu? Matanya ada berapa?" Tanyaku sedikit menyeletuk, dia tertawa. Tapi terus memfokuskan diri ke lensa kamera. Aku melihat ia, dan mendekat, hingga aku bisa dekat dan melihat bersamanya.
"Kau tertarik bunga?" Katanya sedikit memutar kameranya. Aku mengangguk pelan, bunga memang indah. Seakan indah namun rapuh ketika sudah sedikit layu.
Aku pergi meninggalkan sambil melambai padanya, sekarang saatnya memfokuskan diri ke kuliah di kelas.
Memang kuliah sebagai model memang sedikit cekcok, tapi itulah jalan yang harus aku tempuh demi cita-citaku yang gemilang.
Aku bercita-cita menjadi model, dan Skan fotograferku. Indahnya kalau terbayang seperti itu, tetapi sepertinya tidak akan terjadi. Skan telah menyukai Sasha, teman satu jurusannya yang kebetulan juga menyukainya. Aku bersama Hans seperti biasa-biasa saja, dan sering kali aku bertanya apa mereka dekat.
Mereka berdua memang dekat, berdua adalah salah satu murid terbaik, dan sama-sama memiliki cita-cita yang sama. Aku tak pantas, bersama orang seperti Skan. Ia terlalu sempurna untukku.
Jam kuliah membosankan, aku mengeluarkan sebuah catatan kecil, bukan catatan sih tapi, sebuah kamera digital. Kecil sih, Skan tak tau aku membawa benda ini, jika ia tau ia akan memakainya terus menerus, walaupun kameranya lebih bagus. Tetap memakai miliku, alasan? Banyak.
Jam istirahat, aku keluar dan menuju taman belakang, tempatnya dingin dan sejuk, sering aku ke sini untuk sekedar menidurkan dan menyejukkan kepala.
Melihat suasana anak-anak lain, dengan kerja sama dan keanehannya. Tapi kali ini ada yang berbeda dari taman belakang. Aku berjalan seperti biasa dengan bekalku yang tadi pagi belum sempat aku gigit.
Aku ke taman belakang, berjalan santai.
Melihat bayangan orang, sepertinya ada orang lain yang sering ke sini.
Ku lihat, memakai baju putih, sedang berjongkok. Skan! Seruku, saat akan menemuinya ke girangan, aku berhenti di balik pagar, dia sedang memotret, sepertinya bunga. Karena bunga di sini bagus dan indah-indah. Tetapi perkiraanku salah, bukan bunga yang ia potret. Melainkan seorang gadis, berambut hitam terurai. Ia sedang memegang bunga-bunga. Senyum bahagia Skan terlihat, ia sepertinya sangat menikmatinya, perempuan itu.. Sasha.
Aku menahan rasa kejutku, dan perlahan mundur, meninggalkan mereka.
Entah, aku terdiam. Aku kembali ke ruang kuliah dan makan di sana dengan beberapa murid lain di kelas. Aku memakan dengan mengigit perlahan, memperlama gigitanku.
Teman-temanku memandang aku aneh, mereka memasang wajah kasihan dan sedih, banyak bertanya "kau tidak apa-apa?"
Aku terdiam dan tetap melahap makanan ku dengan perlahan. Aku menahan air mata yang turun tetes demi tetes.
Aku menangis, kenapa? Sedih sekali sakit rasanya.
Pulang kuliah, aku tak ikut Pak Suryo.
Aku jalan kaki, menyusuri kota Jogja sebelum pulang ke rumah.
Aku menyusuri, sendirian. Dengan kamera digital di tangan. Memori Jogja aku kenang, sendirian..
Tangisan air mata aku pendam, ponselku bergetar-getar tak hentinya. Aku melihat di sana, berdiri seseorang, tak sendiri.
Dia bersama seorang perempuan, Sasha.
Pasti Skan, aku melihat tawa kameranya bersinar. Dia sedang tertawa bersama Sasha, aku lihat, bergandengan tangan?
Aku dengan lancang menutupi wajahku dengan buku kuliah, agar tidak di ketahui keberadaanku. Aku berjalan melewati mereka, aki mengintip, mereka berada di sebuah kafe, aku ikut masuk untuk membeli cemilan saja.
Saat aku melirik ke arahnya dan melihat mereka berdua duduk menunjukkan hasil foto mereka. Tawa mereka berdua bersinar sekali, sampai aku belum pernah melihat ekspresi itu di wajah Skan.
Aku meninggalkan mereka tanpa sepengetahuan Skan dan Sasha.
Telefonku terus bergetar, lupa atau malas aku mengangkatnya. Dan pasti bukan Skan yang menelponku.
Sementara itu..
Felita,Dedy, dan Mei sibuk bergantian menelpon Nayla yang hilang sejak pulang kuliah tadi. Felita yang berkali-kali menelpon adenya tersayang itu tak kunjung di angkat.
Sudah sangat larut, dia belum kunjung kembali. Apakah entah hilang, bersedih, menyendiri?
Mereka tidak tau.
"Mei, Dedy! Hubungi Skandar segera!"
Teriak Felita panik, dia sepertinya ingin tau, apakah Nayla bersama Skandar?
Skandar sedang berada di tengah alun-alun kota Yogyakarta, bersama seorang perempuan Sasha. Tiba-tiba, telefon yang di kantong celananya bergetar.
"Permisi, Skandar!"
Skandar menjawab telefon itu dengan nada datar.
"Iya? Ada apa Dy?" Tanya ia biasa.
"Nayla belum kunjung pulang! Apakah dia bersamamu?"
Ekspresi wajah Skandar langsung berubah saat itu juga. Dia langsung lupa tujuan awalnya,pikiran dia langsung penuh dengan Nayla. Dia melupakan gadis yang ada di sebelahnya sekarang. Benar-benar lupa, ia selalu mengutarakan sahabatnya yang satu ini terlebih, hingga ia mempertaruhkan nyawanya demi sahabatnya ini.
Telefon masih di telinganya, tangan yang semula menggenggam gadis itu, terlepas.
"Skan, anda mau kemana?"
"Maaf, aku ada urusan secara tiba-tiba. Maafkan aku Sha, kutinggal dulu"
Sasha? Dia seperti hanya di sukainya, tapi apakah mencintainya?
Skandar dengan kilat naik taksi yang ada, sambil menelpon.
"Dy! Aku tau dia dimana kayaknya"
Dengan kilat ia menuju tempat bersejarah, mungkin kalian tau?
Dengan langsung menutup telefon yang ia tempel di telingannya. Dan segera tanpa menunggu apa-apa lagi.
----------
Aku bertempat di Prambanan sekarang. Tempat ini cukup ramai, karena sedang berlanjut pertunjukkan penari yang tidak kalah menariknya dengan tarian modern sekarang. Aku mengangkat kamera digitalku dan memotret segala golekkan penari yang bersinar di atas panggung di malam sunyi. Aku tidak mementingkan telefon yang bergetar di kantongku saat ini. Setelah pertunjukkan selesai, aku duduk di dekat candi yang di sinari lampu. Aku memandang langit, dan melihat jam tanganku, jam 10 sudah ternyata. Tidak peduli aku pada sahabatku, terutama Skan. Aku sama sekali membuang ingin, hanya ingin membuang.
Tetapi, aku melihat langit dan memohon pada yang di atas
"Aku ingin membuang rasa ini, terutama. Karena cinta sahabat tak ada yang berakhir baik"
Aku menunduk dan menangis, air mata ini hanya sedikit. Tapi hati aku hancur, Skan sudah ada di genggaman Sasha sih. Tapi ya sudahlah, aku juga akan melupakan Skan.
"Kamu nangis gitu, di sini. Aku salah apa Nay? Aku salah terus di matamu? Mungkin saja.. Ah lupakan!"
Skan memelukku dari belakang dan seakan aku sangat sakit, ingin jatuh ke pelukkannya sekarang. Tetapi aku dengan sigap melepas pelukkannya dan mendorongnya pergi menjauh dariku. Ekspresi wajah Skan yang seperti terlarut dalam kejutan dan kesedihan muncul.
Ia kemudian berdiri dan mengejarku yang berjalan menjauh darinya karena kesal. Dia berhasil menggenggam tangaku
"Kamu kenapa sih? Jauhin aku? Kita udah baikan iya kan?"
Aku menunduk dan mempersiapkan kata-kataku, aku memasang wajah sebal dan kesal. Tapi sebenarnya yang kurasakan..
"Kau! Hah!? Kau kira baikan hanya begitu?! Sekarang kau buat aku sakit! Makasih ya! Selama ini mau jadi sahabatku! Mulai hari ini, aku akan melupakanmu! Ingat! MELUPAKANMU!"
Termakan cemburu dan sedih, aku relanya melepas Skan dariku. Sungguh menyesalkan namun nanti kalau aku mengatakan yang sebenarnya. Dia akan menjauhiku, lebih baik aku dan menjauhi dia. Akan lebih baik, akhirnya aku tak jujur pada diriku sendiri.
Skan tidak terima aku mengatakan itu, dia terus menggenggam tangaku erat.
"Aku salah apa emangnya!? Padahal aku.. Sudah mengatakan semuanya padamu!"
Skan benar tak ingin aku menjauh darinya, kenapa begitu mengikatku? Padahal aku bukan siapa-siapa.
Aku menunduk dan melihat kakiku yang mulai berkeringat, aku meneteskan air mataku lagi. Kali ini Skan menarikku dan memelukku erat. Aku mengelak, dan mencoba melepaskan diriku dari pelukkannya yang ingin sekali kurasakan. Tapi Skan malah, menarikku menuju taksi dan mendorongku. Kemudian menyuruhnya jalan ke tempat kost.
Aku benci kamu Skan, apa tak ada kata lain untuk aku ini? Tak ada apapun aku di matamu selain sahabat?
Setelah sampai, Felita, Mei, Dedy memelukku erat. Aku memasang wajah menyedihkan. Felita melihat itu, dan segera ia mendorongku dan berjalan menuju Skan yang terpaku bengong.
"Aku kecewa padamu Skandar. Sangat kecewa, sedih banget aku, sahabatmu! Lihat! Dia itu menaruh hati padamu tau!"
Felita lantangnya mengatakan hal itu, di depan teman-temanku. Skan, wajahnya kaku badannya juga kaku.
Tetapi kemudian ia menundukkan kepala kepada Felita yang marah-marah, ia menunduk? Berarti ada yang salah?!
Skan membangkitkan kepalanya dan menatapku, tak memperdulikan siapa saja yang melihat di sana,
"Nay, bisakah dirimu.. Jujur padaku? Apa dirimu ini, menyukai ku?"
Pertanyaan sia-sia takan ku jawab, tetapi sayangnya. Ku jawab pertanyaan itu dengan jujur. Tetapi tak secara langsung, selalu ada sesuatu yang menutupinya.
"Kalau misalnya iya bagaimana?" Tanyaku sambil menahan air mata yang masih terus mengalir tak henti.
"Tak apa, tapi maafkan aku. Karena bertepuk sebelah tangan, aku sudah menyatakan cinta pada Sasha tadi saat pagi. Jadi.."
Dadaku sesak, aku terjatuh ke tanah hingga membuat teman-teman panik melihat aksiku.
Menggelengkan kepala perlahan aku menahan nafas, menutup mata dan menangis tak henti.
Skan melihat aksiku yang kelebihan, ia menghampiriku dan mungkin berharap sesuatu. Aku tak peduli pada dirinya, dia bukan sahabatku lagi! Bukan!
J. Jelousy, Love, Not for Me
Aku mengelak akan Skan menyentuh tubuhku setitik apapun, rasa di sentuh olehnya saja sudah panas dan menyengat kesakitan. Aku bangun dari sungkuranku dan membalikkan tubuhku ke arah berlawanan dari Skan.
"Nay.." Panggil lirih sang pangeran yang hanya impian belaka.
Aku membalikkan tubuhku lagi ke arahnya dengan wajah senyum terpancar dari wajahku yang masih berbekas dan terus mengalir air mata.
Senyum matahariku untuknya, ia menundukkan kepala dan menghela nafas.
Dia berusaha memelukku tetapi aku mendorongnya hingga ia hampir terjatuh.
"Ini terakhir kali kamu akan melihat aku tersenyum. Aku akan melupakan dirimu sampai ajal"
Tak kusangka aku berbicara demikian kasar, kasihan Skan, aku bentak hingga ia membenciku juga.
Tapi cara untuk melupakan perjalanan selama kami berdua SMA berakhir di sini, aku dan Skan, resmi tak saling kenal mulai hari ini. Tetapi Skan terus menerus mencoba memeluk tubuhku yang menggigil karena dinginnya sedih dalam hatiku.
Tetapi aku berpura-pura kuat akan hal ini. Dan akhirnya aku meninggalkan Skan, dan menarik lengan Felita untuk menemaniku ke kamar.
Di Luar..
"Kau kurang ajar! Skandar kau tau apa yang barusan kau lakukan?!"
Dedy berteriak menghadap Skandar.
Skandar dengan wajah tak terima berusaha naik ke lantai dua rumah itu.
Skandar di hentikan oleh Mei yang hampir menangis.
Wajah Mei mengatakan 'kau dilarang untuk bertemu dengan Nayla'
Pengecewaan menyedihkan menyelimuti Skandar. Sahabat satu-satunya sekaang benar-benar hilang dari tangannya, sementara teman-temannya melarang ia mendekati Nayla lagi.
Dia menunduk dan pergi ke atas untuk ke kamarnya, Dedy menyuruh Mei tidur agar besok baik.
Dedy menyusul Skandar yang akan ke kamarnya, dengan menghampiri temannya yang putus asa itu Dedy berkata,
"Skandar, jangan sedih. Jalankan hidupmu dengan baik, meski dia tak berada di sana melihat tawamu lagi. Sekarang kau sudah ada Sasha harusnya kau tidak sesakit ini. Apa yang sebenarnya kau rasakan, harus kau sampaikan ya! Semangat Skandar ini hanya cobaan"
Skandar melihat ke arah Dedy dan tersenyum masam tak jelas. Hatinya hancur entah mengapa. Kehilangan Nayla merupakan hal. Tersakiti yang pernah ia alami, sekarang.
Ia kemudian naik ke lantai dan berhenti di depan kamar sahabatnya itu, ia menuduk ke arah kedua kakinya. Berkeringat dingin, dan kemudian ia membuka pintu kamarnya dan jalan masuk ke dalam.
Dedy melihat pintu kamarnya terbuka, kemudian ia masuk, tetapi terdorong kembali ke luar karena melihat Skandar membawa satu kotak kamera SLR baru yang masih tersegel.
Kemudian ia memberikannya pada Dedy dengan berkata
"Dy, tolong sampaikan hadiah ini pada Nay. Aku memohon agara besok ia tak sedih ketika mendapat ucapan ulang tahun, mungkin ini hadiah terakhr dan ucapan terakhir yang akan ia ingat dariku sejak 2 tahun terakhir, tolong ya Dy"
Lirih Skandar pelan sambil memberikan kotak itu.
Keesokan harinya, mungkin akan menjadi hadiah terakhir dan ingatan terakhir.
Skan, I sorry...
"Ayo! Bangun!!" Seru Skan menggedor pintu kamar kostku yang kayu usang itu. Aku mengusap mata dan meliahat ke arah jendela luar, terik sinar matahari. Ku bangun dari ranjang yang masih berantakan itu, aku membuka pintu kostan dengan tampilan baju piyama, dan rambut acak-acakan.
"Ada apa Skan?" Tanyaku sambil menguap-uap.
"Bangun lah, aku sudah sehat ini!! Terus, hari ini kami universitas bagian fotografi akan bekerja sama dengan jurusan modeling!!"
Kata kaliamat itu, langsung membangunkanku, tetapi aku sadar. Walau kejadian kemarin bukan hal sepele, tapi aku tak akan menyerah, meski banyak rintangan yang haru kulalui satu per satu.
Kejadian dimana, Shasa, teman satu jurusan Skan yang kebetulan juga satu kelas. Rumor mengatakan bahwa ia jatuh hati pada sahabatku Skan. Baru kemarin ada seseorang yang menyebut nama Skan selain aku. Kenapa aku begitu di anggap biasa? Tapi mengapa juga, Skan banyak bercerita tentangku?
Selesai berlamun sambil bersiap, aku segera keluar dari kamar kostku. Ku lihat di bawah, Skan memberikan sinyal, agar aku segera turun, dan ku lihat jam. Sudah jam 9?? Satu jam lagi kuliah akan di mulai!!?
Aku lari dengan secepat kilat menemui Skan di bawah, segera Skan menggandengku dan berlari menuju gerbang keluar rumah kost. Segera Skan menyuruh tukang becak langganan kami untuk mengencangkan ayuhannya. Entah mengapa Skan semangat untuk hari ini. Sesampai di sana, jalan memenuhi langkah kami berdua. Gadis-gadis cantik mencibiriku, mereka iri, karena aku mendapatkan dan kebetulan sahabatku, yang menjadi fotograferku untuk tugas kerja sama ini. "Nay!! Kita berpasangan!!" Seru Skan setelah melihat papan pengumuman yang menunjukkan pasangan-pasangan untuk tugas ini.
Wajar saja, Skan memang jarang lepas dariku. Walau kami terpisah, tetapi saling merindukan. Rumor sebagai aku dan Skan sepasang kekasih tak luput hingga kuliah.
"Wah!! Skan!" Seru suara tak jauh dari sana. Skan mebelokkan kepalanya ke arahku "kamu memanggilku, Nay?" Katanya sambil menggarukkan kepala.
Loh? Sepertinya satu-satunya gadis yang memanggil dia dengan sebutan Skan, hanya aku?
Sasha datang dari kejauahan, menghampiri kami berdua yang sedang melakukan aktifitas bengong rutin.
"La! Tumben, kesiangan?" Jawab Hans yang tiba-tiba menepuk pundakku. Skan yang sedang di ajak bicara Sasha langsung memalingkan wajahnya, dan sekarang mengahadapku dan Hans yang asik bicara.
Aku tak sadar Skan melirik tajam ke arah Hans yang asiknya menggosipkan tentang banyak hal.
"Hans, nanti saat tugas kita akan bertemu lagi. Sekarang aku akan menghabiskan waktu dengannya" Skan memecah pembicaraan di antara aku dan Hans. Skan terus menarik tanganku hingga sampai di kelasku. Aku memsangkan wajah khawatir dan sekaligus kesal, tak biasanya Skan memperlihatkan seperti ini, jarang bahkan hampir tak kulihat, Skan.. Cemburu?
Tatapan kesalku masih berbekas hingga tugas di mulai, berkali-kali ku coba untuk tersenyum dan berekspresi banyak, percuma dan sia-sia. Sebab fotografer di hadapanku sekarang juga memasang ekspresi yang sama.
Sejak sesi kuliah di mulai, dan berseling istirahat. Aku sama sekali tidak menghampiri, dan berkata atau sekedar menyapanya. Begitu juga sebaliknya. Akhirnya aku menyerah, dan berekspresi menurut tugas.
Memandang layar lensa mungil kamera Skan, aku menahan air mata. Aku tersenyum di atas kekesalan Skan, dan kepedihan ini juga merusak hatiku. Aku berhenti berpose, dan berlari memeluk Skan yang sedang terjongkok di bawah dan terjatuh.
Aku memeluknya erat, dan tak ingin melepaskannya sesat pun.
"Nay? Kenapa?"
Tanyanya lagi, wajah Skan sekarang lulus dalam sedihnya.
"Seharusnya aku yang bertanya begitu"
Tegasku yang masih dalam pelukkannya. Skan menutup wajahnya dengan salah satu lengannya. Dia menggigit keras baju berlengan panjangnya itu.
"Aku.. Aku.. Entah! Aku cemburu"
Akhirnya kata-kata itu keluar dari mulutnya. Sepertinya aku mengharapkan itu, tetapi aku juga cemburu. "Ah, maaf juga" kataku di tengah-tengah pengakuannya. Skan langsung menurunkan lengannya dan melihat diriku lekat-lekat. Dia seperti bingung, entah mengapa, pandangannya serasa salah.
"Aku juga cemburu padamu dan Sasha" pelanku.
Skan kembali terkejut, ekspresi itu tak terhapus dalam beberpa menit terakhir ini. Dia membalas pelukkanku itu dan tersenyum lembut. Kurindukan setiap butir emas, senyumnya itu. Harga senyum Skan, tak akN pernah terbayar hingga kapanpun.
Skan sepertinya tau, aku cemburu karena apa, dan cerita itu berasal dari mana. Tetapi aku tak begitu memikirkan, aku punya masalah lain yang harus ku selesaikan. Dengan diriku sendiri..
G. Believe Something Wrong
Mungkin kejadian hari ini menyebalkan bagiku, tapi sekaligus aneh. Skan yang tak biasa 'cemburu' itu. Hans, sahabat Skan sejak pertama kali masuk kuliah di sini, cukup dekat denganku. Kami sering pergi ke kantin, belajar bersama di perpustakaan, atau sekedar berpapasan tak sengaja. Hans, satu jurusan dengan Skan namun berbeda jam sesi kuliah, Skan lebih awal dari dirinya, sedangkan aku kebetulan mengambil jam yang sama dengan Hans. Karena aku sering kali kesiangan.
Tugas hari ini tidak selesai dengan maksimal, karena aku dan Skan hampir membuang waktu seluruhnya karena pengakuan kami. Selesai bertugas, aku pulang lebih awal karena alasan sakit. Pulang ke kostan sendirian tanpa sepengetahuan Skan, dengan becak langganan kami berdua. Pak Suryo nama pengayuh langganan kami. Beliau adalah tukang becak yang sering bersinggah di depan kostan kami, sehingga sejak itu, dia menjadi langganan transportasi kami setiap pergi. Hari ini aku pulang sendirian seperti biasa Pak Suryo bertanya tentang Skan "mba Nayla, kok pulang sendiri tumben. Lebih awal juga mba, mas Skan gimana itu?"
"Ya saya alasan kurang enak badan Pak. Skan belum selesai kuliahnya, bapak juga tau dia hari ini agak larut kan?" Kataku memastikan apakah jawaban itu tepat.
"Wes lah mba, ntar bapak jemput mas Skan, jam 6 kan mba?"
"Iya pak"
Jawabku polos.
Setelah sampai, aku seperti biasa memberi hasil kerjanya yang baik. Dia pergi duluan setelah pamit, karena ada yang harus ia jemput di suatu tempat, sebelum ia menjemput Skan di kampus. Aku menaiki tangga ke kamar kostku di atas, berpapasan dengan beberapa penghuni kost lain, dan ibu bapak kost. Kamarku terdiri dari dua ruang kamar tidur, aku tidur berdua dengan Felita. Teman satu kamar kostku di sini, Felita takut tidur sendiri, hingga ia memilih tidur denganku. Sehingga kamar yang satu lagi di tinggal kosong.
Felita adalah kakak kelas kuliahku dan Skan. Ia sudah berada di sini sebelum kami, dia adalah murid jurusan imptek dengan nilai lumayan tinggi. Semester 5 dia menginjak sekarang. Dan pasti Felita tak sendirian, ada 2 orang lagi yang penghuni kost yang dekat denganku. Yang satu bernama Mei dan yang satu lagi Dedy.
Mei adalah anak ibu bapak kost disini, sedangkan Dedy adalah murid jurusan bisnis, yang kebetulan sekampus dengan Mei dan Felita. Mei, semester 3, dan Dedy sama pula.
Hari ini, aku masuk ke dalam kamar kostku. Melihat Felita dan Mei sedang bergosip sambil minum teh di balkon belakang.
"Ah! Nayla! Sini deh"
Kata Felita memberi sinyal kemari. Aku hanya merapikan pakaian dan melepas sepatu serta menaruh tasku di atas meja makan. Aku mengikuti perintah Felita ke balkon belakang.
"Kita kan udah temenan nih hampir 4 bulan, kita mau tanya sesuatu" kata Mei sambil menyeruput teh di tangannya.
Aku memasang ekspresi bertanya, ketika Mei bertanya. "Tau Skan sekarang dimana?" Ucap Mei singkat.
"Dia di kampus mei, emang kenapa? Nyariin?" Kata ku sedikit terkikik. "Bukan, de" sahut Felita di sampingku.
"Terus apa?" Tanyaku penasaran
"Aku baru saja sampai dari kampus beberapa menit sebelum kami sampai. Aku menemukan Skan sedang berjalan dengan seseorang, sepertinya seorang perempuan. Aku menemukan mereka ketika agak jauh dari kampus kalian"
Kata Felita.
Aku memasang wajah yang terlihat tak jelas. Ekspresi dan debaran hatiku tak jelas, aku menundukkan kepala, mengingat apa yang ku lakukan bersama Skan sebelum izin.
Aku melakukan tugas, selesai bersama Skan, dan
"Nay, aku ada urusan. Setelah ini bisa kamu sendirian dulu sampai nanti di kost. Maafkan aku, ini mendadak"
Ah! Kata-kata itu! Aku hampir lupa soal itu.
Aku menundukan kepala. Seakan tak tau apa lagi yamg harus di buat.
Felita memelukku erat dengan ekspresi sabar, serta Mei dengan erat menggenggam tangaku.
"Hei! Ladies!" Sahut seseorang memdobrak pintu di belakang kami.
Dedy, mengagetkan kami bertiga yang lagi berduka. Mei melepas genggamannya dan langsung menghampiri Dedy, dan memukulnya sedikit kasar.
Dedy hanya cengengesan melihat aksi Mei yang sering kali memukulinya.
Felita terlihat menikmati pemandangan ini setiap harinya setelah atau sehabis mereka pulang atau pergi ke kampus.
Tatapan Mei dan Dedy terlihat seperti dulu waktu SMA. Kaldy dan Elsa.. Entah mereka bagaimana, tak tau kabarnya. Hilang entah kemana. Aku meneteskan air mata mengingat sahabat-sahabatku yang dulu.
Dedy dan Mei yang semula bercanda dan saling sebal, terhenti dan menghampiriku.
"Sebenernya ada apaan sih? Sampai kalian marahin aku gini?" Tanya Dedy sambil menaruh tas kuliahnua di lantai kamarku dan Felita.
Mei dan Felita menjelaskan segalanya, dan Dedy mengangguk mengerti. "Pantas saja, ku kira kau ambil jam pagi, ternyata izin. Dan pantas Skandar belum pulang"
Jawab Dedy mengerti di sampingku.
Menginjak malam, aki terdiam di kamarku yang sepi. Felita telah tertidur dengan buku mata pelajaran tebal di atas kasurnya di kamar kami. Aku melihat jam, dan menunjukkan pukul 11. Tak ada tanda-tanda dari Skan, dan kemudian aku beranjak dari kasurku, dan menuju ke ruang tamu kecil di luar kamar. Meninggalkan Felita yang tertidur lelap di kamar.
Aku memakai sandal dan membuka kunci pintu depan, ku buka dan keluar. Melihat ke kanan dan kiri tidak ada tanda-tanda Skan.
Aku duduk di depan kamarku, dan melipat kakiku dan membenamkan wajahku di dalamnya. Menunggu sahabatku ini, adalah kegiatanku setiap malam.
Jam 1 pagi, aku mulai terantuk, ketika pintu gerbang di luar sana berbunyi. Skan! Seruku di dalam hati kegirangan. Ketika hendak menghampirinya, aku melihatnya..
Dia.. Bersama Sasha sedang berkecup pipi, dan mengucapkan selamat tinggal.
Mengapa? Dia cemburu hanya untuk membohongiku? Sedikit demi sedikit aku meneteskan air hangat dari mataku. Aku berlari kembali ke kamar mengunci pintu dan duduk di baliknya. Ku dengar langkah kaki Skan di depan kamarku, dia membuka kamar dan berhenti, pintu kamar tak tertutup, atau belum?
Aku menangis sekencang-kencangnya, hingga membangunkan Felita, Mei dan Dedy bersamaan mereka berdua datang mengetuk kamarku.
Felita menarikku dan menyuruhnya duduk di balkon, sementara Mei di sampingku.
Dedy membawa seseorang yang berwajah khawatir dan tak memikirkan diri sendiri.
Skan..
"De, kenapa? Kok malam jam segini belum tidur? Terus mengapa menangis?" Sahut Felita sambil memelukku. Seketika itu aku menggelengkan kepala dan terus menangis di pelukkannya. Mei dan Dedy menghadap tajam ke arah Skan yang terbengong-bengong.
"Kau!" Sahut Dedy mendorong kasar Skan ke tembok. "Mengapa kamu baru pulang jam segini?!" Tanya Mei keras.
Skan terdiam, Felita melihat semuanya sementara aku tetap menangis, tak peduli Skan akan di apakan oleh kedua sahabatku yang sedang naik darah itu.
Mei menampar keras Skan, bunyi pukulan hebat terdengar hingga telinganku. Aku melepaskan pelukkan Felita dan berlari menuju Skan yang tersungkur sambil memegangi pipi yang yang mulai tersayat itu.
"Sudah cukup! Kalian keterlaluan!" Sahutku memeluk Skan.
"Tapi! Dia.. Aku tau sesuatu tak benar di antara kalian berdua!" Teriak Mei yang marah di depan wajahku. Aku menggelengkan kepalaku dan menahan tangis yang mulai menetes lagi. Aku tak tahan ini, apa aku mulai punya rasa dengan Skan?! Tak mungkin lah..
Skan bangkit dan menggeser ku ke sampingnya. "Maafkan aku teman-teman. Aku memang salah dan egois" sahutnya pelan.
Aku mulai memakan rasa curiga yang pahit itu.
"Aku sepertinya menyukai Sasha, teman satu angkatanku dan satu jurusanku. Dan mungkin kalian sudah kenal, karena aku sering menceritakannya pada Dedy. Dan seseorang paling penting bersamaku.. Maafkan aku Nay.."
Sahutnya..
Akhirnya! Pengakuan! Mengapa.. Mengapa??!
Aku tak terima seperti ini.. Aku terasa bukan siapa-siapa lagi bagi dirinya..
Aku mendorong Skan menjauh dengan wajah terpalingi. Air mataku turun, turun tak kenal henti. Dedy menarik Skan yang tak ingin meninggalkanku, wajah Skan seperti terinjak bagiku..
Dedy menarik terus tanpa paksa, dan Mei membantunya.
Setelah mereka bertiga pergi dari kamarku, aku terjatuh tertidur. Dengan air mata masih mengalir..
Entah, Skan. Harusnya kau jujur tak berbohong kepadaku, kau sepertinya tak biasa berbohong padaku. Kau mungkin berfikir aku akan tersakiti. Memang aku tersakiti, namun akan lebih jika tidak kau memberi tahuku kejujuran yang sebenarnya. Yang harus aku terima, yang harus aku lihat.
Bahwa dirimu.. Bukan untuk diriku
Seorang..
H. Still Hoping for You?
Aku buka mataku, melihat kesekelilingku. Aku bangun, dan ternyata ada di atas ranjangku.
Di sampingku tak ada siapapun. Felita sudah berangkat kuliah. Aku melihat jam, pukul 12 siang. Aku hari ini bolos kuliah, dan setelah menyadari itu aku langsung bangun dan merapikan kamar tidurku itu yang lumayan berantakan. Seketika aku membuka pintu kamarku, keluar, tak ada siapapun. Meja makan penuh dengan makanan yang Felita masak, dengan catatan kecil yang sepertinya ia sisipkan di tengah aku membuka makanan yang di tutupi oleh semacam penutup makanan.
"Nayla, makan ya. Tidak usah khawatir soal kuliah, aku sudah izin lewat dosen yang aku kenal di sana dan kebetulan itu dosenmu. Ou ya, yang tadi malam maafkan kami, tak bermaksud untuk sekejam itu pada Skandar. Dan sebelum aku pergi kuliah Dedy menitipkan pesan. Tolong ke kamarnya nanti saat kau bangun, pintu sengaja tak di kunci. Dan pastikan dirimu semakin kuat ya!"
Pesan kakak kelas memang bermakna daripada sesama umur, tapi itulah kelebihan.
Ketika selesai memakan sarapan sekaligus makan siang itu, aku mandi dan bersiap ke kamar sebelah. Sesuai permintaan Dedy.
Langkah berat aku jalani dan berhenti di depan pintu kamar sebelah itu. Aku membukanya perlahan, dan melihat tak ada seorang pun di sana, hanya saja pintu kamar terbuka. Aku mengintip sedikit, sepertinya tak ada seseorang. Ketika aku masuk, tertidur seseorang dengan selimut tebal di atas ranjang kayu. Wajahnya lebam, kepalanya terluka, tangannya banyak goresan luka.
Skan?!
Aku menghampiri Skan, dan berniat menyentuh keningnya yang berkeringat itu, tetapi.. Tanganku terhenti oleh sebuah faktor hati. Aku menahan tanganku untuk menyentuh Skan yang tertidur dengan nafas hangat. Kemarin malam benar-benar aku kesal, sedih, hancur, remuk tak tau mengapa.
Dedy, yang menyuruhku datang ke sini untuk apa? Merawat Skan yang penuh luka dan tidak di ketahui sebabnya?
Aku berlamun dengan banyak pertanyaan di kepalaku, aku berniat merawat sahabat sekaligus orang terpenting di hidupku ini.
Tetapi, keinginan terhambat.
Karena banyak basa-basi aku akhirnya lupa dengan seseorang yang sudah membuka matanya itu.
"Nay.." Jawab suara pelan dan lirih itu. Aku tersadar dan melihat ke ranjang. Skan membuka matanya perlahan, ia menggenggam tanganku, tidak erat tetapi aku tau pasti ada sesuatu yang ia ingin katakan. Aku pelan melepaskan tanganku, tetapi aku tidak bisa karena benar-benar merindukan tangan kasar ahli kamera ini.
"Nay.. Maafkan aku ya.. Tak apa sih kau tidak memaafkan ku. Aku memang bodoh!" Sahutnya sambil memukul keningnya yang terluka itu. Aku tidak diam! Aku bertindak!
"Skan!? Kenapa dirimu luka seperti ini?!" Sahutku keras padanya. Dia hanya memejamkan matanya dalam-dalam dan seperti sengaja melupakan sesuatu yang akan terjadi. Aku memejamkan mata juga, menahan kenyataan.
"Nay.. Aku.. Aku.."
Kata Skan dalam pejaman matanya itu yang mulai melemas.
Aku terus memejamkan mataku, aku melepaskan genggaman tangan Slan, dan mulai menghapus air yang keluar dari mataku tanpa permisi.
Teringat masa SMA dulu, yang kami saling menjenguk. Skan menjengukku hingga ia sakit. Aku ingin membalas kebaikkannya lebih dari yang aku dulu sekedar merawatnya, tetapi apa yang harus aku lakukan?
Tiba-tiba sebuah rengkuhan. Tangan yang lebar, memelukku dan menyandarkan kepalaku di pundaknya. Ia memelukku dengan erat sekali. Seperti aku benar-benar ingin menangis.
"Menangislah di pundakku, setidaknya hanya ini yang dapat aku lakukan" pelan suara berat dan lembut yang kurindukan. Aku tak bisa menolak, aku menangis di pundaknya yang semua kekar sekarang terkisar rapuh. Skan, dirinya begitu baik. Sangat baik, walau aku di sakitinya baru satu kali, namun lukanya begitu dalam dan cukup mengiris diriku hingga tak sanggup berdiri lagi. Tetapi, Ia rela di salahkan. Ia rela mendapat batu besarnya. Demi aku? Apa Skan sebegitu bersalahnya padaku? Terus, aku juga. Kian telah tersakit namun masih bisa peduli, sayang, dan mencintai sahabatku yang satu ini Skandar.
Tak terasa,waktu itu cepat. Kami berdua di soraki oleh Dedy, Mei dan Felita. Mereka berdua seperti berhasil memperbaiki retak antara aku dan Skan, tetapi sepertinya Felita serasa terganggu. Aku memandang Felita dengan tatapan bertanya, kelihatannya Felita benar-benar kesal dengan Skan.
Aku lepaskan pelukkan Skan, perlahan aku menghampiri Felita. Mei menyuruh Dedy menjaga Skan sebentar, sementara Mei kebawah mengambil sesuatu. Sepertinya Mei dan Dedy, ada sesuatu terhadap Felita.
Felita menarik tanganku ke bawah, aku mengikutinya hingga ke taman belakang. Di sana, ia menyuruhku duduk di kursi taman. Terdiam beberapa saat, akhirnya Felita memulai pembicaraan kita yang tak jelas itu.
"De, kamu senang begini?"
Tanyanya menundukkan kepala, aku terkejut dengan pertanyaan dia yang begitu tiba-tiba.
"Senang apanya, Fel?" Tanyaku membalas. Tetapi ia hanya diam, memejamkan matanya dan dengan sigap memegang kedua bahuku dengan kedua tangannya dan menghadapkan tubuhku ke arahnya, sepertinya ia mengerti, apa yang ia katakan.
"Gimana?! Kau puas?! Kenapa mau terus mengejar dia! Ini sudah terlambat bukan?!" Tegas Felita dengan lantang di wajahku. Wajahku memucat, aku menunduk sambil memalingi kepalaku. Aku menggeleng pelan. Dengan kuat aku bangkit, dan mendorong Felita hingga genggaman tengannya terlepas.
"Aku tidak akan menyerah!" Teriakku.
Felita sepertinya puas, dan dengan pelan ia mengelus kepalaku dengan tangannya yang halus itu. "Aku tinggal dulu ya, kamu banyak istirahat. Aku ada urusan di luar, agak larut nanti pulangnya, jadi hati-hati. Aku berangkat dulu. Bersama Dedy dan Mei" kata ia tersenyum ke arahku.
Setelah mereka sekali lagi meninggalkan aku dan Skan sendirian di kamar. Aku tersunyi, sambil menatap kaca jendela yang sedikit berembun karena angin AC. Skan sudah mulai mengutak-atik kameranya, seketika itu 'Ckrik' suara kamera mengambil gambar seperti waktu itu, terakhir 3 bulan lalu aku dan Skan foto bebas di luar tugas.
Aku menghadap Skan, dengan asik tertawa di balik bantalnya di sofa itu. Ku hampiri dia dan memeluk lengannya, dan Skan tetap saja tidak menunjukkan foto itu padaku, aku kesal. Dia menaruh jari telunjuknya di bibirku, mengucapkan sebuah kata dengan komat-kamit 'kejutan' katanya. Aku semakin kesal hingga lupa akan waktu.
Sudah mulai larut! Aku di sini masih bersama Skan yang tertidur di bahuku. Ia menyelimuti dirinya dengan selimut dan memeluk lenganku sebagai bantal.
Aku berfikir dalam kantukku, apakah haruskah aku menyatakan ini perasaan ini pada Skan, sebelum gadis itu? Sahutku salam hati pelan. Aku bangkit dan segera menaruh tubuh Skan yang masih terluka itu di atas sofa kamarnya. Tidak sadar seharian bersamanya, memang menyenangkan, namun. Sekarang ia menyukai orang lain dan orang itu, bukan aku. Memang tidak seperti Skan harus menyukaiku, ini bukan dongeng-dongeng fantasi yang akhirnya jatuh cinta. Aku menyelimuti tubuh Skan dengan selimut yang di pakainya seharian, sementara aku menutup pintu kamarnya dan menuju kamarku untuk menunggu Felita dan teman-teman. Mereka larut sekali? Ini hampir pagi, padahal pergi dari siang tadi. Aku mengambil telefon genggamku dan menelpon Felita,
"Panggilan anda di luar area service"
Hah? Tidak biasa seperti ini, Felita tak biasa mematikan telefonnya. Mungkin saja batrenya habis, tapi ini sudah benar-benar larut. Aku mulai khawatir, di tengah kekhawatiranku, Felita dengan heboh membuka pintu kamar, yang otomatis mengagetkanku.
"Maaf, aku terlambat. Tadi Dedy beli mainan apaan lama banget. Mei juga, di potong argumen-argumen berjam-jam"
Kata Felita sambil mengusap keringatnya, aku memandang curiga ke Felita.
"Sebenarnya kalian kemana sih?" Tanyaku
Dia terkekeh mendengar pertanyaanku, seperti orang yang sedang bercanda.
"Kami cuma keliling daerah sini aja kok, udah lama tidak keliling. Dan tentunya hal yang cukup indah kan, kami pergi kau dapat bersama Skandar seharian" usilnya teman-temanku ini.
Aku hanya tersipu sambil memasang wajah penuh kekesalan. Coba saja tidak seperti ini aku sudah kuliah, Skan kuliah. Tapi kami tak mungkin sudah berbaikkan.
"Fel, Skan kenapa bisa luka-luka sih?"
Tanyaku, karena sudah tidak sabar. Benar-benar ingin tau aku tentang luka yang di derita Skan. Felita memalingkan wajahnya dengan pelan, dia duduk di sebelahku sambil membawa 2 buah cangkir coklat hangat.
"Benar kau ingin tau?" Pelan Felita. Aku mengangguk dengan cepat, menadakan aku ingin segera tau.
"Dia luka-luka, karena ingin mendapat kata maaf darimu. Ia meminta Dedy memukulinya hingga ia hampir mati, tapi aku tau tadinya Dedy menolak, tapi kepaksaan Skandar memang tak bisa dilawan"
Kata Felita berat hati. Aku dengan ekspresi tak jelas dan kesal. Mengapa harus dia minta maaf sampai segitunya?! Bilang saja maaf, oh ya baru ingat aku menolak maafnya.
"Dia ingin sekali di maafkan olehmu, dia tak butuh orang lain selain dirimu. Pengorbanan besar kalian lalui bersama, cinta di antara kalian sudah mulai tumbuh. Aku harapkan saja, ia menyadarimu" semangat Felita kepadaku.
Memang ya, kita hampir semua di lalui bersama-sama, orang tuaku juga menyukai Skan. Orangnya satun, tak kenal kasar sekalipun pada orang lain. Aku pun mengepalkan tangaku dan melepaskan kepalan itu lagi dan dengan semangat tidur agar besok dapat kuliah, dan bertemu Skan lagi dengan wajah tertawa bersinarnya, setiap hari.
I. He confess To Her..
Pagi aku bersiap-siap kuliah. Akhirnya sebentar lagi liburan natal. Sudah 2 minggu lewat dari kita bertengkar babak belur itu. Tak sabar juga sebentar lagi ulang tahunku yang 19. Skan dan aku beda 1 tahun, tapi ya tau sendiri.
Hari ini tanggal 20, ulang tahunku besok. Tak sabar, bisa merayakan bersama teman-teman dan Skan. Ketika aku ingin berangkat, Skan sudah di bawah sambil melambaikan tangannya. Bersiap untuk kuliah di hari sebelum natal. Pak Suryo dengan lantang ya membicarakan kabar-kabar pagi bersama kami, sehingga perjalanan tak terasa membosankan. Pergi ke kampus untuk hari ini, aku mengharapakan yang terindah! Apalagi besok, tapi apa Skan mengingat ulang tahunku?
Di kampus seperti biasa, melambaikan tangan dan ke kelas jurusan. Aku bertemu dengan Hans yang sedang asiknya memotret daun di halaman menuju kelasku. "Pagi" sambil melihat di lensa kamera, dia bisa menyadari aku lewat di sampingnya. "Pagi, bisa tau gitu? Matanya ada berapa?" Tanyaku sedikit menyeletuk, dia tertawa. Tapi terus memfokuskan diri ke lensa kamera. Aku melihat ia, dan mendekat, hingga aku bisa dekat dan melihat bersamanya.
"Kau tertarik bunga?" Katanya sedikit memutar kameranya. Aku mengangguk pelan, bunga memang indah. Seakan indah namun rapuh ketika sudah sedikit layu.
Aku pergi meninggalkan sambil melambai padanya, sekarang saatnya memfokuskan diri ke kuliah di kelas.
Memang kuliah sebagai model memang sedikit cekcok, tapi itulah jalan yang harus aku tempuh demi cita-citaku yang gemilang.
Aku bercita-cita menjadi model, dan Skan fotograferku. Indahnya kalau terbayang seperti itu, tetapi sepertinya tidak akan terjadi. Skan telah menyukai Sasha, teman satu jurusannya yang kebetulan juga menyukainya. Aku bersama Hans seperti biasa-biasa saja, dan sering kali aku bertanya apa mereka dekat.
Mereka berdua memang dekat, berdua adalah salah satu murid terbaik, dan sama-sama memiliki cita-cita yang sama. Aku tak pantas, bersama orang seperti Skan. Ia terlalu sempurna untukku.
Jam kuliah membosankan, aku mengeluarkan sebuah catatan kecil, bukan catatan sih tapi, sebuah kamera digital. Kecil sih, Skan tak tau aku membawa benda ini, jika ia tau ia akan memakainya terus menerus, walaupun kameranya lebih bagus. Tetap memakai miliku, alasan? Banyak.
Jam istirahat, aku keluar dan menuju taman belakang, tempatnya dingin dan sejuk, sering aku ke sini untuk sekedar menidurkan dan menyejukkan kepala.
Melihat suasana anak-anak lain, dengan kerja sama dan keanehannya. Tapi kali ini ada yang berbeda dari taman belakang. Aku berjalan seperti biasa dengan bekalku yang tadi pagi belum sempat aku gigit.
Aku ke taman belakang, berjalan santai.
Melihat bayangan orang, sepertinya ada orang lain yang sering ke sini.
Ku lihat, memakai baju putih, sedang berjongkok. Skan! Seruku, saat akan menemuinya ke girangan, aku berhenti di balik pagar, dia sedang memotret, sepertinya bunga. Karena bunga di sini bagus dan indah-indah. Tetapi perkiraanku salah, bukan bunga yang ia potret. Melainkan seorang gadis, berambut hitam terurai. Ia sedang memegang bunga-bunga. Senyum bahagia Skan terlihat, ia sepertinya sangat menikmatinya, perempuan itu.. Sasha.
Aku menahan rasa kejutku, dan perlahan mundur, meninggalkan mereka.
Entah, aku terdiam. Aku kembali ke ruang kuliah dan makan di sana dengan beberapa murid lain di kelas. Aku memakan dengan mengigit perlahan, memperlama gigitanku.
Teman-temanku memandang aku aneh, mereka memasang wajah kasihan dan sedih, banyak bertanya "kau tidak apa-apa?"
Aku terdiam dan tetap melahap makanan ku dengan perlahan. Aku menahan air mata yang turun tetes demi tetes.
Aku menangis, kenapa? Sedih sekali sakit rasanya.
Pulang kuliah, aku tak ikut Pak Suryo.
Aku jalan kaki, menyusuri kota Jogja sebelum pulang ke rumah.
Aku menyusuri, sendirian. Dengan kamera digital di tangan. Memori Jogja aku kenang, sendirian..
Tangisan air mata aku pendam, ponselku bergetar-getar tak hentinya. Aku melihat di sana, berdiri seseorang, tak sendiri.
Dia bersama seorang perempuan, Sasha.
Pasti Skan, aku melihat tawa kameranya bersinar. Dia sedang tertawa bersama Sasha, aku lihat, bergandengan tangan?
Aku dengan lancang menutupi wajahku dengan buku kuliah, agar tidak di ketahui keberadaanku. Aku berjalan melewati mereka, aki mengintip, mereka berada di sebuah kafe, aku ikut masuk untuk membeli cemilan saja.
Saat aku melirik ke arahnya dan melihat mereka berdua duduk menunjukkan hasil foto mereka. Tawa mereka berdua bersinar sekali, sampai aku belum pernah melihat ekspresi itu di wajah Skan.
Aku meninggalkan mereka tanpa sepengetahuan Skan dan Sasha.
Telefonku terus bergetar, lupa atau malas aku mengangkatnya. Dan pasti bukan Skan yang menelponku.
Sementara itu..
Felita,Dedy, dan Mei sibuk bergantian menelpon Nayla yang hilang sejak pulang kuliah tadi. Felita yang berkali-kali menelpon adenya tersayang itu tak kunjung di angkat.
Sudah sangat larut, dia belum kunjung kembali. Apakah entah hilang, bersedih, menyendiri?
Mereka tidak tau.
"Mei, Dedy! Hubungi Skandar segera!"
Teriak Felita panik, dia sepertinya ingin tau, apakah Nayla bersama Skandar?
Skandar sedang berada di tengah alun-alun kota Yogyakarta, bersama seorang perempuan Sasha. Tiba-tiba, telefon yang di kantong celananya bergetar.
"Permisi, Skandar!"
Skandar menjawab telefon itu dengan nada datar.
"Iya? Ada apa Dy?" Tanya ia biasa.
"Nayla belum kunjung pulang! Apakah dia bersamamu?"
Ekspresi wajah Skandar langsung berubah saat itu juga. Dia langsung lupa tujuan awalnya,pikiran dia langsung penuh dengan Nayla. Dia melupakan gadis yang ada di sebelahnya sekarang. Benar-benar lupa, ia selalu mengutarakan sahabatnya yang satu ini terlebih, hingga ia mempertaruhkan nyawanya demi sahabatnya ini.
Telefon masih di telinganya, tangan yang semula menggenggam gadis itu, terlepas.
"Skan, anda mau kemana?"
"Maaf, aku ada urusan secara tiba-tiba. Maafkan aku Sha, kutinggal dulu"
Sasha? Dia seperti hanya di sukainya, tapi apakah mencintainya?
Skandar dengan kilat naik taksi yang ada, sambil menelpon.
"Dy! Aku tau dia dimana kayaknya"
Dengan kilat ia menuju tempat bersejarah, mungkin kalian tau?
Dengan langsung menutup telefon yang ia tempel di telingannya. Dan segera tanpa menunggu apa-apa lagi.
----------
Aku bertempat di Prambanan sekarang. Tempat ini cukup ramai, karena sedang berlanjut pertunjukkan penari yang tidak kalah menariknya dengan tarian modern sekarang. Aku mengangkat kamera digitalku dan memotret segala golekkan penari yang bersinar di atas panggung di malam sunyi. Aku tidak mementingkan telefon yang bergetar di kantongku saat ini. Setelah pertunjukkan selesai, aku duduk di dekat candi yang di sinari lampu. Aku memandang langit, dan melihat jam tanganku, jam 10 sudah ternyata. Tidak peduli aku pada sahabatku, terutama Skan. Aku sama sekali membuang ingin, hanya ingin membuang.
Tetapi, aku melihat langit dan memohon pada yang di atas
"Aku ingin membuang rasa ini, terutama. Karena cinta sahabat tak ada yang berakhir baik"
Aku menunduk dan menangis, air mata ini hanya sedikit. Tapi hati aku hancur, Skan sudah ada di genggaman Sasha sih. Tapi ya sudahlah, aku juga akan melupakan Skan.
"Kamu nangis gitu, di sini. Aku salah apa Nay? Aku salah terus di matamu? Mungkin saja.. Ah lupakan!"
Skan memelukku dari belakang dan seakan aku sangat sakit, ingin jatuh ke pelukkannya sekarang. Tetapi aku dengan sigap melepas pelukkannya dan mendorongnya pergi menjauh dariku. Ekspresi wajah Skan yang seperti terlarut dalam kejutan dan kesedihan muncul.
Ia kemudian berdiri dan mengejarku yang berjalan menjauh darinya karena kesal. Dia berhasil menggenggam tangaku
"Kamu kenapa sih? Jauhin aku? Kita udah baikan iya kan?"
Aku menunduk dan mempersiapkan kata-kataku, aku memasang wajah sebal dan kesal. Tapi sebenarnya yang kurasakan..
"Kau! Hah!? Kau kira baikan hanya begitu?! Sekarang kau buat aku sakit! Makasih ya! Selama ini mau jadi sahabatku! Mulai hari ini, aku akan melupakanmu! Ingat! MELUPAKANMU!"
Termakan cemburu dan sedih, aku relanya melepas Skan dariku. Sungguh menyesalkan namun nanti kalau aku mengatakan yang sebenarnya. Dia akan menjauhiku, lebih baik aku dan menjauhi dia. Akan lebih baik, akhirnya aku tak jujur pada diriku sendiri.
Skan tidak terima aku mengatakan itu, dia terus menggenggam tangaku erat.
"Aku salah apa emangnya!? Padahal aku.. Sudah mengatakan semuanya padamu!"
Skan benar tak ingin aku menjauh darinya, kenapa begitu mengikatku? Padahal aku bukan siapa-siapa.
Aku menunduk dan melihat kakiku yang mulai berkeringat, aku meneteskan air mataku lagi. Kali ini Skan menarikku dan memelukku erat. Aku mengelak, dan mencoba melepaskan diriku dari pelukkannya yang ingin sekali kurasakan. Tapi Skan malah, menarikku menuju taksi dan mendorongku. Kemudian menyuruhnya jalan ke tempat kost.
Aku benci kamu Skan, apa tak ada kata lain untuk aku ini? Tak ada apapun aku di matamu selain sahabat?
Setelah sampai, Felita, Mei, Dedy memelukku erat. Aku memasang wajah menyedihkan. Felita melihat itu, dan segera ia mendorongku dan berjalan menuju Skan yang terpaku bengong.
"Aku kecewa padamu Skandar. Sangat kecewa, sedih banget aku, sahabatmu! Lihat! Dia itu menaruh hati padamu tau!"
Felita lantangnya mengatakan hal itu, di depan teman-temanku. Skan, wajahnya kaku badannya juga kaku.
Tetapi kemudian ia menundukkan kepala kepada Felita yang marah-marah, ia menunduk? Berarti ada yang salah?!
Skan membangkitkan kepalanya dan menatapku, tak memperdulikan siapa saja yang melihat di sana,
"Nay, bisakah dirimu.. Jujur padaku? Apa dirimu ini, menyukai ku?"
Pertanyaan sia-sia takan ku jawab, tetapi sayangnya. Ku jawab pertanyaan itu dengan jujur. Tetapi tak secara langsung, selalu ada sesuatu yang menutupinya.
"Kalau misalnya iya bagaimana?" Tanyaku sambil menahan air mata yang masih terus mengalir tak henti.
"Tak apa, tapi maafkan aku. Karena bertepuk sebelah tangan, aku sudah menyatakan cinta pada Sasha tadi saat pagi. Jadi.."
Dadaku sesak, aku terjatuh ke tanah hingga membuat teman-teman panik melihat aksiku.
Menggelengkan kepala perlahan aku menahan nafas, menutup mata dan menangis tak henti.
Skan melihat aksiku yang kelebihan, ia menghampiriku dan mungkin berharap sesuatu. Aku tak peduli pada dirinya, dia bukan sahabatku lagi! Bukan!
J. Jelousy, Love, Not for Me
Aku mengelak akan Skan menyentuh tubuhku setitik apapun, rasa di sentuh olehnya saja sudah panas dan menyengat kesakitan. Aku bangun dari sungkuranku dan membalikkan tubuhku ke arah berlawanan dari Skan.
"Nay.." Panggil lirih sang pangeran yang hanya impian belaka.
Aku membalikkan tubuhku lagi ke arahnya dengan wajah senyum terpancar dari wajahku yang masih berbekas dan terus mengalir air mata.
Senyum matahariku untuknya, ia menundukkan kepala dan menghela nafas.
Dia berusaha memelukku tetapi aku mendorongnya hingga ia hampir terjatuh.
"Ini terakhir kali kamu akan melihat aku tersenyum. Aku akan melupakan dirimu sampai ajal"
Tak kusangka aku berbicara demikian kasar, kasihan Skan, aku bentak hingga ia membenciku juga.
Tapi cara untuk melupakan perjalanan selama kami berdua SMA berakhir di sini, aku dan Skan, resmi tak saling kenal mulai hari ini. Tetapi Skan terus menerus mencoba memeluk tubuhku yang menggigil karena dinginnya sedih dalam hatiku.
Tetapi aku berpura-pura kuat akan hal ini. Dan akhirnya aku meninggalkan Skan, dan menarik lengan Felita untuk menemaniku ke kamar.
Di Luar..
"Kau kurang ajar! Skandar kau tau apa yang barusan kau lakukan?!"
Dedy berteriak menghadap Skandar.
Skandar dengan wajah tak terima berusaha naik ke lantai dua rumah itu.
Skandar di hentikan oleh Mei yang hampir menangis.
Wajah Mei mengatakan 'kau dilarang untuk bertemu dengan Nayla'
Pengecewaan menyedihkan menyelimuti Skandar. Sahabat satu-satunya sekaang benar-benar hilang dari tangannya, sementara teman-temannya melarang ia mendekati Nayla lagi.
Dia menunduk dan pergi ke atas untuk ke kamarnya, Dedy menyuruh Mei tidur agar besok baik.
Dedy menyusul Skandar yang akan ke kamarnya, dengan menghampiri temannya yang putus asa itu Dedy berkata,
"Skandar, jangan sedih. Jalankan hidupmu dengan baik, meski dia tak berada di sana melihat tawamu lagi. Sekarang kau sudah ada Sasha harusnya kau tidak sesakit ini. Apa yang sebenarnya kau rasakan, harus kau sampaikan ya! Semangat Skandar ini hanya cobaan"
Skandar melihat ke arah Dedy dan tersenyum masam tak jelas. Hatinya hancur entah mengapa. Kehilangan Nayla merupakan hal. Tersakiti yang pernah ia alami, sekarang.
Ia kemudian naik ke lantai dan berhenti di depan kamar sahabatnya itu, ia menuduk ke arah kedua kakinya. Berkeringat dingin, dan kemudian ia membuka pintu kamarnya dan jalan masuk ke dalam.
Dedy melihat pintu kamarnya terbuka, kemudian ia masuk, tetapi terdorong kembali ke luar karena melihat Skandar membawa satu kotak kamera SLR baru yang masih tersegel.
Kemudian ia memberikannya pada Dedy dengan berkata
"Dy, tolong sampaikan hadiah ini pada Nay. Aku memohon agara besok ia tak sedih ketika mendapat ucapan ulang tahun, mungkin ini hadiah terakhr dan ucapan terakhir yang akan ia ingat dariku sejak 2 tahun terakhir, tolong ya Dy"
Lirih Skandar pelan sambil memberikan kotak itu.
Keesokan harinya, mungkin akan menjadi hadiah terakhir dan ingatan terakhir.
Skan, I sorry...
K. Killing Inside
Hari pagi menjelang, buta sepertinya. Hari kalender tanggal 20 Desember, ulang tahun seseorang, sepertinya.
Sinar matahari belum muncul, ku lirik Felita masih tertidur dengan bantalnya. Ku sedikit terkikik melihat ia tidur begitu damai, dan aku sendiri menyadari hari spesial hari ini untukku. Aku masih berbau bangun tidur dengan memakai piyama aku keluar kamarku menuju ke taman, di sana lampu masih menyala, mungkin belum bangun karena memang hari ini hari libur.
Ke taman aku terhenti, melihat seseorang duduk di kursi taman, dengan menggenggam sesuatu di tangannya.
Sepertinya terpenuhi bagian depan tubuhnya oleh benda berbentuk kotak itu. Ia melirik ke arahku dengan wajah sedikit ceria. Ia kemudian bangkit dan memberikan kotak itu,
"La, ini dari Skandar. Tolong di terima, ia memberikannya seluruh untukmu, dia mengucapkan selamat ulang tahun untukmu. Hari ini, maksudku pagi tadi. Ia pergi keluar kota dan sudah izin akan pindah kuliah mulai semester depan. Tolong ya La, maafin dia"
Dedy memberikan kotak kamera SLR itu kepadaku, dan meninggalkanku terpaku dengan wajah terkejut terdiam. Skan? Pergi?
Aku berlari menghampiri Dedy dengan SLR itu di tangan dan membalikkan tubuhnya yang membungkuk karena sedih.
Wajah Dedy terkejut dan segera menegakkan tubuhnya dan melihat ke arahku,
"Ada apa? Apa yang kau ingin katakan?"
Aku pun menaruh kotak itu di atas rerumputan dan kembali berdiri menghadap Dedy.
"Skan, sudah pergi ya?"
Ia terkejut mendengar pertanyaanku yang aneh, mungkin pikirnya aku benar-benar membenci Skan, namun aku tidak sepenuhnya. Ia mengeluarkan telefonnya dan segera mengetik dan menelpon seseorang.
Setelah tersambung, ia memberikannya langsung padaku tanpa berkata apa-apa lagi.
"Ini telefon untuk menjawab pertanyaanmu"
Aku pun mengambil berat telefon itu dari tangan Dedy.
"H..h.a..a..ll..o?"
Suaraku tersedak entah mengapa, aku mendengar di sana sepi tak seperti biasanya.
Mungkin karena masih pagi, tapi jika benar ia pergi tak mungkin seperti ini.
"Iya, apa Nay?"
Suara itu, tidak mungkin perkiraanku benar, Skan berada di sebrang sana.
Aku terdiam sejenak dan segera menjawab panggilan itu
"Kau bodoh! Kenapa kau tinggalkan aku?!"
Aku berteriak marah di telefon itu, Dedy duduk di kursi taman dengan menelentangkan tubuhnya yang mulai melemas.
"Aku, aku, tak punya alasan lagi. Aku pergi karena kau akan melupakan aku, dan aku juga di panggil Sasha untuk bertemu orang tuanya di Makasar"
Oh, Sasha kah? Ternyata benar aku toleransi bukan di buat lebih baik, malah di buat terbuang. Aku terdiam sejenak, tau aku salah tingkah.
"Nay? Oh ya, selamat ulang tahun ya, maaf kali ini.."
Ku tekan tombol merah dan terjatuh ke tanah, Dedy mendengar itu dan ia langsung datang menghampiriku. Dengan wajah prihatin, ia membantuku berdiri dan memelukku erat. Ia mengetahui situasiku, ia juga mungkin mengerti hatiku sakit lagi.
Kemudian pintu ruang bawah terbuka, terlihat Mei keluar. Ia melihat kami di taman, dan dan ia segera menghampiri kami dan mengolok keras. "Dedy suka Nayla!" Berkali-kali.
Memang sedikit menghibur, tetapi aku kembali menatap kedua kakiku, melihat sandal yang ku pakai. Kemudian datang bayangan mendekat, Mei datang berjongkok melihat wajahku.
"Nayla, kamu tau kan maksud aku melihatmu begini?" Kata Mei pelan.
Aku menggelengkan kepalaku pelan, tenaga seakan tak ada lagi yang tersisa untuk berkata-kata, ataupun bergerak.
Aku sudah tau sepertinya hal ini akan terjadi, apa mungkin sampai menikah ya nanti?
Aku tidak tau, hanya yang di atas yang tau segala hal, kemudian aku berjongkok, membenamkan wajahku ke dalam kedua tanganku. Lama-lama mulai basah tanganku kebanjiran air mata yang tak tau hentinya kapan. Ketika itu juga Mei memelukku erat, dengan Dedy yang berdiri di sampingnya dan memalingkan wajah ke arah lain.
Aku menangis tak tertahankan, entah mengapa, untuk apa aku menangis untuk cinta buta tak tebalaskan ini?
L. Alone..
Beberapa tahun kemudian, aku lulus kuliah di Yogyakarta bersama Hans sebagai orang dari jurusan lain yang ku kenal. Aku melihat teman-teman di bagikan hasil kelulusan dengan wajah gemilang, aku sendiri hanya tersenyum buta, tak ada rasa menyenangkan di 5 tahun terakhir kuliah. Aku masuk berdua, lulus sendirian. Aku melihat langit juga setelah keluar dari ruang diorama besar di kampus itu, kulihat langit lekat-lekat seakan sesuatu yang ku lihat itu melekuk.
Hembusan angin kencang menyertakanku ke taman di belakang kampus, tempat yang biasa aku makan siang dulu bersamanya. Sesaat aku tersenyum di tengah bayang-bayang masa lalu itu, tetapi muram karena kejadian itu.
5 tahun lalu, suram menyelimutiku, sebelum semester 1 berakhir, ia meninggalkanku sendirian karena kekasih barunya itu, dan tanggal ulang tahunku sebagai hasil buruk kejadian itu. Aku membungkuk dan mencoba tenang, ketika itu Felita datang menghampiriku.
Kalian taukah? Felita sudah lulus dan memilih mengajar disini hingga mendapat pekerjaan lebih lanjut, ia senang mengajar dan juga ia sangat pintar sehingga ia mudah di terima di kempus mana saja.
"De, ayo kita pergi. Ada tempat yang cocok untuk memulai karirmu sebagai model"
Felita membantuku berdiri dan menggandeng tangaku hingga aku berjalan menuju mobil yang ia bawa, di sana hanya aku dan dia naik mobil. Kalian tau? Mei dan Dedy pindah tempat kost, entah karen apa, jadi hanya aku dan Felita yang tersisa hingga 5 tahun terakhir ini. Ia mengajakku ke sebuah perusaahan majalah, dan majalah itu cukup terkenal. Felita mengajakku untuk bertemu agent yang kebetulan adalah temannya, Felita memiliki banyak teman luar yang sukses, sehingga kebanyakan aktifitas dapat ia bantu dengan bantuan teman-temannya.
Aku di daftarkan sebagai model di sana, audisi harus aku ikuti. Banyak hal dan prosedur yang harus aku lakukan sebagai model. Aku menatap keluar, melihat lensa kamera kosong. Aku berekpresi sekuat tenaga, walau aku lulus audisi namun diriku tak lulus dari audisi itu, mengertikan maksudku?
Dilema selama 5 tahun terakhir membuat diriku suram dan tak berperasaan. Hampir hari-hariku di penuhi kesuraman dan senyum palsu di wajah. Setiap hari-hariku terasa diam dan suram, aku terasa seakan banyak hal yang terbentur-bentur di kepalaku. Seakan aku mendapat serangan batin, tetapi sepertinya tidak.
Bukan sedang terserang, tapi penyakit ini memang sudah lama aku derita. Skan, kabarmu 5 tahun terakhir, memang tak kudengar, hanya terakhir kudengar suara lembut rintihmu, pagi subuh itu. Telefon kumatikan paksa, tak terasa itu sudah lama dan menyakitkan sekali ketika aku mengingatnya.
Lamunanku! Memakan waktu banyak, Felita dan temannya mengajakku makan siang, aku makan seperti orang biasa saja, ketika itu Felita mengajakku berbicara.
"De, ikut aku ke kamar mandi sebentar yuk"
Aku pun hanya mengangguk lemas, apa yang akan Felita katakan padaku?
Aku melihat kaca kamar mandi itu yang bening, dan terpantul bayanganku dan Felita yang sedang memperbaiki riasan wajahnya.
Aku menengok ke arah Felita, dan ia memulai pembicaraan
"Kenapa, De?"
Pertanyaan? Bukannya aku yang harusnya bertanya? Aku memalingkan wajah perlahan dan terdiam tak menjawab satu patah katapun.
"Kamu kenapa? Jawablah"
Aku tetap terdiam, dan mengepalkan tangaku di atas wastafel berkeramik putih itu.
"Kamu kenapa?! Jawablah sekarang pertanyaanku! Masa harus aku paksa kamu?"
Felita memegang kedua bahuku sedikit keras, mau tak mau aku jawab.
"Fel, maafkan aku. Aku tak tau! Skan! Skan kembali terus di ingatanku! Ia tak bisa hilang!"
Kemudian Felita memalingkan sedikit wajahnya dan menatapku lagi dengan mata yang bersinar karena tangis. Aku menatap wajah Felita dengan pelan kemudian menutup mataku, air mata hangat keluat dari mataku, sudah lama aku tak menangis karena Skan lagi, aku kesepian tanpa Skan di sampingku.
Setelah itu, Felita kembali mengajakku keluar. Dan meninggalkan temannya, dan meminta hasil konfirmasi model itu beberapa minggu lagi. Felita menaiki mobilnya dan kami pergi ke kostan, Felita memintaku untuk mengepak tasku dan paspor?
Mengapa kepergian tidak di ketahui secara tiba-tiba setelah kelulusan ini?
Mobilnya ia parkirkan di kostan dan memanggil taksi ke bandara Yogyakarta, Adi Sucipto.
Aku memandang keluar jendela bandara dengan tas koperku. Sudah 5 tahun terakhir kali aku berdiri di sini, berdua dengan seseorang memegang kamera hitam dan memotretku yang sedang berkali-kali menutupi dengan kamera digitalku itu.
Sekarang bersama Felita pergi ke suatu tempat, wajahku tak memandang tujuan pesawat itu, hanya memdengarnya dan tak memperdulikannya sedikitpun. Pesawat sedikit lama, melihat keluar jendela pesawat seakan mati.
Sampai di tujuan, masih saja aku tidak memeperhatikan keberadaanku sekarang.
M. I thought that I was right..
Bandara pengumuman berdenting-denting di telingaku. Melihat sekitar menyadari aku berada di bandara asing, kemudian Felita menarikku dengan tangannya, pelan kami dekati taksi. Kami naik dan dan aku memang terdiam. Sampai di hotel, baru aku sadari saat meninggalkan tasku di dekat Felita yang sedang mengatur penginapan kami, aku pergi ke kolam renang, dan melihat seseorang sedang berjongkok di sana.
Memegang kamera SLR hitam dengan tali yang mengalungkan di lehernya. Hanya dari kejauhan aku melihat itu, dan wajahnya tak terlihat, hanya dari belakang aku melihatnya, terpaku lama berdiri, Felita kemudian menarik tanganku.
"De! Kamar kita ay.."
Felita terhenti, melihat seseorang berdiri di sana. Kemudian ia melepaskan genggaman tangku dan berlari kesana, menghampiri seseorang yang asik bermain kamera itu.
Merek berbincang sebentar, dan kemudian Felita memasang wajah senang berair mata. Ia masih membelakangiku dan kemudian menarik nafas dan membalikkan tubuhnya ke arahku.
Aku membuka wajah lebar, ia melihatku terkejut, dan matanya sedikit berair. Ia berlari lalu memelukku erat, membisikan kata-kata,
"Nay, masih kah kau ingat aku?"
Oh air mata tak karuan turun dari mataku, Apakah dari sini bisa aku sampaikan yang sebenarnya?
Penyesalan hingga 5 tahun terakhir benar-benar memakanku hidup-hidup. Sekarang, orang yang benar-benar kusesali ada di depanku, memeluku erat seakan tak lama bertemu. Air matanya juga turun seiring nafasnya yang sedikit tersendat, aku pun juga membalas pelukkannya yang erat.
"Nay kamu masih ingat? Atau sudah lupa? Aku melarikan diri mencoba melupakan dirimu! Tetapi, sepertinya aku tak bisa"
Ia berkata dengan mata masih berair mata, aku tak tau harus menjawab apa.
Aku menggeleng sambil tersenyum, lalu aku memeluknya dengan erat lagi. Benar-benar aku merindukan punggung tegak, yang 5 tahun aku rindukan.
Felita di sampingku tertawa terkikik, ada sesuatu yang ia rindukan juga. Skan dan aku menatap Felita yang mulai mengeluarkan kamera SLR yang 5 tahun lalu Skan berikan padaku. Dan memberikan kepadaku benda itu, ia melambaikan tangan dan memberi sinyal kalau sudah ke lantai 5 hotel itu.
"Nay, kamu udah.."
Aku menyendat mulutnya dengan senyuman bersinar, dan mengangguk. Aku tau apa yang ia ingin katakan, aku sudah memafaakannya lama, dan aku akan menyesal jika tidak memaafkannya.
Membungkuk kemudian, aku mengeker dan memusatkan pada sebuah pohon dekat kolam. Skan datang di dekat ku, ikut berbungkuk dan memberikanku arahan. Lama sekali kami tidak berdua seperti ini, tertawa, tersenyum, sedikit ceroboh.
Ketika asik mengutak-atik kameraku, aku menutup mataku, ada pertanyaan yang muncul di kepalaku.
"Skan, dimana Sasha?"
Pertanyaan itu memberhentikan nafas Skan sejenak. Ia memberhentikan aktifitas yang ia lakukan dan berdiri memalingkan wajah dariku sambil memegangi kepalanya. Aku pun menghampiri Skan sambil memasang wajah 'mengapa?'
Ia tersenyum tipis dan menggelengkan kepalanya kepadaku. Aku tau ada sesuatu yang tak beres di sini, Sasha? Mengapa ia tak terlihat?
Aku terus memasang wajah curiga pada Skan yang memalingkan wajah dariku. Sampai akhirnya ia membawaku duduk di kursi santai di dekat kolam renang itu, ia berjongkok dan memasang senyum.
Aku sedikit tertawa dan aneh melihat Skan yang tiba-tiba menyuruhku seperti itu, kemudian ia mengeluarkan SLR ku dan memintanya memotretku di papan larangan kolam.
Aku tak bisa berhenti menahan tawa, pose yang di coba Skan bermacam-macam, dan berusaha tampil seaneh mungkin.
Aku pun memberinya sinyal memasukan kedua tangannya kedalam kantung. Dan tersenyum lebar berseri seperti iklan pepsoden. Ketika itu aku memotretnya dan tertawa tak henti melihat gambarnya.
Skan tersenyum dan giliran aku di suruhnya menggeser duduku, dan ia duduk di sebelahku dengan wajah senyum tipis. Sambil mengambil kamera SLRku ia pun membuatku bersandar pada pundaknya dan 'Ckrik' bunyi kamera itu.
Lihat di layar kecil itu, melihat fotonya yang aneh dan foto kami berdua, melihatnya saja seperti dulu.
Felita datang turun, dan berkata akan menjemputku ke kamar, tetapi Skan mencegah tanganku. Felita dengan senyum sedikit licik membiarkan kami pergi, entah kemana Skan mengajakku.
Ternyata ia mengajakku keliling sekitar monumen Surabaya, banyak tempat-tempat bersejarah yang kami kunjungin hari itu.
Hingga malam menjelang, Skan mengantarku ke hotel. Wajahnya yang tersenyum hangat seakan aku adalah orang terpenting di hidupnya, memang keinginan membayangkan diri sendiri itu buruk, tetapi mau tak mau tak bisa kuhindari fakta gila dalam diri seseorang.
Skan mengulurkan tangannya, membukanya dan adalah sebuah kotak kecil, dan berpesan agar membukannya besok, dan ia memberikan alamat, sepertinya rumahnya agar datang besok. Tak sabar aku bermain ke rumahnya, walau bukan rumah aslinya dulu di Jakarta, dan tentu ia tak melupakan pesan 'kelulusan' ia menyampaikannya dengan foto-foto aneh.
Seharian ini, entah aku berasa bisa janggal. Felita yang asiknya mengganti saluran televisi pun mengalihkan perhatiannya kepadaku yang termenung aneh depan televisi.
"Kau mengapa? Tidak senang ku ajak ke kampungku?"
Felita mengagetkanku di tengah-tengah termenunganku. "Tidak, Surabaya adalah tempat yang indah. Tetapi, ada sesuatu yang aku janggalkan, mengapa aku bisa bertemu Skan di sini, ini takdir atau hanya kebetulan? Dia tak mungkin di sini, dia kan harusnya bersama Sasha sekarang di Makasar"
Pertanyaan banyak di kepalaku, terlalu banyak malah. Kepalaku serasa mau pecah tau semua pertanyaan yang ingin aku tanyakan itu. Felita mematikan televisi, dan duduk mendekatiku. "Kenapa kau begitu bimbang dan sedih, kamu sudah besar untuk mengetahui sesuatu yang terjadi. Walau orang bisa menutupi itu, pasti kau akan tau. Bertemu Skan percayalah bukan kebetulan, sudah lama sekali aku tak melihat kalian berdua sebahagia tadi di kolam renang, pergi keliling kota, alun-alun, foto bersama"
Aku menggelengkan semua perkataan Felita dan memejamkan mata, ku raih telefonku, liat di sana tertera unknown number.
Ku buka,
From : +6281245451900
To : +6285813243547
Malam, aku ganti nomer. Nih tolong save ya.
SkD
Nomer, ini? Dengan tanda tangan di bawahnya, tak salah lagi!
Felita tersenyum aneh ketika pesan itu masuk di telefonku. Aku segera membalasnya pesan sangat panjang, mungkin akan menghabiskan lumayan banyak untuk sekali kirim.
Kutulis pesan ini
To : Skandar
From : Nayla
Hehe, sudah kusimpan.
Skan, ada yang ingin aku tanyakan padamu,
Sasha? Bagaimana dengannya? Ya jelaskan selama 5 tahun hubungan kalian? Aduh aku pengen tau banget ya?
Oh ya, apa kamu menyembunyikan sesuatu dariku?
Setelah di kirim, entah lama sekali. Sampai larut malam belum di balas, ketika jam menunjuk jam 12, Felita tertidur sudah.
Ketukan pintu kamar hotel membangunkanku dari lamunan tungguku.
Entah siapa yang mengetuk, aku tak berani membuka, ku langkahkan kakiku perlahan, aku membuka pintuku dan...
Skan berdiri di sana dengan jaket coklat, dan sekantung plastik. Aku melihat keadaannya dari atas sampai bawah ujung kaki, yang hanya berlapis sandal jepit itu terlihat jemari kakinya yang kedinginan di pagi subuh ini.
Skan kemudian menarik tanganku dan mengeluarkan tubuhku yang masih terbungkus piyama itu.
Kemudian memintaku menyelipkan kunci kamar dan meninggalkan Felita sendirian.
Dengan hanya sandal hotel dan piyama masih terkena di tubuhku, Skan menarikku ke dalam mobilnya dan mengendarai kendaraan itu dengan cepat, sambil membuka kaca.
Hembusan angin pagi di sertai jalanan yang sepi, membuatnya menjadi indah.
Ku hadapkan wajahku ke arah Skan yang sedang menyetir begitu saja pendangannya melihat lurus ke depan jalan.
Walau masih gelap malam, Skan tetapi sigat menyetir. Aku memulai pembicaraan "mengapa kamu datang menjemputku subuh begini?"
Ia hanya diam, kulihat ia menggigit bibir bagian bawahnya hingga darah terlihat, ia menahan sesuatu?
"Eh.. Mau ngajak kamu aja Nay, ke sebuah tempat" aku menggelengkan kepalaku tak tau lagi apa lagi yang ingin aku katakan padanya.
Saat itu laut berdesir, angin membunyikan rerumput di pasir putih itu. Bau asin segera menyeramg hidungku. Kesunyian di sertai bunyi jangkrik yang ramai. Aku dan Skan terdiam sambil duduk di batu dekat bibir pantai.
"Nay.." Suara itu memulai pembicaraan, tapi seperti berat dan enggan berkata yang sebenarnya. Aku menghadapkan wajahku ke wajahnya yang menunduk, aku tau pasti dia akan berkata sesuatu yang menyakitkan. Aku menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya kembali perlahan. Skan juga menarik nafas dalam-dalam, dan mencoba menahan sesuatu karena ia menggigit bibir bawahnya terus-menerus.
Momen hening itu datang menghampiri lagi, aku melihat sekitar dan tak ada siapa pun di sana. Kemudian Skan menggenggam tanganku erat dan menundukkan kepalanya.
Ia menangis? Aku melihat Skan menangis dan menarik tanganku yang di genggamnya, tetapi tak terlepas karena Skan terus menerus menggenggamnya. Aku menundukkan kepalaku juga "Skan, apa yang mau kamu katakan, sampai seperti ini? Apa yang kau sembunyikan lagi dariku?"
Skan terdiam, tak bersuara. Ia kemudian menggelengkan kepalanya "aku tak menyembunyikan apa-apa lagi darimu, kau tau sesuatu tidak? Aku akan mengatakan yang sebenarnya sekarang"
Aku memasang wajah aneh 'kepo' orang bilang jaman sekarang.
"Nay.. Bisa datang besok tidak?"
Aku bertanya, pertanyaan apa itu.
Ia menggelengkan kepalanya, aku mengelak, dan memaksanya jawab.
"Nay aku.. Aku.. Sebenarnya mau menikah Nay.."
Kata-kata apa itu? Jawabannya tak benar kan? Sama sekali tidak benar kan?! Benturan kata-kata itu membuat hati dan kepalaku serasa mau hancur lebur. Aku terdiam dan menundukkan kepalaku, agar Skan tak melihat ekspresi wajahku yang hancur tak jelas. Skan memelukku erat. Aku medoronya hingga jatuh dari tempat ia duduk. Skan bangkit dan melihatku.
(Skan Skenario)
Aku terdorong olehnya hingga jatuh di atas pasir putih itu. Sepertinya ia tak akan datang saat acara itu, aku sudah mengira hal itu akan terjadi. Ekspresinya yang menundukan kepala dan mendorongku seakan tidak terima apa yang akan terjadi. Nayla, sahabatku yang paling kusayangi, harus sakit. Karenaku ia seperti ini, kenapa Tuhan mempertemukan kami lagi kalau akhirnya harus seperti reruntuhan puing-puing ingatan belaka.
Aku bangkit dan melihat wajahnya dan tubuhnya yang meringkuk. Aku naiki lagi batu itu dan memeluknya seerat mungkin, aku tak akan kalah dengannya.
Ia meringkukkan tubuhnya, ia menutup wajahnya dariku. Aku ini tidak peka! Aku mengakui diriku lambat, apa salah aku berkata 'akan menikah'? Sudah 5 tahun aku berpacaran dengan Sasha, tetapi ada kesan hilang dan kesepian setiap kali aku mengingat Nayla. Sahabat yang aku sakiti, sudah berkali-kali aku lukai hati kecilnya itu, mimpi akan dirinya selalu membuatku gila, rindu akan gaya dan tawanya yang bersinar itu.
Sasha memang cantik, tetapi. Kecantikan itu tak secantik hatinya, ia kuat sekali. Dalam argumen sering kali aku kalah dan tak ada keinginan untuk menyerah. Kalau ia salah, ia mengadu pada orang tuanya dan aku disalahkan akan kesalahan yang aku tidak buat.
Namun...
Nayla berbeda, sangat berbeda. Kecantikan bukan ahlinya dia. Ia ahli dalam kebaikan, ia pemaaf, meski aku salah. Ia tak akan ragu mengakui bahwa itu salahnya juga, kami sahabat! Teriaknya selalu ketika aku mengelak. Detik-detik terakhir yang akan aku gunakan padanya hari ini sepertinya tidak akan pernah ada. Sedihnya hatinya sudah terpantul di jendela hatiku, terlihat dirinya tersiksa oleh senyumnya yang manis kian pahit jika diartikan.
Nay kemudian mendorongku jauh lagi, sampai jatuh lagi di atas pasir itu. Aku melihatnya lagi dari bawah yang tubuhnya mulai bangkit berdiri di atas batu itu. Ia bangkit menghadap laut dan berteriak
"Aku tak mau kau hilang dari sampingku! Aku kecewa sekarang! Benar kecewa! Aku.. Aku mencintaimu Skan!!!!"
Teriakkannya membuatku benar-benar kaget. Ia berteriak lantang dan seperti tidak peduli pada sekitar, ia benar jujur. Aku tidak peka, mengapa sekarang aku tersadar baru sekarang! Aku dulu hanya suka pada Sasha, dan tak menyadari cintaku, hanya Nayla seorang!
Sahabatku Nayla, yang kukenal sejak SMP dulu. Ia tak mengenalku, tetapi aku mengenalnya dari temanku. Dulu kelas 3 SMP kami sekelas, hanya sebatas tau nama.
Hingga kelulusan SMP aku melihat dirinya tersenyum cemerlang, aku tau ia tak pintar, tetapi ia lulus dengan nilai baik. Aku melihatnya di atas podium itu terakhir, dan hilang.
SMA, kami bertemu lagi. Dan sekelas saat kelas 2. Wajahnya yang mulai berubah makin cantik, dan kebiasaan anehnya itu memasukan jawaban, makan di luar kelas dengan wajah aneh, dan mengerjakan tugas bersama semuanya!
Aku, aku, tak tau mau berkata apa lagi setelah tau pengakuannya.
Ia jatuh dan terduduk menangis, mau tak mau aku memghampirinya dari depan dan menggendongnya turun ke pasir yang sedikit basah dan lembab itu. Memeluknya lagi, tak mau aku lepaskan pelukan ini tetapi sepertinya harus aku kulepaskan, besok aku kembali ke Makasar, dan ia tak mungkin ikut denganku, Felita akan membenciku mungkin.
Tetapi aku tak peduli itu, aku hanya tak mau di benci oleh sahabatku ini, tetapi sepertinya tidak akan berjalan seperti yang aku ingini.
Nay, sahabatku yang paling aku sayangi selama ini, harus aku lepaskan. Tidak sembarang melepaskan saja, tetapi melepaskan dengan hati sakit, aku egois, egois, egois!!!
Tak rela dan tak ingin, aku meninggalkan dia sendirian di pantai ini dan dengan hati remuk, karna diriku..
(Back to Nayla)
Aku berteriak pengakuan ku, dan kulihat ke arah Skan yang berusaha menahan pelukannya setelah menurunkan tubuhku yang gontai dan lemas di atas pasir putih. Ku tahan air mataku, tetapi tak akan bisa ku tahan. Air mata tangisan sedih sudah berkali-kali tumpah di pundak Skan dan karna Skan. Aku menahan semua perasaanku hingga detik ini, akhirnya memang aku tersakiti, cinta antara sahabat memang tak pernah terjadi di antara kita..
Desiran angin pantai membawaku kembali ke mobilnya. Di dalam mobil terdiam kami berdua, tak ada suara apapun selain suara ac dan mesin kendaran.
Aku di antar sampai pintu kamarku, Aku meminta resepsionis meminjamkan kunci ke dua karena kunciku di dalam kamar dan Felita masih tertidur lelap jam segini.
Aku buka kamar dan masuk perlahan, langkahku terhenti. Skan berbisik pelan, dan ia berjumpa "aku katakan ini hanya sekali, aku ingin kau datang dan ikut denganku ke Makasar besok. Besok akan ku jemput di depan pintu ini dan aku akan mengajak Felia juga, kalau masalah tiket mudah kuurus, jadi, tolong datang akan ada sesuatu yang aku ingin katakan padamu"
Setelah berkata demikian, Skan meninggalkanku, dan membiarkanku sehari tanpanya..
Hari ini rencana akan pergi ke rumah keluarga Felita, tapi terbawa oleh suasana aneh. Kekosonganku akan seseorang itu muncul, tadi pagi, dirinya mengatakan hal itu..
Tak benar kan?
N. The Accident
Hari ini Skan menjemputku di hotel itu, aku datang sendirian di antar Felita dengan mobilnya. Ia tak ikut karena ada acara keluarga. Dengan tas koper dan sepatu fantovel warna putih aku berdiri.
Tiba-tiba taksi terhenti di depanku, keluarlah seseorang dengan jaket coklat dan kamera di kalungkan, Skan. Aku di suruh masuk sementara ia memasukkan koperku ke bagasi di belakang. "Nay, Felita tak ikut ya?" Tanyanya saat mobil itu berjalan. Aku menggelengkan kepalaku "ada acara keluarga dia"
Perjalanan sunyi itu menyelimuti keadaan sekarang. Sampai aku dan Skan bersiap boarding karena waktu sudah singkat, memang terkesan terburu-buru.
Awal ini memang singkat, deruku sedih dalam hati di pesawat. Skan yang terdiam, menundukkan kepalanya, seakan menyedihkan dan bersalah.
Sampai di Makasar, aku bertemu dengan perempuan itu. Perempuan yang aku kesali selama ini, tapi sekarang tak akan bisa ku cegat, sebab. Memang ia yang berhak mendapatkan cinta Skan, bukan diriku.
Dalam diam aku mengikuti merek berdua yang berbincang senang, lupa dengan keberadaanku..
(Skandar Skenario)
Melihat ke belakang sesekali, senyumannya yang aku ingin lihat tak ada. Saat ini di sampingku berdiri wanita egois yang ingin mendapatkan hatiku, Sasha. Sekian seperti aku membenci Sasha, tetapi tidak. Berkesan hanya biasa. Dalam detukan jantungku yang berdetak pelan, aku membayangkan pepatah siang hari itu yang ku baca dulu.
Ingat hari itu, aku bolos sekolah menjenguk sahabatku, Nayla. Aku duduk di atas karpet putihnya yang lembut itu dan bau kamarnya yang berbau boneka.
Bisakah dirimu menjawab isi kepalaku?
Bisakah dirimu menjawab balasan isi hatiku? Bisakah dirimu mendampingiku?
Bisakah dirimu mengatakan hal itu?
Dengan momen-momen ini, aku mengabadikannya dengan penuh perasaan
Pepatah itu, seperti terlihat jelas di wajah Nayla. Aku membacakannya dengan penuh semangat lewat ponselku hari itu, dan hari itu juga, aku jatuh sakit karena keegoisanku sendiri, tapi aku hiraukan itu.
- Bisakah dirimu menjawab isi kepalaku?
Pepatah pertama, aku gagal menjawab. Lambannya responku padanya, membuatku tersakiti dan ia juga
- Bisakah dirimu menjawab balasan isi hatiku?
Aku tak tau mau jawab apa, setelah mendengar pengakuanmu
- Bisakah dirimu mendampingiku?
Aku sudah mendampingimu, tetap bukan seperti yang kau inginkan, aku gagal lagi..
- Bisakah dirimu mengatakan hal itu?
Aku tak tau! Sudahalah! Aku lemah dalam masalah cinta, aku.. Aku...
- Degan momen-momen ini aku mengabadikannya dengan penuh perasaan
Aku sepertinya sudah lebih mengabadikannya. Aku gagal terus mengertimu, aku gagal meneruskan pepatah ini..
Maafkan sahabatmu.. Egoisnya diriku..
Sasha, wanita yang hari ini akan ku nikahi, sepertinya aku tak berkeinginan seperti itu. Sekarang terduduk dia dalam mobilku, mengarah ke rumahnya.
Kalian tau sekarang aku menjadi fotografer handal, banyak majalah yang mau mengambilku sebagai pegawainya. Tetapi hal itu belum aku beritahu Nayla, aku berat memberitahunya setelah kejadian kemarin pagi di pantai Surabaya itu.
Sesampai di rumah keluarga Sasha, aku terdiam.
(Back to Nayla)
Di rumah keluarga perempuan itu aku sampai. Skan dengan diam menarik lenganku dan menyuruhku masuk. Sasha dengan ramah menyapaku dan mempersilahkanku masuk, sesekali aku menaikan kepalaku melihat keadaan sekitar. Rumahnya yang besar, halamannya yang luas, dan keadaannya yang mewah membuatku tak bersemangat.
Skan pelan tersenyum menghadap wajah Sasha, cintanya itu.
"Sha, ada kebun tidak?" Tanyaku pelan, ia menunjuk ke arah halaman luas di sebelah kananku "itu La, kenapa? Kalau tanya kolam, ada di sebelah kirinya, belok maksudnya"
Aku mengikuti arahan dia dan meninggalkan dia bersama Skan. Aku melihat kolam dan ada jembatan kayu di atas melintasinya. Aku berdiri di atas jembatan itu sambil melihat bayangan masa lalu di pantulan air. Aku melihat seseorang melihat genangan ini bersama seseorang yang memegang payung. Keduanya tersenyum dan kemudian, ikan melewati air itu, hilang sudah kenangan itu.
Aku terduduk di jembatan itu dan menarik nafas dalam, aku akan kabur dari sini!
Walau sebenarnya aku hanya ingin kembali ke Jogja, menjalani kehidupan biasaku. Memang aku sekarang tinggal di Jogja bersama Felita dan keluarga Mei.
Aku bangkit dan segera berbalik. Melihat ke belakang, dan berdiri dia di sana. Dengan wajah sedikit terpaksa ia mendatangi diriku yang letih dan rapuh ini. "Nay.." Katanya pelan. Ia mengangkat tangannya dan menaruhnya di dadanya, kemudian ia bicara pelan. "Nayla, hari ini aku berjanji akan.." Terhenti, janji apa lagi yang kau akan patahkan Skan? Aku menggelengkan kepalaku dan menunduk kecewa. Skan sepertinya tak tinggal diam, ia menarik lenganku "aku sudah izin pada Sasha, aku mau terakhir kali melakukan hal ini padamu"
Kemudian ia menarikku ke mobilnya dan tancap gas.
Ia membuka kaca dan berada di atas pengunungan Makasar. Pemandangan panorama indah yang aku sedihi. Teringat banyak hal saat melihat panorama ini, kemudian ia memutar balik moblinya dan parkir di pasir putih.
Desiran angin siang laut, dan bunyi burung serta beberapa orang yang berjualan dan berjalan-jalan. Aku melihat ke arah laut dengan mata berkaca-kaca.
Skan yang pelan menggenggam tangaku
"Nay.. Maafkan aku.. Aku tau kamu tidak dapat memaafkan aku kali ini, aku sudah siap akan hal ini. Aku akan mengatakan ini sekali Nay.. Hanya sekali.. Dengar ya.."
Aku menunduk dan memalingkan wajahku darinya dan berharap sesuatu harapan palsu darinya.
"Nay, ingat pepatah lama itu tidak? Pepatah ini
Bisakah dirimu menjawab isi kepalaku?
Bisakah dirimu menjawab balasan isi hatiku? Bisakah dirimu mendampingiku?
Bisakah dirimu mengatakan hal itu?
Dengan momen-momen ini, aku mengabadikannya dengan penuh perasaan
Kalau diingat, momennya waktu itu indah ya, detik-detik pertama yang aku lakukan bersamamu..
Mau tau tidak rahasia? Kenapa tiba-tiba aku mau menjadi orang yang spesial di matamu? Ingat dulu SMP, kita satu sekolah loh, kamu pasti tidak sadar, tapi aku selalu memperhatikan gadis pendiam dan suka berakting serta bermodel macam gaya.
Kau tau anak aneh yang suka memotret di belakang taman waktu itu? Itu aku! Aneh sekali bukan.
Nayla.. Pepatah ini.. Aku katakan padamu jawaban satu,
Aku salah kan kalau mencintaimu?
Mungkin aku terlambat.. Memang sangat terlambat aku baru menyadarinya sekarang. Payah kan aku Nay? Teman-teman tak tau hal ini loh.. Hanya aku bekap dengan diriku dan hatiku.
Cinta pertamaku memang bukan kamu, namun..
Kau cinta terakhirku, aku tersangkut arus desiran keunikan khas wajahmu dan ukiran keindahan lekukan perasaan demi perasaan serta pengorbanan hingga nyawa dan sepenuh hati..
Nay, aku tau aku salah menyukai Sasha.
Sebenarnya hanya suka Sasha, bukan Cinta..
Cintaku..
Sebenarnya adalah dirimu, Nay"
Kata-kata apa itu?! Bohong kan?!
Aku mengangkat wajahku dan melihat ke arah matanya yang mulai berair. Ia melihat ke arahku dengan mata tertutup dan mulai menangis, ia terjatuh di tanah.
Aku melihat sekitar, di lihat banyak orang, tetapi aku dan dirinya tak mementingkan.
Aku memeluknya dan memeluknya tak ingin melepasnya selamanya.
Selepas kata itu, kami berdua balik ke rumah Sasha di atas bukit itu. Menjauh dari pantai tadi, siang yang benar-benar membuat kepala kosong. Aku menatap melihat ke depan, Skan juga.
Jalanan cukup ramai hari itu, dan kebetulan Skan buru-buru karena takut di khawatirkan.
Kecepatannya melebihi batas!
Skan banting setir saat di belokkan tajam!
Kami terbentur bahu jalan dan terpantul ke dinding toko dekat belokkan itu..
Mataku mulai memusing, melihat Skan di sampingku dengan keadaan parah dan kepala mengucur darah. Aku berusaha menggapainya, terdengar suara orang banyak yang berada dekat dengan kami, gapaianku terhenti dan aku pun menutup mata karena berat dan nafasku terasa berat tak kuat menahan beban..
Aku buka mataku, melihat ke keadaan sekitar. Lalu lalang ramai orang, aku lihat ke kanan dan ke kiri. Aku sama sekali tidak melihat Skan?!
Aku bangkit dari tempat tidurku di ruang UGD itu, tetapi beberapa perawat mencegahku. Namun aku mengelak, pasti Skan ada di sini! Aku rasa akan kehadirannya!
Begitu aku berjalan pelan, menyusuri ruang UGD yang terdapat banyak orang lalu lalang. Berhentilah di sebuah tempat yang tertutup horden. Tak ada orang yang berlalu-lalang disekitar situ banyak, ruangan tiu sepi. Aku melangkah pelan, membuka tirai horden biru langit itu, dan terbaringlah. Skan dengan perban dan beberapa plester di wajah dan tangannya. Aku pelan melangkah masuk, menutup horden yang ada. Dan menarik kursi, dan duduk di sampingnya.
Melihat ia disana, terbaring lemas, teringat waktu itu, saat ia sakit.
Aku pelan menggapai tangannya yang sedikit lecet itu, dan menggenggamnya pelan.
Aku membungkukkan wajahku sedikit ke arah jemarinya yang sedikit kaku.
"Skan, salahku kah kamu begini? Sampai Tuhan melakukan cobaan sesulit ini untukmu?"
Aku menunduk dan menggepalkan diriku. Ketika sedang berdiam, Sasha dengan tergesa-gesa masuk ke arah horden tertutup itu. Aku pun di singkirkan oleh kedua orang tuannya dan membiarkan Sasha duduk mengkhawatirkan Skan.
ku melihat di mata Sasha, kekhawatiran yang tidak setulus mata Skan padaku. Pandangan Sasha hanya biasa. Aku pun pelan melangkah keluar, dan memberikan mereka sebuah privasi. Aku duduk di kursi tunggu di luar ruang UGD. Terduduk termangu tak bernyawa, hanya sedikit diriku yang terlihat hidup. Sekarang aku terasa benar-benar menyesali hal sebelum itu, mencampakkannya dan memalingkan wajah saat ia berkata penting itu tadi. Tetapi aku sepertinya tidak terlalu menyesal karena ia sudah ada pendamping hidupnya yang baru ini.
Sepertinya pernikahannya di undur hingga Skan baikkan, hah.. Aku akan mencoba telefon jadwal pesawat ke Yogyakarta lagi.
Telefon yang tersambung mengatakan, kalau jadwal ke Yogyakarta untuk pesawat Garuda akan ada besok sore. Aku akan segera pulang dan melupakan Skan.. Selamanya.
Kecelakaan hari ini membawa kenangan sebutir kata pernyataan, menyedihkan kalau diingat memang. Tapi inilah kenyataan.
Sasha yang keluar bersama orang tuannya menghampiriku, Sasha dengan sedikit cemas. "La, bisa minta tolong jaga Skan tidak? Sampai besok sore?" Tanyanya.
Aku hampir saja menggeleng, tetapi melihat kondisi, lebih baik aku mengangguk walau sedikit terpaksa. Belum aku katakan pada Sasha, kalau besok aku akan pulang ke Yogya.
Langkah berat aku masuki, menemui Skan di tempat ia berbaring sekarang. Malam mulai larut, aku hampir tertidur. Tetapi aku mencoba tetap melihatnya, wajahnya yang sekarang lecet, aku tak memperdulikannya lagi. Aku hanya mengunakan waktu ini sebaik-baiknya, sebelum ia meninggalkan, lebih tepatnya aku meninggalkan dia di sini.
Ku peluk tangannya dan mulai menangis, aku menangis karena hatiku akan terpisahkan dengan miliknya. Aku tak sanggup melepas rantai ikatan kami selama ini. Aku mulai berkata-kata, mudah-mudahan yang di atas. Mendengar doaku
"Aku mohon, aku mohon. Hanya satu yang aku inginkan.. Bukalah matanya dan biarlah ia tersenyum untukku lagi.. Tuhan tolonglah"
Sambil melepas pelukan tanganku dari lengannya itu, aku menulis surat kecil. Aku selipkan di dekat gelas air putih di meja kananku. Berharap ia membacanya..
Mungkin tak terbaca, tapi tolong tersampaikan..
------#------
Pagi hari, aku membuka mata. Sinar matahari tersinar jelas di kaca jendela UGD. Sinar menyinari mataku, dan aku sedikit bangkit dari tidurku menuju posisi duduk. Aku melihat ke arah Skan, dan ia masih tertidur lelap. Aku mendekat, tiba-tiba.
Sasha datang tergesa-gesa lagi, sekali lagi menyingkirkan ku dari tempat ku duduk tadi. "La!!?? Gimana keadaannya?!!??" Tanya Sasha seperti cemas saja, padahal aku lebih cemas darinya, asal tau saja. Aku menggelengkan kepala "ia baik-baik saja. Namun belum ada tanda-tanda sadar" sahutku pelan.
Menjelang siang, aku pamit ke rumah Sasha dan membereskan barang. Di rumah besar iru sekarang hanya ada aku dan Mbo Dresti. Mbo Dresti adalah pembantu keluarga Sasha, ia sudah cukup lama dan berumur bekerja bersama mereka. Aku membereskan barang di bantu olehnya dan ia menyodorkan sebuah kotak lumayan besar.
"Mbo? Ini buat saya?"
Si Mbo, menganggguk "ia Non Nayla. Ini kotak, dari Mas Skandar. Dia itu sering banget cerita sama Mbo kalau lagi foto-foto di rumah. Dia suka cerita tenang Non Nayla lho ketimbang Non Sha. Mas Skandar itu, baik, ia sangat baik juga sama Mbo. Dia itu paling tidak suka memotret orang kecuali kalau kerja, ia juga tak pernah memotret Non Sha, dipaksa sekalipun ia tak lakukan"
Aku menggelengkan kepala, ternyata ia masih ingat denganku. Hingga ia seperti itu, aku terharu.
Ketika selesai beres-beres, aku ke rumah sakit, dan terakhir kali, mengatakan selamat tinggal, untuk Skan.
Kabar menyebar, Skan sadar!
Aku bergegas, tetapi ketika tempat itu di penuhi beberapa perawat dan dokter, aku melihat Sasha menangis. Skan memandang Sasha seperti orang tak dikenalnya. Aku menghampiri Skan dan memeluknya, dan tak memperdulikan siapapun melihat, namun..
"Siapa ya kamu?"
Pelan, sakit, tertusuk, hancur. Skan lupa ingatan? Aku menggelengkan kepala dan melihat Sasha memeluk diriku dari belakang. Aku benar-benar kecewa akan Tuhan, tapi aku sekarang bersyukur karena sudah memberikan Skan kesadaran, semoga saja ia benar-benar melupakanku, walau dengan cara ini, walau dengan sakit hati yang menyedihkan.
Aku mendorong Sasha dan berpamitan dengan Skan dan Sasha, serta orang tuanya.
"Kamu mau kemana La??" Aku menggelengkan "aku pulang, aku tak sanggup di sini lagi"
Sasha yang seperti tidak terima menarik tanganku "kamu tidak kasian terhadap Skan?!"
Aku tersenyum masam ke Sasha "dia sudah ada yang lebih baik daripada orang seperti aku, permisi" melepas tanganku Sasha memandang dengan wajah kaget.
Aku membalikkan tubuhku berjalan menjauh, meninggalkan Skan dalam kesendiriannya sekarang, aku berharap ia sembuh dan melupakanku.
Air mata hangat turun ke pipiku. Aku menangis seiring perjalan ke bandara dan naik pesawat juga. Melihat ke luar jendela, melihat langit yang aku pandang bersamanya, hingga detik kemarin, terakhir kali ia mengatakan "Nay, salahkan aku mencintaimu?"
O. Arrived Griefly.. Forgotten.. And Broken
Sudah beberapa minggu sejak aku tiba di Yogya lagi. Aku menjalankan karir sebagai model dengan penuh semangat. Walau aku tau ada hal yang lebih menyedihkan, namun aku sudah tak peduli lagi. Aku mengingat perjalanan beberapa minggu itu, sudah dekat dan tak terasa, ulang tahunku yang ke 24 tahun. Banyak Staff dan penggemarku yang akan merayakannya bersama. Sungguh momen indah, di sinilah aku bertemu dengan gadis yang kira-kira satu tahun lebih muda dariku, Sharon namanya.
"Salam kenal!" Jawabnya sambil menjabat tanganku. Aku hanya tersenyum gembira, sudah lama tak ada sentuhan hangat dari sahabatku.
Felita, sibuk dengan pekerjaannya sendiri
Sementara Dedy dan Mei entah kemana, tak ada kabar sepatah katapun. Ketika. Sentuhan sahabat mulai membangun diriku lagi, yang hancur berkeping-keping.
Sharon, ia bercita-cita menjadi asistenku dan sahabatku. Memang pantas untuknya, sebab ya.. Ia pas saja untuk kesedihanku.
Hancur beberapa minggu akan Skan, aku sedikit terobati, oleh Sharon.
Gadis periang yang berkali-kali membuat semua orang kewalahn tertawa hanya karenanya..
Tawa, senyum tulus, air mata hangat, kasih cinta lembut, ukiran, lekukkan, semuanya..
Sudah aku tak kenal lagi.
Mulai detik ini.
Hari pagi menjelang, buta sepertinya. Hari kalender tanggal 20 Desember, ulang tahun seseorang, sepertinya.
Sinar matahari belum muncul, ku lirik Felita masih tertidur dengan bantalnya. Ku sedikit terkikik melihat ia tidur begitu damai, dan aku sendiri menyadari hari spesial hari ini untukku. Aku masih berbau bangun tidur dengan memakai piyama aku keluar kamarku menuju ke taman, di sana lampu masih menyala, mungkin belum bangun karena memang hari ini hari libur.
Ke taman aku terhenti, melihat seseorang duduk di kursi taman, dengan menggenggam sesuatu di tangannya.
Sepertinya terpenuhi bagian depan tubuhnya oleh benda berbentuk kotak itu. Ia melirik ke arahku dengan wajah sedikit ceria. Ia kemudian bangkit dan memberikan kotak itu,
"La, ini dari Skandar. Tolong di terima, ia memberikannya seluruh untukmu, dia mengucapkan selamat ulang tahun untukmu. Hari ini, maksudku pagi tadi. Ia pergi keluar kota dan sudah izin akan pindah kuliah mulai semester depan. Tolong ya La, maafin dia"
Dedy memberikan kotak kamera SLR itu kepadaku, dan meninggalkanku terpaku dengan wajah terkejut terdiam. Skan? Pergi?
Aku berlari menghampiri Dedy dengan SLR itu di tangan dan membalikkan tubuhnya yang membungkuk karena sedih.
Wajah Dedy terkejut dan segera menegakkan tubuhnya dan melihat ke arahku,
"Ada apa? Apa yang kau ingin katakan?"
Aku pun menaruh kotak itu di atas rerumputan dan kembali berdiri menghadap Dedy.
"Skan, sudah pergi ya?"
Ia terkejut mendengar pertanyaanku yang aneh, mungkin pikirnya aku benar-benar membenci Skan, namun aku tidak sepenuhnya. Ia mengeluarkan telefonnya dan segera mengetik dan menelpon seseorang.
Setelah tersambung, ia memberikannya langsung padaku tanpa berkata apa-apa lagi.
"Ini telefon untuk menjawab pertanyaanmu"
Aku pun mengambil berat telefon itu dari tangan Dedy.
"H..h.a..a..ll..o?"
Suaraku tersedak entah mengapa, aku mendengar di sana sepi tak seperti biasanya.
Mungkin karena masih pagi, tapi jika benar ia pergi tak mungkin seperti ini.
"Iya, apa Nay?"
Suara itu, tidak mungkin perkiraanku benar, Skan berada di sebrang sana.
Aku terdiam sejenak dan segera menjawab panggilan itu
"Kau bodoh! Kenapa kau tinggalkan aku?!"
Aku berteriak marah di telefon itu, Dedy duduk di kursi taman dengan menelentangkan tubuhnya yang mulai melemas.
"Aku, aku, tak punya alasan lagi. Aku pergi karena kau akan melupakan aku, dan aku juga di panggil Sasha untuk bertemu orang tuanya di Makasar"
Oh, Sasha kah? Ternyata benar aku toleransi bukan di buat lebih baik, malah di buat terbuang. Aku terdiam sejenak, tau aku salah tingkah.
"Nay? Oh ya, selamat ulang tahun ya, maaf kali ini.."
Ku tekan tombol merah dan terjatuh ke tanah, Dedy mendengar itu dan ia langsung datang menghampiriku. Dengan wajah prihatin, ia membantuku berdiri dan memelukku erat. Ia mengetahui situasiku, ia juga mungkin mengerti hatiku sakit lagi.
Kemudian pintu ruang bawah terbuka, terlihat Mei keluar. Ia melihat kami di taman, dan dan ia segera menghampiri kami dan mengolok keras. "Dedy suka Nayla!" Berkali-kali.
Memang sedikit menghibur, tetapi aku kembali menatap kedua kakiku, melihat sandal yang ku pakai. Kemudian datang bayangan mendekat, Mei datang berjongkok melihat wajahku.
"Nayla, kamu tau kan maksud aku melihatmu begini?" Kata Mei pelan.
Aku menggelengkan kepalaku pelan, tenaga seakan tak ada lagi yang tersisa untuk berkata-kata, ataupun bergerak.
Aku sudah tau sepertinya hal ini akan terjadi, apa mungkin sampai menikah ya nanti?
Aku tidak tau, hanya yang di atas yang tau segala hal, kemudian aku berjongkok, membenamkan wajahku ke dalam kedua tanganku. Lama-lama mulai basah tanganku kebanjiran air mata yang tak tau hentinya kapan. Ketika itu juga Mei memelukku erat, dengan Dedy yang berdiri di sampingnya dan memalingkan wajah ke arah lain.
Aku menangis tak tertahankan, entah mengapa, untuk apa aku menangis untuk cinta buta tak tebalaskan ini?
L. Alone..
Beberapa tahun kemudian, aku lulus kuliah di Yogyakarta bersama Hans sebagai orang dari jurusan lain yang ku kenal. Aku melihat teman-teman di bagikan hasil kelulusan dengan wajah gemilang, aku sendiri hanya tersenyum buta, tak ada rasa menyenangkan di 5 tahun terakhir kuliah. Aku masuk berdua, lulus sendirian. Aku melihat langit juga setelah keluar dari ruang diorama besar di kampus itu, kulihat langit lekat-lekat seakan sesuatu yang ku lihat itu melekuk.
Hembusan angin kencang menyertakanku ke taman di belakang kampus, tempat yang biasa aku makan siang dulu bersamanya. Sesaat aku tersenyum di tengah bayang-bayang masa lalu itu, tetapi muram karena kejadian itu.
5 tahun lalu, suram menyelimutiku, sebelum semester 1 berakhir, ia meninggalkanku sendirian karena kekasih barunya itu, dan tanggal ulang tahunku sebagai hasil buruk kejadian itu. Aku membungkuk dan mencoba tenang, ketika itu Felita datang menghampiriku.
Kalian taukah? Felita sudah lulus dan memilih mengajar disini hingga mendapat pekerjaan lebih lanjut, ia senang mengajar dan juga ia sangat pintar sehingga ia mudah di terima di kempus mana saja.
"De, ayo kita pergi. Ada tempat yang cocok untuk memulai karirmu sebagai model"
Felita membantuku berdiri dan menggandeng tangaku hingga aku berjalan menuju mobil yang ia bawa, di sana hanya aku dan dia naik mobil. Kalian tau? Mei dan Dedy pindah tempat kost, entah karen apa, jadi hanya aku dan Felita yang tersisa hingga 5 tahun terakhir ini. Ia mengajakku ke sebuah perusaahan majalah, dan majalah itu cukup terkenal. Felita mengajakku untuk bertemu agent yang kebetulan adalah temannya, Felita memiliki banyak teman luar yang sukses, sehingga kebanyakan aktifitas dapat ia bantu dengan bantuan teman-temannya.
Aku di daftarkan sebagai model di sana, audisi harus aku ikuti. Banyak hal dan prosedur yang harus aku lakukan sebagai model. Aku menatap keluar, melihat lensa kamera kosong. Aku berekpresi sekuat tenaga, walau aku lulus audisi namun diriku tak lulus dari audisi itu, mengertikan maksudku?
Dilema selama 5 tahun terakhir membuat diriku suram dan tak berperasaan. Hampir hari-hariku di penuhi kesuraman dan senyum palsu di wajah. Setiap hari-hariku terasa diam dan suram, aku terasa seakan banyak hal yang terbentur-bentur di kepalaku. Seakan aku mendapat serangan batin, tetapi sepertinya tidak.
Bukan sedang terserang, tapi penyakit ini memang sudah lama aku derita. Skan, kabarmu 5 tahun terakhir, memang tak kudengar, hanya terakhir kudengar suara lembut rintihmu, pagi subuh itu. Telefon kumatikan paksa, tak terasa itu sudah lama dan menyakitkan sekali ketika aku mengingatnya.
Lamunanku! Memakan waktu banyak, Felita dan temannya mengajakku makan siang, aku makan seperti orang biasa saja, ketika itu Felita mengajakku berbicara.
"De, ikut aku ke kamar mandi sebentar yuk"
Aku pun hanya mengangguk lemas, apa yang akan Felita katakan padaku?
Aku melihat kaca kamar mandi itu yang bening, dan terpantul bayanganku dan Felita yang sedang memperbaiki riasan wajahnya.
Aku menengok ke arah Felita, dan ia memulai pembicaraan
"Kenapa, De?"
Pertanyaan? Bukannya aku yang harusnya bertanya? Aku memalingkan wajah perlahan dan terdiam tak menjawab satu patah katapun.
"Kamu kenapa? Jawablah"
Aku tetap terdiam, dan mengepalkan tangaku di atas wastafel berkeramik putih itu.
"Kamu kenapa?! Jawablah sekarang pertanyaanku! Masa harus aku paksa kamu?"
Felita memegang kedua bahuku sedikit keras, mau tak mau aku jawab.
"Fel, maafkan aku. Aku tak tau! Skan! Skan kembali terus di ingatanku! Ia tak bisa hilang!"
Kemudian Felita memalingkan sedikit wajahnya dan menatapku lagi dengan mata yang bersinar karena tangis. Aku menatap wajah Felita dengan pelan kemudian menutup mataku, air mata hangat keluat dari mataku, sudah lama aku tak menangis karena Skan lagi, aku kesepian tanpa Skan di sampingku.
Setelah itu, Felita kembali mengajakku keluar. Dan meninggalkan temannya, dan meminta hasil konfirmasi model itu beberapa minggu lagi. Felita menaiki mobilnya dan kami pergi ke kostan, Felita memintaku untuk mengepak tasku dan paspor?
Mengapa kepergian tidak di ketahui secara tiba-tiba setelah kelulusan ini?
Mobilnya ia parkirkan di kostan dan memanggil taksi ke bandara Yogyakarta, Adi Sucipto.
Aku memandang keluar jendela bandara dengan tas koperku. Sudah 5 tahun terakhir kali aku berdiri di sini, berdua dengan seseorang memegang kamera hitam dan memotretku yang sedang berkali-kali menutupi dengan kamera digitalku itu.
Sekarang bersama Felita pergi ke suatu tempat, wajahku tak memandang tujuan pesawat itu, hanya memdengarnya dan tak memperdulikannya sedikitpun. Pesawat sedikit lama, melihat keluar jendela pesawat seakan mati.
Sampai di tujuan, masih saja aku tidak memeperhatikan keberadaanku sekarang.
M. I thought that I was right..
Bandara pengumuman berdenting-denting di telingaku. Melihat sekitar menyadari aku berada di bandara asing, kemudian Felita menarikku dengan tangannya, pelan kami dekati taksi. Kami naik dan dan aku memang terdiam. Sampai di hotel, baru aku sadari saat meninggalkan tasku di dekat Felita yang sedang mengatur penginapan kami, aku pergi ke kolam renang, dan melihat seseorang sedang berjongkok di sana.
Memegang kamera SLR hitam dengan tali yang mengalungkan di lehernya. Hanya dari kejauhan aku melihat itu, dan wajahnya tak terlihat, hanya dari belakang aku melihatnya, terpaku lama berdiri, Felita kemudian menarik tanganku.
"De! Kamar kita ay.."
Felita terhenti, melihat seseorang berdiri di sana. Kemudian ia melepaskan genggaman tangku dan berlari kesana, menghampiri seseorang yang asik bermain kamera itu.
Merek berbincang sebentar, dan kemudian Felita memasang wajah senang berair mata. Ia masih membelakangiku dan kemudian menarik nafas dan membalikkan tubuhnya ke arahku.
Aku membuka wajah lebar, ia melihatku terkejut, dan matanya sedikit berair. Ia berlari lalu memelukku erat, membisikan kata-kata,
"Nay, masih kah kau ingat aku?"
Oh air mata tak karuan turun dari mataku, Apakah dari sini bisa aku sampaikan yang sebenarnya?
Penyesalan hingga 5 tahun terakhir benar-benar memakanku hidup-hidup. Sekarang, orang yang benar-benar kusesali ada di depanku, memeluku erat seakan tak lama bertemu. Air matanya juga turun seiring nafasnya yang sedikit tersendat, aku pun juga membalas pelukkannya yang erat.
"Nay kamu masih ingat? Atau sudah lupa? Aku melarikan diri mencoba melupakan dirimu! Tetapi, sepertinya aku tak bisa"
Ia berkata dengan mata masih berair mata, aku tak tau harus menjawab apa.
Aku menggeleng sambil tersenyum, lalu aku memeluknya dengan erat lagi. Benar-benar aku merindukan punggung tegak, yang 5 tahun aku rindukan.
Felita di sampingku tertawa terkikik, ada sesuatu yang ia rindukan juga. Skan dan aku menatap Felita yang mulai mengeluarkan kamera SLR yang 5 tahun lalu Skan berikan padaku. Dan memberikan kepadaku benda itu, ia melambaikan tangan dan memberi sinyal kalau sudah ke lantai 5 hotel itu.
"Nay, kamu udah.."
Aku menyendat mulutnya dengan senyuman bersinar, dan mengangguk. Aku tau apa yang ia ingin katakan, aku sudah memafaakannya lama, dan aku akan menyesal jika tidak memaafkannya.
Membungkuk kemudian, aku mengeker dan memusatkan pada sebuah pohon dekat kolam. Skan datang di dekat ku, ikut berbungkuk dan memberikanku arahan. Lama sekali kami tidak berdua seperti ini, tertawa, tersenyum, sedikit ceroboh.
Ketika asik mengutak-atik kameraku, aku menutup mataku, ada pertanyaan yang muncul di kepalaku.
"Skan, dimana Sasha?"
Pertanyaan itu memberhentikan nafas Skan sejenak. Ia memberhentikan aktifitas yang ia lakukan dan berdiri memalingkan wajah dariku sambil memegangi kepalanya. Aku pun menghampiri Skan sambil memasang wajah 'mengapa?'
Ia tersenyum tipis dan menggelengkan kepalanya kepadaku. Aku tau ada sesuatu yang tak beres di sini, Sasha? Mengapa ia tak terlihat?
Aku terus memasang wajah curiga pada Skan yang memalingkan wajah dariku. Sampai akhirnya ia membawaku duduk di kursi santai di dekat kolam renang itu, ia berjongkok dan memasang senyum.
Aku sedikit tertawa dan aneh melihat Skan yang tiba-tiba menyuruhku seperti itu, kemudian ia mengeluarkan SLR ku dan memintanya memotretku di papan larangan kolam.
Aku tak bisa berhenti menahan tawa, pose yang di coba Skan bermacam-macam, dan berusaha tampil seaneh mungkin.
Aku pun memberinya sinyal memasukan kedua tangannya kedalam kantung. Dan tersenyum lebar berseri seperti iklan pepsoden. Ketika itu aku memotretnya dan tertawa tak henti melihat gambarnya.
Skan tersenyum dan giliran aku di suruhnya menggeser duduku, dan ia duduk di sebelahku dengan wajah senyum tipis. Sambil mengambil kamera SLRku ia pun membuatku bersandar pada pundaknya dan 'Ckrik' bunyi kamera itu.
Lihat di layar kecil itu, melihat fotonya yang aneh dan foto kami berdua, melihatnya saja seperti dulu.
Felita datang turun, dan berkata akan menjemputku ke kamar, tetapi Skan mencegah tanganku. Felita dengan senyum sedikit licik membiarkan kami pergi, entah kemana Skan mengajakku.
Ternyata ia mengajakku keliling sekitar monumen Surabaya, banyak tempat-tempat bersejarah yang kami kunjungin hari itu.
Hingga malam menjelang, Skan mengantarku ke hotel. Wajahnya yang tersenyum hangat seakan aku adalah orang terpenting di hidupnya, memang keinginan membayangkan diri sendiri itu buruk, tetapi mau tak mau tak bisa kuhindari fakta gila dalam diri seseorang.
Skan mengulurkan tangannya, membukanya dan adalah sebuah kotak kecil, dan berpesan agar membukannya besok, dan ia memberikan alamat, sepertinya rumahnya agar datang besok. Tak sabar aku bermain ke rumahnya, walau bukan rumah aslinya dulu di Jakarta, dan tentu ia tak melupakan pesan 'kelulusan' ia menyampaikannya dengan foto-foto aneh.
Seharian ini, entah aku berasa bisa janggal. Felita yang asiknya mengganti saluran televisi pun mengalihkan perhatiannya kepadaku yang termenung aneh depan televisi.
"Kau mengapa? Tidak senang ku ajak ke kampungku?"
Felita mengagetkanku di tengah-tengah termenunganku. "Tidak, Surabaya adalah tempat yang indah. Tetapi, ada sesuatu yang aku janggalkan, mengapa aku bisa bertemu Skan di sini, ini takdir atau hanya kebetulan? Dia tak mungkin di sini, dia kan harusnya bersama Sasha sekarang di Makasar"
Pertanyaan banyak di kepalaku, terlalu banyak malah. Kepalaku serasa mau pecah tau semua pertanyaan yang ingin aku tanyakan itu. Felita mematikan televisi, dan duduk mendekatiku. "Kenapa kau begitu bimbang dan sedih, kamu sudah besar untuk mengetahui sesuatu yang terjadi. Walau orang bisa menutupi itu, pasti kau akan tau. Bertemu Skan percayalah bukan kebetulan, sudah lama sekali aku tak melihat kalian berdua sebahagia tadi di kolam renang, pergi keliling kota, alun-alun, foto bersama"
Aku menggelengkan semua perkataan Felita dan memejamkan mata, ku raih telefonku, liat di sana tertera unknown number.
Ku buka,
From : +6281245451900
To : +6285813243547
Malam, aku ganti nomer. Nih tolong save ya.
SkD
Nomer, ini? Dengan tanda tangan di bawahnya, tak salah lagi!
Felita tersenyum aneh ketika pesan itu masuk di telefonku. Aku segera membalasnya pesan sangat panjang, mungkin akan menghabiskan lumayan banyak untuk sekali kirim.
Kutulis pesan ini
To : Skandar
From : Nayla
Hehe, sudah kusimpan.
Skan, ada yang ingin aku tanyakan padamu,
Sasha? Bagaimana dengannya? Ya jelaskan selama 5 tahun hubungan kalian? Aduh aku pengen tau banget ya?
Oh ya, apa kamu menyembunyikan sesuatu dariku?
Setelah di kirim, entah lama sekali. Sampai larut malam belum di balas, ketika jam menunjuk jam 12, Felita tertidur sudah.
Ketukan pintu kamar hotel membangunkanku dari lamunan tungguku.
Entah siapa yang mengetuk, aku tak berani membuka, ku langkahkan kakiku perlahan, aku membuka pintuku dan...
Skan berdiri di sana dengan jaket coklat, dan sekantung plastik. Aku melihat keadaannya dari atas sampai bawah ujung kaki, yang hanya berlapis sandal jepit itu terlihat jemari kakinya yang kedinginan di pagi subuh ini.
Skan kemudian menarik tanganku dan mengeluarkan tubuhku yang masih terbungkus piyama itu.
Kemudian memintaku menyelipkan kunci kamar dan meninggalkan Felita sendirian.
Dengan hanya sandal hotel dan piyama masih terkena di tubuhku, Skan menarikku ke dalam mobilnya dan mengendarai kendaraan itu dengan cepat, sambil membuka kaca.
Hembusan angin pagi di sertai jalanan yang sepi, membuatnya menjadi indah.
Ku hadapkan wajahku ke arah Skan yang sedang menyetir begitu saja pendangannya melihat lurus ke depan jalan.
Walau masih gelap malam, Skan tetapi sigat menyetir. Aku memulai pembicaraan "mengapa kamu datang menjemputku subuh begini?"
Ia hanya diam, kulihat ia menggigit bibir bagian bawahnya hingga darah terlihat, ia menahan sesuatu?
"Eh.. Mau ngajak kamu aja Nay, ke sebuah tempat" aku menggelengkan kepalaku tak tau lagi apa lagi yang ingin aku katakan padanya.
Saat itu laut berdesir, angin membunyikan rerumput di pasir putih itu. Bau asin segera menyeramg hidungku. Kesunyian di sertai bunyi jangkrik yang ramai. Aku dan Skan terdiam sambil duduk di batu dekat bibir pantai.
"Nay.." Suara itu memulai pembicaraan, tapi seperti berat dan enggan berkata yang sebenarnya. Aku menghadapkan wajahku ke wajahnya yang menunduk, aku tau pasti dia akan berkata sesuatu yang menyakitkan. Aku menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya kembali perlahan. Skan juga menarik nafas dalam-dalam, dan mencoba menahan sesuatu karena ia menggigit bibir bawahnya terus-menerus.
Momen hening itu datang menghampiri lagi, aku melihat sekitar dan tak ada siapa pun di sana. Kemudian Skan menggenggam tanganku erat dan menundukkan kepalanya.
Ia menangis? Aku melihat Skan menangis dan menarik tanganku yang di genggamnya, tetapi tak terlepas karena Skan terus menerus menggenggamnya. Aku menundukkan kepalaku juga "Skan, apa yang mau kamu katakan, sampai seperti ini? Apa yang kau sembunyikan lagi dariku?"
Skan terdiam, tak bersuara. Ia kemudian menggelengkan kepalanya "aku tak menyembunyikan apa-apa lagi darimu, kau tau sesuatu tidak? Aku akan mengatakan yang sebenarnya sekarang"
Aku memasang wajah aneh 'kepo' orang bilang jaman sekarang.
"Nay.. Bisa datang besok tidak?"
Aku bertanya, pertanyaan apa itu.
Ia menggelengkan kepalanya, aku mengelak, dan memaksanya jawab.
"Nay aku.. Aku.. Sebenarnya mau menikah Nay.."
Kata-kata apa itu? Jawabannya tak benar kan? Sama sekali tidak benar kan?! Benturan kata-kata itu membuat hati dan kepalaku serasa mau hancur lebur. Aku terdiam dan menundukkan kepalaku, agar Skan tak melihat ekspresi wajahku yang hancur tak jelas. Skan memelukku erat. Aku medoronya hingga jatuh dari tempat ia duduk. Skan bangkit dan melihatku.
(Skan Skenario)
Aku terdorong olehnya hingga jatuh di atas pasir putih itu. Sepertinya ia tak akan datang saat acara itu, aku sudah mengira hal itu akan terjadi. Ekspresinya yang menundukan kepala dan mendorongku seakan tidak terima apa yang akan terjadi. Nayla, sahabatku yang paling kusayangi, harus sakit. Karenaku ia seperti ini, kenapa Tuhan mempertemukan kami lagi kalau akhirnya harus seperti reruntuhan puing-puing ingatan belaka.
Aku bangkit dan melihat wajahnya dan tubuhnya yang meringkuk. Aku naiki lagi batu itu dan memeluknya seerat mungkin, aku tak akan kalah dengannya.
Ia meringkukkan tubuhnya, ia menutup wajahnya dariku. Aku ini tidak peka! Aku mengakui diriku lambat, apa salah aku berkata 'akan menikah'? Sudah 5 tahun aku berpacaran dengan Sasha, tetapi ada kesan hilang dan kesepian setiap kali aku mengingat Nayla. Sahabat yang aku sakiti, sudah berkali-kali aku lukai hati kecilnya itu, mimpi akan dirinya selalu membuatku gila, rindu akan gaya dan tawanya yang bersinar itu.
Sasha memang cantik, tetapi. Kecantikan itu tak secantik hatinya, ia kuat sekali. Dalam argumen sering kali aku kalah dan tak ada keinginan untuk menyerah. Kalau ia salah, ia mengadu pada orang tuanya dan aku disalahkan akan kesalahan yang aku tidak buat.
Namun...
Nayla berbeda, sangat berbeda. Kecantikan bukan ahlinya dia. Ia ahli dalam kebaikan, ia pemaaf, meski aku salah. Ia tak akan ragu mengakui bahwa itu salahnya juga, kami sahabat! Teriaknya selalu ketika aku mengelak. Detik-detik terakhir yang akan aku gunakan padanya hari ini sepertinya tidak akan pernah ada. Sedihnya hatinya sudah terpantul di jendela hatiku, terlihat dirinya tersiksa oleh senyumnya yang manis kian pahit jika diartikan.
Nay kemudian mendorongku jauh lagi, sampai jatuh lagi di atas pasir itu. Aku melihatnya lagi dari bawah yang tubuhnya mulai bangkit berdiri di atas batu itu. Ia bangkit menghadap laut dan berteriak
"Aku tak mau kau hilang dari sampingku! Aku kecewa sekarang! Benar kecewa! Aku.. Aku mencintaimu Skan!!!!"
Teriakkannya membuatku benar-benar kaget. Ia berteriak lantang dan seperti tidak peduli pada sekitar, ia benar jujur. Aku tidak peka, mengapa sekarang aku tersadar baru sekarang! Aku dulu hanya suka pada Sasha, dan tak menyadari cintaku, hanya Nayla seorang!
Sahabatku Nayla, yang kukenal sejak SMP dulu. Ia tak mengenalku, tetapi aku mengenalnya dari temanku. Dulu kelas 3 SMP kami sekelas, hanya sebatas tau nama.
Hingga kelulusan SMP aku melihat dirinya tersenyum cemerlang, aku tau ia tak pintar, tetapi ia lulus dengan nilai baik. Aku melihatnya di atas podium itu terakhir, dan hilang.
SMA, kami bertemu lagi. Dan sekelas saat kelas 2. Wajahnya yang mulai berubah makin cantik, dan kebiasaan anehnya itu memasukan jawaban, makan di luar kelas dengan wajah aneh, dan mengerjakan tugas bersama semuanya!
Aku, aku, tak tau mau berkata apa lagi setelah tau pengakuannya.
Ia jatuh dan terduduk menangis, mau tak mau aku memghampirinya dari depan dan menggendongnya turun ke pasir yang sedikit basah dan lembab itu. Memeluknya lagi, tak mau aku lepaskan pelukan ini tetapi sepertinya harus aku kulepaskan, besok aku kembali ke Makasar, dan ia tak mungkin ikut denganku, Felita akan membenciku mungkin.
Tetapi aku tak peduli itu, aku hanya tak mau di benci oleh sahabatku ini, tetapi sepertinya tidak akan berjalan seperti yang aku ingini.
Nay, sahabatku yang paling aku sayangi selama ini, harus aku lepaskan. Tidak sembarang melepaskan saja, tetapi melepaskan dengan hati sakit, aku egois, egois, egois!!!
Tak rela dan tak ingin, aku meninggalkan dia sendirian di pantai ini dan dengan hati remuk, karna diriku..
(Back to Nayla)
Aku berteriak pengakuan ku, dan kulihat ke arah Skan yang berusaha menahan pelukannya setelah menurunkan tubuhku yang gontai dan lemas di atas pasir putih. Ku tahan air mataku, tetapi tak akan bisa ku tahan. Air mata tangisan sedih sudah berkali-kali tumpah di pundak Skan dan karna Skan. Aku menahan semua perasaanku hingga detik ini, akhirnya memang aku tersakiti, cinta antara sahabat memang tak pernah terjadi di antara kita..
Desiran angin pantai membawaku kembali ke mobilnya. Di dalam mobil terdiam kami berdua, tak ada suara apapun selain suara ac dan mesin kendaran.
Aku di antar sampai pintu kamarku, Aku meminta resepsionis meminjamkan kunci ke dua karena kunciku di dalam kamar dan Felita masih tertidur lelap jam segini.
Aku buka kamar dan masuk perlahan, langkahku terhenti. Skan berbisik pelan, dan ia berjumpa "aku katakan ini hanya sekali, aku ingin kau datang dan ikut denganku ke Makasar besok. Besok akan ku jemput di depan pintu ini dan aku akan mengajak Felia juga, kalau masalah tiket mudah kuurus, jadi, tolong datang akan ada sesuatu yang aku ingin katakan padamu"
Setelah berkata demikian, Skan meninggalkanku, dan membiarkanku sehari tanpanya..
Hari ini rencana akan pergi ke rumah keluarga Felita, tapi terbawa oleh suasana aneh. Kekosonganku akan seseorang itu muncul, tadi pagi, dirinya mengatakan hal itu..
Tak benar kan?
N. The Accident
Hari ini Skan menjemputku di hotel itu, aku datang sendirian di antar Felita dengan mobilnya. Ia tak ikut karena ada acara keluarga. Dengan tas koper dan sepatu fantovel warna putih aku berdiri.
Tiba-tiba taksi terhenti di depanku, keluarlah seseorang dengan jaket coklat dan kamera di kalungkan, Skan. Aku di suruh masuk sementara ia memasukkan koperku ke bagasi di belakang. "Nay, Felita tak ikut ya?" Tanyanya saat mobil itu berjalan. Aku menggelengkan kepalaku "ada acara keluarga dia"
Perjalanan sunyi itu menyelimuti keadaan sekarang. Sampai aku dan Skan bersiap boarding karena waktu sudah singkat, memang terkesan terburu-buru.
Awal ini memang singkat, deruku sedih dalam hati di pesawat. Skan yang terdiam, menundukkan kepalanya, seakan menyedihkan dan bersalah.
Sampai di Makasar, aku bertemu dengan perempuan itu. Perempuan yang aku kesali selama ini, tapi sekarang tak akan bisa ku cegat, sebab. Memang ia yang berhak mendapatkan cinta Skan, bukan diriku.
Dalam diam aku mengikuti merek berdua yang berbincang senang, lupa dengan keberadaanku..
(Skandar Skenario)
Melihat ke belakang sesekali, senyumannya yang aku ingin lihat tak ada. Saat ini di sampingku berdiri wanita egois yang ingin mendapatkan hatiku, Sasha. Sekian seperti aku membenci Sasha, tetapi tidak. Berkesan hanya biasa. Dalam detukan jantungku yang berdetak pelan, aku membayangkan pepatah siang hari itu yang ku baca dulu.
Ingat hari itu, aku bolos sekolah menjenguk sahabatku, Nayla. Aku duduk di atas karpet putihnya yang lembut itu dan bau kamarnya yang berbau boneka.
Bisakah dirimu menjawab isi kepalaku?
Bisakah dirimu menjawab balasan isi hatiku? Bisakah dirimu mendampingiku?
Bisakah dirimu mengatakan hal itu?
Dengan momen-momen ini, aku mengabadikannya dengan penuh perasaan
Pepatah itu, seperti terlihat jelas di wajah Nayla. Aku membacakannya dengan penuh semangat lewat ponselku hari itu, dan hari itu juga, aku jatuh sakit karena keegoisanku sendiri, tapi aku hiraukan itu.
- Bisakah dirimu menjawab isi kepalaku?
Pepatah pertama, aku gagal menjawab. Lambannya responku padanya, membuatku tersakiti dan ia juga
- Bisakah dirimu menjawab balasan isi hatiku?
Aku tak tau mau jawab apa, setelah mendengar pengakuanmu
- Bisakah dirimu mendampingiku?
Aku sudah mendampingimu, tetap bukan seperti yang kau inginkan, aku gagal lagi..
- Bisakah dirimu mengatakan hal itu?
Aku tak tau! Sudahalah! Aku lemah dalam masalah cinta, aku.. Aku...
- Degan momen-momen ini aku mengabadikannya dengan penuh perasaan
Aku sepertinya sudah lebih mengabadikannya. Aku gagal terus mengertimu, aku gagal meneruskan pepatah ini..
Maafkan sahabatmu.. Egoisnya diriku..
Sasha, wanita yang hari ini akan ku nikahi, sepertinya aku tak berkeinginan seperti itu. Sekarang terduduk dia dalam mobilku, mengarah ke rumahnya.
Kalian tau sekarang aku menjadi fotografer handal, banyak majalah yang mau mengambilku sebagai pegawainya. Tetapi hal itu belum aku beritahu Nayla, aku berat memberitahunya setelah kejadian kemarin pagi di pantai Surabaya itu.
Sesampai di rumah keluarga Sasha, aku terdiam.
(Back to Nayla)
Di rumah keluarga perempuan itu aku sampai. Skan dengan diam menarik lenganku dan menyuruhku masuk. Sasha dengan ramah menyapaku dan mempersilahkanku masuk, sesekali aku menaikan kepalaku melihat keadaan sekitar. Rumahnya yang besar, halamannya yang luas, dan keadaannya yang mewah membuatku tak bersemangat.
Skan pelan tersenyum menghadap wajah Sasha, cintanya itu.
"Sha, ada kebun tidak?" Tanyaku pelan, ia menunjuk ke arah halaman luas di sebelah kananku "itu La, kenapa? Kalau tanya kolam, ada di sebelah kirinya, belok maksudnya"
Aku mengikuti arahan dia dan meninggalkan dia bersama Skan. Aku melihat kolam dan ada jembatan kayu di atas melintasinya. Aku berdiri di atas jembatan itu sambil melihat bayangan masa lalu di pantulan air. Aku melihat seseorang melihat genangan ini bersama seseorang yang memegang payung. Keduanya tersenyum dan kemudian, ikan melewati air itu, hilang sudah kenangan itu.
Aku terduduk di jembatan itu dan menarik nafas dalam, aku akan kabur dari sini!
Walau sebenarnya aku hanya ingin kembali ke Jogja, menjalani kehidupan biasaku. Memang aku sekarang tinggal di Jogja bersama Felita dan keluarga Mei.
Aku bangkit dan segera berbalik. Melihat ke belakang, dan berdiri dia di sana. Dengan wajah sedikit terpaksa ia mendatangi diriku yang letih dan rapuh ini. "Nay.." Katanya pelan. Ia mengangkat tangannya dan menaruhnya di dadanya, kemudian ia bicara pelan. "Nayla, hari ini aku berjanji akan.." Terhenti, janji apa lagi yang kau akan patahkan Skan? Aku menggelengkan kepalaku dan menunduk kecewa. Skan sepertinya tak tinggal diam, ia menarik lenganku "aku sudah izin pada Sasha, aku mau terakhir kali melakukan hal ini padamu"
Kemudian ia menarikku ke mobilnya dan tancap gas.
Ia membuka kaca dan berada di atas pengunungan Makasar. Pemandangan panorama indah yang aku sedihi. Teringat banyak hal saat melihat panorama ini, kemudian ia memutar balik moblinya dan parkir di pasir putih.
Desiran angin siang laut, dan bunyi burung serta beberapa orang yang berjualan dan berjalan-jalan. Aku melihat ke arah laut dengan mata berkaca-kaca.
Skan yang pelan menggenggam tangaku
"Nay.. Maafkan aku.. Aku tau kamu tidak dapat memaafkan aku kali ini, aku sudah siap akan hal ini. Aku akan mengatakan ini sekali Nay.. Hanya sekali.. Dengar ya.."
Aku menunduk dan memalingkan wajahku darinya dan berharap sesuatu harapan palsu darinya.
"Nay, ingat pepatah lama itu tidak? Pepatah ini
Bisakah dirimu menjawab isi kepalaku?
Bisakah dirimu menjawab balasan isi hatiku? Bisakah dirimu mendampingiku?
Bisakah dirimu mengatakan hal itu?
Dengan momen-momen ini, aku mengabadikannya dengan penuh perasaan
Kalau diingat, momennya waktu itu indah ya, detik-detik pertama yang aku lakukan bersamamu..
Mau tau tidak rahasia? Kenapa tiba-tiba aku mau menjadi orang yang spesial di matamu? Ingat dulu SMP, kita satu sekolah loh, kamu pasti tidak sadar, tapi aku selalu memperhatikan gadis pendiam dan suka berakting serta bermodel macam gaya.
Kau tau anak aneh yang suka memotret di belakang taman waktu itu? Itu aku! Aneh sekali bukan.
Nayla.. Pepatah ini.. Aku katakan padamu jawaban satu,
Aku salah kan kalau mencintaimu?
Mungkin aku terlambat.. Memang sangat terlambat aku baru menyadarinya sekarang. Payah kan aku Nay? Teman-teman tak tau hal ini loh.. Hanya aku bekap dengan diriku dan hatiku.
Cinta pertamaku memang bukan kamu, namun..
Kau cinta terakhirku, aku tersangkut arus desiran keunikan khas wajahmu dan ukiran keindahan lekukan perasaan demi perasaan serta pengorbanan hingga nyawa dan sepenuh hati..
Nay, aku tau aku salah menyukai Sasha.
Sebenarnya hanya suka Sasha, bukan Cinta..
Cintaku..
Sebenarnya adalah dirimu, Nay"
Kata-kata apa itu?! Bohong kan?!
Aku mengangkat wajahku dan melihat ke arah matanya yang mulai berair. Ia melihat ke arahku dengan mata tertutup dan mulai menangis, ia terjatuh di tanah.
Aku melihat sekitar, di lihat banyak orang, tetapi aku dan dirinya tak mementingkan.
Aku memeluknya dan memeluknya tak ingin melepasnya selamanya.
Selepas kata itu, kami berdua balik ke rumah Sasha di atas bukit itu. Menjauh dari pantai tadi, siang yang benar-benar membuat kepala kosong. Aku menatap melihat ke depan, Skan juga.
Jalanan cukup ramai hari itu, dan kebetulan Skan buru-buru karena takut di khawatirkan.
Kecepatannya melebihi batas!
Skan banting setir saat di belokkan tajam!
Kami terbentur bahu jalan dan terpantul ke dinding toko dekat belokkan itu..
Mataku mulai memusing, melihat Skan di sampingku dengan keadaan parah dan kepala mengucur darah. Aku berusaha menggapainya, terdengar suara orang banyak yang berada dekat dengan kami, gapaianku terhenti dan aku pun menutup mata karena berat dan nafasku terasa berat tak kuat menahan beban..
Aku buka mataku, melihat ke keadaan sekitar. Lalu lalang ramai orang, aku lihat ke kanan dan ke kiri. Aku sama sekali tidak melihat Skan?!
Aku bangkit dari tempat tidurku di ruang UGD itu, tetapi beberapa perawat mencegahku. Namun aku mengelak, pasti Skan ada di sini! Aku rasa akan kehadirannya!
Begitu aku berjalan pelan, menyusuri ruang UGD yang terdapat banyak orang lalu lalang. Berhentilah di sebuah tempat yang tertutup horden. Tak ada orang yang berlalu-lalang disekitar situ banyak, ruangan tiu sepi. Aku melangkah pelan, membuka tirai horden biru langit itu, dan terbaringlah. Skan dengan perban dan beberapa plester di wajah dan tangannya. Aku pelan melangkah masuk, menutup horden yang ada. Dan menarik kursi, dan duduk di sampingnya.
Melihat ia disana, terbaring lemas, teringat waktu itu, saat ia sakit.
Aku pelan menggapai tangannya yang sedikit lecet itu, dan menggenggamnya pelan.
Aku membungkukkan wajahku sedikit ke arah jemarinya yang sedikit kaku.
"Skan, salahku kah kamu begini? Sampai Tuhan melakukan cobaan sesulit ini untukmu?"
Aku menunduk dan menggepalkan diriku. Ketika sedang berdiam, Sasha dengan tergesa-gesa masuk ke arah horden tertutup itu. Aku pun di singkirkan oleh kedua orang tuannya dan membiarkan Sasha duduk mengkhawatirkan Skan.
ku melihat di mata Sasha, kekhawatiran yang tidak setulus mata Skan padaku. Pandangan Sasha hanya biasa. Aku pun pelan melangkah keluar, dan memberikan mereka sebuah privasi. Aku duduk di kursi tunggu di luar ruang UGD. Terduduk termangu tak bernyawa, hanya sedikit diriku yang terlihat hidup. Sekarang aku terasa benar-benar menyesali hal sebelum itu, mencampakkannya dan memalingkan wajah saat ia berkata penting itu tadi. Tetapi aku sepertinya tidak terlalu menyesal karena ia sudah ada pendamping hidupnya yang baru ini.
Sepertinya pernikahannya di undur hingga Skan baikkan, hah.. Aku akan mencoba telefon jadwal pesawat ke Yogyakarta lagi.
Telefon yang tersambung mengatakan, kalau jadwal ke Yogyakarta untuk pesawat Garuda akan ada besok sore. Aku akan segera pulang dan melupakan Skan.. Selamanya.
Kecelakaan hari ini membawa kenangan sebutir kata pernyataan, menyedihkan kalau diingat memang. Tapi inilah kenyataan.
Sasha yang keluar bersama orang tuannya menghampiriku, Sasha dengan sedikit cemas. "La, bisa minta tolong jaga Skan tidak? Sampai besok sore?" Tanyanya.
Aku hampir saja menggeleng, tetapi melihat kondisi, lebih baik aku mengangguk walau sedikit terpaksa. Belum aku katakan pada Sasha, kalau besok aku akan pulang ke Yogya.
Langkah berat aku masuki, menemui Skan di tempat ia berbaring sekarang. Malam mulai larut, aku hampir tertidur. Tetapi aku mencoba tetap melihatnya, wajahnya yang sekarang lecet, aku tak memperdulikannya lagi. Aku hanya mengunakan waktu ini sebaik-baiknya, sebelum ia meninggalkan, lebih tepatnya aku meninggalkan dia di sini.
Ku peluk tangannya dan mulai menangis, aku menangis karena hatiku akan terpisahkan dengan miliknya. Aku tak sanggup melepas rantai ikatan kami selama ini. Aku mulai berkata-kata, mudah-mudahan yang di atas. Mendengar doaku
"Aku mohon, aku mohon. Hanya satu yang aku inginkan.. Bukalah matanya dan biarlah ia tersenyum untukku lagi.. Tuhan tolonglah"
Sambil melepas pelukan tanganku dari lengannya itu, aku menulis surat kecil. Aku selipkan di dekat gelas air putih di meja kananku. Berharap ia membacanya..
Mungkin tak terbaca, tapi tolong tersampaikan..
------#------
Pagi hari, aku membuka mata. Sinar matahari tersinar jelas di kaca jendela UGD. Sinar menyinari mataku, dan aku sedikit bangkit dari tidurku menuju posisi duduk. Aku melihat ke arah Skan, dan ia masih tertidur lelap. Aku mendekat, tiba-tiba.
Sasha datang tergesa-gesa lagi, sekali lagi menyingkirkan ku dari tempat ku duduk tadi. "La!!?? Gimana keadaannya?!!??" Tanya Sasha seperti cemas saja, padahal aku lebih cemas darinya, asal tau saja. Aku menggelengkan kepala "ia baik-baik saja. Namun belum ada tanda-tanda sadar" sahutku pelan.
Menjelang siang, aku pamit ke rumah Sasha dan membereskan barang. Di rumah besar iru sekarang hanya ada aku dan Mbo Dresti. Mbo Dresti adalah pembantu keluarga Sasha, ia sudah cukup lama dan berumur bekerja bersama mereka. Aku membereskan barang di bantu olehnya dan ia menyodorkan sebuah kotak lumayan besar.
"Mbo? Ini buat saya?"
Si Mbo, menganggguk "ia Non Nayla. Ini kotak, dari Mas Skandar. Dia itu sering banget cerita sama Mbo kalau lagi foto-foto di rumah. Dia suka cerita tenang Non Nayla lho ketimbang Non Sha. Mas Skandar itu, baik, ia sangat baik juga sama Mbo. Dia itu paling tidak suka memotret orang kecuali kalau kerja, ia juga tak pernah memotret Non Sha, dipaksa sekalipun ia tak lakukan"
Aku menggelengkan kepala, ternyata ia masih ingat denganku. Hingga ia seperti itu, aku terharu.
Ketika selesai beres-beres, aku ke rumah sakit, dan terakhir kali, mengatakan selamat tinggal, untuk Skan.
Kabar menyebar, Skan sadar!
Aku bergegas, tetapi ketika tempat itu di penuhi beberapa perawat dan dokter, aku melihat Sasha menangis. Skan memandang Sasha seperti orang tak dikenalnya. Aku menghampiri Skan dan memeluknya, dan tak memperdulikan siapapun melihat, namun..
"Siapa ya kamu?"
Pelan, sakit, tertusuk, hancur. Skan lupa ingatan? Aku menggelengkan kepala dan melihat Sasha memeluk diriku dari belakang. Aku benar-benar kecewa akan Tuhan, tapi aku sekarang bersyukur karena sudah memberikan Skan kesadaran, semoga saja ia benar-benar melupakanku, walau dengan cara ini, walau dengan sakit hati yang menyedihkan.
Aku mendorong Sasha dan berpamitan dengan Skan dan Sasha, serta orang tuanya.
"Kamu mau kemana La??" Aku menggelengkan "aku pulang, aku tak sanggup di sini lagi"
Sasha yang seperti tidak terima menarik tanganku "kamu tidak kasian terhadap Skan?!"
Aku tersenyum masam ke Sasha "dia sudah ada yang lebih baik daripada orang seperti aku, permisi" melepas tanganku Sasha memandang dengan wajah kaget.
Aku membalikkan tubuhku berjalan menjauh, meninggalkan Skan dalam kesendiriannya sekarang, aku berharap ia sembuh dan melupakanku.
Air mata hangat turun ke pipiku. Aku menangis seiring perjalan ke bandara dan naik pesawat juga. Melihat ke luar jendela, melihat langit yang aku pandang bersamanya, hingga detik kemarin, terakhir kali ia mengatakan "Nay, salahkan aku mencintaimu?"
O. Arrived Griefly.. Forgotten.. And Broken
Sudah beberapa minggu sejak aku tiba di Yogya lagi. Aku menjalankan karir sebagai model dengan penuh semangat. Walau aku tau ada hal yang lebih menyedihkan, namun aku sudah tak peduli lagi. Aku mengingat perjalanan beberapa minggu itu, sudah dekat dan tak terasa, ulang tahunku yang ke 24 tahun. Banyak Staff dan penggemarku yang akan merayakannya bersama. Sungguh momen indah, di sinilah aku bertemu dengan gadis yang kira-kira satu tahun lebih muda dariku, Sharon namanya.
"Salam kenal!" Jawabnya sambil menjabat tanganku. Aku hanya tersenyum gembira, sudah lama tak ada sentuhan hangat dari sahabatku.
Felita, sibuk dengan pekerjaannya sendiri
Sementara Dedy dan Mei entah kemana, tak ada kabar sepatah katapun. Ketika. Sentuhan sahabat mulai membangun diriku lagi, yang hancur berkeping-keping.
Sharon, ia bercita-cita menjadi asistenku dan sahabatku. Memang pantas untuknya, sebab ya.. Ia pas saja untuk kesedihanku.
Hancur beberapa minggu akan Skan, aku sedikit terobati, oleh Sharon.
Gadis periang yang berkali-kali membuat semua orang kewalahn tertawa hanya karenanya..
Tawa, senyum tulus, air mata hangat, kasih cinta lembut, ukiran, lekukkan, semuanya..
Sudah aku tak kenal lagi.
Mulai detik ini.
P. Everything is coming back
Diriku yang sekarang memang berbeda, sudah hampir 1,5 tahun katanya aku lupa ingatan? Padahal aku tak tau apa aku lupa apa tidak. Kurasa tidak, orang yang sekarang aku cintai, Sasha. Ada di sampingku, menemani setiap langkahku mengingat segalanya. Aku ahli memotret, katanya aku fotografer handal Indonesia. Tapi karen sesuatu aku di undurkan dulu, di bekap istilahnya, di tutup. Aku berharap aku menemukan potongan yang masih hilang itu, ada sebuah nama yang aku coba ingat namun tak bisa!?
Selain temanku dulu kuliah, Dedy, Mei, Felita, dan seorang lagi. Aku lupa orang itu, ku coba mengingatnya, terkesan menyakitkan. Aku tak ingin melupakan orang itu, sangat tak ingin. Tetapi sekarang justru terlupakan, aku payah!!
Membantingkan kepalaku berkali-kali ke bantal seiring aku mencoba mengingat nama itu, hanya nama itu. Aku menghela nafas berburu karena lemas, berhari-hari aku mencoba mengingatnya.
Sekali ini aku berhenti, berfikir untuk apa mengingat nama itu? Masih banyak hal yang dapat aku lakukan, bukan berkali-kali mengingatnya, mencoba maksudnya.
Hari ini, aku dapat tugas memotret di sebuah majalah, tidak terkenal sih, tapi tak apalah, di bawa senang saja. Ketika aku melangkah pelan ke dalam studio, aku bertemu dengan gadis.
Ia tak secantik Sasha, tak seputih Sasha. Ia biasa dan kelakuannya sepertinya baik.
Aku melihat ia memakai Shal biru laut, dan sepatu fantovel abu-abu. Aku memeperhatikan dia dari kepala hingga ujung kakinya. Sepertinya pernah melihat dia dimana?
Ku hadapkan wajahku ke arah lain dan menyangga tubuhku pada dinding yang ada "Skan, Skan, Skan. Dirimu ini mengapa?! Kenapa ketik melihat model tadi, aku jadi tak bisa berfikir baik?!"
Aku memalingkan kesulitan hatiku dan mencoba memfokuskan diri ke pekerjaan.
Perempuan di depan lensa kameraku tersenyum indah, ia bagai merpati.
Kenapa aku begitu kenal dengan perempuan di depanku ini, atau hanya mirip belaka?
Sebagai lelaki yang sudah mempunyai tunangan aku tidak boleh menyukai perempuan lain lagi. Tetapi, hatiku berbisik kecil, tolong ingatkan tentang sebuah nama yang sudah lama hilang itu. Aku terus-menerus memfokuskan pada pekerjaan, mencoba melupakan bisikan hatiku yang terus bergema-gema memintaku menyebutkan nama itu.
Diriku yang sekarang memang berbeda, sudah hampir 1,5 tahun katanya aku lupa ingatan? Padahal aku tak tau apa aku lupa apa tidak. Kurasa tidak, orang yang sekarang aku cintai, Sasha. Ada di sampingku, menemani setiap langkahku mengingat segalanya. Aku ahli memotret, katanya aku fotografer handal Indonesia. Tapi karen sesuatu aku di undurkan dulu, di bekap istilahnya, di tutup. Aku berharap aku menemukan potongan yang masih hilang itu, ada sebuah nama yang aku coba ingat namun tak bisa!?
Selain temanku dulu kuliah, Dedy, Mei, Felita, dan seorang lagi. Aku lupa orang itu, ku coba mengingatnya, terkesan menyakitkan. Aku tak ingin melupakan orang itu, sangat tak ingin. Tetapi sekarang justru terlupakan, aku payah!!
Membantingkan kepalaku berkali-kali ke bantal seiring aku mencoba mengingat nama itu, hanya nama itu. Aku menghela nafas berburu karena lemas, berhari-hari aku mencoba mengingatnya.
Sekali ini aku berhenti, berfikir untuk apa mengingat nama itu? Masih banyak hal yang dapat aku lakukan, bukan berkali-kali mengingatnya, mencoba maksudnya.
Hari ini, aku dapat tugas memotret di sebuah majalah, tidak terkenal sih, tapi tak apalah, di bawa senang saja. Ketika aku melangkah pelan ke dalam studio, aku bertemu dengan gadis.
Ia tak secantik Sasha, tak seputih Sasha. Ia biasa dan kelakuannya sepertinya baik.
Aku melihat ia memakai Shal biru laut, dan sepatu fantovel abu-abu. Aku memeperhatikan dia dari kepala hingga ujung kakinya. Sepertinya pernah melihat dia dimana?
Ku hadapkan wajahku ke arah lain dan menyangga tubuhku pada dinding yang ada "Skan, Skan, Skan. Dirimu ini mengapa?! Kenapa ketik melihat model tadi, aku jadi tak bisa berfikir baik?!"
Aku memalingkan kesulitan hatiku dan mencoba memfokuskan diri ke pekerjaan.
Perempuan di depan lensa kameraku tersenyum indah, ia bagai merpati.
Kenapa aku begitu kenal dengan perempuan di depanku ini, atau hanya mirip belaka?
Sebagai lelaki yang sudah mempunyai tunangan aku tidak boleh menyukai perempuan lain lagi. Tetapi, hatiku berbisik kecil, tolong ingatkan tentang sebuah nama yang sudah lama hilang itu. Aku terus-menerus memfokuskan pada pekerjaan, mencoba melupakan bisikan hatiku yang terus bergema-gema memintaku menyebutkan nama itu.
Setelah selesai bekerja, aku berjalan ke pantai kota
berbudaya toraja itu. Pantai indah, berhembus angin laut, bau asin kucium di
mana-mana, melihat ke arah kanan, ada sebuah batu. Batunya biasa saja, besar
dan punya panorama indah kalau di foto dari sudutku. Memegang lekukkan batu
itu, aku menaruh tangan ke kepalaku, sakitnya kepalaku. Aku mencoba mengingat
sesuatu yang sudah hilang lagi?
Entahlah! Sudah selama ini aku melupakan hal ini! Sangat lama!
Kemudian aku pulang sambil membanting pintu mobil. Mengendarai mobil, melihat fokus ke depan, tetapi. Aku rasa ada yang kurang. Sasha? Atau.. Nama hilang itu?
Berhenti di lampu merah, aku sempat memalingkan wajahku ke sebelah kiriku yang kosong, karena aku hanya sendirian naik mobil. Mengingat seseorang yang duduk di sana, bukan Sasha. Tetapi seorang lain, rambutnya sebahu, sedikit di shagy. Bajunya tak semodis Sasha, tetapi indah untuk orang biasa seperti dirinya. Aku mengusap mataku dan mengusap terus-menerus. Aku butuh sesuatu yang memacuku mengingat nama itu, tetapi aku sudah menyerah akan mengingatnya, sudahlah! Namanya masa lalu kan? Aku diam saja.
(Sementara Nayla, di Yogya)
Aku melihat ke arah pantai Parangtritis yang berhembus angin di sore hari. Indahnya pemandangan pantai, bagi kesegaran pikiran, ini hal paling pas. Sharon sibuk kesana-kemari membeli makanan kecil. Aku hanya menjongkokkan tubuhku dan merendam kakiku ke dalam desiran ombak yang sunyi dan asin. Saat bangkit, aku menghadap ke belakang, parkiran mobil di atas bukit. Kataku pelan. Aku berjalan mendaki bukit itu, dan terhenti di sebuah tempat parkir biasa, tetapi memiliki pandangan luar biasa, pemandangan ini..
Aku menghadap ke arah Sharon yang membawa kantung plastik "La! Masa ke tempat setinggi ini sih??"
Tapi aku tak hiraukan sedikit perkataanya, dalam renungan pikiranku, aku melihat ke arah batu di bawah, melihat seseorang yang menggendongku, memelukku erat malam itu. Mengatakan kata-kata tertusuk, dan malam itu, aku mengatakan pernyataan itu sendiri. Pepatah kata basi yang dulu pernah kami semangati bersama, kini telah di lupakannya.
Apa dia baik-baik di sana ya?
Pasti sudah lupa denganku..
Aku sudah merasakan ia lupa, tetapi, hatinya masih tetap mau mengejarku, mencoba menggapai serpihan yang dulu aku jatuhkan bersamanya kembali. Sharon duduk di sebelahku sambil memandang langit petang yang mulai memantul di air laut asin "La, kenapa sih kamu pengen ke sini terus? Padahal tidak ada bagusnya juga"
Aku menghadap terus ke langit petang, dan menjawab sambil tersenyum "kamu tau lah kenapa aku senang ke sini? Foto yang pernah aku tunjukkan padamu itu"
Aku kembali menundukkan kepalaku, dan menangis lagi. Tapi aku tau, aku pernah berkata pada diriku sendiri, tangisan air mata ku ini, sia-sia saja.
Karena mana mungkin yang sudah hilang bisa kembali bukan?
Entahlah! Sudah selama ini aku melupakan hal ini! Sangat lama!
Kemudian aku pulang sambil membanting pintu mobil. Mengendarai mobil, melihat fokus ke depan, tetapi. Aku rasa ada yang kurang. Sasha? Atau.. Nama hilang itu?
Berhenti di lampu merah, aku sempat memalingkan wajahku ke sebelah kiriku yang kosong, karena aku hanya sendirian naik mobil. Mengingat seseorang yang duduk di sana, bukan Sasha. Tetapi seorang lain, rambutnya sebahu, sedikit di shagy. Bajunya tak semodis Sasha, tetapi indah untuk orang biasa seperti dirinya. Aku mengusap mataku dan mengusap terus-menerus. Aku butuh sesuatu yang memacuku mengingat nama itu, tetapi aku sudah menyerah akan mengingatnya, sudahlah! Namanya masa lalu kan? Aku diam saja.
(Sementara Nayla, di Yogya)
Aku melihat ke arah pantai Parangtritis yang berhembus angin di sore hari. Indahnya pemandangan pantai, bagi kesegaran pikiran, ini hal paling pas. Sharon sibuk kesana-kemari membeli makanan kecil. Aku hanya menjongkokkan tubuhku dan merendam kakiku ke dalam desiran ombak yang sunyi dan asin. Saat bangkit, aku menghadap ke belakang, parkiran mobil di atas bukit. Kataku pelan. Aku berjalan mendaki bukit itu, dan terhenti di sebuah tempat parkir biasa, tetapi memiliki pandangan luar biasa, pemandangan ini..
Aku menghadap ke arah Sharon yang membawa kantung plastik "La! Masa ke tempat setinggi ini sih??"
Tapi aku tak hiraukan sedikit perkataanya, dalam renungan pikiranku, aku melihat ke arah batu di bawah, melihat seseorang yang menggendongku, memelukku erat malam itu. Mengatakan kata-kata tertusuk, dan malam itu, aku mengatakan pernyataan itu sendiri. Pepatah kata basi yang dulu pernah kami semangati bersama, kini telah di lupakannya.
Apa dia baik-baik di sana ya?
Pasti sudah lupa denganku..
Aku sudah merasakan ia lupa, tetapi, hatinya masih tetap mau mengejarku, mencoba menggapai serpihan yang dulu aku jatuhkan bersamanya kembali. Sharon duduk di sebelahku sambil memandang langit petang yang mulai memantul di air laut asin "La, kenapa sih kamu pengen ke sini terus? Padahal tidak ada bagusnya juga"
Aku menghadap terus ke langit petang, dan menjawab sambil tersenyum "kamu tau lah kenapa aku senang ke sini? Foto yang pernah aku tunjukkan padamu itu"
Aku kembali menundukkan kepalaku, dan menangis lagi. Tapi aku tau, aku pernah berkata pada diriku sendiri, tangisan air mata ku ini, sia-sia saja.
Karena mana mungkin yang sudah hilang bisa kembali bukan?
Back to Skandar)
Sesampai di rumah, aku melihat Sasha asik memainkan ponselnya, ku kira ia memperhatikanku. Tapi ketika aku melangkah dekatnya, ia pun tak sadar aku berdiri di depannya. Sakit, tapi memang sudah terbiasa. Aku pun meninggalkannya di teras rumah yang sepi itu. Berjalan ke taman, dekat kolam itu aku duduk dan menelentangkan badanku di atas rerumputan. Melihat ke atas, melihat ke langit, dan menghela nafas pelan.
Aku sebenarnya ingin melupakan ingatan terakhir itu, hanya ingatan terakhir itu. Aku menatap sekali lagi ke kamera yang ku kalungkan, aku melihat hasil pemotretan tadi, dan melihat foto Sasha, dan kebanyakan foto seperti panorama dan dulu tugas kuliahku. Tetapi, perlahan mulai aku sadari, ada folder bertuliskan sebuah nama.
"Nay's Photos"
Aku karena ingin tau, aku buka dan, inilah yang menghadapkan diriku pada kenyataan yang tak pernah aku bayangkan. Kenyataan yang benar-benar membuat hatiku kembali sakit. Kepalaku geram, ingin mengetahui siapa perempuan di foto ini. Gambar-gambar diriku banyak bersamanya, foto dirinya ada banyak di folder ini. Kenapa tak kuhilangkan, tapi malah ku simpan rapih tak tersentuh oleh siapapun. Aku mulai mematikan kameraku dengan perlahan manaruhnya di atas rerumputan hijau. Aku meringkukkan tubuhku dan melihat ke bawah, perlahan aku merasa ingatan itu mulai perlahan kembali, gadis ini, Nay namanya? Atau?
Q. The Memory note
Aku bangkit, dan meninggalkan kameraku sendirian di atas rumput hijau. Berlari ke arah Sasha, dan bertanya "Sha, kamu tau gadis yang dulu dekat denganku?!"
Sasha terkejut, dan menundukkan kepalanya, mencoba menjawab tapi tak bisa. Terbata-bata kesan bibirnya mulai terlihat. "Siapa Sha?! Siapa dia?!"
Sasha terdiam, ia kemudian menangis. Aku pun tak menunjukkan wajah peduli, hanya menunjukkan kesan paksaan yang benar-benar membuatku sakit dan muak selama 1,5 tahun ini!
"Skan, kamu ingin tau? Benar ingin tau?"
Tanya Sasha di tengah amarah dan kekesalanku, aku mendengarnya perlahan.
"Skan, dia itu..."
(Sementara, Nayla)
Sesampai di rumah, aku melihat Sasha asik memainkan ponselnya, ku kira ia memperhatikanku. Tapi ketika aku melangkah dekatnya, ia pun tak sadar aku berdiri di depannya. Sakit, tapi memang sudah terbiasa. Aku pun meninggalkannya di teras rumah yang sepi itu. Berjalan ke taman, dekat kolam itu aku duduk dan menelentangkan badanku di atas rerumputan. Melihat ke atas, melihat ke langit, dan menghela nafas pelan.
Aku sebenarnya ingin melupakan ingatan terakhir itu, hanya ingatan terakhir itu. Aku menatap sekali lagi ke kamera yang ku kalungkan, aku melihat hasil pemotretan tadi, dan melihat foto Sasha, dan kebanyakan foto seperti panorama dan dulu tugas kuliahku. Tetapi, perlahan mulai aku sadari, ada folder bertuliskan sebuah nama.
"Nay's Photos"
Aku karena ingin tau, aku buka dan, inilah yang menghadapkan diriku pada kenyataan yang tak pernah aku bayangkan. Kenyataan yang benar-benar membuat hatiku kembali sakit. Kepalaku geram, ingin mengetahui siapa perempuan di foto ini. Gambar-gambar diriku banyak bersamanya, foto dirinya ada banyak di folder ini. Kenapa tak kuhilangkan, tapi malah ku simpan rapih tak tersentuh oleh siapapun. Aku mulai mematikan kameraku dengan perlahan manaruhnya di atas rerumputan hijau. Aku meringkukkan tubuhku dan melihat ke bawah, perlahan aku merasa ingatan itu mulai perlahan kembali, gadis ini, Nay namanya? Atau?
Q. The Memory note
Aku bangkit, dan meninggalkan kameraku sendirian di atas rumput hijau. Berlari ke arah Sasha, dan bertanya "Sha, kamu tau gadis yang dulu dekat denganku?!"
Sasha terkejut, dan menundukkan kepalanya, mencoba menjawab tapi tak bisa. Terbata-bata kesan bibirnya mulai terlihat. "Siapa Sha?! Siapa dia?!"
Sasha terdiam, ia kemudian menangis. Aku pun tak menunjukkan wajah peduli, hanya menunjukkan kesan paksaan yang benar-benar membuatku sakit dan muak selama 1,5 tahun ini!
"Skan, kamu ingin tau? Benar ingin tau?"
Tanya Sasha di tengah amarah dan kekesalanku, aku mendengarnya perlahan.
"Skan, dia itu..."
(Sementara, Nayla)
Nayla!!
Kamu ikut ajang model di Makasar, di Bunaken loh!!
Seru banyak orang yang mengiringi kepergianku ke bandara. Aku melambaikan tangan, dan senyum palsu ku pasang di wajah. Sharon melihat wajahku mulai melekuk, dan mulai rapuh.
"Nayla! Jangan begini, sejak kamu tunjukkan foto itu di bandara Surabaya. Kau tau kan? Apa yang kau harus lakukan setelah kau menceritakan isi kehancuran hidupmu dulu padaku?!" Kau bangkit Nayla!
Aku berseru dalam diriku yang meneteskan air mata untuk arti yang sebenarnya. Kali ini lagi aku menangis untuknya, setelah sekian lama aku tak meneteskan air mata sepedih ini, masa-masa dulu sudah tiada. Apa Skan juga telah tiada?
Perjalananku bandara Palangkaraya. Menyakitkan, tetes demi tetes aku sedihi lagi. Skan, apa kali ini kita akan bertemu? Sudah hampir 2 tahun lamanya aku tak melihatmu lagi, setelah pertemuan singkat, dan mengangkat namaku dari ingatanmu..
(Back to Skandar)
Masih saja menunggu Sasha di teras, katanya ia ingin menunjukkanku sesuatu. Lama menunggu akhirnya ia membawakanku sebuah kotak tua, sudah sedikit berdebu. "Skan, aku simpan ini. Ini milikmu"
Ku buka dan tertera di sana sebua kertas yang warnanya sudah menguning, dan agak berbau lama.
"Bukalah kertas itu, dan akan tertera jawaban ingatanmu akan diri perempuan itu, ia juga, orang yang kau pentingin lebih dariku, sayangi lebih dariku, aku sengaja menyembunyikannya. Agar kau akan selalu mencintaiku, tapi sepertinya, aku egois. Aku tau, kalau sebenarnya.. Kau itu bukan milikku. Aku menguncimu dalam ke egoisanku selama ini, maaf ya"
Aku membuka kertas itu dan terkejut sambil mendengar pernyataan Sasha padaku. Keras itu sengaja di lipat rapih, ada yang sudah rusak. Sepertinya surat ini panjang, dan untukku?
From Nayla
Skan! Cepat sembuh ya. Aku tau pasti saat kau membuka surat ini aku sudah kembali ke Jogja. Ku harap kau dapat segera bangun, dan kita bisa foto-foto lagi! Walau kamu akan bersama Sasha, walau kau sudah menyatakan pernyataan itu padaku, tapi apa yang sudah terjadi, ya sudah terjadi.
Skan, aku mau kamu jadi milikku, tapi aku tau itu bukan keinginanmu, kau sudah ada Sasha sekarang. Aku hanya sahabatmu, dan aku hanya bisa mendukungmu agar menjadi yang terbaik.
Nayla mau Skan dapet yang baik!
Kamu ikut ajang model di Makasar, di Bunaken loh!!
Seru banyak orang yang mengiringi kepergianku ke bandara. Aku melambaikan tangan, dan senyum palsu ku pasang di wajah. Sharon melihat wajahku mulai melekuk, dan mulai rapuh.
"Nayla! Jangan begini, sejak kamu tunjukkan foto itu di bandara Surabaya. Kau tau kan? Apa yang kau harus lakukan setelah kau menceritakan isi kehancuran hidupmu dulu padaku?!" Kau bangkit Nayla!
Aku berseru dalam diriku yang meneteskan air mata untuk arti yang sebenarnya. Kali ini lagi aku menangis untuknya, setelah sekian lama aku tak meneteskan air mata sepedih ini, masa-masa dulu sudah tiada. Apa Skan juga telah tiada?
Perjalananku bandara Palangkaraya. Menyakitkan, tetes demi tetes aku sedihi lagi. Skan, apa kali ini kita akan bertemu? Sudah hampir 2 tahun lamanya aku tak melihatmu lagi, setelah pertemuan singkat, dan mengangkat namaku dari ingatanmu..
(Back to Skandar)
Masih saja menunggu Sasha di teras, katanya ia ingin menunjukkanku sesuatu. Lama menunggu akhirnya ia membawakanku sebuah kotak tua, sudah sedikit berdebu. "Skan, aku simpan ini. Ini milikmu"
Ku buka dan tertera di sana sebua kertas yang warnanya sudah menguning, dan agak berbau lama.
"Bukalah kertas itu, dan akan tertera jawaban ingatanmu akan diri perempuan itu, ia juga, orang yang kau pentingin lebih dariku, sayangi lebih dariku, aku sengaja menyembunyikannya. Agar kau akan selalu mencintaiku, tapi sepertinya, aku egois. Aku tau, kalau sebenarnya.. Kau itu bukan milikku. Aku menguncimu dalam ke egoisanku selama ini, maaf ya"
Aku membuka kertas itu dan terkejut sambil mendengar pernyataan Sasha padaku. Keras itu sengaja di lipat rapih, ada yang sudah rusak. Sepertinya surat ini panjang, dan untukku?
From Nayla
Skan! Cepat sembuh ya. Aku tau pasti saat kau membuka surat ini aku sudah kembali ke Jogja. Ku harap kau dapat segera bangun, dan kita bisa foto-foto lagi! Walau kamu akan bersama Sasha, walau kau sudah menyatakan pernyataan itu padaku, tapi apa yang sudah terjadi, ya sudah terjadi.
Skan, aku mau kamu jadi milikku, tapi aku tau itu bukan keinginanmu, kau sudah ada Sasha sekarang. Aku hanya sahabatmu, dan aku hanya bisa mendukungmu agar menjadi yang terbaik.
Nayla mau Skan dapet yang baik!
Skan mudah-mudahan bisa smsan lagi ya, bentar lagi Desember!
Ulang tahunku ke 24! Datang ya! Maaf aku tidak bisa hadir di pernikahanmu
dengan Sasha, aku tau kau pasti tak mementingkanku juga..
Aku mau kamu bahagia, jangan sakiti hati Sasha, seperti yang aku lakukan padamu, dan kau memang benar,
"Aku ini siapa?"
Regrats..
Nayla
Nayla..
Nayla...
Nayla!!!!???
Nama yang aku hilangkan dari ingatanku. Ia nama yang ku cari selama ini, ia lah yang membuatku kewalahan, semua karenanya.
Kenapa Sasha sejahat ini, surat ini sudah lama, 1,5 tahun lalu.
Kewalahan mencari informasi, aku bergegas meninggalkan Sasha, dan aku belum menikah karena kondisi ku yang belum memungkinkan, dan sekarang aku tau apa yang harus aku lakukan.
Mencarinya, mencari potongan yang hilang dalam pikiran dan hatiku selama ini, Nayla.
Aku berkeliling hingga larut malam, entah aku kenapa, mungkin karena aku terlalu tersakiti, aku jadi begini.
Terasa Sasha menyembunyikan kebenaran isi hatiku selama ini, aku berhenti di pantai tak jauh dari tempat aku kecelakaan dulu.
Dan hembusan angin pantai menyelimuti tubuhku, tertidur lah aku di pasir putih itu..
Aku mau kamu bahagia, jangan sakiti hati Sasha, seperti yang aku lakukan padamu, dan kau memang benar,
"Aku ini siapa?"
Regrats..
Nayla
Nayla..
Nayla...
Nayla!!!!???
Nama yang aku hilangkan dari ingatanku. Ia nama yang ku cari selama ini, ia lah yang membuatku kewalahan, semua karenanya.
Kenapa Sasha sejahat ini, surat ini sudah lama, 1,5 tahun lalu.
Kewalahan mencari informasi, aku bergegas meninggalkan Sasha, dan aku belum menikah karena kondisi ku yang belum memungkinkan, dan sekarang aku tau apa yang harus aku lakukan.
Mencarinya, mencari potongan yang hilang dalam pikiran dan hatiku selama ini, Nayla.
Aku berkeliling hingga larut malam, entah aku kenapa, mungkin karena aku terlalu tersakiti, aku jadi begini.
Terasa Sasha menyembunyikan kebenaran isi hatiku selama ini, aku berhenti di pantai tak jauh dari tempat aku kecelakaan dulu.
Dan hembusan angin pantai menyelimuti tubuhku, tertidur lah aku di pasir putih itu..
R. The white sand
Aku berjalan menyusuri kota Makasar yang sudah lama aku tak injaki. Banyak wartawan di sana, aku dan Sharon berusaha meninggalkan bandara, dengan mobil sewaan perusahaan. Larut sudah aku sampai di sana, malam.
Aku dan Sharon memutuskan langsung ke hotel, dan memfokuskan hari esok di studio.
Aku menghadap ke luar jendela sambil melihat deru kota Makasar yang ramai, dan kami sampai di hotel cukup larut malam. Sharon sibuk dengan persiapan hotel, sementara aku ke kolam renang. Tempat ini, aku ingat, tapi aku tak mau mencoba mengingatnya terus. Seseorang berjongkok di sebrang sana, memegang kamera yang biasa ia kalungkan, dan kemudian. Aku bertemu dengannya lagi, berbalik badan dengan wajah air mata mengalir. Aku menghadap ke arah lain seiring bayangan dirinya mulai menghilang. Kenapa terus kuingat dia, aku tak ingin mengingatnya terlalu prihatin. Karena kepalaku sakit, aku memutuskan ke pantai tak jauh dari hotel itu. Meninggalkan Sharon sendirian, aku berjalan kaki. Perlahan demi perlahan langkah ketika pantai itu terlihat, dari kejauhan terlihat laut. Aku sudah lama tak ingat, desiran air, bau asin laut, hembusan angin malam yang tenang, semuanya kembali teringat. Tempat ini memang seperti menyedihkan. Aku menghadap ke arah kanan kiri, dan aku terhenti. Ke arah batu, langkah aku ambil. Mendekat dan terlihat di sana, bayangan masa lalu yng dulu aku lupakan..
(Sementara)
Sasha mengatahui, kekasihnya hilang. Ia segera mencari Skandar hingga larut pula, dan belum bertemu dengannya. Ia pun tersendat, dan mencoba mengingat, Skandar senang sekali pantai yang tak jauh dari perumahan Sasha. Segeralah ia kesana, dan mendapati Skandar tertidur di pasir putih tidak jauh dari mobilnya terparkir. Sasha menghampirinya, pelan ia ambil tindakan. Ia tau sekarang, ke egoisannya harus terbayar dengan sesuatu yang harus ia relakan, demi kebahagiaan orang yang ada di depanya sekarang.
Sasha, mungkin dirimu terganbar karakter penghacur sebuah kisah bahagia. Tetapi peranmu di sini akan mengajarkan siapapun yang akan jatuh cinta, dan bersiap menerima tantangan demi orang yang mereka cintai.
Sasha pernah bilang ke Nayla, kalau dirinya hanya menyukai Skandar, bukan mencintainya. Ia juga baru menyadari, bahwa ia lupa dengan perkataannya beberapa tahun lalu itu. Tau bahwa Skandar juga menyukainya, tapi ia ingat. Skandar hanya menyukainya, bukan mencintainya. Dan juga, tindakan yang ia ambil salah, mengambil Skandar dari orang yang paling di kasihi Skandar.
Aku berjalan menyusuri kota Makasar yang sudah lama aku tak injaki. Banyak wartawan di sana, aku dan Sharon berusaha meninggalkan bandara, dengan mobil sewaan perusahaan. Larut sudah aku sampai di sana, malam.
Aku dan Sharon memutuskan langsung ke hotel, dan memfokuskan hari esok di studio.
Aku menghadap ke luar jendela sambil melihat deru kota Makasar yang ramai, dan kami sampai di hotel cukup larut malam. Sharon sibuk dengan persiapan hotel, sementara aku ke kolam renang. Tempat ini, aku ingat, tapi aku tak mau mencoba mengingatnya terus. Seseorang berjongkok di sebrang sana, memegang kamera yang biasa ia kalungkan, dan kemudian. Aku bertemu dengannya lagi, berbalik badan dengan wajah air mata mengalir. Aku menghadap ke arah lain seiring bayangan dirinya mulai menghilang. Kenapa terus kuingat dia, aku tak ingin mengingatnya terlalu prihatin. Karena kepalaku sakit, aku memutuskan ke pantai tak jauh dari hotel itu. Meninggalkan Sharon sendirian, aku berjalan kaki. Perlahan demi perlahan langkah ketika pantai itu terlihat, dari kejauhan terlihat laut. Aku sudah lama tak ingat, desiran air, bau asin laut, hembusan angin malam yang tenang, semuanya kembali teringat. Tempat ini memang seperti menyedihkan. Aku menghadap ke arah kanan kiri, dan aku terhenti. Ke arah batu, langkah aku ambil. Mendekat dan terlihat di sana, bayangan masa lalu yng dulu aku lupakan..
(Sementara)
Sasha mengatahui, kekasihnya hilang. Ia segera mencari Skandar hingga larut pula, dan belum bertemu dengannya. Ia pun tersendat, dan mencoba mengingat, Skandar senang sekali pantai yang tak jauh dari perumahan Sasha. Segeralah ia kesana, dan mendapati Skandar tertidur di pasir putih tidak jauh dari mobilnya terparkir. Sasha menghampirinya, pelan ia ambil tindakan. Ia tau sekarang, ke egoisannya harus terbayar dengan sesuatu yang harus ia relakan, demi kebahagiaan orang yang ada di depanya sekarang.
Sasha, mungkin dirimu terganbar karakter penghacur sebuah kisah bahagia. Tetapi peranmu di sini akan mengajarkan siapapun yang akan jatuh cinta, dan bersiap menerima tantangan demi orang yang mereka cintai.
Sasha pernah bilang ke Nayla, kalau dirinya hanya menyukai Skandar, bukan mencintainya. Ia juga baru menyadari, bahwa ia lupa dengan perkataannya beberapa tahun lalu itu. Tau bahwa Skandar juga menyukainya, tapi ia ingat. Skandar hanya menyukainya, bukan mencintainya. Dan juga, tindakan yang ia ambil salah, mengambil Skandar dari orang yang paling di kasihi Skandar.
Nayla, kelihatan seperti gadis yang tak pernah tertandingi.
Tantangan ini harusnya ia tidak ambil, namun ke egoisannya mengambilnya dan
menjadikannya sebuah tantangan. Padahal jika di lihat, Skandari bukan lelaki
yang seperti itu. Menerima segalanya begitu saja. Ia dengan pantang menyerah
mencari Nayla.
Sasha tau, sekarang ia akan melepaskan Skandar, sebelum ia melepaskannya. Harus ada sesuatu yang ia lakukan.
Dalam renungnya di pantai pasir putih itu, ia berfikir dan menangis di depan Skandar yang bermimpi.
"Skandar, aku sekarang akan mencoba membahagiakan dirimu, aku akan mencoba meminta kata 'maaf' darimu. Aku juga akan mencoba mempertemukanmu dengan potongan hatimu yang hilang itu, Nayla"
(Back to Nayla)
Aku melihat di pantai pasir putih itu, bayang-bayang masa itu. Malam dingin desiran air laut yang menyedihkan itu membawa segalanya pergi dariku. Walau kelihatan berasa beda, tapi aku cukup mereda. Semua tangisanku tak terbayar tak apa. Aku hanya ingin Tuhan, mempertemukanku dengan Skan lagi, hanya sekali saja, aku ingin melihat senyuman hangat dan khas dari punggung yang biasa ada di depanku dulu.
Kejahilannya membuat diriku khawatir. Aku melihat ke arahnya sekarang, tidak berani menjawab semuanya dengan perlahan. Jika hal itu memang terjadi..
Aku tidak segan, tersenyum bahagia saat di depannya, senyuman tulus, yang telah lama hilang dari ingatan dan hatiku. Serta artinya, keyakinannya, dan bayaran yang harus aku terima.
Berharap masa lalu bisa terulang..
(Skandar Skenario)
Aku tertidur dan terbangun di mobilku. Aku melirik Sasha ada di sebelahku menyetir. Wajahnya yang kaku, dan tidak seperti baik menyembunyikan emosi dariku. "Sasha, kamu kenapa? Kita mau kemana?"
Sasha hanya terdiam, dan sampai di rumahnya. Aku melihat Sasha keluar dari mobil dan membukakan pintu untukku. "Skandar, keluarlah, ada yang ingin aku bicarakan" tidak seperti biasanya dia seperti ini. Sepertinya, ada sesuatu yang akan terjadi.
Aku di ajaknya ke taman, angin malam begitu dingin. Bunyi serangga dan terangnya kunang-kunang mengiringi perjalan ke taman yang beberapa sisinya ditumbuhi ilalang tinggi. Kepalaku mulai terisi banyak hal, Nayla. Nama itu terbentur-bentur di kepalaku, kenapa Nayla? Harus aku akui, aku lupa. Lupa tentang kehidupan Nayla, hanya mengikuti lekuk wajah dan tubuhnya saja sudah hampir sakit kepalaku mengingatnya.
Sasha tau, sekarang ia akan melepaskan Skandar, sebelum ia melepaskannya. Harus ada sesuatu yang ia lakukan.
Dalam renungnya di pantai pasir putih itu, ia berfikir dan menangis di depan Skandar yang bermimpi.
"Skandar, aku sekarang akan mencoba membahagiakan dirimu, aku akan mencoba meminta kata 'maaf' darimu. Aku juga akan mencoba mempertemukanmu dengan potongan hatimu yang hilang itu, Nayla"
(Back to Nayla)
Aku melihat di pantai pasir putih itu, bayang-bayang masa itu. Malam dingin desiran air laut yang menyedihkan itu membawa segalanya pergi dariku. Walau kelihatan berasa beda, tapi aku cukup mereda. Semua tangisanku tak terbayar tak apa. Aku hanya ingin Tuhan, mempertemukanku dengan Skan lagi, hanya sekali saja, aku ingin melihat senyuman hangat dan khas dari punggung yang biasa ada di depanku dulu.
Kejahilannya membuat diriku khawatir. Aku melihat ke arahnya sekarang, tidak berani menjawab semuanya dengan perlahan. Jika hal itu memang terjadi..
Aku tidak segan, tersenyum bahagia saat di depannya, senyuman tulus, yang telah lama hilang dari ingatan dan hatiku. Serta artinya, keyakinannya, dan bayaran yang harus aku terima.
Berharap masa lalu bisa terulang..
(Skandar Skenario)
Aku tertidur dan terbangun di mobilku. Aku melirik Sasha ada di sebelahku menyetir. Wajahnya yang kaku, dan tidak seperti baik menyembunyikan emosi dariku. "Sasha, kamu kenapa? Kita mau kemana?"
Sasha hanya terdiam, dan sampai di rumahnya. Aku melihat Sasha keluar dari mobil dan membukakan pintu untukku. "Skandar, keluarlah, ada yang ingin aku bicarakan" tidak seperti biasanya dia seperti ini. Sepertinya, ada sesuatu yang akan terjadi.
Aku di ajaknya ke taman, angin malam begitu dingin. Bunyi serangga dan terangnya kunang-kunang mengiringi perjalan ke taman yang beberapa sisinya ditumbuhi ilalang tinggi. Kepalaku mulai terisi banyak hal, Nayla. Nama itu terbentur-bentur di kepalaku, kenapa Nayla? Harus aku akui, aku lupa. Lupa tentang kehidupan Nayla, hanya mengikuti lekuk wajah dan tubuhnya saja sudah hampir sakit kepalaku mengingatnya.
Skandar, kita putus saja"
Di tengah benturan kata-kata di kepalaku, Sasha berkata pelan. Ia berhenti tepat di dekat jembatan kolamnya yang terlihat pantulan bulan terang malam itu. Aku menggelengkan kepalaku, dan mengelak apa yang barusan ia katakan.
"Sasha?! Kita putus?! Maksudnya apa?!"
Aku berkata keras padanya, dan ia menjawab cukup menyakitkan, kejujuran yang ia sembunyikan tentang serpihan ingatanku, akan Nayla..
"Skandar, seperti ini. Aku tau, aku egois. Aku mencoba membuatmu jatuh padaku, namun usahaku banyak gagal, malahan segalanya gagal. Aku sembunyikan kenyataan yang harus aku terima akan dirimu. Dirimu yang pantas di sisi orang itu sekarang, telah aku usahakan tebuang, dan di gantikan olehku. Aku sendiri yang mencoba mengukir kata cinta pada hatimu untukku, aku sendiri yang berusaha agar kau melupakan Nayla, meski kau lupa ingatan akibat kecelakaan. Salahku begitu banyak, aku akhirnya sekarang mau menyadarkan dirimu. Lebih baik kau kejar dirinya, mencobalah mengingat dirinya, mencobalah untuk mencintainya lagi. Mungkin kamu akan terlambat, tapi aku usahakan agar kau tepat waktu, mendapatkan hatinya lagi. Kau sadar kan? Ia sudah tersakiti olehku sekarang, dan dirimu yang melupakanya merupakan kelengkapan penderitaan baginya"
Esok akan ku carikan tiket, dan aku akan mengantarmu kembali ke tangan Nayla, di Yogyakarta nanti.
Jadi Skandar, bisa kau maafkan aku?"
Sasha menunduk dan meneteskan air dari matanya, yang perlahan jatuh di atas rerumputan hijau. Aku berdiri, tidak bergerak satu nafas pun. Diriku menahan kenyataan lagi, segalanya sekarang sudah terlihat di wajahku, semuanya sudah terpapar lagi di hatiku.
Nayla, bagaimanapun aku mencoba. Apa kau akan memaafkan aku? Ketika aku mencoba mencintaimu sekali lagi?
S. Chasing you, trying to be forgiven by you
Esok yang terik, panas menyengat. Melihat ke arah berat matahari siang. Terik sekali, di studio pun panas sekali. Pekerjaan yang aku selesaikan bersama Sharon pun di kerjakan secepat kilat. Indahnya ketika berpikiran pantai, entah ingin aku ke pantai. Sekali ini, melakukan pekerjaan seharian penuh dari pagi tadi. Izin Sharon akan aku ke pegunungan merupakan hal bagus. Aku juga akan mencoba memotret lagi, dan mudah-mudahan hasilnya memuaskan.
Model muda sepertiku, hal yang biasa melakukan pemotretan bukan?
Di tengah benturan kata-kata di kepalaku, Sasha berkata pelan. Ia berhenti tepat di dekat jembatan kolamnya yang terlihat pantulan bulan terang malam itu. Aku menggelengkan kepalaku, dan mengelak apa yang barusan ia katakan.
"Sasha?! Kita putus?! Maksudnya apa?!"
Aku berkata keras padanya, dan ia menjawab cukup menyakitkan, kejujuran yang ia sembunyikan tentang serpihan ingatanku, akan Nayla..
"Skandar, seperti ini. Aku tau, aku egois. Aku mencoba membuatmu jatuh padaku, namun usahaku banyak gagal, malahan segalanya gagal. Aku sembunyikan kenyataan yang harus aku terima akan dirimu. Dirimu yang pantas di sisi orang itu sekarang, telah aku usahakan tebuang, dan di gantikan olehku. Aku sendiri yang mencoba mengukir kata cinta pada hatimu untukku, aku sendiri yang berusaha agar kau melupakan Nayla, meski kau lupa ingatan akibat kecelakaan. Salahku begitu banyak, aku akhirnya sekarang mau menyadarkan dirimu. Lebih baik kau kejar dirinya, mencobalah mengingat dirinya, mencobalah untuk mencintainya lagi. Mungkin kamu akan terlambat, tapi aku usahakan agar kau tepat waktu, mendapatkan hatinya lagi. Kau sadar kan? Ia sudah tersakiti olehku sekarang, dan dirimu yang melupakanya merupakan kelengkapan penderitaan baginya"
Esok akan ku carikan tiket, dan aku akan mengantarmu kembali ke tangan Nayla, di Yogyakarta nanti.
Jadi Skandar, bisa kau maafkan aku?"
Sasha menunduk dan meneteskan air dari matanya, yang perlahan jatuh di atas rerumputan hijau. Aku berdiri, tidak bergerak satu nafas pun. Diriku menahan kenyataan lagi, segalanya sekarang sudah terlihat di wajahku, semuanya sudah terpapar lagi di hatiku.
Nayla, bagaimanapun aku mencoba. Apa kau akan memaafkan aku? Ketika aku mencoba mencintaimu sekali lagi?
S. Chasing you, trying to be forgiven by you
Esok yang terik, panas menyengat. Melihat ke arah berat matahari siang. Terik sekali, di studio pun panas sekali. Pekerjaan yang aku selesaikan bersama Sharon pun di kerjakan secepat kilat. Indahnya ketika berpikiran pantai, entah ingin aku ke pantai. Sekali ini, melakukan pekerjaan seharian penuh dari pagi tadi. Izin Sharon akan aku ke pegunungan merupakan hal bagus. Aku juga akan mencoba memotret lagi, dan mudah-mudahan hasilnya memuaskan.
Model muda sepertiku, hal yang biasa melakukan pemotretan bukan?
Pegunungan Makasar, terlihat indah dari ketinggian. Lautan
luas, kapal berlayar, panorama sempurna untuk memotret. Berdiri sendirian di
dekat batas ujung jurang pegunungan, merenungkan setiap datik yang aku pakai,
andai bersamanya.
Lamunan di kagetkan, seseorang menepuk bahuku. Melihat ke belakang, berdiri dia. Memegang sebuah tas coklat kehitaman, dengan sepatu fantovel hitam.
"Nayla, ini kan dirimu yang sekarang?"
Aku menghela, serasa tak percaya. "Sasha?!" Teriakku kencang di depan wajahnya yang pucat. Ia mengangguk, dan memberikan sebuah jawaban kata-kata sedikit terbata.
"Nayla, bisa maafkan aku?" Katanya pelan. Aku menggelengkan kepala dengan jawaban tidak tau apa yang ia barusan katakan. Aku melihat ke arah Sasha yang mulai memucat. "Apapun salahmu, aku sudah maafkan"
Ia pun memelukku "kamu memang orang yang baik Nayla! Oh ya, tujuan ku ke sini"
Aku melepas pelukkannya dan memasang wajah agak aneh. Ia pun segera mengajakku duduk di dekat bebatuan berlumut itu, dan mulailah ia berkata..
"Nayla, ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu, masalah Skandar"
Sasha berkata sedikit tersendat. Ia memalingkan wajahnya dariku, ia terasa berat mengatakan kejujuran yang harus ia terima.
"Aku dan Skandar, sudah putus kemarin. Aku menunjukkan segala ingatan tentangmu padanya. Karena setiap hari, setelah kecelakaan itu, ia selalu menggerami kepalanya, dan sering sekali bertanya padaku 'ada yang aku lupakan ya?' Sering sekali. Aku sering menggeleng dan menganggap bahwa kamu akan terlupakan olehnya dan di gantikan olehku di hatinya, tetapi perkiraanku meleset jauh. Ia selalu berusaha mengingat setiap serpihanmu, kenanganmu, air matamu, senyum dan ketulusanmu. Diriku hanya penghancur cinta antara kalian, diriku bukan peran baik dalam kisah kalian. Aku minta maaf atas ke egoisanku, La. Aku benar-benar meminta maaf padamu"
Sasha menurunkan kepalanya, mulai berlutus dan berkali-kali berkata maaf kepadaku yang berdiri. Aku menggenggam dirinya, dan memeluknya erat, aku pun melihat dirinya seperti diriku dulu yang merasa kehilangan. Aku tau rasa itu, itu sakit. Dan sekarang aku mencoba memperbaikinya, dan mengubahnya lewat cara yang baik.
"Sha, aku sudah merelakan Skandar untukmu. Aku sudah benar-benar menganggapnya bukan siapa-siapaku lagi"
Lamunan di kagetkan, seseorang menepuk bahuku. Melihat ke belakang, berdiri dia. Memegang sebuah tas coklat kehitaman, dengan sepatu fantovel hitam.
"Nayla, ini kan dirimu yang sekarang?"
Aku menghela, serasa tak percaya. "Sasha?!" Teriakku kencang di depan wajahnya yang pucat. Ia mengangguk, dan memberikan sebuah jawaban kata-kata sedikit terbata.
"Nayla, bisa maafkan aku?" Katanya pelan. Aku menggelengkan kepala dengan jawaban tidak tau apa yang ia barusan katakan. Aku melihat ke arah Sasha yang mulai memucat. "Apapun salahmu, aku sudah maafkan"
Ia pun memelukku "kamu memang orang yang baik Nayla! Oh ya, tujuan ku ke sini"
Aku melepas pelukkannya dan memasang wajah agak aneh. Ia pun segera mengajakku duduk di dekat bebatuan berlumut itu, dan mulailah ia berkata..
"Nayla, ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu, masalah Skandar"
Sasha berkata sedikit tersendat. Ia memalingkan wajahnya dariku, ia terasa berat mengatakan kejujuran yang harus ia terima.
"Aku dan Skandar, sudah putus kemarin. Aku menunjukkan segala ingatan tentangmu padanya. Karena setiap hari, setelah kecelakaan itu, ia selalu menggerami kepalanya, dan sering sekali bertanya padaku 'ada yang aku lupakan ya?' Sering sekali. Aku sering menggeleng dan menganggap bahwa kamu akan terlupakan olehnya dan di gantikan olehku di hatinya, tetapi perkiraanku meleset jauh. Ia selalu berusaha mengingat setiap serpihanmu, kenanganmu, air matamu, senyum dan ketulusanmu. Diriku hanya penghancur cinta antara kalian, diriku bukan peran baik dalam kisah kalian. Aku minta maaf atas ke egoisanku, La. Aku benar-benar meminta maaf padamu"
Sasha menurunkan kepalanya, mulai berlutus dan berkali-kali berkata maaf kepadaku yang berdiri. Aku menggenggam dirinya, dan memeluknya erat, aku pun melihat dirinya seperti diriku dulu yang merasa kehilangan. Aku tau rasa itu, itu sakit. Dan sekarang aku mencoba memperbaikinya, dan mengubahnya lewat cara yang baik.
"Sha, aku sudah merelakan Skandar untukmu. Aku sudah benar-benar menganggapnya bukan siapa-siapaku lagi"
Sasha terhenti, ia melepaskan pelukkanku dan berdiri. Ia
memasang wajah kesal yang marah. "Pakkk!!"
Aku di tampar olehnya kuat, aku terbelenggu melihat ekspresinya yang begitu jujur.
"Nayla! Aku sudah merelakan Skandar juga! Untukmu! Tau!!? Dia sekarang entah kemana mencoba mencarimu! Kalau kau sebegitu kejamnya padanya, aku tidak akan mengembalikan Skandar lagi!"
Marah Sasha dengan matanya yang memerah, aku menghadap Sharon yang berdiri kaku di belakang Sasha. Sharon tak berkutik hanya melihat aku dan Sasha beragumen. Sasha melihat pandanganku tertuju pada balik tubuhnya, kemudian ia mengikuti arah mataku melirik.
"Sasha ya? Sasha si fotografer itu?"
Kata Sharon sedikit menahan kegembiraan. Ia kemudian membantuku berdiri dan menyalami Sasha dengan senyum bahagia. "Sudah kau terlalu berlebih" sahutku pada Sharon yang mulai mengeluarkan sifat anehnya. Sharon menghadapkan wajahnya padaku seakan ada sesuatu yang aneh menempel di sana.
Aku menggelengkan kepala dan meninggalkan Sharon sesaat. Sasha kembali mendekatiku, nanti malam, temui aku di pantai ini ya, aku mohon. Ada hal yang harus aku bicarakan.
Aku menghadap wajahku ke Sharon, dengan pertanyaan "apa boleh aku ke Yogya sendirian?"
Seperti biasa, Sharon mengangguk dan membiarkanku melakukan aksiku sendiri.
Ia segera menjauh dengan ponsel di tangannya dan menelfon seseorang. Sasha menurunkan punggungnya dan membungkuk "permisi" katanya. Setelah itu dia pergi, dan tak berkata apapun. Aku memasang wajah sedikit aneh ke arah ia mulai meninggalkan tempat itu. Sharon yang menghampiriku berkata lantang-lantang di depan telingaku, entak aku tak mendengarnya.
Sekarang pikiranku hanya ada Sasha dan sesuatu yang ia sembunyikan. Pikiranku berputar, seperti lama menemukan jawaban.
Lebih baik aku ke hotel dulu, dan mempersiapkan diri untuk malam, sementara Sharon yang bersiap pulang ke Yogya telah memesan tiket 2 buah, katanya untuk besok dan tiket cadangan.
Aneh bukan? Sharon aneh.
Aku lebih baik berfikir positif saja, siapa tau, bisa terjadi hal baik. Keadaan semakin saja terbalik, hal-hal pengacau pikiranku muncul terus.
Perjalan ke hotel, merupakan perjalan yang cukup lama dari pantai itu. Aku kehabisan pikiran sekarang. Kepalaku kosong tak berisi, seketika aku menahan nafas, dan menghelakannya lagi perlahan. Aku menghadmdap matahari sore yang mulai terbenam itu, dan seketika tetesan matahari terakhir menghilang, aku memejamkan mataku dan membayangkan, kalau dia berada di sana.
(Skandar Skenario)
Aku di tampar olehnya kuat, aku terbelenggu melihat ekspresinya yang begitu jujur.
"Nayla! Aku sudah merelakan Skandar juga! Untukmu! Tau!!? Dia sekarang entah kemana mencoba mencarimu! Kalau kau sebegitu kejamnya padanya, aku tidak akan mengembalikan Skandar lagi!"
Marah Sasha dengan matanya yang memerah, aku menghadap Sharon yang berdiri kaku di belakang Sasha. Sharon tak berkutik hanya melihat aku dan Sasha beragumen. Sasha melihat pandanganku tertuju pada balik tubuhnya, kemudian ia mengikuti arah mataku melirik.
"Sasha ya? Sasha si fotografer itu?"
Kata Sharon sedikit menahan kegembiraan. Ia kemudian membantuku berdiri dan menyalami Sasha dengan senyum bahagia. "Sudah kau terlalu berlebih" sahutku pada Sharon yang mulai mengeluarkan sifat anehnya. Sharon menghadapkan wajahnya padaku seakan ada sesuatu yang aneh menempel di sana.
Aku menggelengkan kepala dan meninggalkan Sharon sesaat. Sasha kembali mendekatiku, nanti malam, temui aku di pantai ini ya, aku mohon. Ada hal yang harus aku bicarakan.
Aku menghadap wajahku ke Sharon, dengan pertanyaan "apa boleh aku ke Yogya sendirian?"
Seperti biasa, Sharon mengangguk dan membiarkanku melakukan aksiku sendiri.
Ia segera menjauh dengan ponsel di tangannya dan menelfon seseorang. Sasha menurunkan punggungnya dan membungkuk "permisi" katanya. Setelah itu dia pergi, dan tak berkata apapun. Aku memasang wajah sedikit aneh ke arah ia mulai meninggalkan tempat itu. Sharon yang menghampiriku berkata lantang-lantang di depan telingaku, entak aku tak mendengarnya.
Sekarang pikiranku hanya ada Sasha dan sesuatu yang ia sembunyikan. Pikiranku berputar, seperti lama menemukan jawaban.
Lebih baik aku ke hotel dulu, dan mempersiapkan diri untuk malam, sementara Sharon yang bersiap pulang ke Yogya telah memesan tiket 2 buah, katanya untuk besok dan tiket cadangan.
Aneh bukan? Sharon aneh.
Aku lebih baik berfikir positif saja, siapa tau, bisa terjadi hal baik. Keadaan semakin saja terbalik, hal-hal pengacau pikiranku muncul terus.
Perjalan ke hotel, merupakan perjalan yang cukup lama dari pantai itu. Aku kehabisan pikiran sekarang. Kepalaku kosong tak berisi, seketika aku menahan nafas, dan menghelakannya lagi perlahan. Aku menghadmdap matahari sore yang mulai terbenam itu, dan seketika tetesan matahari terakhir menghilang, aku memejamkan mataku dan membayangkan, kalau dia berada di sana.
(Skandar Skenario)
Aku membuka mataku, hari itu sudah menjelang malam kembali.
Aku menaruh tanganku di atas wajahku. Menutup mata dan mencoba mengingat kejadian
kemarin. Aku membenamkan semuanya dalan kotak berisi surat, yang berada tidak
jauh dari ranjangku sekarang. Kotak berisi kenangan itu..
Aku lebih baik bangun dan mencoba menyegarkan diriku, setelah hampir seharian penuh aku tertidur. Benak terasa lega, dan menyegarkan, ketika aku menginjakkan kaki di luar rumah, dan berdiri Sasha di sana. Aku menghampirinya dan melihat lekat wajahnya yang suram itu, dan pucat. Ia melihat ke atas dan menemukan wajahku di sana. Ia menundukkan kepalanya lagi "Skandar, nanti malam kita ke pantai yang biasa kamu datangi? Aku ingin ke sana, tapi kamu berangkat nanti duluan ya, aku ada urusan. Nanti ketemu di dekat tempat parkir di atas bukit"
Aku menggarukkan kepalu seiring mengangguk, dan melihatnya pergi kembali menaiki mobilnya dan hilang di antara keramaian. Sekarang sepertinya dia menyembunyikan sesuatu?
Lebih baik aku bersiap untuk nanti malam.
--------------------
Mereka berdua tidak tau, apa yang di rencanakan Sasha. Satu persatu mereka persiapkan untuk pertemuan tak terduga nanti malam, di pantai pasir putih itu. Seketika Sasha berjalan menyusuri jalan raya, ia menemukan banyak hal yang harus ia pikirkan. Skandar sekarang bukan siapa-siapanya lagi, sekarang hanya seorang lelaki yang kehilangan arah. Dan ia hanya bisa membantu dengan menuntunnya lagi ke jalan yang benar, ke arah yang benar. Bukan ke egoisan yang ia pakai sekarang, ia sudah lelah akan usahanya, dan sekarang ia akan mencari cinta, benar-benar cinta baru.
Malam menjelang, langit mulai gelap. Malam itu sedikit ada bintang. Sinar bulan sabit juga indah malam itu. Hembusan angin pantai, menerpa setiap detik jalan seseorang lalui. Desiran laut tak terhindari dari pantai pasir suci putih itu. Dingin menusuk, tak terhindar apapun yang yang dapat terjadi di sana.
Bisa perkiraan yang tepat?
Malam itu, apa bisa jadi pertemuan perubahan? Yang merubah kejadian masa lalu menjadi hanya jalan keras menuju kebenaran?
------------------
Aku memakai baju putih bergaris biru, kaus lengan panjang dengan celana pendek coklat, serta sepatu boots hitam sederhana. Di dalam kendaraan itu, Sharon sibuk mempersiapkan tasnya. Aku duduk dengan tas selempangku, dan di antar hingga ke tempat parkir di atas bukit pantai itu.
Sementara Skandar...
Aku lebih baik bangun dan mencoba menyegarkan diriku, setelah hampir seharian penuh aku tertidur. Benak terasa lega, dan menyegarkan, ketika aku menginjakkan kaki di luar rumah, dan berdiri Sasha di sana. Aku menghampirinya dan melihat lekat wajahnya yang suram itu, dan pucat. Ia melihat ke atas dan menemukan wajahku di sana. Ia menundukkan kepalanya lagi "Skandar, nanti malam kita ke pantai yang biasa kamu datangi? Aku ingin ke sana, tapi kamu berangkat nanti duluan ya, aku ada urusan. Nanti ketemu di dekat tempat parkir di atas bukit"
Aku menggarukkan kepalu seiring mengangguk, dan melihatnya pergi kembali menaiki mobilnya dan hilang di antara keramaian. Sekarang sepertinya dia menyembunyikan sesuatu?
Lebih baik aku bersiap untuk nanti malam.
--------------------
Mereka berdua tidak tau, apa yang di rencanakan Sasha. Satu persatu mereka persiapkan untuk pertemuan tak terduga nanti malam, di pantai pasir putih itu. Seketika Sasha berjalan menyusuri jalan raya, ia menemukan banyak hal yang harus ia pikirkan. Skandar sekarang bukan siapa-siapanya lagi, sekarang hanya seorang lelaki yang kehilangan arah. Dan ia hanya bisa membantu dengan menuntunnya lagi ke jalan yang benar, ke arah yang benar. Bukan ke egoisan yang ia pakai sekarang, ia sudah lelah akan usahanya, dan sekarang ia akan mencari cinta, benar-benar cinta baru.
Malam menjelang, langit mulai gelap. Malam itu sedikit ada bintang. Sinar bulan sabit juga indah malam itu. Hembusan angin pantai, menerpa setiap detik jalan seseorang lalui. Desiran laut tak terhindari dari pantai pasir suci putih itu. Dingin menusuk, tak terhindar apapun yang yang dapat terjadi di sana.
Bisa perkiraan yang tepat?
Malam itu, apa bisa jadi pertemuan perubahan? Yang merubah kejadian masa lalu menjadi hanya jalan keras menuju kebenaran?
------------------
Aku memakai baju putih bergaris biru, kaus lengan panjang dengan celana pendek coklat, serta sepatu boots hitam sederhana. Di dalam kendaraan itu, Sharon sibuk mempersiapkan tasnya. Aku duduk dengan tas selempangku, dan di antar hingga ke tempat parkir di atas bukit pantai itu.
Sementara Skandar...
Aku melihat jam, dan melihat sudah larut sekali. Aku ingat
harus pergi ke pantai itu, di tempat parkir di atas bukit menemui Sasha. Memang
biasa, tapi aku sudah lebih awal di sana. Sasha belum terlihat, aku melihat ke
arah tebing, dan sepertinya mempunyai panorama bagus, aku lebih baik ke sana
dan coba mengambil beberapa gambar. Dan meninggalkan lapangan parkir itu,
sambil menunggu Sasha.
(Back to Nayla)
Aku sampai, dan mengucapkan selama tinggal pada Sharon yang akan berangkat kembali ke Yogya malam itu. Aku melihat di atas sebuah kendaraan roda empat hitam. Seperti sedan terparkir di sana. Aku melihat kursi yang kami duduki tadi sore, dan aku menunggu Sasha di sana. Sambil berulang kali melihat ponselku, apa ada telfon dari Sasha atau tidak?
Di tengah waktu senggang, aku menunggu. Kemudian terdengar langkah seseorang melangkah di belakangku.
Sasha?
---------------
Skandar kembali dari petualangannya di dekat pinggiran pantai. Ia kembali dengan menemukan seseoramg sedang duduk di banggu kayu sedikit lapuk itu. Sinar memantulkan tubuhnya yang biasa dengan kaus putih bergaris biru. Ia melangkah mendekat dan demi langkah ia ambil.
Ia membalikkan tubuhnya dan melihat seseorang di baliknya. Seseorang dengan kamera SLR, dengan kaus panjang hitam, celana jins dan sepatu kets. Nayla melihat dengan wajah terkejut. Ia melihat wajah orang itu dengan wajah dan kagetan sama dengannya. Sinar bulan membuatnya lebih jelas, dan mereka berdua berpandangan.
Skandar lama berdiri akhirnya mulai mendekat dengan wajah kaku dan tertahan nafasnya. Nayla yang pada saat itu juga kaku, tak berkutik. Skandar mendekat dan akhirnya, Skandar berada tepat di depan wajah Nayla yang mendongkak ke atas.
(Skandar and Nayla)
Aku melihat wajahnya sekarang, sinar bulan begitu terik.
Aku melihat dirinya, duduk di sana dengan bayang hitam terbelakang sinar bulan.
Aku mulai mengambil langkah mendekat.
(Back to Nayla)
Aku sampai, dan mengucapkan selama tinggal pada Sharon yang akan berangkat kembali ke Yogya malam itu. Aku melihat di atas sebuah kendaraan roda empat hitam. Seperti sedan terparkir di sana. Aku melihat kursi yang kami duduki tadi sore, dan aku menunggu Sasha di sana. Sambil berulang kali melihat ponselku, apa ada telfon dari Sasha atau tidak?
Di tengah waktu senggang, aku menunggu. Kemudian terdengar langkah seseorang melangkah di belakangku.
Sasha?
---------------
Skandar kembali dari petualangannya di dekat pinggiran pantai. Ia kembali dengan menemukan seseoramg sedang duduk di banggu kayu sedikit lapuk itu. Sinar memantulkan tubuhnya yang biasa dengan kaus putih bergaris biru. Ia melangkah mendekat dan demi langkah ia ambil.
Ia membalikkan tubuhnya dan melihat seseorang di baliknya. Seseorang dengan kamera SLR, dengan kaus panjang hitam, celana jins dan sepatu kets. Nayla melihat dengan wajah terkejut. Ia melihat wajah orang itu dengan wajah dan kagetan sama dengannya. Sinar bulan membuatnya lebih jelas, dan mereka berdua berpandangan.
Skandar lama berdiri akhirnya mulai mendekat dengan wajah kaku dan tertahan nafasnya. Nayla yang pada saat itu juga kaku, tak berkutik. Skandar mendekat dan akhirnya, Skandar berada tepat di depan wajah Nayla yang mendongkak ke atas.
(Skandar and Nayla)
Aku melihat wajahnya sekarang, sinar bulan begitu terik.
Aku melihat dirinya, duduk di sana dengan bayang hitam terbelakang sinar bulan.
Aku mulai mengambil langkah mendekat.
Aku melihat ia mulai berjalan ke arahku. Aku tak bisa
bergerak. Tubuhku kaku, nafas tersendat, semuanya kenapa terasa begitu sulit.
Akhirnya, ia sampai tepat di depan wajahku yang mendongkak ke atas, melihat
wajahnya yang berpandangan tepat saling melihat mataku.
Aku melihat wajahnya, dan kedua mataku lekat di kedua bola matanya yang berkilau pantulan cahaya. Aku perlahan, mengeluarkan surat, yang kemarin Sasha tunjukkan. Dan memberikkannya pada gadis di depanku, seiring bertanya
"Apa kamu, Nay yang aku cari?"
Ia memberikan sepotong kertas berlipat mungil. Warnanya sudah kekuningan, agak tua memang. Aku mengambil kertas itu dan tak lepas dari pandangannya, dan kali ini aku terkejut. Pertanyaan dari mulutnya yang begitu kaku tapi tak terbata.
"Apa kamu, Nay yang aku cari?"
Ia kaku, tak berkutik. Aku tak banyak mau berkata lagi. Satu hal yang benar-benar aku ingin berkata padanya. Sambil memeluknya langsung, benakku telah berkata, dialah gadis yang selama ini, tersakiti oleh aksiku. Keacuhanku terhadap perasaan dia. sesungguhnya selama ini, akan aku minta permohonan maaf. Aku salah! Aku salah banyak padanya, sekarang hatinya mungkin tak bisa untukku lagi, tapi setidaknya, ia mau memaafkanku lagi, untuk terakhir kalinya..
Dia memelukku erat, tak melepaskan sedikitpun dekapannya. Ia terus memelukku, siapa dia? Aku pernah melihat air mata yang menetes sekarang dari matanya, aku tak sanggup berkata apa-apa lagi. Aku meletakkan tanganku perlahan di punggung yang tegak itu, dulu pernah duduk di depanku. Aku memeluknya erat, sampai aku tidak permisi pada air mata yang turus sekarang di pipiku.
Apakah dia, mengingatku?
Aku memeluknya terus, sambil perlahan meneteskan sedihku dan rindu akan dia di sana.
Bertanya pertanyaan, yang memang aku ingin tanyakan padanya.
"Nay, bisa maafkan aku tidak? Aku terlalu berdosa sekarang di matamu, aku tak sanggup lagi berkata selain memohon maaf. Aku salah, aku melupakanmu! Karena aksiku yang kebut waktu itu, untung kau tidak apa-apa. Aku kesal dan menyesal, aku ingat semuanya, hanya satu yang tak kuingat. Sebuah nama, nama seseorang yang aku cintai, mau seberapa aku lupa, sakit, kecelakaan, atau mati. Tetap Nayla, hanya Nayla. Walau kau bukan cinta pertamaku, aku berharap kau cinta terakhirku.
Nayla, salahkah aku. Mencintaimu sekali lagi?"
Aku melihat wajahnya, dan kedua mataku lekat di kedua bola matanya yang berkilau pantulan cahaya. Aku perlahan, mengeluarkan surat, yang kemarin Sasha tunjukkan. Dan memberikkannya pada gadis di depanku, seiring bertanya
"Apa kamu, Nay yang aku cari?"
Ia memberikan sepotong kertas berlipat mungil. Warnanya sudah kekuningan, agak tua memang. Aku mengambil kertas itu dan tak lepas dari pandangannya, dan kali ini aku terkejut. Pertanyaan dari mulutnya yang begitu kaku tapi tak terbata.
"Apa kamu, Nay yang aku cari?"
Ia kaku, tak berkutik. Aku tak banyak mau berkata lagi. Satu hal yang benar-benar aku ingin berkata padanya. Sambil memeluknya langsung, benakku telah berkata, dialah gadis yang selama ini, tersakiti oleh aksiku. Keacuhanku terhadap perasaan dia. sesungguhnya selama ini, akan aku minta permohonan maaf. Aku salah! Aku salah banyak padanya, sekarang hatinya mungkin tak bisa untukku lagi, tapi setidaknya, ia mau memaafkanku lagi, untuk terakhir kalinya..
Dia memelukku erat, tak melepaskan sedikitpun dekapannya. Ia terus memelukku, siapa dia? Aku pernah melihat air mata yang menetes sekarang dari matanya, aku tak sanggup berkata apa-apa lagi. Aku meletakkan tanganku perlahan di punggung yang tegak itu, dulu pernah duduk di depanku. Aku memeluknya erat, sampai aku tidak permisi pada air mata yang turus sekarang di pipiku.
Apakah dia, mengingatku?
Aku memeluknya terus, sambil perlahan meneteskan sedihku dan rindu akan dia di sana.
Bertanya pertanyaan, yang memang aku ingin tanyakan padanya.
"Nay, bisa maafkan aku tidak? Aku terlalu berdosa sekarang di matamu, aku tak sanggup lagi berkata selain memohon maaf. Aku salah, aku melupakanmu! Karena aksiku yang kebut waktu itu, untung kau tidak apa-apa. Aku kesal dan menyesal, aku ingat semuanya, hanya satu yang tak kuingat. Sebuah nama, nama seseorang yang aku cintai, mau seberapa aku lupa, sakit, kecelakaan, atau mati. Tetap Nayla, hanya Nayla. Walau kau bukan cinta pertamaku, aku berharap kau cinta terakhirku.
Nayla, salahkah aku. Mencintaimu sekali lagi?"
Aku menangis.
Aku tersedu.
Aku terharu.
Ia berkata di depan telingaku, sambil menangis. Aku mendorong tubuhnya menjauh, aku menatap wajahnya yang basah akan air mata.
"Aku.. Aku.. Selalu memaafkan semua kesalahamu. Aku tidak akan bisa tanpamu, senyumku, sedihku, amarahku. Semua itu hanya terkuak akanmu. Aku tau itu, kau bukan cinta pertamaku juga, aku juga berharap yang sama.
Skan, aku..
Aku tak sanggup berkata apa-apa lagi. Selama ini kamu masih memngingatku? Masih mengingat potonganku? Aku tidak sanggka akan itu. Aku kira kau benar tidak mengenaliku sebelumnya. Skan, aku tetap memilihmu. Aku mencintaimu selama ini, selamanya"
Dia menangis di depanku dengan jawaban itu. Aku terjatuh ke tanah. Ia benar Nay yang aku cari. Dia masih menerimaku? Mudah sekali. Oh ya, dia sahabatku dari dulu. Potongan yang hilang dan potongan paking penting di hatiku.
'Nay, your my missing piece. I'v been looking for you all this time. Your name, it's been on my head all this years'
Aku datang mendekatinya lagi memeluknya erat..
Sekian itu ia mendekatiku dan memelukku. Aku berbisik pelan "Skan, kamu tidak salah. Kalau kamu mencintaiku sekali lagi"
T. Last Confession
Berdiri di sana, tidak sendiri lagi.
Menangis di sana, tidak kesepian lagi.
Tertawa di sana, tidak merasa aneh lagi.
Semua telah berubah, walau dia tidak persis seperti dulu lagi. Tetap dia Skandar.
Lama hilang dari kitaran kami. Lama tidak mengingatku. Mungkin terkira dia benar menghilangkanku, kenyataan tidak.
Sekarang aku di pantai, berjalan tidak sendiri lagi, setiap jejak yang ku buat tidak menapak hanya sepasang kaki.
Desiran ombak pagi begitu melayangkan pikiran. Pantai tempat yang indah, sekolah dulu juga, berkesan tidak menyendiri.
Aku tersedu.
Aku terharu.
Ia berkata di depan telingaku, sambil menangis. Aku mendorong tubuhnya menjauh, aku menatap wajahnya yang basah akan air mata.
"Aku.. Aku.. Selalu memaafkan semua kesalahamu. Aku tidak akan bisa tanpamu, senyumku, sedihku, amarahku. Semua itu hanya terkuak akanmu. Aku tau itu, kau bukan cinta pertamaku juga, aku juga berharap yang sama.
Skan, aku..
Aku tak sanggup berkata apa-apa lagi. Selama ini kamu masih memngingatku? Masih mengingat potonganku? Aku tidak sanggka akan itu. Aku kira kau benar tidak mengenaliku sebelumnya. Skan, aku tetap memilihmu. Aku mencintaimu selama ini, selamanya"
Dia menangis di depanku dengan jawaban itu. Aku terjatuh ke tanah. Ia benar Nay yang aku cari. Dia masih menerimaku? Mudah sekali. Oh ya, dia sahabatku dari dulu. Potongan yang hilang dan potongan paking penting di hatiku.
'Nay, your my missing piece. I'v been looking for you all this time. Your name, it's been on my head all this years'
Aku datang mendekatinya lagi memeluknya erat..
Sekian itu ia mendekatiku dan memelukku. Aku berbisik pelan "Skan, kamu tidak salah. Kalau kamu mencintaiku sekali lagi"
T. Last Confession
Berdiri di sana, tidak sendiri lagi.
Menangis di sana, tidak kesepian lagi.
Tertawa di sana, tidak merasa aneh lagi.
Semua telah berubah, walau dia tidak persis seperti dulu lagi. Tetap dia Skandar.
Lama hilang dari kitaran kami. Lama tidak mengingatku. Mungkin terkira dia benar menghilangkanku, kenyataan tidak.
Sekarang aku di pantai, berjalan tidak sendiri lagi, setiap jejak yang ku buat tidak menapak hanya sepasang kaki.
Desiran ombak pagi begitu melayangkan pikiran. Pantai tempat yang indah, sekolah dulu juga, berkesan tidak menyendiri.
Kejauhan, melihat Felita asik dengan Sharon bermain air.
Tidak salah juga, bertemu Dedy dan Mei yang hampir lama sekali tidak melihat
mereka. Berdua sudah menikah ternyata, tak kusangka bertemu di sini. Membawa
buah hati mereka, berlibur di sini. Kami sempat berbincang, namun mereka sibuk
bergosip dengan Felita dan Sharon di kejauhan dekat tengah laut. Mereka semua
terlalu sibuk melakukan liburan di pantai Parangtritis itu. Aku terkikik ketika
memngingat pertanyaan Sharon dulu "apa terkesannya pantai ini?"
Buktinya sekarang ia terlalu senang dengan pantai kampung halamanmya sendiri.
Aku duduk di atas pasir, dan menikmati angin pagi yang begitu dingin menusuk.
2 tahun sejak pertemuan kami waktu itu.
Menggenggam kamera SLR, dengan berseri. Ia berjalan ke arahku dengan kaus usang berwarna putihnya itu dan celana pendek yang dulu ia suka pakai tidur di kostan. Senyumnya, membuat aku berkaca-kaca. Kembali mengingatkan akan masa lalu.
Awal bertemu dekat di kelas.
Merawat sakitku dengan mengorbakan nyawa.
Mengikuti langkahku bagai sahabat yang tak kenal perpisahan.
Menyayangiku.
Mengerti diriku perlahan, walau lamban.
Mengecewakanku.
Melihat aku menangis untuknya.
Lama tidak berjumpa, meninggalkanku waktu itu.
Memelukku, mencium keningku.
Kecelakaan yang membuat dia melupakanku.
Aku sukses, ia sukses.
Dia lupakan aku? Aku lupakan dia?
Dia tidak melupakanku. Hanya lupa namaku.
Aku tidak bisa melupakannya, kasih sayang darinya terlalu besar.
Hingga akhir malam itu, bertemu sekian kalinya.
Terima kasih Sasha, atas kerelaanmu, hari itu.
Dia memelukku, memberikan surat yang telah terbaca darinya.
"Apa kamu, Nay yang aku cari?" Kata-kata itu.
Dimulai lagi dari awal, segalanya.
Mau aku lupakan jatuh cinta pada dirinya?
Sepertinya jatuh cinta padanya akan menjadi terakhir untukku.
Skandar.
Mulai hari ini, dirimu akan selalu aku cintai, dan ku ukir di atas pasir putih, dan ukirannya tak akan pernah terhapus oleh desiran ombak sekuat apapun.
Aku duduk di atas pasir, dan menikmati angin pagi yang begitu dingin menusuk.
2 tahun sejak pertemuan kami waktu itu.
Menggenggam kamera SLR, dengan berseri. Ia berjalan ke arahku dengan kaus usang berwarna putihnya itu dan celana pendek yang dulu ia suka pakai tidur di kostan. Senyumnya, membuat aku berkaca-kaca. Kembali mengingatkan akan masa lalu.
Awal bertemu dekat di kelas.
Merawat sakitku dengan mengorbakan nyawa.
Mengikuti langkahku bagai sahabat yang tak kenal perpisahan.
Menyayangiku.
Mengerti diriku perlahan, walau lamban.
Mengecewakanku.
Melihat aku menangis untuknya.
Lama tidak berjumpa, meninggalkanku waktu itu.
Memelukku, mencium keningku.
Kecelakaan yang membuat dia melupakanku.
Aku sukses, ia sukses.
Dia lupakan aku? Aku lupakan dia?
Dia tidak melupakanku. Hanya lupa namaku.
Aku tidak bisa melupakannya, kasih sayang darinya terlalu besar.
Hingga akhir malam itu, bertemu sekian kalinya.
Terima kasih Sasha, atas kerelaanmu, hari itu.
Dia memelukku, memberikan surat yang telah terbaca darinya.
"Apa kamu, Nay yang aku cari?" Kata-kata itu.
Dimulai lagi dari awal, segalanya.
Mau aku lupakan jatuh cinta pada dirinya?
Sepertinya jatuh cinta padanya akan menjadi terakhir untukku.
Skandar.
Mulai hari ini, dirimu akan selalu aku cintai, dan ku ukir di atas pasir putih, dan ukirannya tak akan pernah terhapus oleh desiran ombak sekuat apapun.
(Skandar)
Ku tatapkan matanya lekat. Kameraku aku pengang, memotret setiap kegiatan yang ia lakukan di sana. Meski aku tidak bisa menjadi Skandar yang dulu, tapi setidaknya..
Aku bisa menjadi cintanya lagi.
Desiran ombak, embun pagi di dedaunan rimbun. Semuanya, aku potret bersamamu, hingga selamanya.
-tamat-
Aku berharap di balik lensa kamera di depanku kelak nanti, itu dirimu..
Finish 09.03.13
Memories series..
Ku tatapkan matanya lekat. Kameraku aku pengang, memotret setiap kegiatan yang ia lakukan di sana. Meski aku tidak bisa menjadi Skandar yang dulu, tapi setidaknya..
Aku bisa menjadi cintanya lagi.
Desiran ombak, embun pagi di dedaunan rimbun. Semuanya, aku potret bersamamu, hingga selamanya.
-tamat-
Aku berharap di balik lensa kamera di depanku kelak nanti, itu dirimu..
Finish 09.03.13
Memories series..
0 komentar:
Posting Komentar