Selasa, 02 Juli 2013

edisi cerpen! kisah setitik harapan

Amoride Design








Dimulai dari Setitik Harapan & Kepercayaan

Sebelum waktu itu menjemputku, aku harus melakukan hal yang ingin kulakukan selagi masih bisa menghirup udara segar dunia ini. Sebelum waktu itu tersendat, aku ingin membuatnya berjalan lebih lama lagi. Sebelum waktu itu, berhenti. Aku ingin dirimu mendengar pernyataanku serta kata-kata terakhir yang ingin ku ucapkan. Sebelum mata ini tidak mau terbuka lagi melihat dunia dan keindahannya, serta dirimu..

Bangun di atas ranjang rumah sakit merupakan kehidupanku sejak kecelakaan itu. Diriku terbaring di sini serasa tidak berguna dan lemah. Memalingkan wajah dari pintu kamar yang menyesakkan, menghadap jendela dengan sinar terik matahari menembus kaca membutakkan mata. Senyuman? Hanya kenangan lampau. Kecelakaan itu membuatku trauma akan dunia luar, namun rasa ingin tau serta keinginanku sembuh lebih kuat daripada penyakitku. Ingin terbebas dari penyakit ini untuk sementara waktu, ingin menginjakkan kaki ke luar, di luar pagar rumah sakit yang mengurungku. Ingin bertemu dan menyapa teman-temanku, melihat segala keindahan. Sebelum penyakit ini benar-benar, menghabiskan diriku dari muka bumi ini.


Bab 1


"Ray!"
panggil Saskia dari ujung lorong yang sunyi itu, membuat suaranya menggema. "Sudah aku bilang! Jangan berteriak namaku!" Ray menggerutu dengan berjalan susah payah dengan bersangga pada dinding rumah sakit yang dingin. "Kamu tuh aku ingatkan! Jangan terlalu memaksakan diri! Tau kondisi tubuhmu tidak sekuat dulu, harusnya banyak istirahat" "aku tidak lemah! Fisikku memang berkurang kekuatannya, tapi tidak menghambatku untuk sembuh bukan!"
Saskia, suster senior yang sudah lama mengenal Ray berkeliaran di sini, memang dirinya adalah suster yang bertanggung jawab atas pasien di lantai ini.
"Sudahlah, akan ku antar ke kamarmu"
Ray ingin mengelak, tetapi sekali-sekali memang sepatutnya dibantu oleh Saskia. Setiap hari ia menawarkan dirinya membantuku jika bertemu di lorong. Saskia menggenggam tangan Ray, menuntunnya menuju kamar di ujung lorong tersebut. Suster paruh baya itu membukakan pintu itu, terik sinar matahari memantul di atas lantai marmer warna putih pasir serta coklat muda kayu kering. "Aku akan kembali bertugas, jangan segan memangilku kalau ada apa-apa ya, selamat istirahat" Saskia menutup pintu kamar dan meninggalkan ruangan sunyi. "Seandainya aku dapat keluar dari tempat ini beberapa waktu, pergi ke rumah sodaraku yang tidak jauh dari sini dan menikmati sekolah. Bertemu semua kawanku dan sekedar menikmati sinar matahari" Ray menghela nafas sambil berdiri di depan jendela kamarnya yang memantulakan terik sinar matahari.

Duduk di atas kasurnya, dan menelentangkan tubuhnya dan melemaskan segala bebannya sambil menghadapkan wajahnya ke langit-langit kamar sunyi. Membuka dan menutupkan kedua kelopak matanya, Ray menghela nafas panjang, dan bangkit terduduk menghadap ke arah jendela kamarnya kembali.
"Andai saja aku bisa pergi keluar sana, luar pagar penjara ini! Setidaknya seharian aku bisa keluar"
Gumamnya berkali-kali sambil mengusap kepalanya keras. "Kehidupan rumah sakit ini menyiksaku! Sudah hampir lima tahun aku terkurung di tempat ini" ia terus mengeluh. Memang, sudah lima tahun lamanya sejak kejadian itu.
Waktu itu umurnya dua belas tahun, kecelakaan itu merenggut kedua orang tuanya serta kakak laki-lakinya. Ia tersisa seorang diri, saat di selamatkan. Keadaanya hampir tidak dapat ditertolong lagi, tapi dengan obat khusus ia dapat bertahan hingga sekarang, namun. Obat itu hanya ada di rumah sakit, jika ia tidak meminum obat itu dalam beberapa hari, keadaan fisiknya akan jatuh dan bisa berakibat koma bahkan, merenggut nyawanya sendiri. Ray kini menginjak usia tujuh belas tahun, usia dewasa untuk lelaki dewasa seperti dirinya, dan tentu ia ingin bebas.

Ray menundukkan kepalanya dan menaruh tangannya di dahi menyangga pikiran sambil menutup mata memikirkan sesuatu. Ah! Ray menjentikkan jarinya sambil membangkitkan tubuhnya membuka mata lebar. Lalu pandangannua berubah menghadap jendela serta selimut ranjangnya. Senyum liciknya terukir di wajahnya.
Aksinya berlanjut.
Hingga kedua kakinya menyentuh rerumputan di bawah kamarnya yang menyesakkan. Berlari dengan kedua kaki telanjang serta senyum lebar, ia melompati pagar rumah sakit dengan limcahnya.
Berlari ke arah tengah perumahan rumahnya yang tidak jauh dari rumah penjara itu. Dengan tangan semangat ia berlari. Lalu terhenti, sebelum menginjakkan kaki di rumahnya, ia membelokkan arahnya ke danau. Danau yang memantulkan sinar siang mentari yang menerikkan mata.
Ray menjatuhkan tubuhnya di kursi dekat danau yang berbatasan pagar besi berukir latin. Menghela nafas panjang, beristirahat di bawah rimbun pohon dedaunan lebat.
Merentangkan tangannya sepanjang senderan kursi taman itu. Tersenyum dengan bangga.
"Akhirnya bebas dari penjara itu, sejenak mengunjungi danau ini. Danau ini, mengingatkan aku akan teman-teman dulu. Coba saja aku tidak mengalami kecelakaan itu, memang teman-temanku hanya tau aku mati, tapi mereka akan terkejut jika tau aku di sini menikmati pemandangan siang danau ini"

--------

"Dokter!!" Panggil suster paruh baya itu. "Ada apa? Gaduh sekali!" Sahut manusia berpakaian jaket putih itu. "Ray! Ray!" Nafas suster itu terengah-engah karena terlalu menggaduhkan suasana. "Ray hilang!"

--------

"Baik aku pergi menemui keluargaku"
Ray bangkit dari istirahatnya dan mulai melangkah menjauh dari bayang pohon rindang itu. Kaca matanya memantulkan sinar terik matahari, menutup sedikit matanya silau. Ray kembali mengingat masa-masa itu. Ingatan masa lalunya bergulir, teringat kedua orang tuanya tertawa bebas serta kakak laki-lakinya yang menggendongnya hingga seperti terasa di langit. Senyum meringis terukir di wajahnya, langkah dengan kedua tangan di saku celana ia ambil dengan berat. Melihat ke depan menelusuri jalan yang sedikit berbatu itu, senja mulai mengambil alih pandangan langit.
Berdiri tegap di depan gerbang rumah keluarganya, menunduk dan menggelengkan kepalanya dengan cepat. Mengangkat tinggi kepalanya menghadap pagar jeruji tinggi itu, tampilannya masih sama.
Rumahnya masih sama lima tahun lalu. Ingat mobilnya melaju menjauh dari pagar, melihat lambaian kakek neneknya serta kakak perempuanya yang menjaga di rumah waktu itu. Ray mengambil langkah maju dan membunyikan bel rumah.

"Tunggu sebentar!" Teriak suara seorang perempuan. Suaranya bagi Ray begitu tidak asing. Hingga pintu rumah itu terbuka, terlihat kaku manusia yang berdiri di ambang pintu. Ray tersenyum, memiringkan wajahnya sedikit menghadap mata ke mata dengan bayangan itu.

"Kakak, sudah lama ya?"


Bab 2


Dokter berlalu lalang kebingungan. Suster Saskia mencari di tempat Ray biasa menghilang, tetapi hasil nihil. Wajahnya sudah berpeluh banyak bercucuran ke bawah dagunya. Hingga ia akhirnya melakukan cara terakhir, mencari keberadaan Ray di daerah tempat tinggalnya. Ia ingat Ray pernah bercerita di mana ia tinggal, mungkin dengan begitu ia dapat menemukan Ray bersinggah sekarang. Dengan kantung plastik berisikan obat khusus, Suster Saskia berangkat ke perumahan tempat keluarga Ray berada.

-------

"Kakak sudah lama ya?" Ray tersenyum ke arah bayangan di ambang pintu kayu itu. Bayangan itu bergerak maju dengan perlahan, melihat lebih jelas wajah yang ada di luar pagar jeruji rumah itu. Wanita itu terkejut hingga membukam mulutnya, berdiri kaku sesaat melihat seseorang yang ada di depannya. "Kakak masa sampai begitu? Lupa sama aku?" Ray merentangkan tangannya sambil membuat wajah seceria mungkin. Wanita itu langsung memeluknya, setelah pagar itu terbuka. Ia menguatkan pelukkannya sambil sedikit tersenyum terlalu tertahan. "Ini kamu kan dik? Ray?" Jawab suara pelan wanita di pelukkan Ray. Ray membalas pelukkan wanita di depannya, menutup matanya karena terik sinar matahari. "Iyalah gy, kakak Eggy. Ini aku Ray" Eggy melepas pelukkannya, membalikkan tubuhnya dan menarik tangan Ray ke dalam pagar. Lalu melemparkan kunci ke arah Ray. "Apa-apaan sudah disuruh" Ray menangkap kuncin itu membuat wajahnya mengerutu. "Tolong tutupin ya, setelah ini masuk. Ketemu sama kakek sama nenek juga" Eggy masuk dengan tangan melingkar di belakang dan berjalan santai, meninggalkan Ray di luar dengan kunci serta gerbang terbuka. Ray menghela nafasnya dan menutup gerbang. Sedikit senyum muncul di wajahnya "aku setidaknya tidak kehilangan orang yang satu ini" lalu tertawa kecil masuk ke rumahnya yang luas itu.

--------

Ray melepas bajunya dan bertelanjang dada turun ke ruang tengah. Berjalan menyusuri anak tangga sambil memainkan bajunya. "Ray! Pakai baju!!!" Sahut Eggy yang kebetulan lewat dengan ponsel di tangannya. "Mau pakai apa? Semua di rumah sakit" Eggy memiringkan wajahnya, sambil berwajah bingung. "Oh ya, coba jelaskan. Kenapa kamu masih hidup? Mama papa sudah tidak ada serta kak Jay. Kenapa kamu? Coba jelaskan padaku semuanya Ray" Ray berhenti memainkan bajunya dan menuruni anak tangga, dengan wajah memaling dari wajah Eggy. "Kita ke taman belakang aja ya? Aku tidak mau kakek dan nenek tau" Eggy mengangguk. Lalu berjalan ke taman belakang rumah luas itu.
Taman yang terurus rapi, air di kolam masih terlihat bersih, pantulan ikan koi dan mas terlihat jelas berenang di bawah air dan terik matahari. Ray duduk di anak tangga memisahkan rumput dan lantai. Eggy bersandar, melihat ke arah adiknya menuntut sebuah penjelasan. "Sekarang Ray, jelaskan aku, apa yang sebenarnya tejadi" Ray menghempaskan bajunya ke rerumputan di depannya. "Aku di selamatkan oleh seseorang, aku dulu tidak ingat wajahnya. Tiba-tiba sudah terbangun di kamar rumah sakit tidak jauh dari sini, dan terbalut perban dan jahitan. Serta alat bantu hidup! Suster dan dokterku mengatakan aku di selamatkan oleh seseorang yang rahasia, tiba-tiba saja meninggalkanku di kursi tunggu ruang gawat darurat. Dan aku tidak dapat keluar rumah sakit sejak itu" Ray diam sejenak menarik nafasnya lalu melanjutkan "dulu aku hampir tidak dapat di selamatkan, tapi karena obat khusus aku dapat selamat" Eggy terkejut dan langsung menegakkan tubuhnya "kalau kamu tidak minum obat itu bagaimana?!" Tanya panik Eggy. "Aku akan mengalami penurunan daya tahan tubuh, sisanya aku tidak ingin katakan padamu" Ray memalingkan wajahnya menghadap ke arah kolam. "Bagaimana cara aku mendapatkan obat itu?!" Ray menghela nafas panjang, mengatakan banyak hal kepada kakaknya yang satu ini "harus meminta pada dokterku di rumah sakit itu"

Lalu suara rem mobil terdengar dari pintu depan. "Sebentar Ray" kata Eggy bergegas ke dalam menuju depan rumahnya. Ray kemudian duduk bersila, melihat lenggak ikan berenang ia jadi serasa iri. "Fisikku yang lemah membatasi segalanya!" Teriak kesal melempar batu ke dalam kolam yang semua tenang.
Langkah cepat terdengar dari balik punggungnya. "Ray, ada yang mencarimu" sahut Eggy. Ray bangkit membalikkan tubuhnya, melihat suster Saskia telah berdiri membawakan kantung plastik penuh berisikan obat khusus miliknya. "Ray kamu kok kabur! Ke rumah sakit lagi ayo!" Tetapi Ray membantah keras "maaf, aku hanya ingin di sini bersama keluargaku untuk beberapa lama" suster Saskia mulai berkerut khawatir, Ray mengambil kantung plastik obat itu lalu memberikkannya kepada Eggy di sampingnya. "Sus, jangan khawatir! Aku kuat, lagi pula sementara ingin merasakan bagaimananya menjadi anak normal walau bertumpu pada obat ini" Ray tersenyum ramah kepada suater paruh baya yang sudah dianggapnya ibu sendiri. "Ia sus, sudah tidak apa-apa dia. Lagi pula saya di sini sebagai kakaknya akan menjaga dia" tambah Eggy. "Kalian berdua memang saudara, sama-sama keras keinginan" celoteh suster Saskia. "Baiklah, saya pulang. Janji dia tidak ada yang terjadi padanya" tegas suster Saskia. Ray dan Eggy mengangguk dengan cepat, serta senyum aneh.

--------

"Ray, kamu benar tidak apa-apa?" Tanya Eggy sambil memasukkan obat-obat itu ke dalam lemari. "Tidak apa-apa! Percaya saja, oh ya gy" Eggy menghentikan gerak tangannya dan memalingkan wajah ke arah Ray dengan ekspresi bertanya.
"Minta baju santai kak Jay boleh?" Eggy mengangguk, ia tau maksudnya. Memang dari tadi suster itu datang, Ray bertelanjang dada karena keringat membasahi bajunya seperti habis mandi hujan dalam sebuah video musik.
Eggy menutup lemari itu, lalu berjalan ke kamar di lantai dua, tepat di sebelah kamarnya. Eggy membuka kunci, dan melihat ranjang, meja, almari masih tersusun sedia kalanya. Ray melangkah masuk bersama Eggy, melihat sekeliling kamar kakak laki-lakinya yang sudah tiada itu. "Ray, kamu kangen tidak kamar ini?" Eggy berjongkok dan membuka laci almari mengeluarkan kotak-kotak berisikan pakaian sang kakak lelaki. "Iya, inget dulu suka di sini aku. Sama kak Jay, aku di ajarin gitar untuk acara kelulusan SD, lalu kalau aku kena marah mama, papa, atau kamu gy. Aku suka di sini nangis di pelukkan kak Jay yang tersenyum, suka temani aku dulu kalau main game pakai laptop, dan memperbolehkanku tidur di sini jika aku sulit tidur di kamarku" Ray menundukkan kepala menahan air matanya. "Kamu inget banget ya? Aku juga suka sama permainan gitar kak Jay, suka di temani latihan vokalku di sini juga. Oh ya, ini pakaiannya" memberi kotak kardus berisikan banyak pakaian kepada Ray yang berdiri. "Makasih gy, sekarang aku ke kamarku ya, kamu juga istirahat sebentar, sudah bantu aku banyak hari ini" Eggy berdiri lalu memeluk adik semata wayangnya itu erat. "Aku tidak mau kamu ikut hilang dengan kak Jay" Ray terkejut sedikit sambil melebarkan matanya. Ray hanya tersenyum "tidak, tidak akan pergi meninggalkanmu, gy"

Semua itu seketika berhenti. Menghambat langkah, menahan nafas. Suara membisingkan telinga berkata "jauhkan masa lalu" menjadi inti semua perubahan ini.
Mendadak? Memang, namun sepertinya realita akan mempertemukanku dengan kehidupan di masa kini.


Bab 3


Ray meletakkan kardus berisi pakaian itu di atas lantai berlapis keramik putih di kamanya. Menelentangkan tubuhnya yang bermandi keringat, mengusapkan dahi dengan tangannya. Melihat ke langit-langit kamarnya yang berlapis warna hitam, tidak berubah.
"Rindu akan ruangan ini" tertawa kecil menutup mata dengan lengannya. Terdiam sesaat di atas ranjangnya, ia menarik nafas perlahan lalu menghembusnya lagi dengan perlahan.
Sementara Eggy di kamar sebelah, merenung, meringkukkan tubuhnya di atas ranjang. Terdiam sesaat, mambayangkan saat-saat dulu, sebelum kecelakaan itu merenggut orang tua serta kakak laki-lakinya. Wajah Eggy bertekuk sedih. Ia sungguh berterima kasih pada siapa yang telah mempertemukan dirinya dengan adik laki-lakinya yang ia kira telah ikut pergi.
Ia ingat, berita lima tahun lalu.

Saat itu sedang menonton berita malam. Bersama kopi teman semata menonton hari itu. Hendak mengganti saluran, ia terhenti di satu berita.

"Telah di temukan jejak karet ban di daerah pegunungan Dieng, dan di temukan kap mobil dlserta pembatas jalan yang hancur di dekat jurang yang berbahaya, lalu telah di temukan nomor polisi, diduga telah ada kecelakaan kendaran yang melaju di daerah cukup sepi ini"

Eggy saat itu menoton sebentar, ia ingat keluarganya itu sedang berpergian ke daerah Dieng. Dan ketika nomor polisi itu tertunjuk kamera kameramen serta kap mobil yang tertinggal, ia terkejut. Bersujud di depan televisi, histeris membangunkan kakek neneknya dan membuat mereka bertanya-tanya. "Mobil mereka! Mobil mereka.. Kecelakaan!!!"

Eggy menghamburkan ingatn akan masa lalunya itu, dan bangkit dari ranjangnya keluar kamar. "Hari ini aku harus menjadikan hari bahagia untuk Ray"

--------

Ray berdiri di depan jendela kamarnya melihat matahari mulai larut dalam pelukkan bulan. Melihat dengan wajah sedikit berpeluh, ia berjalan ke luar kamar menuju taman belakang. Menuruni tangga yang berlapis kayu itu, perlahan membuka pintu taman belakang. Terdiam.
"Kamu ngapain di sini? Pergi sana ke danau"
Suara dari belakang punggung Ray mengagetkan. "Gy! Jangan ngagetin!" Eggy bersandar di ambang pintu dan tertawa "benarkan mau ke danau kalau lagi nganggur gini?" Berjalan mendekat ke arah Ray, hingga wajah mereka bertemu. "Ah..eh.. Iya-iya aku ke danau" Ray langsung bangkit, dan berjalan cepat menuju pintu depan dan membuka gerbang, meninggalkannya terbuka.

Berjalan menuju area danau, dengan santai melihat langit berpadu jingga dan biru tua. Kembali lagi Ray duduk di atas bangku kayu itu di bawah pohon rindang serta pandangan tepat di depan pagar besi batasan danau dengan dirinya.
"Ray?!" Suara mengagetkan Ray yang langsung berbalik wajah menuju asal suara itu. "Siapa di sana?" Ray berbalik menjawab. Lalu suara langkah sepatu mendekat ke arahnya. Ray melebarkan matanya melihat siapa di depannya. "Renaldi?!" Bayangan itu mendekat, terpantul sinar lampu. Ray bangkit dari tempat duduknya lalu berwajah tersenyum lebar dengan barisan giginya yang terlihat rata. "Diam saja rel? Ada apa?" Ray berwajah bingung. Langsung Renaldi memeluk sahabatnya yang berdiri sekarang si depannya. "Aku kira kau sudah tidak ada Ray!" Ray melebarkan matanya "aku di sini sekarang di depan kau, aku selamat dari kecelakaan itu" Renaldi melepas pelukkannya dan langsung berjalan menjauh "rel! Mau kemana kau?" Renaldi berbalik "aku panggil yang lain" Ray tersentak 'ada yang lain?'
Lalu berbondong kumpulan remaja seumurannya datang mendekat. Ray terkejut melihat semua sahabatnya berbaris dengan senyum dan tawa berseri. "Rel" panggil Ray. "Apa? Kamu cari yang itu ya?" Ray memiringkan kepala "yang mana?" Renaldi menepuk punggung sahabatnya itu "yang cantik, siapa ya? Hmm, ah! Friella?" Ray tertawa dan menggelengkan kepalanya "bukan, aku cari F yang satu lagi" Renaldi melipat tangannya dan berwajah mengerutkan kening berfikir. "Felita maksudmu?" Ray menjentikkan jari. "Ya! Mana dia?" Renaldi menggelengkan kepalanya "masa cari yang sedikit berisi sih?! Kena sambet petir apa kau?" Ray membelokkan wajahnya dengan tatapan kesal ke Renaldi. "Dia di sana biasa di pagar, kalau begitu aku pergi sama yang lain kamu sama dia ya?" Ray menggerakkan tangannya ke atas dan menggelengkan kepalanya. Tapi Renaldi berpura-pura tidak melihat, berjalan menjauh meninggalkan Ray dengan sosok di pagar danau itu. Ray menghela nafas lalu tersenyum berjalan ke arah pagar perbatasan itu. "Permisi, boleh gabung?" Gadis itu terkejut. Memalingkan wajahnya ke arah asal suara penawaran itu. "Ray?!" Terkejutnya sama seperti dulu, saat pertama kali di kagetkan Ray di sekolah. "Kamu sehat ya fel? Aku senang kalau kamu sehat" Ray menyandarkan tangannya, menyangga tubuhnya di pagar besi. Felita memalingkan wajahnya menghadap ke arah danau yang mulai berhenti mamantulkan sinar mentari. "Aku sehat, kamu juga kan Ray?" Ray tersenyum ke arah danau. "Ya aku sehat, buktinya sekarang aku bisa ketemu kamu"

Felita terkikik geli "masih sama seperti lima tahun lalu ya? Ingat umurmu Ray" Ray tertawa, dia menggelengkan kepalanya. "fel, jujur aku senang bertemu denganmu" Felita membelokkan wajahnya menghadap langsung ke arah Ray "aku juga sama" senyumnya. Ray tersenyum dan menegakkan wajahnya ke arah langit yang mulai menggelap "kamu tidak tanya aku kenapa kembali hidup?" Felita menggelengkan wajahnya "untuk apa itu ditanyakan? Yang di pentingkan kamu sudah ada di sini dan aku melihatmu" Ray menggelengkan wajahnya "baiklah, ayo ke teman-teman" Ray menarik tangan Felita "kamu kenapa?! Jangan pegang tanganku!" Felita menghempas kasar tangannya mencoba melepas genggaman tangan Ray yang tiba-tiba memegang tangannya. Menaruh tangan di belakang punggungnya Felita berjalan. Ray sedikit terkejut, tapi kemudian menggelengkan kepalanya. "Aku juga masih seperti ini padanya dari dulu" gumam Ray di hati kecilnya.

--------

"Haduh tuh anak! Ray kemana lagi? Masa sudah malam tidak kembali?" Eggy menggaruk-garuk kepalanya. Lalu ketukkan pagar terdengar. Eggy dengan langkah kilat membuka pintu depan, Ray di sana bersama ketiga sahabatnya. "Ray!" Panggil Eggy dari pintu rumah berlapis kayu itu. Ray menoleh lalu tersenyum, melangkah ke arah Eggy "gy boleh temanku berkunjung?" Eggy menyipitkan matanya melihat ke arah sahabar-sahabat adik-adiknya yang melambai ketika mata Eggy mendarat di wajah mereka. Eggy berfikir sesaat, matanya tertutup. "Baiklah!" Ray tersenyum lebar memeluk kakaknya yang bertubuh lebih pendek darinya. "Terima kasih" Eggy menyuruh mereka masuk, lalu menuju ruang tengah, menonton televisi adalah hobinya dari dahulu kala. "Kalian cepat masuk!" Panggil Ray. "Ray! Aku pulang saja, sekalian antar anak ini" menunjuk ke arah Tara, gadis paling muda, walau hanya berbeda satu tahun. "Kamu sama Felita saja ya!" Renaldi cepat-cepat pergi tapi langkahnya terhenti. "Oh ya Ray! Titip salam kak Eggy ya" Ray dan Felita memandang mata ke mata, lalu Ray terhambur dan melihat ke arah Renaldi "kenapa sama kakakku?" Renaldi tersenyum kecil. "Tidak apa-apa besok kubicarakan denganmu saat pagi di danau? Bagaimana? Jam tujuh?" Ray menghela nafas lalu mengangguk. Renaldi dan Tara meninggalkan Ray dan Felita terpaku. "Ray masuk aja? Aku tidak mau ini terlalu lama" Ray terkejut dari lamunannya "hah? Oh? Baiklah kita masuk" Felita melewati pintu lalu menaruh sepatunya di depan pintu dengan rapi. Ray menyusul namun, kepalanya sesaat berputar. Hampir saat melangkah menaiki anak tangga ia jatuh. "Ada apa ini? Padahal hari ini aku sudah meminum obatnya" tangan berulur memegang dahinya yang berkeringat dingin. Ia mengusapnya kasar. "Aku tidak boleh lengah! Semangat!" Ia berdiri tegak lalu menyusul menutup pintu.

--------

Eggy tertawa-tawa melihat Felita yang membuat wajah aneh. Sudah lama ia tidak tertawa sekencang ini. Memang esok ia harus kembali ke kampus, belajar dengan pendidikkan tinggi, Eggy gadis yang cemerlang. Ahli dalam desain intirior membuatnya sangat dapat di andalkan, di tambah ia baik, ramah, ahli mengurus rumah tangga. Kecuali..

Seketika sesuatu terbang di depan wajah Eggy. "Aaaa?!? Apaan itu!?!" Eggy dengan sigap berlari menjauh dari sofa. Ray memiringkan wajahnya, Felita juga merasa bingung, lalu melihat nyamuk terbang dan menepuknya dengan kedua telapak tangannya. Lalu Ray terdiam, menepuk dahinya kemudian. "Aku lupa kamu takut serangga gy" Ray tertawa. Eggy merengut "jangan menertawakan kakakmu bodoh!" Eggy memukul kepala Ray dengan jarinya. Felita memiringkan wajahnya tertawa.

--------

Ray pergi ke taman belakang. Duduk di anak tangganya meninggalkan pintu terbuka dan membiarkan sinar lampu taman dan ruangan di dalam menemaninya melihat ke langit. Ia melihat langit dengan senyum lembut.
Felita tidak sengaja melewati pintu belakang yang terbuka, terlihat Ray dengan kaus hitam dan celana pendeknya duduk santai. Felita pun menyusulnya ke belakang. "Lagi apa kamu Ray?" Ray tersentak lalu menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Tidak-tidak! Hanya menengkan diri" Ray pun memalingkan wajahnya ke arah lain. Felita pun ikut menatap langit. Langit malam itu, begitu indah. Memantulkan bulan purnama di kolam yang bergemuruh air mancur berlampu redup. Gemercik air dan suara jangkrik menyatu bagi alunan musik di malam. "Ray?" Ray menoleh ke arah sahabatnya yang duduk di sampingnya. "Kamu.. Kenapa ingin kembali ke sini? Ke dunia di luar" Ray memiringkan wajahnya.
"Apa maksudmu fel?"
"Maksudku, tujuan apa yang membuatmu kembali setelah lama ini hilang entah kemana, dikira mati. Malah di sini bicara sama aku"
"Hmm, tujuannya ya? Ada sih. Ketemu keluarga, mengingat ingatan dulu sebelum kecelakaan. Lalu..." Ray terdiam, dan berfikir 'sepertinya Felita belum tau kalau Ray selama ini di rumah sakit bertahan hidup bertopang alat dan obat'
"Lalu apa Ray?"
"Hmm.. Ingin mengatakan sesuatu pada seseorang" Ray tersenyum bangga melihat ke langit. Matanya penuh harapan, bahwa ia ingin bertahan di sini bersama seseorang itu. Felita memiringkan wajahnya, tersenyum. "Siapa seseorang itu?"
"R..a..h..a..s..i..a" sambil membelokkan wajah ke Felita lalu tersenyum mengejek. Felita mengerutkan alisnya "buat penasaran terus kamu dari dulu!" Ray lalu menjulurkan lidah mengejek "Itulah aku!".

Saat Felita meninggalkan rumah. Ray menghela nafas panjang sambil duduk di atas sofa bersama kakaknya menonton televisi. "Kebiasaanmu ya gy? Tidak penah hilang. Sampai kuliah" Eggy tersenyum getir. "Biarkan! Aku suka menonton daripada buka buku kuliah setebal itu. Oh ya kamu suka sama Felita ya?" Ray tersendat air teh yang ia minum. "Apa?!" Matanya langsung menoleh ke arah Eggy yang tertawa. "Iya kan? Gadis seunik dia cuma ada satu. Walau tubuhnya agak kekurangan, namun dia gadis yang sangat baik" Eggy menjentikkan jari. "Oh ya, Renaldi tadi titip salam untukmu" Eggy terkaget, wajahnya memerah. Ray melihat kakaknya agak aneh mendengar pesan darinya. "Ada apa? Terasa sesuatu ya?" Ejek Ray dengan frontal. "Tidak Felita!" Ray terkaget melihat kakaknya menyebut nama itu secara langsung. "Gy akan kubalas kau suatu saat!!!" Eggy tertawa lalu memukul kepala adiknya.
"Bodoh"
"Apa maksdunya memukul kepalaku?!"
"Tidak ada, hanya ingin memukulmu. Kamu masih ingin nonton? Aku mau tidur besok dapat jadwal pagi"
"Iya sudah. Istirahat sana tuan putri genit"
"Apa?"
"Tidak"
Eggy meninggalkan adiknya menonton televisi. Lalu Ray menengok, kakaknya telah naik ke kamar. Bergegas ia menuju almari obatnya lalu meminum satu butir pil. Kemudian dia bergurau sambil mengusap kepalanya yang tidak sakit. Kemudian ia tersenyum.

"Eggy-Eggy. Kamua paling tau aku ya? Walau itu tapi.. Kamu tidak tau fisikku"


Bab 4


Matahari menunjukkan pukul enam pagi. Sang surya baru menampakkan dirinya di antara awan sedikit kelabu, sang bulan kembali menutup matanya menanti hingga langit berganti senja jingga biru. Ray dengan rambut berantakkan, bertelanjang dada, serta celana pendek. Turun beserta wajah kikuknya. Eggy dengan rapi memakai pakaian jins berpadu dengan kemeja bergaris kuning, menuangkan teh di cangkir-cangkir yang ada di atas meja makan utama.
"Pagi Ray" kakek dengan koran duduk bersantai di atas kursi makan. "Ah pagi Ray" nenek ikut menyapa dari dapur di temani Eggy yang sibuk menyiapkan sarapan. "Pagi" Ray membalas dengan usapan kepalanya. Ia ke almari dan meminum pil itu. Lalu duduk bersama dengan keluarganya dan makan di meja makan.
"Ray, kata Eggy kamu tertarik dengan seseorang ya?"
Tanya nenek sambil membuat roti. Wajah Ray langsung terbangun dari kantuknya "tidak-tidak! Bukan seperti yang kalian kira" Ray membuat tingkah aneh seperti melambai 'bukan' dengan kedua tangannya. "Kamu jangan bohong sama nenek. Nanti nenek tau lebih banyak, beritahu saja iya atau tidak" sahut kakek dengan segelas teh hangat tawar di jemarinya. "Hmm, aku memang tertarik dengan seseorang. Tapi rahasia" Eggy melirik ke arah adiknya yang asyiknya meminum teh susu hangat itu. "Kamu tidak sekolah saja Ray?" Ray membuka matanya, lalu bersinar-sinar. "Boleh apa? Aku sekolah?"
"Boleh asal biaya cari sendiri dulu"
"Ada-ada aja mending langsung kerja"
"Kamu baru lulus SD emang ada yang mau terima kerja? Apalagi kamu terhitung SMA lho sekarang"
"Alah! Sudahlah lupakan. Aku ada janji dengan Renaldi di danau, jadi aku pamit duluan. Nenek kakek aku berangkat dulu"
Eggy melihat adiknya itu jalan menjauh lalu teringat sesuatu. "Ray! Tidak pakai baju?"
Ray terhenti langkahnya lalu membelokkan kepalanya ke arah suara Eggy berada. Ia membatu sesat, lalu berlari ke arah kamarnya menaiki anak tangga. Eggy dan nenek mengelengkan kepalanya seakan Ray memang sangat kikuk.

--------

Suara-suara kicauan burung, gemercik ikan melompat di danau yang bening hingga dasarnya yang berbatu sedikit berlumut hijau itu terlihat dengan sinar mentari. Dengan terdengar tawa, anak-anak berlarian, serta suara peliharaan dengan pemiliknya berjalan menyusuri setapak dekat danau. Ray berjalan dengan tenang, terhenti lalu bersandar pada pagar pembatas jeruji itu. Menunggu sahabatnya terlihat dengan celana 'trainer' hitam dan baju kaus putih polos. "Ray!" Suara Renaldi yang terengah-engah sampai di depan wajah Ray yang datar dan melihat ke bawah tempat sahabatnya sedang membungkuk. "Rel, beritahu aku apa maksdu kemarin" Renaldi pun berdiri, mengusap keringatnya dan merapikan bajunya. Lalu ia menghembuskan nafas panjang.
"Soal kemarin..."
"Beritahu sekarang! Tidak ada menunggu"
"Aku sebenarnya suka Eggy kakakmu itu"
"Suka?! Tidak salah dengar?!"
"Iya aku suka. Dan ya dia menolakku dulu saat aku menyampaikan perasaanku"
"Lalu? Kau tidak menyerah?"
"Untuk apa menyerah, seperti bertarung dengan penyakit keras bukan? Harus ada semangat untuk hidup merupakan kunci pertama semangat itu. Sama dengan suka bukan? Masih ada segala cara di dunia ini yang belum kita coba untuk melakukan hal yang ingin kita ingini"
"Benar juga, dan aku beritahu. Kakakku tersipu saat aku menyampaikan salammu tadi malam"
Wajah Renaldi langsung terkejut lalu menutupnya dengan telapak tangan. Ray memiringkan wajahnya tertawa karena sahabatnya tersipu.
"Tau arti dia tersipu kam rel?"
"Tidak tuh"
"Kamu bohong saja!"
"Felita oh Felita"
"Kenapa dengannya?"
"Tidak-tidak hanya berkata"
Ray memalingkan wajahnya menghadap ke arah lain. Wajahnya sedikit memerah. Renaldi menampakkan senyum puasnya dan tertawa.
"Suka sama dia kok tidak ngomong-ngomong" Renaldi menyikut tangan Ray dengan sikutnya. Ray terkejut lalu memukul sahabatnya dengan sedikit kasar.
Lalu Ray berasa hal yang sama seperti tadi malam, kepalanya berputar. Lalu ia terjatuh ke atas jalan setapak berbatu bata itu. "Eh?! Kau kenapa Ray?!"
"Tidak apa-apa, hanya mengantuk"
Ray bangkit berdiri dan merapikan pakaiannya dan menunjukkan senyum. Renaldi menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal itu. 'Sepertinya ada yang aneh sama Ray' ucap hati Renaldi. Ray berjalan sedikit menjauh, lalu berbalik badan "kau mau ngapain berbatu di sana?" Renaldi pun menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Aku hanya memikirkan sesuatu, tidak penting" Ray pun mengangguk, lalu berlari menyusuri jalan setapak berbatu itu. Renaldi mengikuti sahabatnya yang berlari di depannya. Ia memperhatikan sesuatu hal-hal yang mencurigakan. Ray sedikit demi sedikit menyusuri jalan itu tanpa Renaldi di belakangnya. Ia mengeluarkan ponselnya lalu mengetik nomer
"Hallo"
"Iya? Ada apa telfon pagi-pagi? Tau sekarang jadwal pagi kan?"
"Oh ya, maaf. Tapi ini penting Eggy"
"Apa yang mau kamu tanyakan?"
"Tentang Ray, apa yang dia sembunyikan? Atau apa yang kalian sembunyikan?"

--------

Ray menyadari dirinya berada jauh dari sosok Renaldi yang tidak terlihat. Ia tidak terlalu memikirkannya lalu berjalan. Sampai di ujung setapak, sebuah taman alun-alun di tempat perumahan mereka. "Tempat ini, mengingatkanku pada saat aku membuka mataku menyusuri jalan raya besar sana" Ray menundukkan kepalanya dan tersenyum nyeri. Lalu ia menyusuri taman itu, masih banyak orang berkeliaran. Cuaca pagi masih dingin dan sejuk. Ray beristirahat di atas ayunan anak-anak di tempat bermain, lalu membersihkan dahinya dengan handuk mengusap keringat. Melihat ke depan, seseorang berjalan dengan headphone mini terpasang di telinganya dan ponsel terpasang di ujung satunya. Sosok itu berdiri di depan Ray dengan wajah penuh keringat. Mendongkakkan kepalanya ke fatas Ray melihat sosok itu. "Ngapain kamu di sini pagi-pagi?" sahut orang itu. "kamu juga ngapain di sini pagi-pagi. kalau aku ada janji sama Renaldi" orang itu membungkuk dan wajha mereka pun bertemu. "oh? kukira janjian sama pacar pagi-pagi" Ray mengerutkan alisnya.
"pacar katamu?"
"kan hanya mengira, sudah lupakan"
"oh? lalu apa yang kmau lakukan di sini?"
"olahragalah! ngapain lagi?"
"sekolah?"
"lupa ini bulan apa ya Ray?"
"hah? Memang bulan apa ini? April kan?"
"Juli pinter"
"hah? Masa sih?"
"ini realita Ray jangan ditolak"
"tau kok, duduk sini sebelahku"
Sosok itu duduk di samping Ray, ayunan yang berpasang dua itu. Renaldi datang dengan senyum puas dan licik. "ehm-ehm yang berduaan di pagi hari" Ray dan Felita membelokkan wajahnya ke arah Renaldi yang berada di belakang ayunan. "memang tidak boleh apa?" wajah Felita mengerut seakan tidak terima apa yang barusan di katakan Renaldi. "tidak-tidak kok, nanti kamu akan tau sendiri" senyum getirnya muncul. Ray menggelengkan kepalanya, lalu melanjutkan melihat keindahan langit serta mendengar tawa semua orang lengkap dengan hembusan angin pagi yang menyegarkan.

--------

Sore menjelang, sang surya kembali menutup matanya di pelukkan dewi malam purnama. Bintang yang sedikit menampakkan sinarnya malam itu, mendungnya cuaca membuatnya tambah menenangkan suasana malam.
Ray masih di dalam menonton televisi, sementara Eggy masih belum pulang dari kampusnya.
Eggy mengendarai kendaraannya dengan cepat, berhenti di sebuah kafe di sebrang lain danau. Keluar dengan wajah sedikit lelah karena kuliah. "Hei tumben kamu bisa datang" Eggy menaikkan kepalanya lalu tersenyum kasihan "maksudmu apa? Lagi pula aku juga ada yang harus di katakan padamu, pagi tadi tidak sempat" Renaldi bersandar pada salah satu tiang penyangga di pintu utama kafe. "Silahkan masuk, aku sudah pesan tempat" kata Renaldi mengulurkan tangan. Eggy tersenyum dan berjalan sendirian, Renaldi menggelengkan kepalanya lalu tersenyum getir.
Mereka duduk di dekat danau, hanya di batasi pagar besi dan berhias bunga-bunga serba merah muda dan merah darah. Renaldi duduk santai, dan memalingkan wajahnya ke arah danau, melihat ke arah sebrang danau tempat Ray biasa ada. "Rel, soal Ray" Renaldi langsung memusatkan wajah dan pendengarannya ke arah Eggy yang duduk di depannya.
"Ray itu hidup karena pertolongan obat khusus, kalau dia tidak minum obat itu, dia bisa melemah. Mangkanya selama ini ia di rumah sakit, aku saja tidak tau dia masih hidup, tiba-tiba muncul di pintu pagar. Lalu kenapa kamu tanya begitu?"
"Hah?! Dia bertahan hidup karena obat?! Aku bertanya begitu karena, aku melihat ia hampir pingsan, tubuhnya berkeringat pagi ini di taman dekat danau"
"Pingsan?! Lalu?!"
"Jangan panik dulu, dia langsung bangun. Lalu tersenyum ke arahku, setelah itu berlari pergi ke arah yang berlawanan, saat aku menelfonmu itu"
"Hmm, syukurlah. Terima kasih sudah menjadi sahabat yang baik untuknya"
"Aku sudah melakukan yang ku bisa, sekarang ada yang ingin aku bicarakan"
"Kalau soal makanan atau acara televisi kamu akan kalah"
"Kamu? Bukan! Aduh. Kamu mau komedi tidak bisa ya? Gagal total kelihatannya"
"Tidak ada niat tertawa atau komedi-komedian!"
"Hahaha, sekarang Eggy. Kamu tau aku tidak akan menyerah"
"Aku tau, karena itu juga aku ingin berbicara denganmu"
"Mau menolakku untuk ke sekian kalinya?"
"Bukan. Justru.. Aku ingin sebaliknya"
Wajah Eggy langsung tersipu, ia memalingkannya dari Renaldi yang terkejut dan melebarkan matanya itu,
"Maksudnya?!"
"Ya.. Aku menerima pernyataanmu rel"
"Ah..ehm?! Hah?! Aku mimpi?!"
"Kamu tidak mimpi! Mau aku cubit biar ada bukti?"
"Tidak-tidak, itu terlalu membuktikanis"
"Apaan itu membuktikanis? Kata baru di kamus bahasa indonesia?"
"Bukan! Itu terlalu menunjukkan bukti, dan itu sifat manusia!"
"Baru tau tuh, kamu anak pinter?"
"Tidak biasa saja, lagi pula kamu yang pinter kok"
"Tidak kok! Aku biasa juga malahan kamu yang pinter"
"Mau tau kamu aku anggap pinter?"
"Boleh tuh, kenapa?"
"Kamu mudahnya mencuri hatiku"
"Gombal!"
"Kenyataan kan?"
Eggy dan Renaldi tertawa sambil menikmati sore mereka dengan secangkir kopi dan kue.

Ray menonton televisi sendirian di ruang tengah, mengganti-ganti saluran dengan bodohnya. Lalu ia melirik jam di dinding, sudah lumayan larut. Eggy sedang mengunci pagar, baru tiba dari urusannya. "Malam Ray, kamu tidak apa-apa hari ini?" Tanya Eggy. Ray langsung membalikkan tubuhnya dengan terkejut "tidak apa-apa kok? Memang ada apa bertanya seperti itu?" Eggy sambil membuat teh hangat di dapur dengan 'mini bar' ia tersenyum lalu membawakan dua cangkir teh ke ruang tengah. "Teh?" Eggy tertawa lalu menggangguk sambil memberikan cangkir putih bening itu ke tangan Ray. "Gy kamu tadi ngapain kok pulang lama?" Eggy tersenyum menghadapkan kedua matanya ke atas genting.
"Rahasia aku dong Ray"
"Main rahasia nih sekarang?"
"Dari zaman batu"
"Kamu kakak aku yang generasi ke berapa?"
"Sudah Ray jangan buat aku tertawa"
Mereka berdua tertawa ria sepanjang larut hingga subuh.
Tidak tau apa yang akan mendekat di kemudian hari.

--------

Ray terbangun di sofa yang sejak malam ia singgahi. Ia membuka kedua matanya dengan perlahan, melirik ke kanan dan ke kiri. Ia sadar Eggy sudah pergi kuliah, meninggalkan dirinya di atas sofa. Ray bangkit berdiri sambil membetulkan rambutnya yang acak-acakkan. Melihat di atas meja makan, ada sepotong roti dan teh. Ray tersenyum, lalu dengan sigap meminum itu dengan semangat. Kakeknya dengan koran di tangannya dari teras depan masuk, dan menemukan Ray yang semangat menyantap sarapannya. "Pagi Ray, kamu semangat sekali pagi ini" Ray yang sedang menyantap sarapannya itu terhenti dan membalikkan tubuhnya dengan wajah mulut penuh dengan roti yang masih dalam proses 'penghancuran' dengan senyum gagal yang bisa membuat siapa saja tertawa. "Makan dulu habiskan baru senyum seperti itu sama kakek" Ray mengangguk lalu kembali menyantap sarapannya.

--------

Danau. Pagi itu mendung, matahari belum terlihat dari balik selimut awannya. Bunyi danau yang tenang, dipadu angin dengan dingin menusuk kulit. Menundukkan kepala dengan tangan bersandar pada pagar pembatas berukir berbahan besi.

"Aduh, seperti ini coba saja langit terang pasti..."
"Pasti apa Ray?"
Ray membalikkan tubuhnya dengan wajah setengah terkejut.
"Pagi-pagi lagi? Ngapain di sini?"
"Tidak, cuma kebetulan lagi bertemu"
"Oh?"
"Ada yang ingin aku tanyakan"
"Apakah itu?"
"Benar ya? Kau bertahan hidup dengan obat?"

Bab 5


Ray memasang wajah terkejut dan menundukkan kepalanya sesaat lalu mengangkatnya kembali. Lalu menggelengkan kepalanya dengam lamban.
"Itu benar tapi..."
"Tapi apa? Kau tidak memberitahu siapapun selain keluargamu! Kenapa?"
"Karena aku tidak mau orang merasakan aku lemah! Walau aku hanya bisa hidup sedikit lagi, setidaknya aku dapat melakukan sesuatu yang aku inginkan sebelum hari itu terjadi!"
"Ray, kau tau. Bagiku ini lumayan mengejutkan tapi kau tau siapa yang akan marah dan memukulimu hidup-hidup?"
"Itu berlebihan, iya. Aku tau itu siapa, nanti akan kuberitahu dia"
Mereka berdua berbincang dan di kejutkan oleh Felita yang kebetulan lewat.
"Hai? Kalian berdua pacaran lagi?"
"Enak saja fel! Kebetulan saja ini ketemu dia" Renaldi menunjuk bahu Ray dengan telunjuknya. Ray memperhatikan wajah Renaldi dan Felita bergantian. Lalu Felita memandang wajah Ray cukup lama, sebelumnya ia merasa ada yang sedikit aneh dengan Ray, tapi ia melupakan rasa ingin taunya itu.
"Hei, kalian berdua besok mau ikut pergi tidak?"
"Kemana fel?"
"Ke taman bermain anak-anak seumuran kita lah?"
"Club malam?"
"Hei mulut di jaga kau rel!"
"Iya-iya Ray! Jadi fel kita kemana?"
"Ke taman rekreasi lah, kalau tidak. Ke Bromo saja yuk? Nginap!"
"Boleh tuh, Ray ikut?"
"Boleh-boleh kapan?"
"Lusa yuk?"
"Bertiga aja fel?"
"Tidaklah! Berempat sama Tara"
"Baiklah, aku.."
Ray terjatuh dari tempat bersandarnya. Kepalanya serasa pusing dan berat. Ketika sadar tubuhnya ada di atas jalan setapak pinggir danau itu, ia bangkit dan merapikan bajunya. "Ray kamu tidak apa-apa?!" Felita menunjukkan wajah panik, Ray memperhatikan wajah Felita. "Aku hanya lelah, kamu tidak usah khawatir" senyum Ray membuktikan dirinya 'tidak apa-apa' setidaknya sekarang ia masih dapat berdiri sendiri.

Felita menggenggam tangan Ray. Renaldi memasang wajah sedikit kasihan dengan senyum pasrah. Ray melihat Felita menggenggam tangannya, wajahnya tersipu. "Fel, kamu bisa lepas tanganmu?" Felita tersadar lalu cepat-cepat melepas tangannya dari jemari Ray yang sedikit berkeringat itu.
"Felita lalala"
"Apa lagi rel?"
"Boleh besok ajak pacarku?"
Ray dan Felita sama-sama menghadapkan wajahnya dengan ekspresi terkejut di depan wajah Renaldi.
"Siapa.. Oh? Sudah jadian ternyata"
Ray tersenyum ke arah Renaldi yang menutup wajahnya dengan telapak tangannya dan mengangguk-anggukkan kepalanya. Felita dengan bingung melihat Renaldi dan Ray bergantian.
"Boleh tau siapa?"
Ray dan Renaldi tersenyum licik, dan menggelengkan kepala mereka. Felita memasang wajah sedikit ketus lalu membalikkan wajahnya ke arah lain. "Lusa juga akan bertemu, tenang saja fel" Felita melipat tangannya dan menghela nafas panjang "baiklah, lusa aku ingin melihat jelas-jelas wajahnya" Ray dan Renaldi tertawa melihat ekspresi wajah Felita yang terlalu berambisi "emang lem ya wajah pacarku?" Ray pun tertawa "bukan lem wajahnya, tapi keset itu" Renaldi memukul Ray hingga jatuh ke tanah, tetap tertawa. Felita tertawa melihat sahabatnya yang seperti orang kesurupan mahluk halus itu.

--------

Pagi itu Ray, Renaldi, dan Felita. Bertiga sahabat baik dari masa di mana belum mengenal permusuhan dan cinta. Ray bersandar pada pagar besi itu, antara dia dan danau. Melihat ke arah yang berlawanan, melihat kedua sahabatnya yang bercada tertawa. Ray tersenyum. Ia merasa akan segera kehilangan momen ini, momen di mana dia akan pergi dari orang-orang yang ia pedulikan di dunia ini. "Ray? Kenapa senyum-senyum sendiri?" Tanya Felita yang ikut menyadarkan punggungnya di pagar besi itu. "Tidak apa-apa, hanya ingin tersenyum" Renaldi pun ikut bersandar. "Senyum buat siapa?" Ray terkejut lalu memukul sedikit kasar ke Renaldi yang tertawa "buat siapa saja" Felita menggelengkan kepalanya dengan wajah menahan tawa.

Ray pun mengingat sesuatu 'alah belum minum obatnya! Pantas tadi serasa pusing' Ray dengan cepat ingin berlari. Felita menahan tangannya "mau kemana Ray?" Ray pun bingung, kepalanya mulai terasa sakit. "Dia..dia mau pulang ambil barang dulu!" Renaldi menyeletuk. "Barang?" Renaldi pun berputar "ah! Dia belum pakai celana dalam!" Felita melepas cepat tangannya dari tangan Ray. "Cepat sana pulang! Memalukan!" Renaldi tertawa. Sementara Ray merasa pasrah, daripada ia tidak meminum obatnya.

--------

Sesampai di rumah, ia mengambil obat dari almari itu. Dan meminumnya cepat. Setelah meminumnya, serasa tenang. Dengan cepat ia berlari keluar pintu, terhenti.
"Kalian ke sini?"
"Ia aku memutuskan ke rumahmu menikmati teh enak itu" sahut Felita bangga.
"Kau? Ngapain?"
"Entahlah? Ikut nonton televisi saja"
Ray pun menutup gerbang, dan masuk ke dalam rumah. Sambil membuat tiga gelas teh hangat, Felita datang menghampirinya. "Ray sini aku bantu" Ray menggelengkan kepalanya dengan wajah tersenyum.
"Kamu kan tamu, baik duduk saja di sana dengan Renaldi"
"Tidak, aku ingin membantu"
"Hmm, kamu duduk di sebrang ku saja sudah membantu"
Felita sedikit menahan sipu. Ia pun duduk di kursi mini bar itu. Memperhatikan setiap gerakkan Ray membuat teh. Aroma teh yang menghangatkan dan menenangkan membuat siapa saja luluh. Ray membawa nampan dan Felita mengikutinya. "Rel, silahkan di minum" Renaldi mengusapkan kedua telapa tangannya dan menahan nafas dengan senyum "wah terima kasih! Felita yang buat?" Dengan menegakkan wajah ke arah Felita "tidak bukan aku, Ray yang buat. Aku tidak membantu sama sekali" Ray menggelengkan kepalanya "siapa bilang, dia bantu menemaniku" Renaldi tersenyum. "Apaan coba?" Felita memukul tangan Ray dengan kuat, Ray mengelus-elus tangannya dengan wajah bingung melirik ke arah Felita yang melipat tangannya, dan tersipu?

Renaldi duduk di sofa dan kembali menonton acara favoritnya, sementara Felita pergi ke taman belakang dan duduk di anak tangga. Ray yang sedang menuruni anak tangga dari lantai atas, melirik pintu belakang yang terbuka. Kemudian dia melihat Renaldi yang tertawa-tawa dan melihat sang kakek yang duduk di sebelah Renaldi menggeleng-gelengkan kepalanya bingung.
Ray menyusul Felita ke belakang, dan duduk di sampingnya.
"Kamu kenapa fel?"
Ray melihat sahabat yang satunya ini merenung setelah melihat Ray tadi di taman.
"Tidak aku hanya bingung"
"Bingung karena apa? Hingga seperti ini? Orang kalau bilang kamu ini galau"
"Banyak pikiran iya, tapi aku galau karena seseorang"
"Nah itu galau orang-orang masa kini, memang dia orangnya seperti apa sampai kamu seperti ini?"
"Orangnya itu..."
"Ehem yang pendekatan"
Felita dan Ray berteriak setelah tau Renaldi di belakang mereka. Felita berdiri dan langsung mendorong Renaldi, berjalan melewati ruang keluarga itu "kakek aku pamit pulang ada urusan mendadak" dan langsung ia pergi bergitu saja. Ray yang masih duduk pun memalingkan wajahnya dari Renaldi yang berdiri dengan menghadap ke pintu depan dan Ray bergantian. "Aku ganggu ya?" Ray melirik Renaldi dengan sinis lalu kembali terduduk di sana. Renaldi pun ikut duduk di samping sahabatnya.
"Ray, kau kenapa?"
"Kamu sudah jadian dengan kakakku kan?"
"Kamu..kamu tau?!?"
"Siapa lagi, kakakku saja pulang larut, lalu kau bilang keesokkan harinya kepadaku kalau kau jadian"
"Itu bisa saja kebetulan kan?"
"Jangankan itu, lusa sebelum hari ini kau bilang kau masih suka kakakku"
"Benar juga, lagipula lupakan. Kau kenapa tadi sama Felita?"
"Dia suka seorang lelaki sepertinya"
"Wah? Sainganmu?"
Ray memukul pundak temannya hingga terjatuh ke rerumputan
"Iya maaf! Tapi kalau benar kamu traktir!"
"Apa katamu lah teman"

Renaldi pun berdiri merapikan bajunya dan mengeluarkan ponselnya. "Oke aku balik dulu" lalu menepuk pundak Ray dan berjalan menyusuri pintu dengan ponsel. "Awas kena tiang.." Renaldi menabrak tiang penopang balkon di atasnya. "Ingatkan lebih awal!" Ray mendengar temannya marah pada tiang dengan suara keras. Ray hanya bisa tertawa 'mangkanya, jangan asal bicara. Kena tiang kan' puas kata hatinya.

--------

Eggy masuk ke dalam dengan wajah pucat. Seperti baru melihat hantu. Ray yang kebetulan baru selesai mandi itu melihat kakaknya yang melepas sepatu di sofa dekat pintu keluar. "Bagaimana? Baik hari ini gy?" Eggy melirik adiknya dengan tatapan sinis. "Sama sekali tidak, dosen banyak maunya. Aku pusing jadi asisten dosen! Walau tidak sendirian" Ray mengangguk-anggukkan kepalanya yang basah di keringkan dengan handuk itu. "Oh ya, gy lusa aku ada acara" Eggy pun menghela nafas panjang. Dia pun mengangguk dan tersenyum sambil membawa tasnya. "Aku ikut Ray, tadi Renaldi sudah bicara padaku" Ray tersenyum dan tertawa "ternyata bukan kebetulan" Eggy melirik ke arah Ray dengan mata melebar. Lalu Eggy membalikan tubuhnya dan berjalan cepat "terserah kamulah dik! Intinya kamu yang nyetir!" Lalu Ray berbalik melebarkan matanya "hah? Aku hanya ngerti naik motor" Eggy tertawa "iya aku tau, nanti kamu jadi malaikan kegelapan kita lagi. Sudah dulu, aku mau mandi" Ray menggelengkan kepalanya. Ia kembali mengeringkan rambutnya, lalu berjalan menuju taman belakang, ada nenek duduk di kursi taman.

"Malam nek"
"Malam Ray, kamu senang tempat ini ya?"
"Selalu dari dulu, nenek kan tau"
"Iya nenek tau. Kamu ini sudah besar ya, kakakmu juga. Tidak terasa nenek juga tambah tua"
"Iya ya nek? Nenek mudah kok di mata Ray"
"Sudah-sudah jangan buat nenek tertawa"
"Lagian nenek bilang begitu, dan lagi pula. Ini tempatnya tepat banget buat aku. Setiap harinya"
"Apa kesan taman ini Ray? Bagi kamu?"
"Kesan ya nek? Aku hanya ingin kelak aku membawa seseoran duduk di bangku ini lalu tertawa, tersenyum, dan duduk di sini melihat cucu-cucu nenek bermain"
"Wah masa depanmu tinggi ya Ray, nenek senang kalau sekarang kamu ada harapan hidup"
"Iya aku juga. Aku berharap itu terjadi, bukan malahan sebaliknya"
"Jangan berkata begitu, percaya sama yang di atas, pasti doamu terkabul"
"Terima kasih nek"


Bab 6


Lusa, Bromo, mobil, perlengkapan, berempat. Itu kumpulan kata yang tepat untuk mereka yang akan berangkat ke penginapan di area gunung Bromo. Ray dengan semangat membantu Renaldi memasukkan tas ke dalam bagasi mobil Eggy. Eggy dan Felita bergegas merapikan rumah dan segera berpamitan ke nenek dan kakek. "Ray kenapa harus kita yang urus muatan sih?" Ray tertawa sambil menutup bagasi mobil dan bersandar pada badan mobil dengan Renaldi "kita kan laki-laki bukan banci" Renaldi tertawa-tawa. Felita dan Eggy datang ke arah mobil yang sudah ada di luar pagar itu, mendatangi Renaldi dan Ray. "Ternyata ya, aku tidak sangka" bisik Felita ke telinga Ray. "Tidak sangka apa?" Felita tertawa "kalau ternyata aku tidak jadi bawa Tara, kalau bawa Tara, dia kasihan tidak ada pasangan ya?" Ray memiringkan wajahnya.
"Pasangan?"
"Iya, pasangan"
"Maksdumu? Ekspresi wajahnu saat tau kakakku adalah pacar Renaldi biasa saja. Tapi giliran bicara topik ini, wajahmu jadi merah"
"Apa sih! Wajahku biasa saja! Pasangan juga dia sama kamu palingan Tara itu"
"Wah kenapa kamu bisa bicara begitu?"
"Tidak masalah lupakan, Tara itu menyukaimu tau"
"Oh? Tapi tolong sampaikan padanya, terima kasih..." Felita membukam mulut Ray dengan telapa tangannya
"Diem! Nanti kamu kasih tau sendiri!"

Felita pun menyuruh Renaldi menyetir, tapi seperti itulah kisah. Tidak ada sim. "Aku yang nyetir dah! Kamu masih mudah sih!" Eggy memarahi Renaldi yang duduk di kursi sampingnya "sabar aja! Aku tahun ini delapan belas kok sayang!"
Ray dan Felita tertawa, melihat pasangan baru 'jadian' ini berbincang tentang masalah setir-menyetir kendaraan ini.

--------

Di penginapan, jalan yang di tempuh memang lama, dan panjang. Di sana pemadangan tidak seperti kota, berbukit, udara dingin namun sejuk. Bebas polusi kendaraan, dan lumayan banyak pengunjung yang juga menginap di penginapan sederhana dan tidak terlalu besar itu. Berdiri seperti terhalang oleh perbukitan tinggi, serta awan kabut yang cukup tebal. Memang sampai di sana sudah senja menanti, keesokan harinya mereka akan berencana turun ke area gunung Bromo di bawah dengan kendaraan yang tersedia di sana.

Ray mengeluarkan barang-barang dari bagasi mobil itu sementara, Renaldi sibuk membawa muatan tangan Eggy. Ray tertawa kecil setelah melihat itu sesaat, lalu ia di kagetkan oleh kemunculan Felita di sampingnya. "Ray! Aku bantu ya?" Ray langsung terkejut dan menghela nafasnya "kamu! Jangan kagetkan aku! Iya sudah, kamu bawa barangmu saja sudah membantu" Felita melihat Ray begitu bersemangat, ia terasa ringis. Hatinya terasa sedikit sakit melihat Ray sesenang itu. Lalu Felita menggelengkan cepat kepalanya, lalu ia pun ikut membantu Ray yang terlejut melihat Felita membawa muatan yang sama beratnya di tangannya. "Fel!! Aku bawakan saja, kamu terlalu berlebihan. Sudah nanti aku bawakan!" Felita menggelengkan kepalanya sambil tersenyum "aku ingin membantumu, aku tidak tega melihatmu bersemangat sendirian, dan lagi pula, bekerja berdua lebih cepat bukan?" Ray melihat Felita berjalan menjauh masuk ke pintu kamar yang sudah di pesan.
Ray memiringkan wajahnya bingung. Lalu tertawa sedikit. 'Andai saja, aku bisa melihatnya setiap hari dengan kelakuannya yang aneh dan baik hati itu. Cukup untukku yang menderita ini. Setidaknya, biarkan aku tetap bernafas menemani langkahnya hingga aku memberinya sesuatu, untuk mengenangku'

--------

Larut menjelema. Bulan sabit malam itu begitu indah, di temani secangkir kopi panas. Ray duduk di bangku panjang di depan kamarnya yang di hiasi dengkuran Renaldi yang membutakan telinga.
Felita perlahan membuka pintu kamarnya, ia melihat Ray duduk di sana melihat ke langit.
"Permisi Ray"
Ray terkejut, ia meletakkan tangannya di atas dada dan menghela nafas panjang
"Kamu!"
"Maaf! Aku lupa, oh ya Ray boleh aku gabung denganmu?"
"Iya tidak apa, silahkan"
"Terima kasih. Ray.. Tempatnya bagus ya?"
"Wah ini sih sudah sangat bagus! Melihat bintang dan bulan berdampingan, bersinar bersama bagai kekasih yang tidak terpisahkan"
"Ternyata bahasamu tetap bagus ya? Dari dulu"
"Kamu juga tidak kalah pintar, oh ya fel. Menurut kamu, aku bagaimana?"
Felita menahan nafasnya, serasa jantungnya berdetak lebih cepat dari sebelumnya, badannya serasa seperti demam dan wajahnya memanas.
"A..pa..apa maksdumu?"
"Ehm, menurut kamu orang sepertiku itu bagaimana?"
"Menurutku? Kamu itu baiknya banget, tukang isengnya berlebih! Namun, kamu itu cinta tenang, seringkali kalau aku bertemu denganmu, tempatnya tenang. Seperti danau! Nah itu tempat favoritmu kan? Dan Ray.."
"Wah kamu terlalu baik fel, dan ya?"
"Aku itu, sebenarnya suka kamu"
Ray terkejut, melihat Felita yang memalingkan wajahnya dan berusaha menyembunyikan rasa yang ia rasa
"Kamu? Suka aku?"
"Iya, aneh ya?"
"Tidak kok, terima kasih sudah menyukaiku"
"Ehm, aku tuh.. Ah nanti saja"
"Baiklah aku tidak akan bertanya apapun padamu dengan paksaan. Dan fel.."
Ray mengangkat tangannya dan meletakkannya di jemari Felita yang membeku dingin itu
"Nikmatilah momen-momen ini selagi ada ya?"
"Hah? Kenapa kamu bicara begitu?!"
Felita melepas sentuhan Ray yang lembut, dan beralih memeluknya
"Ehm, ada sesuatu saja di kepalaku. Dan benar bukan? Nikmati momen-momen indah sebaik mungkin, selagi aku masih di sini"
Ray membalas memeluk Felita yang ada di pelukkannya. Ray menegakkan kepalanya, dan tersenyum pada bintang dan bulan.
'Bintang, bulan, malam ini aku ingin kalian menjadi saksi dan menjadi harapan untuku ku'

--------

Pagi yang berkabut dan dingin, Renaldi berteriak di dalam kamar mandi. "Ray!!! Airnya apa es batu sih?!" Ray tertawa sambil merapikan pakaiannya dan barang-barang yang akan di bawa turun ke gunung Bromo. "Namanya daerah pegunungan! Mana ada air biasa, hangat saja harus di masak!" Balas Ray di selingi tawa. Ray masih merapikan barang bawaannya. Berwajah biasa, dan meminum obatnya. Sambil menunggu Renaldi yang telat bangun itu, mandi. Sekali lagi Renaldi berteriak "Ray! Ini air atau es batu sih?! Pastikanlah!!" Latang suara Renaldi membuat Ray tertawa lagi "Hoi! Jangan onar deh masalah mandi aja! Tau aku lagi minum obat gini kau! Buat tersendat aja pagi-pagi" Renaldi masih berteriak "Ray!!! Bantu aku lah! Air ini kok ngerasa kayak kutub?!?"
Ray tetap tertawa, dan terus membereskan bawaannya turun ke kaki Gunung Bromo hari ini. Ia merenung terdiam, teringat kata-kata tadi malam yang di ucapkan Felita kepadanya "aku suka kamu, Ray" Ray kemudian menggelengkan kepalanya keras, mengelakkan sesuatu yang terjadi tadi malam "tidak benar kan ini?!"

--------

Felita masih bingung mau menjalankan kegiatannya seperti apa, ia sibuk berlalu-lalang ke arah pintu kamar hotel dan mencoba membukanya namun terasa berat lalu ia kembali lagi ke tempat tidurnya dan terus-menerus melakukan itu. Eggy yang sedang merapikan barang-barangnya melihat kelakukan Felita yang aneh, ia menggelengkan kepalanya lamban "kamu kenapa begitu fel? Lagi memikirkan apa? Atau kurang tidur?" Tanya Eggy khawatir. Felita pun seperti sedikit terkejut, dia pun menggeleng "tidak apa kok" Eggy tidak percaya, dia puj mendekati Felita yang seperti terlihat panik, dan melingkarkan tangannya di pundak Felita "kamu mau ketemu siapa? Sampai bimbang seperti ini? Ray ya? Atau Renaldi" Felita pun menggelengkan kepalanya. Masih saja menyembunyikan kenyataan, dari pengecohan hatinya. Felita membalikan tubuhnya dan menghadap jendela, dan melihat di luar bayangan lelaki yang memakai jaket berbahan tebal sedang tertawa berasama sahabatnya. Felita memiringkn wajahnya lalu tersenyum kecil "aku pun bisa tersenyum hanya dengan senyumnya"

--------

"Ray! Bagaimana kamu ini!?!!? Sepatu kok berdaun begini dalamnya?!" Renaldi sibuk mengeluarkan daun-daun dari dalam sepatunya "bwahhahahha?! Aku tidak tau mengapa masuk daum padahal sepatumu kan di dalam dari tadi malam" Ray tertawa dan Renaldi memasang wajah menahan emosinya. Ray melirik sedikitke jendela kamar sebelah, ia pun tertawa. Ia melihat lirikan itu seperti terpantul seseorang yang tersenyum padanya. Tapi Ray menggelengkan kepalanya keras, dan memejamkan matanya berkali-kali. "Ada apa ini? Terasa berputar?" Ray memegang kepalanya dan hampir terhempas ke atas lantai dingin. Ia menyangga dirinya dengan berpegangan pada tiang beton tempat ia menyangga tubuhnya. "Ray!? Kau kenapa?! Pusing lagi?! Tidak apa-apa kan?!" Renaldi bereaksi pada sahabatnya yang tiba-tiba memegangi kepalanya, sekian kali lagi. Felita melihat Ray seperti itu, lalu ia dengan cepat membuka pintu, mengagetkan Eggy yang sedang memakai alas kaki. "Ray!! Kamu tidak apa-apa?! Apa kamu butuh istirahat?!" Felita datang ke tempat Ray berdiri dan membantunya berdiri tegap. Ray masih memegangi kepalanya dan menggelengkannya lagi, penglihatannya sedikit kabur. Lalu mulai terlihat jelas, siapa yang menolongnya berdiri "fel? Kamu itu kah?" Felita mengangguk cepat "iya ini aku Ray, kamu tidak apa-apa?!" Ray tersenyum semu, mengangguk pelan. Eggy pun keluar kamar dan menghampiri adiknya itu, berbisik lah "Ray, sudah minum obatnya?" Ray mengangguk. Eggy berwajah cemas melihat adiknya yang berkeringat dingin itu bertahan untuk tetap berdiri. Renaldi menghampiri kekasihnya yang berwajah sedikit pucat setelah tau kejadian tadi "sayang, jangan khawatir ya. Dia akan baik-baik saja! Percayalah!!" Renaldi menyemangati Eggy yang berwajah masam.

"Dan oh ya? Felita kenapa kamu menghampiri Ray? Dia hanya lelah itu? Bisa sekhawatir itu?" Renaldi menyeletuk, Felita yang sedang menghapus keringat Ray dengan handuk kecil miliknya terkejut, begitu pun Ray. Mereka berdua tersipu sekaligus. "Oh iya ya? Kalian berdua habis apa?" Eggy dari muring berubah ke wajahnya yang licik dan ceria itu. Ray segera melepaskan handuk serta tangan Felita dari dahinya, dan berjalan sedikit membelakangi Felita, menutupi Felita yang tersipu malu. "Kalian berfikir yang salah ya?! Kami hanya sahabat! Belum yang lain tau, atau.. Yang lebih!!" Felita terkejut. "Oh aku kira sudah kamu nyatakan Ray?" Ray tersentak "kamu diam saja! Itu rahasiaku tau! Aku akan beritahu dia kalau waktunya sudah tepat" Felita pun langsung membalikkan tubuh Ray ke arahnya. Wajah Felita terkejut sedikit suram itu "Mengatakan apa? Menyatakan apa?!" Ray tertahan, lalu menggigit bibirnya dan menutup matanya "ada yang aku ingin katakan pada seseorang sepulang dari tempat ini" Felita pun melemas, ia pun mendorong tubuh Ray kasar menyinggir. "Gy yuk, cepat-cepat aja ke bawah" Eggy pun mengangguk cepat dan melihat ke belakang memberi sinyal kalau harus cepat dan turuti
keinginan dia terlebih dahulu. Renaldi membalas "oke nanti kami menyusul" Renaldi datang menarik bahu temannya yang berubah masam. "Kenapa kau? Bicara apa pada nyonya besar?" Ray menggelengkan kepalanya "bukan urusanmu, lagi pula apa yang kau tau dengan perasaan dan pikiranku?" Renaldi mengangkat tangannya dan melambai-lambaikan bahwa ia tidak tau apapun. "Sudah mudah diduga" wajahnya berubah menjadi kusut, Ray pun berjalan dan ia mempercepat langkahnya meninggalkan Renaldi bingung menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal, karena sahabatnya yang sangat mempermasalahkan masalah biasa ini?

--------

Felita meniup-niup kopi panasnya dengan wajah pucat, muram, kesal dan lain-lain. Eggy yang dengan senyum tawanya memakan ronde jahenya melirik Felita yang kesal meniup-niup kopinya. "Fel kamu ngapain kesal begitu?" Felita menghempas kasar wajahnya ke arah Eggy. "Apa?!" Tanyanya kesal "pelan-pelan kamu ini! Ada apa tadi sehabis bantu Ray kamu seperti itu!" Felita melihat wajah Eggy yang mulai berkerut "tidak-tidak ada apa-apa kok gy" Felita membuat senyum sedikit dengan menunjukkan giginya yang putih berbaris rapih di mulutnya. Eggy menundukkan kepalanya "jawab fel" paksa Eggy dengan menaruh mangkuk ronda jahenya di atas meja tempat mereka duduk. "Kamu mau tau? Sayangnya kamu harus cari tau sendiri gy, maaf ya" Eggy menghela nafas panjang dan menggelengkan kepalanya pelan. Felita pun berbalik dan berdiri "aku jalan-jalan sebentar" lalu Eggy terkejut dan ingin mencegah Felita pergi, namun tidak jadi. Ia menahan laju tangan dan mulutnya.

Felita berjalan ke daerah tempat pernak-pernik. Banyak keluarga, pemgunjung dalam dan luar kota, bahkan luar pun tidak luput. Ia melihat kanan dan kiri melihat tawa dan banyak yang berpose di depan lensa-lensanya. Ia tersenyum dan memeluk tubuhnya sendiri yang hanya di bungkus baju berlengan panjang. Lalu sesosok seseorang jalan mendekat, dan menaruk jaketnya di tubuh Felita yang kedinginan. Felita membelokkan tubuhnya dan melihat tidak seorang pun berdiri di sana. Ia bingung lalu memakai jaketnya dan berjalan dengan senyum. Tidak jauh, ia melihat Ray sedang berada di salah satu toko pernah-pernik. Felita mematung di sana melihat Ray yang dengan rincinya melihat berbagai benda, pakaian, hiasan. Lalu Ray melanjutkan langkahnya, tidak sadr Felita mengikuti Ray dari kejauhan. Terhenti di sebuh toko ukir aksesoris. Felita melihat dari kejauhan "sepertinya Ray berbicara sesuatu pada penjaga toko ukir aksesoris itu?"

--------

Ray dan Renaldi selesai membinar-binarkan diri mereka di kaki gunung Bromo dan baru saja sampai di dataran atas. "Eggy!" Panggil Renaldi dari kejauhan, melihat Eggy sedang melahap semangkuk mie instan yang asap kepulannya masih terlihat. Renaldi dan Ray sampai di tempat Eggy menunggu "kemana Felita gy?" Tanya Renaldi "dia pergi ke sana, Ray kamu mau kemana? Ambil ancang-ancang seperti itu" Felita menunjuk ke arah toko pernak-pernik yang ramai pengunjung. Serta berwajah bingung karena Ray menghadapkan tubuhnya di arah yang sama. "Aku mau beli sesuatu" Eggy menggelengkan kepalanya "ada uang?" Ray mengangguk "dari kakek" Eggy terkejut lalu membuat sinyal tangan 'cepatlah pergi' bergaya mengusir. Ray pun berjalan cepat, ia pun melebarkan matanya dan menyipitkannya, dan melihat Felita dengan baju lengan panjangnya berwarna putih itu. Ray pun berlari sambil melepaskan jaket hitamnya, dan dengan cepat menaruhnya di tubuh Felita. Lalu ia lari ke arah kerumunan orang. Ia pun melihat-lihat pernak-pernik yang cocok untuk dirinya, namun tidak terlihat. Dengan cepat ia memutuskan membuat kalung, sepasang kalung.
Satu bertuliskan huruf dirinya 'R' serta yang satu lagi bertuliskan 'F' ia pun datang ke penjual toko itu dan memesan sepasang kalung. Yang ia tidak tau, Felita berada tidak jauh dari tempat ia berdiri, dan sepertinya Felita akan mematung di sana untuk waktu sedikit lama.

--------

Felita pun menggelengkan kepalanya dan berjalan berbalik dari tubuh Ray di sana. Ia mempercepat langkahnya dan berangsur berlari mendaki jalan menuju tempat Eggy dan Renaldi sepertinya berada.
Sesampai di sana Felita tertawa, melihat Eggy dan Renaldi yang sepertinya memperebutkan semangkuk mie instan hangat. "Kalian mesra sekali" senyum dan tawa Felita. Renaldi memeluk Eggy dari sebelah tangannya "pasti dong!! Sama wanita cantik begini aku!" Bangga Renaldi. Eggy pun meneruskan makannya melupakan Renaldi yang terus-menerus membanggakan dirinya. Lalu Ray datang menghampiri mereka bertiga, Felita membalikkan tubuhmya memaling dari Ray yang memandang Felita memakai jaket pemberiannya. Lalu Renaldi dan Eggy bangkit dan mendekati Ray. "Ray! Aksi bagus tadi" sahut Renaldi "sangat bagus malahan Ray!" Tambah Eggy. Ray melihat ke Renaldi dan Eggy bergantian, dengan wajah sedikit tersenyum. "Aku hanya mau dia baik-baik saja"

--------

Felita terduduk di pinggiran tempat tidurnya, melihat, mengusap, dan memeluk jaket yang ada di tangannya. "Siapa ya yang memberiku jaket ini? Mencurigakan" lalu ia memakai jaket itu, ukurannya memang besar, seperti jaket laki-laki? Ia berdiri dan membuka pintu kamar yang gelap itu, meninggalkan Felita yang tertidur pulas. Felita melebarkan matanya melihat ke tempat duduk kayu dengan secangkir kopi panas yang masih mengepul. "Permisi boleh gabung?" Ray memiringkan wajahnya dan sedikit terkejut "boleh-boleh silahkan!" Sahutnya. "Ray"
"Ya?"
"Hari ini aku cukup senang"
"Wah, baguslah. Besok kita kembali ke Surabaya kan?"
"Ah.. Iya-iya"
"Belum tidur?"
"Belum, memang kenapa?"
"Seharian matamu berkerut serta tak luput wajahmu"
"Oh? Itu karena.."
"Aku minta maaf!"
"Karena apa? Kamu tidak salah apapun"
"Karena salah bicara tadi pagi"
Felita terdiam, lalu menundukkan kepalanya
"Jaket yang bagus"
"Oh? Hehehe, bukan jaketku ini"
"Dapat di mana?"
"Entahlah? Aku berdiri tiba-tiba sudah di beri jaket ini? Tau saja aku kedinginan!"
Bangga Felita memeluk jaket yang ada di tubuhnya. Ray memeluk dan mengelus-elus tubuhnya yang kedinginan, hanya memakai kaus oblong dan celana sport pendek. Felita melihat Ray yang kedinginan
ia mengeluarkan uap putih dari mulutnya karena kedinginan. Felita terlihat bingung
"Jaketmu mana?"
"Hah? Ehm..."
Ray terlihat ragu, Felita lalu berfikir.
"Jangan-jangan?!"
Ray menutup mulutnya dan mengelus kedua tangannya. Dia melirik Felita dan kembali melihat ke arah lainnya. Felita tersipu.
"Jaketmu ya?"
"Ah.. Ya?"
"Ini kukem..."
"Tidak usah"
"Hah mengapa? Aku tidak mau kamu kedinginan seperti itu!"
"Aku lakukan untukmu jadi aku mau kamu yang jaga untukku, dan memakainya untukku, oke?"
"Apa? Tidak mau!"
Ray diam dan tersenyum pada langit dan kepalanya terasa berputar lagi. Ia hampir jatuh dari tempat ia duduk, Felita menahan bahunya agar tidak terjatuh. Dia menyentuh tubuh Ray yang menggigil. "Kamu tidak apa-apa? Kenapa kamu selalu seperti ini?"
Felita bertanya. "Hanya pusing kok, tadi mungkin lelah" Ray tersenyum. Felita terlihat khawatir dan mengusap dahinya dengan kasar "hati-hati!!" Kata Ray meletakkan tangannya di ataa kepala Felita. "Biarkan! Kamu menyembunyikan sesuatu!" Ray menunduk dan terdiam.
Mereka malam itu sunyi hingga Felita memutuskan memasuki kamar dan meninggalkan Ray sendirian.
Di kamar Felita melepaskan jaket itu dengan kasar dan melemparkannya ke koper Eggy yang kebetulan terbuka. Felita duduk di atas tempat tidurnya dan menangis. "Sebenarnya apa yang terjadi di sini!!!!"

Ray duduk di luar dengan meletakan tangannya di kepala. Menahan denyutan kepala yang membuatnya meringis kesakitan. "Kepalaku ini?!" Dia terus-menerus memeganginya hingga subuh, entah berapa lama lagi kepalanya akan membaik.

Bab 7


Sepulang Bromo, hari itu sore. Tengah mengeluarkan barang-barang dan merapikanya di ruang keluarga rumah Ray dan Eggy. Felita dan Eggy tengah berbincang di luar dengan kue dan teh sementara para lelaki mengeluarkan barang-barang dari mobil.
"Fel" panggil Eggy
"Ada apa?"
"Kenapa kamu begitu sama Ray?"
"Apa? Berlebih buruk?"
"Tidak! Bukan itu, tapi kamu dan Ray kalau bersama pas sekali. Ray itu, baik loh. Kamu kenapa mengembalikan jaketnya lewat koperku?"
"Ha? Ehm... Bagaimana ya?"
"Apa yang bagaimana?"
"Aku suka Ray dari dulu, tau dia kecelakaan membuatku sakit, walau sepanjang jalan tanpanya aku sudah berpacaran dengan orang, namun rasanya selalu ada yang kurang"
"Apakah itu? Sesuatunya?"
"Ehm, seperti..."
Saat itu Ray membawa koper miliknya dan melihat Eggy dan Felita berbincang, menaiki anak tangga menuju teras, dengan koper berat dan modal keringat serta senyum berderet gigi putihnya.
"Hai ladies!"
Panggilnya dengan senyum gigi berseri. Felita memalingkan wajahnya dan Eggy berwajah khawatir.
Ray hendak memanggil Felita, namun tiba-tiba kepalanya nyeri koper di tangannya terlepas, tubuhnya terasa berat lalu terjatuh di atas lantai dingin. Eggy langsung bergegas "Ray bertahan lah!!"
Felita terkejut, dan langsung menyusul ke arah tubuh Ray. Renaldi bergegas menaiki tangga dan membantu Ray berdiri. Namun matanya tertutup dan ia menggerang kesakitan. "Ray! Hoi! Sadar!" Pinta Renaldi setelah menidurkan tubuh Ray di atas sofa. Felita menutup mulutnya dan menggelengkan kepalanya "kalian? Ada apa sebenarnya yang terjadi di sini?!" Eggy dan Renaldi menuduk, mereka terdiam. "Apa?! Jawab!" Suara Felita meninggi, tidak sadar mereka semua sibuk beragumen, Ray membuka matanya perlahan. Lalu ia bangkit duduk dan menghela nafa panjang "Felita kamu mau tau? Akan kuberitahu, aku menderita penyakit yang di sebabkan kecelakaan itu, membuat aku tergantung pada obat. Tapi akhir-akhir ini aku terasa pusing entah mengapa. Padahal sudah minum obat yang dianjurkan" Ray menunduk lalu ia bangkit berdiri "aku akan ke taman belakang, maaf merepotkan kalian" Ray berjalan meninggalkan mereka bertiga terkejut, apa lagi Felita. Ia masih menutup mulutnya dengan telapak tangannya dan menggeleng keras. Lalu ia berlari menuju taman belakang, menemui Ray yang duduk terdiam.
"Kau masih tidak percaya?"
"Apa Ray ini semua maksudnya?! Aku tidak tangkap semuanya dengan benar mungkin?! Atau.."
"Sudah, kamu tenang saja. Jadi sekarang aku selalu memanfaatkan waktuku. Kalau aku kembalu di rawat di rumah sakit lagi, kemungkinan aku tidak bisa keluar lagi, kemarin saja kabur"
"Kalau rumah sakit membuatmu lebih baik maka aku tidak apa!"
"Hah? Maksudmu apa? Aku saja telat memberitahumu"
"Tidak masalah yang penting kau sudah memberitahuku! Dan satu lagi, aku rela setiap hari menemuimu, menemanimu, dan segala macam hal! Hanya bersamamu! Itu cukup"
Ray sedikit terkejut, lalu tersenyum kecil, Felita memiringkan wajahnya bingung
"tertawa kau!"
"Tidak-tidak! Kamu cantik jadi aku tertawa"
"Gombal kan?"
"Tidak kok, memang cantik"
Felita terdiam, dan tersipu. Ray tertawa dan bangkit berdiri. Ia meletakkan tangannya di atas kepala Felita "Ray, aku suka kamu" Ray tertawa dan menggangguk "ya aku tau, sebaliknya untukmu" Felita melebarkan matanya "apa!!?" Ray tersipu dan tersenyum aneh "tidak, bukan apa-apa"
"Oh?"
Felita dan Ray terdiam memalingkan wajah satu sama lain dan saling tersipu.

--------

Renaldi membantu Eggy di dapur menyiapkan makan malam. Eggy menaikkan wajahnya dan mengedipkan matanya berkali-kali. "Ada apa sayang?" Tanya Renaldi sambil menggenggam tangan Eggy. Eggy menggelengkan kepalanya lalu tersenyum pasi, Renaldi menaikkan alisnya dan menarik tangan Eggy yang dengan mengikutnya tubuhnya yang berdekapan langsung dengan Renaldi. "Katakan padaku" bisik suara menggelitik Renaldi yang begitu dekat dengan telinga Eggy, ia tersipu. "Apa lagi kamu ini?! Tau ini tempat terbuka?" Renaldi terus berbisik "kamu kan suka denganku juga, kenapa begini saja masalah?" Eggy pun balas memeluk Renaldi "kamu jangan buat aku tersipu di sini" Renaldi terkejut
"lalu? Apa yang membuatmu menjadi beban pikiran?"
"Ray, rel. Ray!"
"Dia? Kamu sudah aku katakan, Ray akan baik-baik saja! Percaya padaku!"
"Aku tidak yakin"
"Kenapa? Semua di sini berjuang dengan sekuat tenaganya! Ray juga tidak mau hilang! Dia masih mau hidup dan berbahagia dengan orang yang ia sayangi!"
"Aku tau itu, tapi kalau misal Tuhan punya renana lain bagaimana? Kita kan tidak tau"
"Karena itu, kita usaha dan memohon pada Tuhan agar Ray diberi penyembuhan!"
Mereka masih dalam posisi saling memeluk, Ray dan Felita memanggil mereka.
"Kalian mesra! Buat iri tau!" Felita berwajah lucu "iri? Kamu.." Ray menutup mulutnya dengan telapak tangannya menahan gugup, serta menahan jantungnya yang berdegup cepat.
"Ray kenapa kamu? Tersipu lagi?"
Ejek Renaldi "Oh ya! Kan sebenarnya Ray itu..." Eggy tertawa-tawa mendengar ejekan Renaldi ke adik satu-satunya itu. 
“Eggy kenapa tertawa? Tidak ada yang patut ditertawakan di sini!” teriak Felita keras ke arah Renaldi yang ikut tertawa. “sudah-sudah! Fel km tadi mau memberitahuku apa? Soal yang kurang-kurang?” Eggy melepas pelukkan Renaldi dan berjalan mendekat ke arah Felita. “ikut aku ke taman belakang ya?” tambah Eggy. Ray hendak menyusul mereka, namun Renaldi merentangkan tangannya untuk menghalangi langkah Ray yang berkepanjangan. Ray memiringkah wajahnya yang aneh itu ke arah wajah Renaldi yang menggeleng-gelengkannya. Ray hanya bisa menghela nafas panjang, dan menarik pundak sahabatnya ke arah yang sebaliknya “sekarang ada yang ingin aku bicarakan denganmu” sahutnya membuat Renaldi bingung.
“Eggy soal yang tadi sebelum Ray pingsan”
“Apakah yang kamu ingin beritahu aku? Sesuatu yang kurang jika berpacaran dengan orang lain?”

“Ah soal itu.. entah mengapa, aku selalu memandang Ray sebagai seseorang yang menyebalkan dulu. Sangat menyebalkan! Bahkan kamu tau itu gy, tapi saat aku dengar  tentang Ray kecelakaan aku merasa sangat di sayangkan. Saat aku memperhatikan langkah-langkah kami bertiga, aku merasa sesuatu yang menakjubkan, sesuatu yang jarang dimiliki orang banyak! Ingat waktu aku di jatuhi hukuman karena tidak mengerjakan pekerjaan rumah waktu kelas lima sekolah dasar dulu, kau tau dan kau lewat di depan kami yang berdiri mematung karena tidak mengerjakan pekerjaan rumah di lapangan terik hari itu. Dan kau juga tau, kalau ray sebenarnya mengerjakan, Renaldi juga tapi kabarnya mereka membeli buku baru dan memberi guru buku yang baru itu, yang halamannya benar-benar kosong! Tidak kusangka kalau mereka rela melakukan itu untuk diriku. Ray? Aku jujur saja aku tidak suka dengan sikapnya yang jahil dan liar, tapi saat-sata dia tenang, saat dia menolong aku dulu hingga tadi insiden jaket.. aku mulai berfikir saat beberapa tahun lalu, kalau aku akan membulatkan tekadku melupakan perasaan yang aku miliki terhadap Ray, tapi Tuhan memberikan kesempatan yang sangat besar sangat luas. Memberikan sebuah harapanku untuk terus berharap bahwa aku tidak akan menyerah, terhadap Ray! Dia memiliki apa yang tidak dimiliki semua mantan-mantanku, sesuatu yang bersifat tenang, lamban, dan selalu ada setiap detik dan waktu, bukan ada saat aku membutuhkannya saja, tapi selalu ada, di sana, walau aku marah terhadapnya, dia selalu aku intip dari kejauhan, dia seperti menyesal dan selalu berfikit macam hal kalau kami beragumen”

Eggy menunduk dan tersenyum sangat manis, ia menggenggam tangan Felita dengan setitik air mata dari ujung ekor matanya “fel, kamu.. aku benar tidak menyesal dan aku sangat berterima kasih padamu” Felita melebarkan matanya karena terkejut bingung “terima kasih untuk apa? Eggy tersenyum dan mengangguk “ternyata aku tidak sendrian yang mencintainya, aku mencintai Ray sebagai adikku, keluarga terakhirku sekarang, dan bagimu. Au harap ray memiliki perasaan yang sama denganmu” Felita tersenyum dan mengangguk  “akan aku jaga dan aku akan perjuangkan rasa sukaku!”

Renaldi dan Ray duduk di bangku depan dengan di temai air putih hangat. Ray menghela nafasnya perlahan dan menaruh tangannya di dahinya yang berkeringat. Renaldi duduk memperhatikan sahabatnya yang sedang menenangkan dirinya, Ray melirik ke arah Renaldi. “oh iya, soal yang akan aku bicarakan padamu” Renaldi memasang wajah serius “apa kawan?” Ray menghela nafas. “bisa antar aku ke rumah sakit?” Renaldi berwajah lesu lalu memukul pundak sahabatnya yang tiba-tiba berbicarqa mengada-ada “Ada apa dengan rumah sakit memangnya? Kau mau cek rutin?” Ray menggelengkan kepalanya “sepertinya bukan cek lagi”
“lalu?”
“aku akan kembali tinggal di rumah sakit atau aku akan semakin memburuk”
“kan sudah ada obatnya!”
“kau lihat efeknya tidak ada bukan? Yang ada hanya efek sampingnya”
“aku tidak terima ini! Bagaimana dengan kakakmu! Yang terpenting.. bagaimana dengan dia Ray!”
“aku tidak tau, aku benar-benat putus asa soal orang-orang yang aku pedulikan sekarang. Dan dari mereka semua hanya kau yang bisa aku percaya”
Renaldi berdiri lalu berjalan menuju pintu depan, Ray terkejut dengan wajah bertanya-tanya “sekarang kau akan aku antar ke rumah sakit, tapi! Biarkan kami berkunjung ke tempatmu setiap harinya” Ray terkejut lalu Renaldi melangkah menaiki anak tangga itu mendekat pintu kayu yang terbuka lebar “aku akan mengajar Felita dengan kita, jangan mengelak!” Ray masih membeku di tempat duduknya, matanya melebar karena terkejut. Renaldi keluar dengan eggy di genggaman tangannya yang berwajah bingung, Felita yang menyusul “Ray? Kita mau kemana? Sudah larut seperti ini” Ray menunduk dan ia hanya tersenyum pada Felita, Renaldi menunduk dan mereka berempat melangkah ke arah mobil sedan yang terparki di luar pagar hitam rumah besar itu.
Dalam perjalanan, Felita melihat ke arah jendela, mereka melewati taman dekat danau itu, ia menundukkan kepalanya. Lalu mengangkatnya lagi melihat ke arah Ray yang duduk di sampingnya bermurung wajahnya berkata. Felita berbisik “kita mau kemana Ray?” Ray diam.

Sampai di pintu utama rumah sakit, Eggy panik. “Ray! Kau mau kemana?! Rumah sakit?!” Renaldi membukan mulut Eggy dan menahannya keluar mobil. Felita terkejut, Ray bangkit dan membuka pintu mobil, lengannya di tahan. Felita berwajah ingin mengeluarkan air mata, ia menggelengkan kepalanya cepat. “Ray kenapa?! Kau mau kemana?! Karena aku marah terhadapmu?! Karena aku mencampakkanmu?! Aku minta maaf! Tapi jangan seperti ini meninggalkanku Ray!” Ray memiringkan wajahnya dan menggigit bibirnya hingga tergores. Ray menahan air matanya agar keluar, ia tidak dapat bergerak. Dengan cepat Ray membalikkan tubuhnya dan wajahnya bertemu dengan jarak dekat dengan wajah Felita yang berlinang air mata. “fel aku hanya pindah tempat tinggal, kamu dapat bertemu denganku esok ya? Dan satu algi, aku tidak apa-apa di campakkan olehmu tapi asal kamu tidak menghindarkan dirimu ada bersama di dalam hidupku” Ray tersenyum, dengan perlahan ia memundurkan tubuhnya dan perlahan menutup pintu mobil. Renaldi dengan cepat menekan gas, Felita yang membatu, Eggy yang histeris. Renaldi terdiam sepanjang perjalanan mendengar Eggy yang menangis histeris kebingungan. Felita, dilirik Renaldi lewat kaca, terlihat terkejut.
Dalam hatinya yang kecil, Renaldi tidak menyesal “maafkan aku, karena demi Ray aku melakukan ini, aku juga sama seperti kalian tadui tapi.. aku terpaksa melakukannya karena bagi Ray, hanya aku yang pantas mengetahui maksud sebenarnya tujuan ia kembali ke rumah sakit”


Bab 8


Ray melangkah perlahan di dalam lororng rumah sakit. Bau obat-obatan yang menyengat hidungnya yang sudah terbiasa. Ia berjalan dengan kepala sakit, ia berlinang air mata, yang membuat matanya memerah. Saat sampai di lantai tempat ia di rawat, melewati pos suster di sana. “maaf jam jenguk sudah berakhir!” sahut salah satu suster. Lalu suster itu menghampiri Ray, dia terkejut dan memanggil suster Siska. “Ibu! Lihat ini, Ray bukan?” suster Siska memperhatikan lekuk wajah satu persatu dan ia langsung memeluk Ray. “kenapa kembali Ray? Ada apa? Kenapa kau menangis?” suster Siska yang paruh baya itu mengajak Ray duduk di kursi tunggu depan kamar-kamar rawat. Lalu Ray menundukkan kepalanya dengan kuat ia meneteskan air matanya “aku tambah buruk di luar sana lalu yang paling aku sesali, aku melihatnya menangis! Melihatnya menangis!” suster Siska mengelus punggung  Ray, dengan batuk dan pusing yang di alaminya, di perparah dengan air mata yang menggerogoti hatinya “siapa dia itu Ray? Sebaiknya kamu berhenti menangis, karena nanti kamu akan semakin memburuk” Ray menundukkan kepalanya hingga menyentuh lantai, dan suster Siska membantunya menegakkan tubuhnya “baiklah kamu ikut dengank ke kamar rawat, dan kamu akan tinggal di sini sementara waktu!”

Siang hari menyengat, tetesan embun mulai menghilang di serap sinar matahari yang memanaskan tubuh. Dengan kipas dan eskrim adalah teman sejati cuaca seperti ini, tapi sepertinya ada sesorang yang mengambil waktunya di hari yang terik ini berfikir dan mengunci dirinya dalam kamar yang pengap tanpa jendela terbuka. 
“Felita temanmu menunggu di luar” Felita membukam telinganya dengan bantal. Lalu langkah mulai terdengar di luar pintu kamarnya, lalu ketukkan pintu terdengar. “fel bolehkah aku masuk?” Felita terdiam. Dirinya masih terlalu nyeri soal kemarin, padahal Ray mengatakan boleh menjenguknya setiap hari. Lalu pintu terbuka. Sosok terduduk di tempat tidur Felita, dia mengagetkan Felita yang menidurkan tubuhnya yang berkeringat di atas tempat tidur itu. “mau ikut mengunjungi Ray?” Felita mendengar Eggy berkata telak, dia memalingkan wajahnya dari Eggy. “aku tau kamu masih kecewa soal kemarin malam, tapi aku minta tolong jenguk dia, aku juga sama denganmu. Aku tau sakit mengetahui secara tiba-tiba, tapi kamu bsa memaafkan dia bukan?” Felita terdiam, lalu ia duduk di atas tempat tidurnya. Membalikan wajah ke arah Eggy. Felita menghela nafasnya, lalu mengangguk perlahan ke arah Eggy “wah? Mau kamu menemaniku menjenguknya bersama Renaldi? Kalau mau, ganti bajumu sekarang! Kita berangkat sekarang!”



Dalam mobil, Felita diam. Melewati danau di siang hari yang memantulakn terik sinar sang mentari. Ia memandang lewat kaca mobil, membayangkan Ray di sana berlari bersamanya dan tersenyum lebar yang bersinar.

Sementara, di rumah sakit.

“Ray! Kamu tidak apa-apa! Kondisimu memburuk! Kenapa masih mau ke taman yang panas?! Hoi! Ray kau dengar saya tidak?!” bentak suster Siska di taman berumput hijau berbatas dinding rumah sakit yang menyesakkan. Ray terdiam, dia meletakkan tangannya di atas kepalanya seiring terjatuh di atas rerumputan yang terik itu. Lalu ia bangkit, tidak mendengarkan perkataan suster Siska yang mengomelinya berkali-kali daritadi. Dengan celana pendek dan baju kaus oblong Ray berdiri menikmati matahari. Lalu tidak lama setelah itu, terdengar langkah di balik punggungnya yang berkeringat. “Ray” panggil singkat suara yang berat dan terisak. Ray terdiam, tetap pada posisinya, dia menggigit bibirnya. “aku..aku..aku minta maaf soal kemarin. Egoisnya aku” Ray maish terdiam. “wah mungkin kamu masih marah denganku, ah.. maaf aku menangis seperti ini. Air mataku tumpah terus dari kemarin, bahkan sinar matahari tidak bisa mengeringkannya” tawa kecil suara itu diikuti isak tangis yang tersedu pelan. Ray masih berdiri tegak dengan tangan yang di kepalkan di dalam kantung celananya. Lalu tangan menyentuh pundaknya dan Renaldi datang di depan wajahnya. “Ray kenapa tidak berbalik? Kamu nangis di balik sini? Baik nangis di depan dia!” Ray merasakan pipinya basah, matanya terasa berair dan hangat. Dengan cepat Ray membalikkan tubuhnya. Gadis itu sudah melangkah menjauh, dengan hela nafas dan maish meneteskan air mata, gadis itu membelakangi Ray yang mengikutinya dari belakang. Eggy melihat dari pintu kaca, dia tersenyum pasi berbisik pada Felita “kamu sudah beru...” Eggy melebarkan matanya, dengan sekejap mata.
Ray merentangkan tangannya dan memeluk Felita dari belakang. Felita masih meneteskan air matanya, dan matanya melebar. “kamu kenapa minta maaf? Padahal kamu tidak salah tau!” Felita terkejut, ia mendengar Ray juga ikut menangis, dengan cepat Ray membalikkan tubuh Felita dengan memutar bahunya. Wajah mereka bertemu. Dengan menangis Ray berkata “aku yang salah, jadi aku minta maaf! Tidak memberitahu kamu kemarin, dan aa yang perlu kamu tau” Ray menauruh kepalanya di sebelah pundak Felita, dengan berbisik. “aku tidak mau kamu melihat aku seperti ini, namun sepertinya aku hanya bisa menangis dan memohon padamu fel. Dan jangan beritahu siapa-siapa, kalau aku cinta padamu” Felita melebarkan matanya. Setelah berkata itu, Ray menutup matanya dan terjatuh di atas pelukkan Felita. “Ray!” teriak Eggy, Renaldi, serta suster Siska di sana.
Dengan cepat suster Siska memanggil para perawat lain dan dokter yang menangani Ray. Felita terkejut, tubuhnya masih membatu. Eggy mengikuti Ray, tetapi Renaldi berhenti. Lalu menarik tangan Felita dan menariknya dari tempat dia membatu. “kamu harus temani dia samapi sadar” Felita dengan semangat mengangguk.

 --------

Eggy dan Renaldi turun ke kafe bawah untuk membeli makan malam. Eggy tersenyum kecil. Renaldi melihat pacarnya tersenyum kecil, dan ia ikut tersenyum. “kenapa senyum-senyum?” Eggy memhadapkan wajahnya ke arah Renaldi dengan senyum lebar. “Ray sudah berhasil mengatakannya” Renaldi terkejut. “mengatakan apa?” Eggy tertawa.
“masa kamu tidak tau?”
“apa? Mengatakan apa?”
“dia mengatakan pernyataan cinta!”
“cinta? Kepada? Jangan katakan?!”
“Felitalah siapa lagi! Mangkanya dia membatu di situ!”
“mengatakan cinta seperti aku?”
“bukan!”
“lalu?”
“kamu itu suka, belum cinta”
“perbedaannya?”
“cinta itu sejati, dan Ray mengatakannya!”
“hah? Tidak ada bedanya!”
“cinta itu tidak bisa di patahkan oleh apapun! Kecuali dari Tuhan dan kematian”

 --------

Eggy duduk di bangku sebelah ranjang tempat Ray terlelap. Felita menggenggam tangan Ray, lalu menundukkan kepalanya menangis dengan senyum. “kamu suka aku iya? Sampai katakan cinta” lalu Ray membuka matanya “aku tidak suka kamu tau” Felita terkejut hingga ia melepaskan genggamana tangan Ray dan menjauh dari ranjang dengan wajah tersipu. “kamu bangun?!” lalu Ray terduduk dan mengangguk dengan senyum lembut. Dari tadi, terima kasih ya. Mau menemaniku” Felita terkejut lalu melangkah mendekat dengan perlahan. “aku..” Ray menarik tangan Felita dan membuatnya terduduk di ranjang. Wajah mereka dekat sekali, Ray tersipu, tidak kalah Felita. Ray lalu membalikkan wajahnya dari Felita.
“Ray..”
“ya?”
“kamu suka aku?”
“tidak”
“lalu kenapa mengatakan itu tadi?! Tadi apa? Suka sebagai teman?”
“aku cinta kamu”
“cinta? Yang benar saja”
“aku tau dari Renaldi kamu punya mantan lumayan banyak lima tahun terakhir”
Felita terkejut lalu memasang wajah marahnya sehari-hari, Ray menutup telinganya dengan menghadapkan wajahnya yang aneh ke Felita yang emosi”
“aku tidak mempermasalakan itu, yang aku ingin tanya. Kamu hanya menerima pernyataan iya?”
“kamu tau?”
“tau lah, tapi aku aneh, kenapa ada ya lelaki yang menyukai perempuan berisi sepertimu?”
“kau?! Siap jadi mangsaku?!”
“tidak-tidak! Kenapa kamu tidak menolaknya saja?”
“aku sendiri dari dulu sudah suka denganmu, apalagi taunya kesempatan menyampaikan perasaanku sekarang ada. Dulu aku mau mencoba melupakanmu dengan pacaran dengan lelaki lain, namun. Sepertinya sesuatu darimu itulah yang membuatku jatuh kepadamu”
“jatuh? Kesandung?”
“iya! Apa katamu, tersandung kehangatanmu”
Ray terkejut lalu sedikit tersipu dan tersenyum salah tingkah.
“tidak usah tersipu seperti itu, itu hal biasa”
“ya, aku cinta padamu. Tanpa sesuatu, mungkin karena aku dekat denganmu? Atau takdir jalan? Tidak tau aku, namun dari dulu saat terakhir di marahimu, aku terasa sedih setelah membuka mata di ruang rawat intensif rumah sakit. Aku menangis, ingat sekali hari itu, suster Siska datang mengelus punggungku, aku menangis karena tidak berbaik hati padamu, kalau semua orang tau aku mati, aku menyesal”
“Ray” Felita meletakkan tangannya di punggung Ray dan mengelusnya perlahan dengan senyum.
“kamu kenapa seperti itu?”
“aku sadar kalau aku bukan suka padamu, setiap hari aku bermimpi bertemu denganmu dan menyampaikan rasa sukaku tapi seiring berjalannya waktu, banyak suster muda bahkan pasien dan keluarga pasien yang melihatku berjalan di koridor bilang mereka menyukaiku, aku baik kata meeka, ramah dan sering kali mencoba membantu pasien dan orang-orang lain. Tapi aku sadar, setiap  menit harinya dari dulu hingga sekarang. Aku telah jatuh padamu”
“jatuh?”
“cinta Felitaku, cinta”
Felita membukam mulutnya dan tertawa. Ray dengan tersipu menarik tangan yang membukam mulut Felita. Dan mendorongkan tubuhnya.
Bibir dan bibir tersentuh. Felita melebarkan matanya. Kecupan hangat di bibirnya membuat Felita melebarkan matanya. Ciuman itu berlangsung tiga detik. Perlahan Ray melepasnya. Lalu memeluk Felita, dengan air mata di pipinya mengalir. “aku harap aku bisa hidup lalu bersama denganmu fel” Felita melebarkan matanya, dan berbalik memeluk Ray. Perlahan pintu kamar Ray terbuka “aku bawa makanan ni...” Renaldi membukam mulutnya dan Eggy menyusul menutup pintu dan melihat. Lalu tersenyum. “mereka seperti itu ya? Sampai menangis” Renaldi mengandeng jemari Eggy. “kamu tau kan apa yang di maksud cinta sekarang?”

Bab 9

Ray, di katakan akan di rawat di rumah sakit luar negri, agar mendapat pengobatan yang cepat menyembuhkan penyakitnya. Berita seminggu sebelum ia di berangkatkan ke daerah jauh beda waktu itu, Felita melambaikan tangannya dengan senyum dan harapan akan bertemu dengan Ray, suatu saat nanti setelah ia sembuh.
Eggy mengelus punggu Felita dan memeluknya. “tenang saja, dia akan sembuh! Percayalah padaku” Renaldi tertawa dan menyemangati Felita “iya! Percayalah fel!”
 -------
Kamu ingat tidak? Saat-saat kita dulu waktu masih bersama bermain di taman lapangan sekolah yang gersang itu? Kamu tau kan kalau aku sangat keberataan saat dirimu menemaniku di hukum di luar karena pekerjaan rumah. Bagiku itu kenangan yang membuatku ingat akan kehangatanmu, dan mungkin itu juga penyebab aku menyukaimu. Setelah tau kamu hilang bersama tragedi itu, aku terkejut. Aku tidak tau mau seperti apa lagi sekarang, aku bingung, salah tingkah, tidak dapat berfikir. Ketika aku sadar kalau kesempatanku menyampaikan perasaanku telah hilang, juga dirimu hilang ikut bersamanya. Kuingat saat terakhir memarahimu di lorong kelas itu dan kamu mengejekku, kamu berlari meninggalkan aku sendirian, dengan hentakkan kesal kakiku aku pulang dengan sedikit benci di hati. Ketika ku sadar beberapa hari tidak bertemu denganmu, aku semaki teriris. Mungkin pada waktu itu, aku sangat muda. Masih belum mengerti arti suka yang sesungguhnya.
--------
Kubuka mataku di atas  ranjang rumah para yang menderita. Aku membuka mataku dan langsung terduduk menangis. Aku masih nyeri sakit sekujur tubuhku, menangisi keluargaku yang tidak selamat saat kejadian itu, tapi. Aku menangis hingga air mata ini tidak mau ada habisnya. Menangisi dirimu? Hal bodoh bukan? Tapi sayangnya itu benar. Dadaku sesak setelah tau aku di katakan hilang dan mati dalam berita ke seluruh keluarga, kerabat, dan teman-temanku. Aku menyesal. Membuatmu marah waktu itu, aku hanya memberimu hentakkan kaki dan kekesalan, mungkin kebencian. Setelah aku tau aku mengusap-usap dahiku yang berkeringat dingin. Dengan banyak alat terpasang padaku, aku berkali-kali melepasnya dan terhempas ke lantai berlapis kayu yang dingin itu. Aku sering menangis, mengingat kalau aku punya rasa padamu. Aku tau ketika memberitahu aku ada di rumah sakit dekat rumahku dulu, aku senang sekali. Aku berniat kembali! Hingga berbagai cara aku coba. Sampai akhirnya sesuatu yang membuat semua orang tidak terlalu memperhatikanku karena aku tergolong tenang dalam tiga tahun terakhir.
Aku mencoba cara lagi! Akhirnya berhasil. Bertemu semua keluarga ku yang tersisa, sahabatku serta.. dirimu di sana dengan biasa tersenyum pasi padaku. Aku tau sekarang aku berkaca mata dan hampir terlihat beda namun, sepertinya kamu terlalu mengenalku baik, hingga bisa mengatakan suka padaku dengan mudahnya.
Aku sulit, jujur. Aku masih tidak bisa terima aku sakit seperti ini. Menunggu ajal ya? Sepertinya itu pekerjaanku sejak kejadian itu, namun. Ternyata aku di beri kesempatan untuk mengatakan suka padamu, cinta padamu! Dan.. aku berhapar aku dapat bertemu denganmu lagi, di waktu yang akan datang
--------
Waktu berjalan, sudah dua belas tahun sejak hari itu, berjalannya waktu. Felita sekarang bekerja sebagai dosen di kampus teman sekostnya dulu, Nayla dan Skandar. Pindah tinggal di Yogyakarta, dan mempunyai banyak pekerjaan. Membuatnya sulit kembali ke Surabaya. Berumur dua puluh sembilan tahun? Sepertinya bukan umur yang muda lagi. Felita duduk di meja apartemennya dan meminum kopi, membaca koran dan menemukan sesuatu. “kafe baru?” dia suka kafe. Dia biasa hanya mengunjungi kafe dekat Malioboro dengan teman-temannya, bahkan adik kelasnya yang bekerja sebagai model. Nayla. Sudah menikah. Dia maish terududk sendirian di apartemen dulu tempat mereka tinggal berdua. Ia ingat, sering sekali dia menenangkan Nayla yang menangis karena Skandar. Mengingat masa-masa itu Felita tersenyum “cinta ya? Wah memperjuangkannya.. aku tidak kira-kira” dengan cepat. Waktu sudah larut menunjukkan pukul sembilan malam. Memakai jaket dan sepatunya, ia berangkat ke kafe baru dekat alun-alun tempat dulu ia kerja sambilan.
Dengan mobilnya ia melaju. Memarkirkan mobilnya, ia melihat motor yang ia kenal, mobil yang ia kenal juga ada. Dengan cepat ia masuk lewat pintu bersuasana ala kedai solo berhawa pendingin ruangan yang menyegarkan, ia duduk di meja sepi dekat jendela. “Felita!” Felita menghadapkan wajahnya ke arah teman-temannya yang sedang menikmati sepotong kue, dengan senyum, Felita bangkit dari meja sepinya dan bergabung dengan adik-adiknya dan sekaligus teman-temannya itu.
“kamu ke sini juga! Aku tau pasti kamu ke sini” sahut Nayla dengan semangat.
“kamu hamil de?!”
“baru sadar ya? Perut sudah besar ini” tambah Nayla dengan tawa.
“kau sudah tua seperti itu fel, belum menikah! Pacar saja belum!” canda Dedy dengan menggendong putranya yang masih berumur 2 tahun itu.
“gimana pekerjaanmu?” tanya Mei.
“ya seperti biasa, para mahasiswa ada-ada saja kelakuannya”
“mirip kita tidak?” tanya Dedy
“lebih baik dari kita pastinya yang seperti pengamen keraton!” mereka semua tertawa dengan senyum”
“oh ya, mba fel. Kenapa tidak punya pacar hingga sekarang?” Skandar membuka pertanyaan. Mereka semua hening lalu tersenyum licik ke arah Felita yang bingung.
“soal itu ya? Itu masa lalu yang tidak pernah aku lupakan. Seseorang menyatakan cinta padaku dulu. Dua belas tahun lalu, saat aku masih duduk di bangku SMA. Dia berkata seperti ini, dia terus mengingatku, walau dalam masa sulitnya, dan dia menyesal tidak berkata padaku, dan kebetulan aku suka dengannya dengan lantang aku berkata”suka” padanya saat berlibur bersamanya, kakaknya  serta pacar kakaknya yang juga temanku. Dan terus terang, dia menyatakan itu...” Felita meneteskan air matanya.
“haduh fel, kenapa?”  Nayla dan Mei datang mendekat mengelus punggungnya.
“dia sakit dan penyakitnya perlu pengobatan di luar, hingga sekarang aku belum bertemu dengannya, bahkan waktu ke Surabaya, aku melihat rumahnya sudah di jual”
“fel jangan berfikir dia sudah mati, dia mungkin sekarang lagi memperhatikianmu lho, bukan dari atas sana, tapi mungkin dia di sini atau di mana saja sekitarmu! Jangan putus asa! Aku tau kamu mencintainya hingga merelakan dua belas tahun tidak berpacar” sahut Skandar.
Mereka semua tersenyum dan membantu Felita untuk optimis. Dengan sesuatu yang mengejutkan.
“Felita?”

Bab 10

“Felita?” panggil suara itu, Felita dan teman-temannya terkejut dan bingung. Felita berdiri dan membalikkan tubuhnya melihat seorang lelaki memakai pakaian gaya pegawai di kafe itu. Felita berwajah bingung
“siapa anda?”
Orang itu tersenyum, lalu melepas celemeknya dan menaruhnya di salah satu kursi mini bar.
“kamu lupa aku? Tadi membincangkan apa? Serius sekali”
“kenapa memang? Kenal saya? Kenapa bertanya tentang topik pembicaraan kami?”
“aku dengar kamu tidak berpacar dari dua belas tahun lalu?”
“kau mendengar kami berbincang? Ada perlu apa?”
“masih suka emosi ya? Terbuka sekali dari dulu fel” Felita melebarkan matanya dan membukam mulutnya dengan air mata turun perlahan.
“fel kamu kenapa?” Nayla datang mendekat dan memluk Felita. “siapa orang ini?”
“kamu Nayla ya? Model terkenal itu? Sesuatu kehormatan di kafe baruku. Lalu di sana ada Skandar, fotografer yang terkenal juga”
“iya, dia suami ku. Dan itu Dedy dan Mei dan anaknya. Dan.. kenapa anda kenal Felita?”
“kenapa pakai bertanya” orang itu merentangkan tangannya dan tersenyum serta menintikkan air matanya pelan.
“fel, kamu tambah gemuk ya? Akhirnya kita bertemu lagi ya?” Nayla dan yang lain terkejut. Dengan pelan Felita melepas pelukkan Nayla. Dan melangkah dekat ke orang itu. Menaikkan kepalanya ke orang itu, hingga wajah mereka bertemu.
“kamu kembali tidak berkata sepatah katapun kepadaku”
“aku tidak tau, kata kakakmu saja kamu sudah pindah bekerja di Yogyakarta, jadi aku sebagai pengusaha kafe, mendirikan salah satu kafeku di Yogyakarta inilah, tidak sangka kau mau suka kafe dan seperti kebetulan bertemu denganku” Felita memeluk lelaki itu.  Nayla dan yang lainnya terkejut bingung. “fel itu? Itu?! Lelaki yang dulu kau sukai?!” kaget Dedy hingga beridir dari sofa ia duduki.
“perkenalkan namaku Ray, dan Felita”
Ray berlutut dan menggenggam tangan Felita, yang menangis bahagia.
“apakah kamu mencintaiku?” Felita mengangguk.
“selama ini aku sudah jatuh padamu Ray! Sudah jatuh! Hingga rela aku tidak berpacar atau menikah untuk menunggumu”
“sekarang apakah kamu bersiap?”
“apa?”
“aku berlutut ini? Lihatlah! Aku melamarmu.. Felita”
“hah? Melamar?”
“Felita.. maukah kamu menikah denganku?” Felita terkejut, dan menggelengkan kepalanya bingung. “apa maksdunya Ray?” Ray bangkit berdiri. “maksduku, kamu mau menikah denganku? Maafkan aku tidak memberitahu aku kembali dan maaf, telah membuatmu menunggu lama” Felita mengangguk dan memeluk Ray.
“aku bersedia Ray”
Teman-teman Felita bertepuk tangan hingga kafe itu berisik, yang tadi persiapan mau tutup, menjadi ramai karena mereka menyambut, kebahagiaan sahabat mereka, Felita.

Penutup

Ini mungkin hal bodoh untuk dibaca, tapi tolong lihat dulu kata-kata ini.
Mungkin, bagiku menjalankan pengobatan berat. Lihat? Sampai 3 tahun aku di rawat, sisanya aku berkuliah dan bekerja. Seketika semua impianku terwujud, namun. Aku kekurangan sesuatu. Dirinya! Dirinya yang selama ini hilang dari pelukkanku. Aku sempat berfikiir kalau dia telah bersama, atau bahkan menikah dengan orang lain! Mengingat umur kita yang tidak semakin muda.


Kei's word!
Sebelum kusadari, dari sesuatu kisah bisa terbuat seperti ini ya? Hanya lagu dan kata-kata biasa saja bahannya bagiku. Imajinasi dan sesuatu yang masuk akal sehat manusia. Serta pasti yang dalam kehidupan sehari-hari. Buat kisah kali ini, aku mengambil kata-kata seperti ini.
“menyerah? Bukan keharusan namun pilihan. Kita tidak berjuang sendirian ingat itu! Di dunia mungkin terasa di kucilkan, diasingkan, di benci, diludahi, dimaki. Namun jangan patah semangat! Kesempatan selalu ada di depan kita untuk melihat dan mendapat solusinya. Keinginan untuk mencapai sesuatu di mulai dari harapan dan kepercayaan dan jangan lupa dari doa”

Memories short story. 2nd July 2013
twitter : @famoure_keizia
facebook : keizia zefanya novelita

 

Amoride Design / Author & Editor

Jangan pernah menganggap remeh sebuah perasaan, karena perasaan dapat mengubah seseorang menjadi yang lain

0 komentar:

Posting Komentar

Coprights @ 2016, Blogger Template Designed By Templateism | Templatelib