Cinta, ya cinta.
Kata tabu yang terdengar begitu menyakitkan, bagiku itu adalah mitos.
Aku tidak mempercayai adanya cinta sejati atau jatuh cinta pada pandangan pertama, atau fantasi - fantasi lainnya.
Apalagi setelah bertemu dengan laki - laki itu, ah aku membencinya.
Ia pengganggu ulung yang berani mencoba - coba membuat pembuluh darah di kepalaku pecah.
Aku membencinya, amat sangat.
----
Duduk diam tanpa melakukan apa - apa. Itulah pekerjaanku detik ini. Melihat langit begitu biru, awan - awan tertiup angin yang begitu nyaman dan sendu. Suara tawa di sana sini, membuatku merasa tenang dan mudah terlelap.
"Hei, cewek!" Sigap dirinya membenturkan buku tebal di kepalaku.
Menatapnya dengan tatapan setan, wajahku merengut. Aku memutuskan untuk mengabaikannya, untuk apa melayani orang yang terus menerus mengganggu bukan?
Perkenalkan singkat, panggil aku Firsa. Dan lelaki yang duduk di sampingku ini adalah 'kekasih' ku. Ya, itu sebutannya yang benar, kekasih.
"Eh fir, kamu liat gak di sana banyak banget anak - anak" jari telunjuknya menunjuk ke kerumunan anak - anak yang sedang asyik bermain di dekat kolam ikan mas. Melipat tangan dan sedikit melirik aku mengangguk.
"Dulu ya, aku suka banget sama ikan. Sampe - sampe aku beli ikan mas sendiri. Sayang mati kena pompanya" ah ya, ia hobi bercerita. Seringnya aku tak mendengarkannya, dan menganggapnya tidak penting. Tapi aku bingung, kenapa sekarang aku mendengarkannya? Mungkin saja suasana hatiku sedang baik karena cuaca.
"Fir.." Membalikan tubuhnya, dan memperlihatkan wajah tampannya di hadapanku. Otomatis, aku mengikutinya. Menatap kedua matanya yang begitu dalam. Aku merasakan kesedihan ketika menatap mata itu, tapi aku mengabaikannya dan bersikap tidak peduli.
Kedua tangannya menggenggam lembut jari - jariku, mengelus tanganku perlahan. Ia membuang wajah sesaat, dan menghela nafas sejenak, dan kembali melihat wajahku.
"Kamu tau gak? Kenapa aku bisa sayang sama kamu?"
Pertanyaan ini? Jarang sekali ia lontarkan, malah. Hampir tidak pernah sepanjang setahun kami bersama.
Aku hanya terdiam, berfikir. Aku menggeleng pelan. Aku tau aku egois, aku tidak bisa memikirkan apapun alasan. Namun, ia tertawa kecil.
"Aku sayang sama orang yang cuek banget, gak peduli sama orang lain.."
Ah ya.. Aku mengakuinya, mungkin ini detik dimana aku akan berpisah dengannya. Tidak apa, lagipula aku tidak mencintainya.
Ia terdiam sesaat, menatap langit.
"Aku mencintaimu Fir, lebih dari yang kamu tau"
Ya, aku tau ia mencintaiku. Amat sangat mencintaiku, sedangkan aku..
"Aku tau kamu tidak menyukaiku saat aku bercerita, mengeluh dan kesal.."
Rasa apa ini, seperti ada jarum yang menusuk kulitku? Ini bukan apa - apa, ini tidak mempengaruhi apa - apa di antara aku dengannya.
"Aku tau kamu menerimaku karena kasihan.."
Setahun lalu, tepat hari ini. Seorang laki - laki tak begitu ideal tubuhnya datang padaku dengan senyuman seterik mentari. Mengulurkan kedua tangannya, memberikan sekuntum Lily biru. Aku ingat, ia begitu lembut mengucapkan kalimat itu.
"Firsa, aku udah lama suka sama kamu, aku mau kamu jadi pacarku"
Ceroboh sekali ya kata - katanya. Awalnya aku hanya terkejut, mencerna kalimat itu, aku memutuskan untuk menerimanya. Karena aku tau rasanya dikecewakan harapan terdalam.
"Aku tau kamu tak ingin mendengarkanku mengatakan hal ini.."
Sekarang ia telah menjadi tampan, tubuhnya yang dulu tidak beraturan, sekarang tinggi dan banyak yang mendambakan dirinya menjadi bagian dari hidup wanita - wanita lain.
Tapi ia hanya memilihku. Ia menetap bersama aku yang acuh terhadap semua perhatian dan keluhannya. Bersamaku yang sangat membencinya, bersamaku yang tidak pernah mencintainya selama ini.
"Mungkin inilah saat terakhir aku mengatakannya padamu, maafkan aku. Aku tak akan bisa mengatakannya lagi padamu"
Secepat angin bertiup sore itu, kata - kata dari balik hatinya perlahan keluar dengan duri - duri yang tidak pernah kuketahui sebelumnya.
Perlahan angin mereda, anak - anak sudah kembali ke rumahnya. Sepinya taman, menyisakan aku dengannya, duduk di bangku kayu yang hampir rusak ini.
Perlahan kedua tangannya melepas genggamannya.
Kenapa aku merasa bersalah? Bukan kah aku hanya mendengarkan kata - kata basinya saja? Mengapa dada ini terasa sesak ketika jari - jarinya melepaskan diri dariku?
Tiba - tiba ia bangkit berdiri, berjalan menyusuri jalan setapak menuju pintu keluar taman dan berhenti tepat satu langkah sebelum trotoar. Ia terdiam di sana. Membatu.
Entah, tubuhku bergerak menghampirinya. Melihat punggungnya yang kini telah menutupi sedikit jarak mata.
Air mata. Ya air mata. Itulah yang keluar dari ujung - ujung mataku. Ingin rasanya menghapusnya cepat, namun aku tidak sanggup.
"Aku amat sangat mencintaimu, walau kau tidak mencintaiku seperti aku mencintaimu. Namun ketahuilah, selama kita bersama aku selalu tersenyum, kadang kau menertawakanku, aku senang. Aku kesal dan kamu hanya diam di sana membatu dan tidak memperdulikan apapun yang kukatakan.."
Perlahan suaranya mulai terisak, ia menangis.
Air mataku berhamburan ke kemeja coklat yang kukenakan, serasa hujan melanda gurun.
Aku.. Tidak tega, aku tidak sanggup membiarkannya menangis.
Dengan cepat kedua tangan ini memeluknya dari belakang. Air matanya semakin deras, aku bsa merasakan tetesan - tetesannya. Hangat.
"Aku sungguh mencintaimu, aku tidak akan pernah menyesal mencintaimu. Kaulah yang membuatku berubah, kaulah yang membuat hari - hariku begitu berharga.. " air mataku, bibirku bergetar, aku tidak sanggup menahannya lagi...
Aku....
-----
Genggaman tangannya masih seperti dulu, wajah tampannya tidak mungkin berubah bukan?
Pucat. Kenapa dulu wajahmu begitu terik sekarang hanya berbaring kaku di dalam sangkar kayu itu? Kenapa kamu tidak mengatakan apa - apa padaku tentang benda yang menggerogoti hidupmu perlahan - lahan? KENAPA!?
Aku merindukanmu, aku begitu merindukanmu
Walau air mataku tidak sanggup membawamu kembali, walau aku tidak pernah mencintaimu, walau aku tidak pernah menyayangimu setulus dirimu..
Aku.. Aku mencintaimu. Aku menyayangimu, aku begitu.. Menginginkanmu mendengar apa yang baru kukatakan. Apa yang kurasakan hari itu, apa yang kubenar - benar rasakan selama ini.
Aku membencimu, aku tidak menyukai omelan, keluhan dan kekesalanmu, karena aku mencintaimu.
Aku tidak ingin dirimu merasakan rasa yang kurasakan, aku tidak jujur! Aku munafik!
Tapi aku tau.. Aku menyesal diam. Aku menyesal tidak memikirkannya selama ini! Tidak berfikir bahwa dirimulah yang tulus mencintaiku, lebih dari yang aku tau.
Terlambat? Ya, kali ini akulah yang menangis dalam diam. Kini akulah yang menggantikan rasa sakitmu berdikir di kehidupan tanpa ketulusan yang kubuat.
Aku bahagia. Aku bahagia memilikimu, aku bahagia bahwa ternyata setidaknya ada yang melihatku indah seperti ada kalanya.
7.9.15
0 komentar:
Posting Komentar