Kecil.
Tidak ada yang lebih berharga daripada menyalurkan keasikan
dan kesukaan masing – masing, menekuni hobi, menjalankan perjalanan jauh,
berpetualang, mempelajari hal = hal baru tanpa keraguan.
Sayangnya, setiap orang itu berbeda – beda, dan tidak ada yang sama dalam
penyampaiannya. Tetapi ketika kita menemukan orang yang menekuni cara yang sama
dengan kita, menggunakan cara yang sama dan menghabiskan waktu yang lama dan
banyak untuk melakukannya. Apa daya. Mungkin kita akan tergiur untuk ikut
bersamanya atau bahkan menolaknya mentah – mentah.
Kesanggupan untuk terus mencoba – coba hal baru dan
merasakan situasi yang berbeda, keluar dari zona nyaman dan mengikuti arus
tantangan. Hidup zaman sekarang, penuh teknologi dan pengetahuan akan
globalisasi yang berlebih.
Akankah hal – hal ini mengubah diri kita?
Bersandar pada dinding lapuk berlapis cat pucat, melihat
hujan dan angin berseteru membuat konser di balik jendela. Membuat orang – orang
berpayung sempoyongan menghadapi derpaannya. Musik jazz sendu berbalut di radio
sore itu, berirama lembut membuat suasana semakin melekat di kulit, ditambah
dinginnya ruangan seperti di kutub. Tidak ada yang mengira bahwa Vivi di sini
menyanggupkan diri, memberanikan diri untuk tetap berada di dalamnya, dengan
jangka waktu yang lama. Hujan masih deras, teh hangat sudah berhenti
mengepulkan uapnya. Perempuan manis masih terduduk di atas tempat tidurnya,
bersandar dinding dengan tatapan kosong menghadap cakrawala.
Ketukan pintu mengagetkan sedikit gadis itu sehingga goyah
sesaat. Tidak lama ia kembali lagi meringkuk dan membenamkan wajahnya ke
lipatan kakinya.
Mengelus manja adiknya, lelaki tinggi berambut cepak itu berusaha sebaik
mungkin untuk ada di sisinya. Mungkin hal yang ia lakukan kurang baik dan
salah, kurang tepat dan tidak pas. Terlalu egois. Sehingga hatinya mengeluh
gagal, karena sekarang adik satu – satunya itu seperti kehilangan setengah
nyawanya.
“sudahlah Vi, kakakmu ini khawatir banget. Kamu tega liat kakak terus begini?”
tapi ia diam saja. Angin di luar semakin kencang, menggetarkan kaca – kaca dan
menerbangkan kertas – kertas serta sampah – sampah. Sesaat lelaki itu mengintip
horden dan meliat keluar. Cepat – cepat ia berlari keluar kamar, menuju ruang
tamu. Menyelinap di balik horden, dan melihat. “Do kamu ngapain lihat – lihat keluar,
kan tidak ada apa – apa” tapi kali ini Edo, lelaki jangkung itu memasang wajah
terkejut dan menggelengkan kepalanya cepat. Kedua orang tuanya mengerutkan alis
dan memiringkan kepala. Edo bersuara sedikit, membuat suara televisi ayah pun
tidak berdengung sedikit pun di antara mereka. Semuanya mendadak hening dan
sepi walau hujan terus mengguyur dan angin tetap berhembus.
“Pa, anak itu ada di sana. Dia berdiri di bawah hujan dan
duduk di atas motornya.”
Air hujan tetap berjatuhan merembas baju hitamnya, sekalipun
basah kuyup dan hampir tak sanggup lagi berdiri menunggu, ia tetap berada di
sana. Menanti.
Sekalipun ia ditolak dan diabaikan, ia akan tetap berdiri tegap, tidak mengenal
menyerah. Andai pun gadis itu melangkah keluar dengan payung merah muda nya
beserta daster putih bunga – bunga dan marah. Ia tidak akan peduli, untuk sekarang
cukup melihat wajahnya saja lebih dari yang dia inginkan. Tidak tanggung –
tanggung, angin terus menembus tubuhnya yang mulai gemetar, kedua kakinya mulai
kaku dan bergetar. Kedua tangannya tidak merasakan apa – apa selain dingin dan
cekaman suasana hatinya.
Pikirannya entah kemana perginya, ia seperti kehilangan akal
sehatnya. Seperti orang gila. Menggerakan sedikit kepalanya, menghilangkan
pegal yang dirasa. Kali ini ia mulai merasa lelah dan pusing. Kepalanya mulai
berat dan matanya mulai kabur. Mendongkakkan kepala ke atas sesaat lalu
menurunkan kembali, semua yang ia rasakan serasa hilang. Mulai dari cara ia
berdiri dan tujuannya kemari, berdiri di depan pagar perempuan yang ia cintai.
Ia tau, ia salah.
Kenapa ia melakukan hal itu padanya? Mengapa hal sekecil itu
melukainya begitu dalam? Sedangkan yang seperti lebih besar dan lebih
menyakitkan, ia tidak merasakan sedikitpun rasa lelah. Risih pasti, tapi lelah?
Sepertinya ia tau, bahwa wanita yang ia cintai tidak sanggup lagi bersanding
dengannya. Tidak sanggup memenuhi semua keegoisan yang terus datang, dan
akhirnya menemukan titik rapuh. Dimana ia tidak lagi tersenyum, dimana ia tidak
lagi membela, dimana ia tidak lagi mencari dan memarahinya karena cemburu. Dimana
ia berlarut pergi namun tidak diperdulikan, dimana ia kesal dan membentaknya
tetapi hanya diam dan menyunggingkan senyum palsu itu dan
mengucap maaf semudah menyulutkan amarah kepadanya.
Katanya akan terus bersama susah dan senang. Tapi ketika
kesulitan begitu banyak dan hanya menanggungnya sendirian, dilarang bercerita
dan meminta tolong teman, dimana semua yang keluar hanya kebohongan.
Ya, kebohongan.
Vivi secepat kilat membuka pintu kamarnya, dengan celana
pendek kaus coklat bergambar donat favoritnya, ia mengambil payung merah
mudanya, menghela nafas panjang. Edo menggenggam tangannya kuat, memasang wajah
lesu dan kesal. Vivi tau, kakak kesayangannya ini tidak ingin ia bertemu dengan
orang di luar sana. Ia juga tau bahwa rasa sakitnya membawa adik semata
wayangnya tenggelam dalam kesedihannya untuk waktu yang lama.
Tapi kali ini, Vivi menyunggingkan senyumnya yang kelam. Menggelengkan kepalanya
perlahan “Do, aku mau ketemu dia kok, ada yang harus aku omongin ke dia.” Edo
melepaskan genggamannya, membiarkan adiknya mengenakan sendal jepit merah,
membuka pintu dan melangkah keluar. Pintu terbuka, hujan masih terlihat jelas
menutupi pandangan, angin perlahan menembus ke dalam rumah, kemudian terhenti
karena pintu itu sudah tertutup.
Kini saatnya, Vivi mengakhiri semua yang ia rasakan, kali
ini ia serius mengatakannya. Kadang rasa sakit itu harus dibayar oleh rasa
sakit, ketka kebaikan tidak lagi terbayar dan menutupi luka yang ada.
Lelaki itu mendengar langkah di genangan, melihat ke depan,
menemukan perempuan itu berdiri, membuka pagar dan menutupi kepalanya dengan
payung merah muda. Kedua matanya kosong, kantung matanya tebal dan hitam,
rambutnya terurai lembut di pundaknya. Lelaki itu tidak berkutik, tidak
menggerekan sedikit pun sendi – sendinya. Dan kesunyian itu berlangsung cukup
lama, hingga akhirnya Vivi mulai angkat bicara.
“Apa yang kamu lakukan di sini?”.
Dingin lekukan bibirnya, lelaki itu menjawab pelan “aku
ingin bertemu.” Vivi menutup matanya menghempaskan wajahnya ke atah kanan, dan
terdiam. Lelaki itu tau, perempuan di hadapannya menahan emosinya, ia tau
sepertinya ia melakukan kesalahan.
“aku hanya melakukan hal kecil.” Tambahnya. “kenapa kau
begitu mempermasalahkannya sampai seperti ini?”.
Vivi menghapus air mata yang baru saja ingin jatuh di
pipinya, tertawa kecil. Katanya hal kecil. Baginya hal itu begitu penting dan
bukan sekedar hal kecil sepele dan mudah di lupakan seperti yang mudah di
lakukan laki – laki ini padanya.
“kecil katamu?” “di mulai dari hal kecil, menjadi besar
setelah dibiarkan, bagaimana aku tidak mempermasalahkan?”.
“Memang sepenting apakah hal itu bagimu? Bukannya hal ini begitu sepele dan
tidak begitu perlu dibahas lagi?”
“berandaikan sekarang kamu baru mengatakan hal itu sekarang, kebohongan kecil
demi menutupi ketakutanmu, bagaimana yang setelahnya? Apakah ada lagi?”
Laki – laki itu kesal, suaranya mengeras sedikit, kali ini
ia kembali lagi membentak pelan.
“Ya itu urusanku, asalkan kau bahagia kan?”
Kali ini Vivi mengepalkan kedua jari tangannya, menggeram
keras. Berteriak dan menampar laki – laki itu di sana. Detik itu juga, saat itu
juga.
Air matanya turun, alisnya mengerut dan tubuhnya bergetar. Ia baru saja
melakukan hal yang jarang ia lakukan terhadap laki – laki yang ia cintai di
hadapannya. Ia tau ia salah, tapi ia memilih menanggung beban itu sendirian,
menyerahkan diri melakukan kesalahan – kesalahan demi kata – katanya tersampaikan.
“aku bahagia? Bagaimana sisanya yang kamu lakukan? Bagaimana
setiap amarah yang kau keluarkan? Bagaimana setiap beban yang kau buat dengan
mudah kau lupakan dan tertawa di atasnya? Bagaimana dengan larangan bercerita? Bagaimana
dengan larangan untuk menangis? Apakah semua itu hal kecil bagimu? Melupakan,
cuek, dan dengan mudah melupakan masalah lalu tertawa?”
Lelaki itu menelan ludah, ia terdiam. Sulutan emosinya
berhenti ketika Vivi menamparnya. Ia tau bahwa perempuan itu tidak tega
menyakitinya, keterlaluan itulah yang membuatnya terdorong untuk menepis pipi
tipisnya.
“Andai semudah itu, aku juga
ingin....” hati Vivi berbisik.
Vivi berhenti menangis, ia marah. Ia tau ia memiliki banyak
kesalahan, ia tau sekarang ia menuntut terlalu banyak. Mungkin sikap seenaknya
membuatnya lupa bahwa Vivi juga memiliki sisi, sikap, dan pandangan yang
berbeda.
Ia menepuk pipi laki – laki itu, berusaha tersenyum. Lelaki itu masih menunduk,
menghadapkan wajahnya ke jalan bergenang di bawah alas kakinya yang tebal.
Tanpa basa – basi, Vivi kembali masuk ke gerbang,
meninggalkan lelaki itu kembali basah kuyup. Vivi tetap membisu, ia tidak ingin
membahasnya, ia hanya ingin belajar tersenyum lagi. Tapi kali ini tanpa orang
itu, merusak otaknya. Membuat hatinya kehilangan rasa mencintai, membuat
dirinya lupa bagaimana caranya tersenyum dan terlepas dari itu. Vivi juga ingin
memulai jalan baru, dan bebas dari adanya sakit hati yang berarti.
Sayang itu tidak perlu susah kan? Cukup percaya, jujur,
tulus sudah lebih dari cukup. Sayangnya hal itu hanya di dapat dari mimpi.